Meraih Cita

Meraih Cita

Kamis, 27 Desember 2012

Inspirasi dari Orang Biasa



Oleh Benni Setiawan*)

Judul : Berbagi Ilmu Berbagi Harapan. Orang-orang Biasa dengan Semangat Luar Biasa
Penulis : Tim Penulis
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta
Cetakan : November, 2012
Tebal : xxx + 224 Halaman

Resensi, Seputar Indonesia, 23 Desember 2012

Kisah sukses tidak mesti lahir dari orang-orang besar. Orang kecil atau biasa pun mampu menularkan spirit kemandirian berbekal prinsip-prinsip sederhana yang kadang kita acuhkan.

Jika mau melihat dengan mata lebih terbuka, maka kita akan mendapatkan banyak sekali ilmu pengetahuan dan inspirasi dari lingkungan sekitar. Tidak usah terlalu muluk-muluk untuk belajar kepada pengusaha besar hanya untuk mendapatkan motivasi dan inspirasi . Hal ini tentu tidak salah, jika kita bisa mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari mereka. Namun, akan keliru jika mengabaikan orang-orang di sekitar kita, yang punya prestasi bagus di bidang wirausaha dan layak menjadi inspirasi.

Kejujuran
Misalnya, seorang warga biasa, sangat sederhana, pemalu, dan lebih tepat disebut sebagai pria lugu. Namun, sukses sebagai pebisnis jual beli mobil dengan showroom mobil bekasnya. Tampangnya boleh lugu, tapi semangat juangnya setara dengan keperkasaan seorang jenderal bintang empat.

Ia adalah Muhammad, yang Sekolah Dasar (SD) saja tak tamat, kosa kata Bahasa Indonesianya pun terbatas, hanya tahu ilmu tentang sepeda onthel, tapi dengan spirit ingin mengubah nasib, mampu mewujudkan mimpi-mimpi orangtuanya. Hidup “menggembel” di emperan took di Surabaya diterimanya dengan penuh ikhlas. Dari sinilah roda hidup berputar sesuai daya juang yang dikayuhnya. Awalnya hanya berjualan sepede onthel bekas, namun, kini telah memiliki showroom mobil bekas dengan penjualan lebih dari 20 kendaraan per bulan.

Kunci kesuksesan Haji Muhammad di Probolinggo, Jawa Timur ini adalah kejujuran. Ia dengan penuh kesadaran jiwa menyatakan bahwa meraih keuntungan melimpah bukan berarti harus menghalalkan segala cara. Melalui proses kerja jujur inilah, usaha Muhammad berkembang dengan pesat. Spirit kejujurannya pun juga menular kepada karyawannya. Sebuah semangat kebajikan yang menginspirasi banyak orang.

Merangkul Orang Lain
Kisah sukses dari seorang yang tak tamat SD juga hadir dalam balutan prinsip sederhana ala Pak Wongso. Pak Wongso adalah pria yang takut ketinggian. Ia pun terkenal pemalu dan tak percaya diri menghadapi orang berdasi. Ia tidak pernah naik pesawat terbang sebelumnya. Namun, ia sukses sebagai pengusaha produsen furniture.
Berkat ketekunannya menjalankan usaha, kini dia bisa menikmati hidup dengan penuh berkah. Padahal sebelumnya dia adalah tukang lemari dan tirai keliling. Ia pikul semua barang dagangannya dengan berjalan kaki dari kampung ke kampung. Panas, perih, lapar, dan haus tak dipedulikannya. Cemooh dari beberapa orang di tepi jalan tak dihiraukannya.

Kini, berkat kesucian niatnya untuk menghidupi keluarga, Pak Wongso bukanlah Wongso yang dulu. Wongso sekarang sudah bisa membangun rumah sendiri, mempunyai beberapa karyawan, dan puluhan distributor untuk produk-produk mebel dari limbah kayu.
Kunci sukses Wongso terletak pada keuletannya. Ia menjadikan sesuatu yang dalam pandangan orang banyak tidak berguna, namun, menjadi permata ketika diolah dengan ketelatenan. Limbah kayu yang kotor pun menjadi sumber rizki yang halal.

Keberhasilan Wongso juga berkat kemauannya merangkul semua orang, terutama orang miskin. Wongso sadar bahwa ia terlahir bukan dari orang berpunya. Maka guna meraih kesuksesan ia membuka diri untuk bekerjasama dengan banyak orang. Sebuah nilai kesederhanan yang tampaknya kini telah mulai luntur dari spirit kebangsaan.

Orang Kecil
Apa yang diiretas oleh Muhammad dan Wongso seakan membenarkan apa yang telah dinyatakan oleh Einstein. Fisikawan terkemuka ini sekian tahun lalu pernah menyatakan, berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil, tapi berusahalah untuk menjadi manusia yang berguna.

Keberhasilan akan terasa lebih manis ketika “dirayakan” bersama banyak orang. Pasalnya, kesuksesan kita hari ini tidak pernah lepas dari campur tangan orang lain. Proses kehidupan dan fitrah manusia sebagai makhluk sosial telah mampu membentuk diri kita.

Buku Berbagi Ilmu Berbagi Harapan, Orang-orang Biasa dengan Semangat Luar Biasa ini merupakan kumpulan kisah sukses dari sepuluh manusia terpilih (the choosen people). Mereka bukanlah orang-orang besar, bertitel, keturunan orang besar, dan bertabur sorot dan catatan wartawan. Mereka adalah orang-orang kecil. Namun, mereka telah menunjukkan kepada kita secara gamblang bahwa kesuksesan tidak pernah lepas dari proses panjang. Sukses pun perlu diraih dengan semangat dan cita-cita besar. Tanpa hal yang demikian, kesuksesan hanya menjadi dongeng, tanpa pernah mewujud.

Kisah sepuluh orang sukses dalam buku ini, dalam penilaian FIF sangat pas mewakili semangat berbagi ilmu dan berbagi harapan. Negeri ini membutuhkan para pioneer yang berada dekat di lingkungan masyarakat. Para perintis perjuangan hidup yang bekerja dan berkarya from zero to hero. Mereka berjuang dari titik nol. Dengan segala keterbatasan ekonomi dan kemampuan, mereka bangkit untuk menata hidup, selangkah demi selangkah. Mereka telah teruji mampu bertahan hidup, menyelesaikan problem ekonomi dan keuangan, serta membuat kagum lingkungan sekitar di tengah pahit getirnya dunia yang dilakoni. Bagaimana dengan Anda? Sebuah karya sederhana yang penuh nilai.

Jumat, 14 Desember 2012

Pekerja Sosial di Dua Negeri Serumpun



Oleh Benni Setiawan
Jurnal Welfare Vol 1. Nomor. 1 November 2012

Judul : Pendidikan dan Praktik Pekerja Sosial di Indonesia dan Malaysia
Editor : Edi Suharto, Ph.D; Azlinda Azman., Ph.D; Ismail Baba., Ph.D.
Penerbit: Samudra Biru, Yogyakarta
Cetakan : Desember, 2011
Tebal : xiv + 344 Halaman

Isu yang dibahas dalam studi pekerja sosial sangat beragam sebagaimana kompleksitas kehidupan manusia. Untuk kepentingan metodologi ilmiah perlu kajian yang spesifik dan obyektif.

Namun, di tengah kompleksitas persoalan pekerja sosial, masih sedikit referensi yang dapat dirujuk. Kehadiran buku Pendidikan dan Praktik Pekerja Sosial di Indonesia dan Malaysia ini setidaknya dapat menambah referensi untuk tidak menyebut mengisi kekosongan referensi tentang pekerja sosial.

Buku ini merupakan penyempurnaan dari buku sebelumnya, Pekerja Sosial di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Perkembangannya yang juga diterbitkan oleh “Samudra Biru”. Sebagai buku penyempurnaan, maka karya ini layak jadi referensi bagi akademisi , praktisi, dan penentu kebijakan di bidang kesejahteraan sosial.

Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan penulis yang notabene praktisi dan akademisi dalam studi pekerja sosial yang mencerminkan perkembangan dan dinamika di dua negeri serumpun.

Kurikulum
Hal ini tercermin dalam catatan Edi Suharto. Ia menulis bahwa pendidikan pekerja sosial di Indonesia menghadapi tantangan yang sangat besar khususnya berhubungan dengan keberadaan standar kurikulum pendidikannya. Hingga saat ini standar kurikulum pendidikan pekerja sosial di indonesia masih dalam proses perumusan. Tidak heran apabila antar-masing-masing lembaga pendidikan pekerja sosial tidak seragam. Kondisi ini makin diperparah oleh animo mahasiswa yang relatif rendah dan bahkan cenderung menurun terhadap pendidikan pekerjaan sosial ini (halaman 11).

Penyusunan kurikulum yang tidak sama pun terjadi di UIN Sunan Kalijaga. Menurut Asep Jahidin, sejarah dan proses dialektika kemunculan program Ilmu Kesejahteraan Sosial (IKS) di UIN Sunan Kalijaga tergolong unik dan memiliki epistemologi yang luar biasa. Karena lahirnya IKS adalah hasil dialog yang a lot dan panjang antara nilai-nilai dan ajaran Islam tentang kajian kemasyarakatan kemudian dipertemukan dengan tradisi pekerja sosial yang sarat dengan metodologi Barat modern mengenai ilmu kesejahteraan sosial.

Ajaran Islam tentang kehidupan sosial banyak diungkapkan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi. Ajaran ini kemudian dijadikan sebagai landasan nilai dan pedoman masyarakat muslim dalam kehidupan keseharian, baik sebagai individu maupun masyarakat.

UIN Sunan Kalijaga berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan social worker sekaligus menguasai clinical social work dan community development. Apa yang bisa dilakukan adalah membuat kesatuan keilmuan agama dan pekerja sosial dalam sebuah kurikulum.
Pengembangan keilmuan dan semangat zaman niscaya dipertemukan dalam sebuah kesatuan kurikulum yang disiapkan untuk menjadi tantangan zaman. Mengingat pentingnya kontribusi Ilmu Kesejahteraan Sosial yang di dalamnya mengkaji tentang teori dan praktik pekerja sosial terhadap penanganan persoalan yang ada di masyarakat. Baik persoalan sosial maupun bencana alam yang berimplikasi pada kehidupan sosial masyarakat, maka menjadi sangat penting bagi para ilmuan dan praktisi pekerja sosial untuk selalu berjuang mengembangkan dan melahirkan teori-teori mutakhir di bidang pekerja sosial ini.

Perkembangan kondisi yang terjadi di masyarakat juga harus menjadi pertimbangan dalam menyusun kurikulum karena kurikulum yang dibangun pada akhirnya ditujukan untuk menyiapkan mahasiswa dalam menghadapi tantangan zamannya. Maka dalam setiap pengkajian kurikulum yang dilakukan oleh IKS UIN Yogyakarta pemaduan antara budaya masyarakat setempat dengan teori-teori pekerja sosial senantiasa dipertimbangkan untuk saling memberikan penguatan satu sama lain. Hal ini diharapkan akan memberikan cara pandang serta keterampilan khusus kepada para mahasiswa yang mengikuti pendidikan pekerja sosial di UIN Sunan Kalijaga (halaman 17-18).

Persoalan kurikulum ternyata juga menjadi perbicangan di Negeri Jiran Malaysia. Hal ini setidaknya tercermin dalam kurikulum pekerja sosial di Universitas Sains Malaysia (USM). Di USM komponen kurikulum lebih ditekankan pada aspek praktikum. Melalui praktikum USM berupaya mengembangkan dan memadukan pengetahuan, nilai, etika, dan kemahiran secara praktis. Praktikum pun dilakukan secara bertahap guna melatih mahasiswa mempelajari dari hal sederhana menuju yang lebih kompleks.
USM pun mengembangkan jejaring praktik kurikulum melalui kerja praktikum antarbangsa. Melalui program ini mahasiswa akan semangat mengenal kebangsaan antar dua negara (Indonesia dan Malaysia), Melalui program ini mahasiswa mendapat keuntungan melalui program komunikasi antarbangsa, pengenalan budaya, dan juga lokal wisdom.

Melalui program ini USM terus meningkatkan kerjasama dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung guna terus meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam bidang pekerja sosial melalui pembenahan kurikulum berdasarkan pengalaman dua institusi (halaman 139-149).

Memberi Solusi
Apa yang ditulis dalam buku ini mencerminkan kompleksitas permasalahan dalam pekerja sosial. Akan tetapi, para ahli ini tidak hanya meninggalkan persoalan, mereka pun berusaha memberikan solusi guna mengurai pelbagai persoalan pekerja sosial. Seperti aplikasi teknologi partisipatif, pemberdayaan melalui perspektif lokal, dan lain-lain.

Pada akhirnya, buku ini cukup representatif dalam mengulas persoalan-persoalan
mendasar dalam pendidikan dan praktik pekerja sosial di Indonesia dan Malaysia. Sebuah buku yang layak menjadi referensi utama di tengah sedikitnya buku-buku pekerja sosial yang berbicara dalam banyak perspektif dan dimensi dengan kajian yang mendalam.

Minggu, 02 Desember 2012

Mendedah Konflik Etnis di Indonesia

Oleh Benni Setiawan

Resensi Buku, Lampung Post, Minggu, 2 Desember 2012

Judul : Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia
Penulis : Jacques Bertrand
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Cetakan : 2012
Tebal : xi + 384 Halaman

Konflik antar etnis seakan menjadi hal lumrah di negeri ini. Belum selesai mengurai akar konflik di Bima Nusa Tenggara Barat, kini masyarakat kembali dihebohkan dengan konflik etnis di Lampung Selatan. Setidaknya 14 orang meninggal dalam peristiwa beradarah ini.

Mengapa konflik senantiasa menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia? Jaques Bertrand dalam buku Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia ini menyatakan bahwa ada kekeliruan dalam model kebangsaan indonesia.

Baginya, model kebangsaan Indonesia telah melahirkan kategori kelompok-kelompok yang tersingkirkan dan terpinggirkan. Meskipun model tadi didasarkan pada suatu konsep sipil, yakni bahwa kewarganegaraan harus diberikan kepada semua orang yang tinggal dibekas Hindia-Belanda, pengungkapannya dalam perundang-undangan telah menyingkirkan atau meminggirkan kelompok-kelompok tertentu. Suatu proses pembedaan telah memisahkan mereka dari konstruksi negara mengenai “keindonesiaan”.

Pada titik simpang kritis ketiga yang menyertai akhir rezim Orde Baru, sebagian kelompok tersebut adalah para peserta dalam atau korban dari kekerasan etnis. Suku Dayak yang terpinggirkan berperang melawan para pendatang suku Madura di Pulau Kalimantan pada 1996, 1999, dan 2001. Orang-orang Indonesia keturunan Cina menjadi sasaran selama gelombang kerusuhan berskala kecil antara 1996 dan 1998. Mereka juga menjadi korban dalam kerusuhan berdarah Mei 1998 yang secara resmi mengakhiri rezim Orde Baru Presiden Soeharto.

Peminggiran dan penyingkiran telah membedakan suku Dayak dan para keturunan Cina dari orang-orang Indonesia lainnya. Mereka memperlihatkan basis diskriminasi yang antara lain menjelaskan keterlibatan mereka dalam kekerasan etnis selama periode transisi kelembagaan pada akhir 1990-an.

Dua Simpul Konflik
Ada dua simpul masalah umum yang bisa menyebabkan konflik. Prinsip pertama, yang terkait dengan pertanyaan mengenai inklusi dan ekslusi keanggotaan, menyerupai pembedaan antara nasionalisme sipil dan etnis. Kriteria inklusi paling luas cenderung merupakan kriteria yang paling mendukung kestabilan, sementara yang paling mengekang, kerap terkait dengan jenis nasionalisme etnis terburuk, yang cenderung memunculkan kekerasan terhadap mereka yang disingkirkan.

Kekerasan juga bisa terjadi ketika kelompok-kelompok tercakup sebagai individu-individu tetapi mereka tidak diakui sebagai kelompok. Dalam kasus ini, inklusi bersifat luas dan mengikuti kriteria individualis menurut prinsip-prinsip liberal, tetapi tidak ada pengakuan atas kelompok-kelompok tertentu, perbedaan budayanya, dan kepentingan yang muncul dari perbedaan tersebut. Penolakan pengakuan yang berulangkali bisa menyebabkan kekerasan.

Prinsip kedua yang menentukan model kebangsaan terkait dengan ketentuan-ketentuan dan saran inklusi. Meski kriteria keanggotaan bisa saja luas dan beberapa kelompok diakui, inklusi mereka mungkin memberikan bagian yang lebih besar kepada budaya atau preferensi tertentu dari suatu kelompok yang hegemonis.

Dalam hal ini, bahasa resmi, kurikulum pendidikan, simbol nasional, praktik agama, atau representasi formal dalam lembaga-lembaga politik bisa memunculkan debat dan konflik. Perundingan bisa berlangsung melalui jalan damai, jika pemerintah dilengkapi dengan saluran atau wadah yang memadai untuk menyuarakan keluhan dan menciptakan tekanan terhadap kelompok yang dominan. Kelompok bisa membuat klaim dan mengendepankan kepentingan mereka melalui sarana kelembagaan formal seperti representasi dalam legislatif, atau sarana-sarana yang lebih informal seperti kritik terbuka melalui media ataupun protes poliik damai (hal 32).

Model Kebangsaan
Buku Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia ini menjelaskan bagaimana berbagai bentuk dari apa yang Jacques Bertrand sebagai “model kebangsaan” dilembagakan, terutama di bawah Orde Baru tapi juga dalam kurun sejarah sebelumnya pada abad ke-20. Rezim Orde Baru memakai konsep sempit tentang bangsa Indonesia dan melembagakannya melalui cara-cara yang menyokong peminggiran dan penyingkiran kelompok-kelompok tertentu, sehingga telah mengakibatkan gagalnya pengembangan sarana inklusi yang memadai bagi kelompok-kelompok yang melihat diri mereka sendiri sebagai suku-bangsa yang berbeda (seperti orang Timor Timur, Aceh, dan Papua), serta memperdalam ketegangan di antara kelompok-kelompok agama.

Buku karya Guru Besar Madya dalam bidang Ilmu-ilmu Politik, Universitas Toronto, Kanada ini semakin tajam ketika menggunakan teori institusionalis historis yang mampu menguak konflik-konflik pada akhir 1990-an sebagai titik simpang kritis baru dalam evolusi model kebangsaan Indonesia. Konflik tersebut muncul dari cara-cara terdahulu yang digunakan untuk menentukan apakah suatu kelompok termasuk, atau tidak, ke dalam model kebangsaan ini dalam berbagai titik simpang sejarah modern Indonesia.

Dari kajian ini, kita mendapat pengertian bahwa bentuk-bentuk pengeroposan politik dapat mempunyai kekuatan kumulatif yang sangat besar untuk membatasi jangkauan negara. Tindakan represif tidaklah melenyapkan ketidakpuasan, tapi membuat ketidakpuasan itu harus diungkapkan melalui saluran yang berbeda-beda atau dibungkam. Yang lebih penting lagi, kekesalan lama tumbuh di bawah stuktur lembaga Orde Baru dan mendefinisikan ulang konflik menurut berbagai cara.

Minggu, 25 November 2012

Pemilu dalam Optik Politik Hukum



Oleh Benni Setiawan

Resensi Buku, Seputar Indonesia, Minggu, 25 November 2012

Sejarah pemilihan umum (pemilu) di Indonesia penuh dengan catatan perubahan Undang-Undangan (UU). Sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga saat ini setidaknya sudah terselenggara sepuluh kali pemilu legislatif. Walaupun baru sepuluh kali menyelenggarakan pemilu, Indonesia, telah melahirkan sebelas UU Pemilu. Hal ini disebabkan, menyongsong pemilu legislatif tahun 2014 sudah lahir satu UU Pemilu sendiri. Hal tersebut masih ditambah dengan dua UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang saat pelenggaraan tahun 2004 dan 2009 diatur dengan UU sendiri.
Maka tidak aneh jik Moh. Mahfud MD (Pakar Hukum Tata Negara dan Ketua Mahkamah Konstitusi) menyatakan bahwa sejarah pemilu di Indonesia adalah sejarah politik hukum tentang pemilu. Pencarian politik hukum yang mengesankan bahwa UU Pemilu di Indonesia selalu lahir sebagai “proses instrumental” atau percobaan yang tak selesai-selesai. Hal ini setidaknya disebabkan oleh tiga hal.

Pertama, karena ada kesadaran bahwa pemilu yang diselenggarakan sebelumnya mengandung kelemahan yang harus diperbaiki untuk menyongsong pemilu berikutnya. Kedua, karena terjadi perubahan maupun mekanisme pemilu yang dilatarbelakangi oleh motif politik tertentu oleh sebagian besar partai politik yang menguasai kursi di DPR. Karena terjadi perubahan situasi, misalnya, demografi kependudukan dan perkembangan daerah, yang harus diakomodasi di dalam UU Pemilu.

Kedaulatan Rakyat
Dalam kerangka dasar itulah, Janedjri M Gaffar dalam buku Politik Hukum Pemilu ini mengulas pentingnya prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilu sebagai manifestasi dari UUD 1945. Bagi Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) ini prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip yang sangat mendasar dan dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada keseluruhan undang-undang di bidang politik. Hal demikian dinyatakan pula dalam Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Kemudian, terkait dengan peranan partai politik dan pemilih dalam sistem pemilihan, putusan MK tersebut menyatakan, peran rekruitmen partai politik tidak boleh melanggar prinsip kedaulatan rakyat.

Prinsip tersebut diwujudkan dalam bentuk penghargaan dan penilaian suara pemilih yang tidak boleh didistorsi oleh kekuasaan partai politik untuk mengubah pilihan rakyat menjadi pilihan pengurus partai politik. Peran penting partai politik dalam proses rekruitmen adalah menyeleksi dan memilih calon-calon yang cakap untuk kepentingan rakyat.

Ketentuan lain dalam UUD 1945 yang harus dijadikan acuan politik hukum pemilu adalah arah penyederhanaan partai politik. Walaupun secara tegas tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa sistem kepartaian yang dianut adalah sistem multipartai sederhana, namun hal itu dapat dilihat dari latar belakang pembahasan Perubahan UUD 1945 yang melahirkan ketentuan Pasal 6A ayat (2).

Pasal tersebut menentukan bahwa pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Frasa “gabungan partai politik” lahir dari maksud perumus Perubahan UUD 1945 untuk mengarahkan pada sistem multipartai sederhana (halaman 29-20). Hal ini diperlukan terutama demi stabilitas penyelenggarakan negara dan kelancaran pengambilan keputusan serta untuk mencegah kebuntuan akibat politik transaksional.

PT dan ET
Terkait dengan pemilu, penyederhanaan dilakukan melalui pemberlakukan parliamentary threshold (PT) atau electoral threshold (ET), atau keduanya. Sebagai sistem yang didesain sebagai saringan, sistem ini memang memiliki kelemahan, yaitu kemungkinan hilangnya suara atau aspirasi pemilih yang memberikan suaranya kepada partai yang tidak lolos PT atau ET. Namun, hal ini adalah konsekuensi dari pilihan sistem dan hanya akan terjadi pada saat awal pemberlakuan PT atau ET. Apalagi jika PT atau ET dibarengi dengan pengetatan syarat pembentukan partai baru secara proporsional dengan PT dan ET itu sendiri.

Konsolidasi dan penyempurnaan lain yang diperlukan dalam pemilu mendatang adalah masalah pelanggaran pemilu. Hal ini amat menentukan terwujud tidaknya asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil) dalam pemilu. Selama ini yang dianggap sebagai pelanggaran pemilu masih cenderung bersifat formal sehingga tidak dapat menjangkau tindakan-tindakan yang melanggar etika dan fatsoen politik. Selain itu mekanisme dan kelembagaan yang menangani pelanggaran pemilu juga belum mencukupi sehingga hanya sedikit pelanggaran yang dapat ditindak baik karena alasan pembuktian maupun rentang waktu yang diberikan.

Jika melihat perkara-perkara perselisihan hasil pemilu yang berujung di MK, penanganan pelanggaran ini menjadi sangat penting sebagai bagian dari konsolidasi sistem pemilu. Banyak pelanggaran pemilu sebelum masuk ke MK, terlihat tidak diproses secara hukum dan tidak mendapatkan sanksi. Akibatnya pelanggaran tersebut dianggap sebagai kewajaran dan pada akhirnya memengaruhi hasil pemilu. Padahal, hasil yang lahir dari proses yang penuh pelanggaran tentu telah menciderai kedaulatan rakyat dan asas pemilu yang jujur dan adil (halaman 42-43).

Buku yang berasal dari kumpulan artikel di pelbagai media massa ini menitik beratkan perhatian pada pemilu pascareformasi tahun 1998. Walaupun demikian, cara pengulasan buku ini akademik-ilmiah. Pasalnya, buku ini ditulis dengan perspektif demokrasi, konstitusi, dan pemilu, serta teori-teori tentang pemilu, baik yang menyangkut hukum pemilu (electoral law) maupun proses pemilu (electoral process).

Pada akhirnya, mengutip catatan Mahfud MD dalam pengantarnya, buku karya pria kelahiran Yogyakarta, 25 Oktober 1963, yang biasa disapa Janed ini, mengantarkan kepada kita memahami secara ilmiah pemilu dan demokrasi dalam optik politik hukum.

Minggu, 04 November 2012

Membincang Sang Mesias

Oleh Benni Setiawan


Pustaka Kedaulatan Rakyat, Minggu, 4 November 2012
Judul : The Mystery of Historical Jesus Sang Mesias Menurut Al-Quran, Alkitab dan Sumber-Sumber Sejarah
Penulis : Louay Fathoohi
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : 2012
Tebal : 851 Halaman


Sosok Yesus Kristus senantiasa menarik untuk dikaji. Pasalnya, Yesus tidak hanya berkenaan dengan sejarah tiga agama samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi). Namun, berhubungan erat dengan proses keimanan.

Dalam Iman Kristen misalnya, Yesus disebut sebagai Tuhan. Hal ini berbeda dalam pandangan Iman Islam. Yesus atau Isa al-Masih adalah sosok seorang Nabi dan Rasul. Dia dianugerahi Kitab Suci (Injil) sebagaimana Muhammad s.a.w, dianugerahi Kitab Suci al-Qur’an. Perbedaan yang cukup mencolok ini menjadi studi Louay Fathoohi dalam buku The Mystery of Historical Jesus.

Lebih lanjut, dalam pandangan Fathoohi Yesus disebut sebagai “Mesias” dan “putra Maria”, tetapi dia tidak disebut “orang Nasrani”. Gelar ini hanya berlaku pada para pengikutnya setelah sebuah peristiwa historis tertentu yang melibatkan Yesus dan sekelompok pengikutnya. Kelompok orang Kristen awal yang ini diberi nama khusus hawariyyun di dalam al-Qur’an.

Deskripsi yang inkonsisten tentang paraclete (sangat terpuji) itu bukan satu-satunya bentuk penyelewengan atas ramalan Yesus tentang kedatangan Nabi Muhammad. Ramalan ini juga diubah menjadi konsep kedatangan kedua Yesus. Perubahan ini untuk menjawab fakta yang tidak menyenangkan bahwa Mesias bukanlah klimaks dari rencana Tuhan, melainkan juga berkenaan dengan kepentingan serius kaum Kristen awal.

Meskipun para pengikut Yesus, tidak seperti orang Yahudi, menerima bahwa Mesias bukanlah figur politis, mereka masih dikecewakan oleh kecilnya pengaruh yang dimilikinya di daerah tempat dia tinggal, apalagi di dunia yang lebih luas. Konsep kedatangan kedua menjawab fakta bahwa selama masa hidupnya Yesus hanya berhasil mendapatkan sejumlah kecil pengikut, karena kebangkitannya yang kedua dengan penuh kemenangan disebut-sebut akan menegakkan kerajaan Allah. Akan tetapi, kenyataanya adalah Yesus mati, Muhammad datang, dan tidak ada kedatangan Yesus kembali. Demikian pula, konsep antikristus, yang dianut pula oleh kaum Muslim, dan konsepsi Islam tentang kedatangan Mesias sama-sama tidak autentik.

Melalui kajian tersebut buku ini tentu mengundang perdebatan. Pasalnya beberapa temuan mampu mendobrak “keimanan” yang telah mapan dan lama diyakini, baik oleh umat Kristiani maupun Muslim. Seperti pandangan Fathoohi bahwa tidak ada kedatangan kedua Yesus sebagai penanda akhir zaman. Sebuah buku ilmiah yang membuka cakrawala berpikir.

Sabtu, 27 Oktober 2012

Membaca Yesus Historis

Oleh Benni Setiawan


Resensi Buku Harian Jogja, Kamis, 25 Oktober 2012

Judul : The Mystery of Historical Jesus
Penulis : Louay Fathoohi
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan : 2012
Tebal : 851 Halaman

Yesus, sebuah nama yang lekat dalam sejarah umat manusia. Namanya akan selalu ada dalam sejarah ingatan bangsa di dunia. Mengingat masyhurnya nama Yesus, maka tidak aneh jika banyak peneliti dan pengkaji menuliskannya dalam sejumlah karya dari pelbagai perspektif. Baik dari sejarah hidupnya, sosio kepridiannya, maupun risalahnya.

Salah satu karya itu adalah buku The Mystery of Historical Jesus ini. Buku ini berusaha dengan baik menyatakan dengan jelas asumsi-asumsi dan untuk membedakan antara ayat-ayat dari kitab suci dan fakta-fakta independen yang dikutip serta interpretasi atas fakta-fakta itu. Louay Fatoohi mendiskusikan secara terperinci bukan hanya argumen-argumennya, melainkan juga bantahan atas argumen-argumen itu. Dengan cara demikian memudahkan pembaca untuk menilai kekuatan argumen-argumen buku ini dan mengambil alur interpretasi yang berbeda atas ayat-ayat dan fakta-fakta yang diuraikan.

Buku ini merupakan kajian yang lengkap atas Yesus menurut al-Qur’an dalam pengertian bahwa setiap ayat yang membicarakan tentang dia secara langsung maupun tidak telah dianalisis. Hal yang sama berlaku bagi ayat-ayat yang berbicara tentang ibunya dan dua figur relevan lainnya, termasuk Zakaria dan putranya Yahya (Yohanes Pembaptis). Seperti dalam QS al-Maidah 5:75, al-Hadid, 57:27, dan Ali-Imran, 3: 52.

Dengan asumsi dasar bahwa al-Qur’an merupakan Firman Allah, buku ini berupaya memperhatikan konsistensi kisah al-Qur’an tentang Yesus dan keselarasannya dengan fakta-fakta sejarah. Buku ini juga membandingkan kisah al-Qur’an yang konsisten tentang kehidupan Yesus dengan masalah-masalah yang dimiliki oleh kisah yang sama di dalam sumber-sumber Kristiani.

Yesus Sejarah
Buku ini pun mengisi kekosongan literatur tentang Yesus sejarah dengan mempertimbangkan secara bersamaa kisah al-Qur’an, Injil, dan sumber-sumber historis tentang kehidupan Yesus. Buku ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa, berbeda dari kisah Perjanjian Baru, pernyataan al-Qur’an tentang Yesus bersifat konsisten dan bisa dibenturkan dengan apa yang kita ketahui dari sejarah. Dengan kata lain, buku ini berupaya untuk mengetahui Yesus historis dengan mempelajari al-Qur’an sekaligus sejarah.

Yesus tidak pernah mengklaim bersifat ketuhanan. Dia adalah Nabi yang Muslim---meskipun yang terhormat secara khusus—sebagaimana Adam, Ibrahim, Musa, dan banyak utusan Allah lainnya. Dia adalah hamba Allah yang taat, yang menekankan kehambaannya pada Tuhan. Ungkapan perifrastik “Anak Allah” yang sering digunakannya dimaksudkan untuk menepis upaya-upaya menuhankannya di masa depan. Tindakan berjaga-jaga ini ternyata tidak menghentikan orang-orang dari menuhankannya.

Kemunculan Yesus bukanlah sebuah peristiwa unik dalam sejarah utusan-utusan Allah kepada manusia ataupun semacam titik klimaks. Kehadiran Yesus adalah sebuah peristiwa monumental, tapi demikian pula kedatangan setiap nabi lain.

Tuhan mewahyukan Yesus sebuah kitab bernama “Injil”, sebagaimana Dia mewahyukan Taurat kepada Musa. Nama kitab itu, yang berarti kabar baik, diturunkan dari kenyataan bahwa kitab itu memuat kabar baik tentang kedatangan Nabi terakhir, Muhammad. Sosok parakletos (paraclete) misterius yang disebutkan Yesus di dalam naskah-naskah Yohanes menunjuk kepada Muhammad. Istilah ini merupakan penyimpangan kecil dari kata periklytos dalam bahasa Yunani. Yang terakhir ini berarti “sangat terpuji”, yang merupakan makna yang sama dengan “Muhammad” (halaman 781-782).

Kunci Sukses itu Bernama Pikiran

Oleh Benni Setiawan



Resensi Buku, Solo Pos. Minggu, 21 Oktober 2012

Judul : The Master Key System
Penulis : Charles F. Haanel
Penerbit : AW Publishing, Jakarta
Cetakan :April 2012
Tebal : xxii + 327 Halaman
Harga : Rp. 80.000,-

Buku The Master Key System ini sungguh istimewa. Walaupun ditulis seabad silam, namun penyajian, gaya bahasa, dan pembahasannya masih aktual hingga kini. Sebuah warisan peradaban klasik yang masih dapat kita nikmati hingga saat ini.

Karya Charles F. Haanel ini membahas mengenai sukses dan cara mencapainya. Pengertian sukses bagi Haanel adalah segala sesuatu yang Anda inginkan untuk diri Anda sendiri dan hidup Anda. Itu bisa berarti menurunkan berat badan beberapa kilo atau merintis perusahaan bernilai multijuta dolar. Definisi sukses memang bersifat personal, tetapi The Masker Key System ini menunjukkan kepada Anda jalan mencapai tujuan dengan cara ilmiah.

Satu hal yang utama dan menjadi kekuatan inti dari buku ini adalah pembelajaran tentang kekuatan pikiran. Sebuah materi yang puluhan tahun kemudian menjadi buah pembicaraan di berbagai belahan dunia, di antaranya dengan munculnya buku The Secret, yang penulisnya sendiri—Rhonda Byrne—mengaku juga terinspirasi oleh karya Haanel ini.
Kekuatan pikiran yang mendasari tindakan itu sebenarnya telah menjadi hukum Tuhan yang universal. Yakni, apa yang dipikirkan dengan sejelas-jelasnya, akan jadi kenyataan jika dilandasi dengan perjuangan mati-mati.

Pikiran bersifat kreatif. Kondisi, lingkungan, dan setiap pengalaman di dalam kehidupan adalah akibat dari sikap mental kita yang mendarah daging dan menguasai. Perilaku pikiran bergantung pada apa yang kita pikirkan. Karena itu, rahasia dari semua kekuatan, keberhasilan, dan kekayaan bergantung pada cara berpikir (halaman 3).

Tiga model
Setidaknya Haanel membagai tiga model pikiran. Pertama, pikiran objektif yang menghubungkan kita dengan dunia luar. Otak sebagai organ pikiran dan sistem saraf serebrospinal memampukan kita untuk berkomunikasi secara sadar dengan setiap bagian tubuh. Sistem saraf inilah yang merespons setiap sinar, panas, bebauan, suara, dan cita rasa.

Apabila pikiran kita berfungsi dengan benar, apabila pikiran memahami kebenaran, apabila pikiran yang dikirimkan ke tubuh melalui sistem saraf serebrospinal itu bersifat kontruktif, maka sensasi yang dimunculkan pun menyenangkan dan harmonis.
Kedua, pikiran bawah sadar yang menghubungkan kita dengan dunia dalam diri. Saraf di perut bagian atas (pleksus solar) merupakan organ pikiran ini. saraf juga memiliki sistem yang mengendalikan sensasi subjektif, seperti kegembiraan, ketakutan, cinta, emosi, pernapasan, imajinasi, dan berbagai fenomena bawah sadar lainnya.

Melalui pikiran bawah sadar inilah kita terhubung dengan pikiran universal, dan kita terhubung juga dengan kekuatan semesta yang bersifat konstruktif dan tak terbatas.
Ketiga, pikiran universal adalah energi yang statis, energi yang statis, energi potensial. Demikianlah adanya. Pikiran ini bisa terwujud hanya melalui individu, dan individu bisa terwujud hanya melalui pikiran universal. Keduanya adalah satu.
Kemampuan setiap individu untuk berpikir adalah kemampuannya untuk bertindak sesuai dengan semesta dan untuk mewujudkannya. Manusia memiliki kesadaran yang berdasarkan atas kemampuannya berpikir.

Apa yang diungkapkan oleh Haanel di atas selaras dengan ungkapan Aristoteles. Filsuf besar Yunani tersebut menyebut energi pikiran adalah esensi dari kehidupan.
Kelebihan kunci sukses ala Haanel adalah terletak pada kepekaannya terhadap nilai-nilai sosial. Ia menyebut, sukses terbesar akan datang bila Anda dimampukan untuk menolong orang lain (halaman 296). Sebuah teologi welas asih yang tak akan pernah lekang zaman.

Pada akhirnya, mengutip petuah pria yang mengawali kariernya sebagai seorang office boy ini, “banyak keberhasilan bisa diraih bila waktu dan pikiran itu diarahkan secara baik dengan objek tertentu yang jelas untuk melakukan ini. Anda perlu memusatkan kekuatan mental Anda pada suatu pikiran tertentu dan mempertahankan pikiran itu sampai semua pikiran lainnya tersingkir”. Selamat membaca dan mengarungi samudera luas kehidupan.

Kiat Sukses ala Hideyoshi

Oleh Benni Setiawan


Resensi Harian Pelita, Sabtu, 20 Oktober 2012

Judul : Strategi Hideyoshi, Another Story of the Swordless Samurai
Penulis : Tim Clark dan Mark Cunningham
Penerbit: Zahir Books, Jakarta
Terbit : Agustus 2011
Tebal : 278 Halaman
ISBN : 978-979-19337-3-5



Toyotomi Hideyoshi bukanlah tokoh rekaan. Ia tergolong salah satu orang yang paling luar biasa di dunia. Ia lahir tahun 1536 atau 1537 di desa pertanian Nakamura, sekarang pinggiran kota Nagoya. Di sanalah Toyota Motor Corporation bermarkas. Tidak banyak yang diketahui tentang kehidupan Hideyoshi sebelum ia bekerja untuk Oda Nobunaga di usia delapan belas tahun.
Tetapi sejarah yang disajikan dalam buku Strategi Hideyoshi, Another Story of the Swordless Samurai ini mewakili pandangan umum mengenai masa mudanya. Satu hal yang pasti, ia terlahir sebagai petani yang tidak dikenal.
Karir Hideyoshi melesat sejak ia bergabung dengan klan Oda dan berbakti sepenuh hati kepada cita-cita Nobunaga untuk mengakhiri peperangan antar-daerah dan menyatukan Jepang kembali “di bawah satu pedang”.
Hideyoshi menggantikan Nobunaga yang wafat tahun 1582. Pada tahun 1590 Hideyoshi berhasil mengendalikan sebagian besar wilayah Jepang.
Meskipun kurang berkibar dibandingkan Nobunaga atau Ieyasu, Hideyoshi adalah orang yang paling mengilhami warga Jepang untuk yakin dengan kemampuan mereka sendiri. Bagaimana Hideyoshi mampu mengubah kultul bangsa Jepang?
Kesuksesan Hideyoshi ini ditopang oleh kemauannya yang keras. Niat dan usaha yang sungguh-sungguh inilah yang mampu mengubah keadaan seseorang. Hideyoshi telah membuktikan itu. Ia yang sebelumnya hanya seorang petani miskin, tubuhnya kecil, dan bakat bela dirinya yang minim dengan kemauan keras mampu menjadi pemimpin Jepang yang legendaris.
Selain itu Hideyoshi memegang prinsip bahwa kerjasama melahirkan keberhasilan. Tanpa hal yang demikian kepemimpinan akan rapuh dan tidak memiliki keberpihakan.
Lebih lanjut, Hideyoshi pun mengajarkan petuah sederhana penuh makna. Yaitu, usaha yang sedang-sedang saja membuahkan hasil yang sedang-sedang saja. Tapi usaha yang luar biasa membuahkan hasil yang luar biasa pula! Sebuah prinsip yang mampu mengubah keadaan menjadi luar biasa.

Zaman perang antar-klan
Kisah Hideyoshi benar-benar memotret esensi Zaman Perang Antar-Klan di Jepang. Suatu masa yang luar biasa dan berlangsung antara akhir tahun 1400-an hingga awal 1600-an. Karena tidak adanya pemerintahan pusat, penguasa-penguasa daerah pada masa itu terpaksa mempertahankan diri dengan mengandalkan sumber daya dan bakat mereka sendiri. Kalau tidak, mereka akan ditumbangkan oleh pemimpin yang lebih kuat, atau pasukan bersenjata yang lebih hebat.
Dalam era yang penuh gejolak inilah istilah gekokujo menjadi terkenal. Kata itu berarti “yang rendah melengserkan yang tinggi dan kuat”. Suatu istilah yang menandai berakhirnya sistem kepemimpinan berdasarkan bakat, yang dulunya berkembang dalam masyarakat feodal Jepang.
Namun, dalam kebanyakan kasus, gekokujo tidak benar-benar “rendahan”. Mereka adalah samurai, pedagang yang berpengaruh, atau para gubernur yang berkemauan keras. Karena itulah kemajuan Hideyoshi yang mencengangkan menjadi cambuk bagi rakyat jelata yang mendambakan perubahan nasib.
Tidak ada era lain yang memberikan gambaran umum Jepang sebaik Zaman Perang Antar-Klan. Pada masa itu, pemimpin pasukan bertempur di sekitar enam puluh daerah. Sementara itu bandit dan ronin berkeliaran ke pelosok-pelosok desa, dan samurai yang tangguh—entah yang baik maupun jahat—meraih ketenaran yang tidak tanggung-tanggung.
Inilah momen yang paling menentukan. Suatu masa yang kental dengan pertumpahan darah dan kericuhan, tapi menjadikan harapan. Meski begitu, Zaman Perang Antar-Klan terbukti lebih berpengaruh dibandingkan masa serupa yang terjadi di Barat. Karena empat abad setelah kematian Hideyoshi citra, dan cita-cita samurai masih tertanam kuat di Jepang.
Sebagai pemimpin besar, Hideyoshi telah mengembalikan kondisi damai, membangun jalan, jembatan, dan fasilitas sosial lainnya, juga menciptakan peraturan tanah yang terpadu, membangun sistem otonomi dengan menyebarkan pemerintahan, mengembangkan sektor budaya dan seni, serta memulihkan kejayaan dan kelayakan keluarga kerajaan yang telah lama terabaikan.
Memang, Hideyoshi tidak memaparkan jalan menuju keberuntungan yang diungkapkan dalam buku ini secara resmi. Akan tetapi, semuanya merupakan saripati dari pernyataan dan keputusan yang diwariskannya. Di samping itu, kehidupan Hideyoshi memang secara alamiah mencerminkan ajaran tersebut. Rasa syukur, sadar akan bakatnya, tujuan yang bisa dicapai, pengerahan usaha yang luar biasa, dan kerja sama yang kuat telah memungkinkan lelaki kecil yang berasal dari rakyat jelata ini mengendalikan sebuah bangsa dan menjadi “petani” yang paling sejahtera. Boleh jadi nilai-nilai inilah yang memungkinkan Jepang, sebagai negara kepulauan yang miskin sumber daya, menjadi negara adidaya kedua dari segi ekonominya.

Bushido
Tetapi, barangkali ada lagi jalan pamungkas di balik keberhasilan Hideyoshi dan Jepang. Yaitu, nilai-nilai yang terdapat dalam peraturan samurai yang bernama Bushido. Bushido secara harfiah berarti jalan ksatria, tepatnya tata cara perilaku samurai, baik dalam profesi maupun kehidupan sehari-harinya.
Adapun delapan kebajikan Bushido adalah kebenaran atau keadilan, keberanian, kemuliaan dan pengampunan, kesopanan, kejujuran dan ketulusan, kehormatan, kesetiaan, karakter dan pengendalian diri.
Sebuah buku apik penuh inspirasi yang dapat membangkitkan semangat kita membangun bangsa Indonesia dengan belajar dari kesuksesan pemimpin Jepang.

Minggu, 14 Oktober 2012

Menulis Sejarah “Ugal-ugalan”



oleh Benni Setiawan

Judul : Naga Bhumi Mataram, Mengungkap Jati Diri
Penulis : El Pramono
Penerbit: Citra Kreasi Indonesia, Jakarta
Cetakan : September, 2012
Tebal : 558 Halaman

Resensi Buku, Seputar Indonesia, Minggu, 14 October 2012

Keren. Itulah kesan pertama saya ketika membaca kalimat demi kalimat dalam buku Naga Bhumi Mataram, Mengungkap Jati Diri ini. Buku ini berbeda dengan karya sejarah lainnya.


Buku ini unik, karena sejarah ditulis secara “ugal-ugalan”. “Ugalugalan” di sini bukan dalam artikel negatif (kurang ajar), namun ditulis secara renyah,mudah dicerna,dan menginspirasi. Renyah karena ditulis dengan bahasa tutur-tulis yang mengalir. Diksinya (pilihan) pun kaya.Jadi siapa yang membacanya akan terhanyut dalam buaian kata yang memikat.

Mudah dicerna,karena alur kronologi kesejarahan diurai dengan pendekatan kritis objektif. Namun, tidak kaku seperti kalau kita membaca buku- buku sejarah.Inspiratif,karena buku ini, sependek pengetahuan saya, keluar dari kebakuan penulisan sejarah, Sehingga apa yang disajikan menjadi penanda atau zaman baru penulis sejarah yang ringan (tidak njlimet). Melalui “penulisan model baru”ini, sejarah periode atau abad kedelapan lebih tergambar dengan baik. Buku ini seperti ingin mengisi sedikitnya referensi—untuk tidak menyebut kekosongan literatur abad kedelapan.

Kisah Arga Triwikrama

Abad kedelapan yang dimaksud dalam buku ini adalah kisah tentang persaingan dua wangsa terbesar di abad itu, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra.Dua wangsa ini saling klaim dan berperang demi sebuah tanah yang kemudian disebut Bhumi Mataram. Dalam catatan sejarah,pendiri Kerajaan Medang atau Mataram Kuno adalah Raka I Mataram Ratu Sanjaya. Sang Wamçakarta (pendiri wangsa), Wangsa Sanjaya (Canggal, 732 Masehi). Banyak sumber mengatakan bahwa Raja itu menguasai kitab suci, seni bela diri, dan juga kekuatan militer.

Dengan kekuatannya,dia telah menaklukkan daerah-daerah tetangga sekitar kerajaannya dan memerintah dengan bijaksana sehingga tanah Yawadwipa diberkati dengan perdamaian dan kemakmuran. Setelah lebih dari dua dasawarsa memerintah, Raka I Mataram Ratu Sanjaya digantikan putranya,Raka I Tejah Purnapana Panangkaran. Pada masa pemerintahan Putra Sanjaya ini,muncul kekuatan lain yakni Wangsa Syailendra,yang tampil menguasai Bhumi Mataram.

Sejak masa pemerintahan Raka I Tejah Purnapana Panangkaran,Bhumi Mataram terbagi dalam dua kekuatan besar, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra.Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa menguasai Bhumi Mataram di bagian utara, sedangkan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha menguasai Bhumi Mataram di bagian selatan. Lebih lanjut, kisah dalam buku ini mengambil latar pada masa akhir dari Kerajaan Mataram Kuno atau Bhumi Mataram, yakni saat persaingan antara kedua wangsa itu mencapai babak akhir. Kisah ini merupakan fiksi yang dibangun berdasarkan informasi yang ada seputar era akhir Kerajaan Mataram Kuno.

Tokoh utamanya adalah seorang pemuda bernama Arga Triwikrama. Pemuda ini tidak diketahui siapa ayah-ibunya.Ia hanya dikatakan tinggal sejak kecil bersama seorang paman. Pejabat Utama Kota Tembelang sekaligus Ketua Perguruan Merak Mas. Pemuda itu beruntung mendapatkan warisan dari seorang tokoh masa silam. Naga Branjangan. Berbekal wasiranitu,ia menelusuri jejak asal-usulnya dan berdiri tegak sebagai Satria Pembela Bhumi Mataram. Perjalanan Arga Triwikrama diulas secara rinci dan mengesankan dalam buku ini. Arga Triwikrama memiliki kegemaran yang tidak lazim bagi anak di era itu, yaitu baca tulis.

Di era itu, anak-anak biasanya berlatih kanuragan. Melalui olah kanuragan, anakanak menjadi pribadi perkara dan kuat. Karena ketidaksukaan pada olah kanuragan,Arga tertinggal jauh dari teman sebayanya. Namun demikian, kebiasaan dan kemampuan baca-tulis telah mengantarkannya pada sebuah keberuntungan lain.

Ketika Arga berada di dalam gua, sebagaimana petunjuk Naga Branjangan, ia mulai memahami bagaimana hidup di dalam gua. Ia cepat menyesuaikan diri. Ia pun mampu memahami dan melatih diri melalui meditasi.Tujuh meditasi utama (Meditasi Cakra Dasar, Cakra Suci, Cakra Ulu Hati, Cakra Jantung, Cakra Tenggorokan, Cakra Kening, dan Cakra Mahkota) ia lalui dengan sempurna.

Polah Elite

Buku karya alumnus STF Driyarkara ini memuat kisah sejarah peradaban agung di Bhumi Mataram.Sebuah kisah dan tingkah pola para pemimpin di masa lalu yang tidak pernah lepas dari kuasa memerintah. Kuasa memerintah pun hanya dimiliki segolongan elite dan dekat dengan raja. Gambaran di atas pun tampaknya tidak hilang sampai sekarang.Kuasa elite selalu menang dan rakyat selalu dikalahkan.

Kekuasaan wajib dipertahankan dengan cara-cara yang tidak halal sekalipun.Menjilat, pencitraan,atau apa pun namanya adalah bagian halal dalam memperoleh kuasa. 

Melacak Sejarah Tuhan



Oleh Benni Setiawan

Resensi Buku Jateng Pos, Minggu Legi, 14 Oktober 2012

Judul : Sejarah Tuhan. Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-agama Manusia
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan : September 2011
Tebal : 673 Halaman

Perbincangan mengenai Tuhan selalu menimbulkan perdebatan. Pasalnya, perbincangan ini menyangkut sesuatu yang hakiki dan diimani secara utuh. Namun, di tangan Karen Amrstrong dalam buku Sejarah Tuhan ini, perbincangan mengenai Tuhan menjadi sesuatu yang mengasyikan dan membuka cakrawala kita tentang “kebenaran keberadaaan Tuhan”.

Buku ini bukanlah tentang sejarah realitas Tuhan yang tak terucapkan, yang berada di luar waktu dan perubahan, melainkan merupakan sejarah persepsi umat manusia tentang Tuhan sejak era Ibrahim hingga hari ini. Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu.

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain. Bahkan, pernyataan “saya beriman kepada Tuhan” tidak mempunyai makna obyektif, tetapi seperti pernyataan lain umumnya, baru akan bermakna jika berada dalam suatu konteks, misalnya ketika dicetuskan oleh komunitas tertentu.

Akibatnya, tidak ada satu gagasan pun yang tidak berubah dalam kandungan kata “Tuhan”. Kata ini justru mencakup keseluruhan spektrum makna, sebagian di antaranya ada yang bertentangan atau bahkan saling meniadakan. Jika gagasan tentang Tuhan tidak memiliki keluwesan semacam ini, niscaya ia tidak akan mampu bertahan untuk menjadi salah satu gagasan besar umat manusia.

Ketika sebuah konsepsi tentang Tuhan tidak lagi mempunyai makna atau relevansi, ia akan diam-diam ditinggalkan dan digantikan oleh sebuah teologi baru. Seorang fundamentalis akan membantah ini, karena fundamentalisme antihistoris; mereka meyakini bahwa Ibrahim, Musa, dan nabi-nabi sesudahnya semua mengalami Tuhan dengan cara yang persis sama seperti pengalaman orang-orang pada masa sekarang.

Namun, jika kita memperhatikan ketiga agama besar, menjadi jelaslah bahwa tidak ada pandangan yang objektif tentang “Tuhan”: setiap generasi harus menciptakan citra Tuhan yang sesuai baginya. Hal yang sama juga terjadi pada ateisme. Pernyataan, “saya tidak percaya kepada Tuhan” mengandung arti yang secara sepintas berbeda pada setiap periode sejarah. Orang-orang yang diberi julukan “ateis” selalu menolak konsepsi tertentu tentang ilah.

Bukan Sejarah Biasa
Lebih lanjut, buku ini bukan sejarah dalam pengertian biasa, sebab gagasan tentang Tuhan tidak tumbuh dari satu titik kemudian berkembang secara linier menuju suatu konsep final. Teori-teori ilmiah mempunyai sistem kerja seperti itu, tetapi ide-ide dalam seni dan agama tidak. Sebagaimana dalam puisi cinta, orang berulang kali menggunakan ungkapan yang sama tentang Tuhan. Bahkan, kita dapat menemukan kemiripan telak dalam gagasan tentang Tuhan di kalangan Yahudi, Kristen, dan Islam. Meskipun orang Yahudi maupun Islam memandang doktrin Trinitas dan Inkarnasi sebagai suatu kekeliruan, mereka juga mempunyai teologi-teologi controversial versi mereka sendiri. Setiap ekspresi yang amat bervariasi tentang tema-tema universal ini memperlihatkan kecerdasan dan kreatifitas imajinasi manusia ketika mencoba mengekspresikan pemahamannya tentang “Tuhan” (hlm. 24).

Sejarah Tuhan adalah kajian lengkap tentang Tuhan yang paling populer sejak publikasi pertamanya pada dekade terakhir abad ke-20. Ditulis oleh Karen Armstrong, komentator masalah agama terkemuka asal Inggis. Buku ini melacak sejarah persepsi dan pengalaman manusia tentang Tuhan sejak zaman Nabi Ibrahim hingga masa kini. Selain memerinci sejarah tiga agama monoteistik; Yahudi, Kristen, dan Islam. Buku ini juga menampilkan tradisi Buddha, Hindu, dan Konfusius. Evolusi keyakinan manusia tentang Tuhan dilacak dari akar-akar kunonya di Timur Tengah hingga sekarang.

Melalui narasi yang gurih, ia mengajak kita menulusuri filsafat klasik dan mistisisme Abad Pertengahan hingga era Reformasi, Pencerahan, dan skeptisisme zaman modern. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Karen Armstrong telah melakukan upaya luar biasa menyuling sejarah intelektual monoteisme ke dalam satu buku yang memikat dan enak dibaca seperti ini.

Selain itu, kelebihan buku ini tersaji dari pembacaan literatur klasik dan modern yang sangat ketat dan kaya. Sehingga apa yang disajikan menjadi bacaan yang luar biasa dalam pencarian makna Tuhan. Sebuah buku yang layak dibaca oleh khalayak umum yang ingin mengenal secara lebih dekat dan rasional mengenai agama dan Tuhan yang selama ini diyakini kebenarannya.

Rabu, 10 Oktober 2012

Belajar itu Menyenangkan



Oleh Benni Setiawan

Judul : Menikmati Belajar secara Kreatif
Penulis : Peng Kheng Sun
Penerbit: Samudra Biru, Yogyakarta
Terbit : 2011
Tebal : viii + 94 Halaman

Resensi Buku, Jateng Pos, Minggu, 8 Oktober 2012

Belajar merupakan kebutuhan—untuk tidak menyebut kewajiban manusia. Dengan belajar manusia akan mengetahui makna. Makna inilah yang akan membawa manusia menjadi manusia seutuhnya dan berkepribadian. Pemahaman terhadap makna inilah yang juga menjadi penanda atau pembeda (furqon) manusia dengan makhluk Tuhan yang lain.
Namun, seringkali proses pembelajaran membosankan. Belajar menjadi proses yang menjemukan dan tidak merangsang keinginan untuk senantiasa meningkatkan kuantitas dan kualitas diri. Inilah masalah serius yang seringkali dihadapi peserta didik baik di rumah maupun di sekolah.

Maka dari itu dibutuhkan media atau metode untuk mengurai persoalan ini. Buku karya Peng Kheng Sun, Menikmati Belajar secara Kreatif ini menyuguhkan serangkaian cara dan metode untuk keluar dari kejemuan belajar menjadi belajar yang menyenangkan.

Belajar dan Bermain
Salah satunya adalah dengan menggabungkan belajar dengan bermain. Bermain adalah sesuatu yang menyenangkan. Jika belajar dapat dipadukan dengan bermain, maka seseorang akan mampu secara spontan menikmati proses kreatif ini.

Namun, bagi Peng Kheng Sun, ada hal yang perlu diperlu diingat adalah penggabungan belajar dan bermain bertujuan utama supaya kegiatan belajar menjadi ringan dan bisa dinikmati, bukan pada bermainnya. Karena itu, bukan berarti belajar bisa dilakukan seenaknya tanpa ada disipilin. Jadi fokusnya harus tetap ke belajarnya yakni menambah kepandaian atau pengetahuan (hal. 10).

Mengenal Diri Sendiri
Selain itu, Peng Kheng Sun juga mendedah adanya proses kreatif belajar dengan cara mengenali diri sendiri. Pengenalan diri sendiri akan membawa pada pilihan atau metode belajar yang pas dan cocok bagi kita. Kekeliruan dalam menganalisis kebutuhan sendiri akan berakibat fatal dalam proses pembelajaran. Maka dari itu, seorang guru di sekolah dituntut untuk mampu mengembangkan berbagai macam metode pembelajaran agar peserta didiknya tidak bosan.

Buku ini ditulis secara sederhana, lugas, praktis, dan kreatif sehingga memungkinkan setiap pembelajar dapat menerapkan cara-cara tersebut dengan mudah. Bahkan pembelajar sendiri pun dapat mengembangkan pola baru atau memodifikasi pola yang sudah ada untuk membuat belajar menjadi lebih gampang dan nikmat.

Buku ini ingin menegaskan bahwa belajar itu harus menyenangkan. Pasalnya, belajar adalah proses mengolah potensi yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada setiap manusia. Proses belajar kreatif dan menyenangkan merupakan esensi belajar sejati.
Pada akhirnya, Peng Kheng Sun melalui buku ini ingin menegaskan bahwa proses belajar harus lahir dari sebuah kesadaran diri dan pengolahan terhadap potensi yang telah ada. Jika hal ini dilakukan, maka pembelajar, meminjam istilah Andreas Harefa, akan menjadi insan merdeka, mandiri, mampu memanusiakan manusia, dan mampu bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Selamat membaca dan mempraktekan.

Minggu, 30 September 2012

Inspirasi dari Seorang "Babu"



Oleh Benni Setiawan

Dimuat di Pustaka, Kedaulatan Rakyat, 30 September 2012

Judul : Botchan, Si Anak Bengal
Penulis : Natsume Soseki
Penerbit: Kansha Books, Jakarta
Cetakan : Juli, 2012
Tebal : 233 Halaman

Pembantu atau babu dalam kosmologi Jawa mempunyai “keagungan” tersendiri. Priyo Widiyanto pernah menulis, sikap dan sifat babu, harus ada dalam setiap diri pendidik (guru/dosen). Babu dalam keluarga merupakan sosok individu yang sangat patuh pada perintah tuannya. Babu adalah manusia yang selalu siap untuk disuruh melayani segala keperluan tuannya. Di sisi lain, seharusnya babu menjadi batur yang berarti mbatbataning catur (mampu diajak berdiskusi).

Apa yang diurai oleh Priyo Widiyanto tersebut sejalan dengan buku Botchan, Si Anak Bengal ini. Alkisah, Botchan terkenal sebagai anak nakal. Dia suka iseng dan mengeksplorasikan segala keinginannya. Dia suka berkelahi, bermain senjata tajam, dan merusak tanaman tetangga.

Melihat tingkah polah Botchan, Ayah Botchan kewalahan dan menganggap ia tidak mempunyai masa depan. Ayah Botchan lebih mencintai Kakak Botchan yang bercita-cita menjadi pengusaha. Ia pun senantiasa mendukung langkah Sang Kakak untuk giat belajar Bahasa Inggris.

Beruntunglah Botchan mempunyai, Kiyo. Kiyo, adalah perempuan setengah baya yang menjadi di keluarga Botchan. Melihat perilaku dan pembedaan terhadap Botchan, Kiyo berusaha menyelami dan memahami anak itu. Dengan segala ketulusan jiwanya, Kiyo, mulai mengajak diskusi dan membesarkan hati Botchan. Kiyo pun melayani dengan sepenuh hati segala kebutuhan Botchan. Botchan pun sering diberi uang saku oleh Kiyo.
Kiyo selalu berpesan kepada Botchan, “kamu akan sukses kelak”. Sikap membesarkan hati ini menjadi bumbu dan penyemangat bagi diri Botchan. Pesan-pesan Kiyo pun selalu diingat oleh Botchan.

Oleh karena kasih sayang yang melimpah dan sikap melayani yang ditunjukkan oleh Kiyo, Botchan tumbuh menjadi pribadi yang apa adanya (lugas) dan jujur. Ketika ia ditugaskan menjadi seorang guru pun, ia tidak goyah oleh keadaan di sekelilingnya yang penuh kebohongan. Ia tetap tampil seperti Botchan yang dulu. Lugas, tegas, dan jujur.

Botchan pada usia 23 tahun lebih empat bulan diminta untuk menjadi guru di daerah terpencil (Shikoku) dengan gaji 40 yen per bulan. Berbekal warisan ilmu fisika saat sekolah menengah umum (SMU), Botchan pun akhirnya menjadi guru Matematika SMU di Shikoku.

Menjadi guru yang jujur dan di daerah terpencil tidaklah mudah. Ia harus berhadapan dengan “sistem” kepura-puraan yang telah mendarah daging di sana. Botchan tumbuh menjadi pribadi seperti itu tak lepas dari buaian Kiyo. Seorang pembantu, yang menerapkan prinsip batur, mbatbataning catur.

Sebuah kisah peyalanan seorang Babu Kiyo yang menginspirasi bagi terbentuknya karakter Botchan Si Anak Bengal. Buku yang layak dibaca oleh seorang guru, orangtua, dan siapa pun yang ingin menjadi peyalan yang inspiratif.

Teologi Welas Asih



Oleh Benni Setiawan

Dimuat di Resensi, Majalah Matan, edisi September 2012

Judul : Compassion, 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan : 2012
Tebal : 247 Halaman

Welas asih, saling mengasihi, berbelas kasih, telah menjadi budaya bangsa Indonesia sejak dulu. Kearifan lokal itu telah menyatu dalam gerak langkah bangsa. Walaupun kini gaungan agak meredup, karena serbuan modernitas dan individualisme, namun denyutnya masih terasa hangat di pelosok-pelosok negeri.
Dalam kajian ilmiah, Karen Armstrong mengetengahkan teologi welas asih itu dalam buku Compassion, 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih ini. Armstrong yang selama ini dikenal dengan karya-karya monumental dan penuh gugatan tentang keberagaman dan “Tuhan” dengan penuh teori dengan analisis mendalam, melalui buku ini menghadirkan cara pandang yang lebih pragtis tanpa harus keluar dari kajian terdahulu.
Kehadiran buku ini bermula saat Armstrong mendapat penghargaan dari Technology, Entertainment, Design (TED). Lembaga terkemuka itu berkomitmen mewujudkan harapan sang penerima penghargaan. Adapun harapan Armstrong ketika itu adalah menyebarkan Charter for Compassion (Piagam Belas Kasih). Tujuan dari misi ini adalah mengembalikan belas kasih (welas asih) sebagai inti kehidupan religius dan moral.
Prinsip belas kasih yang bersemayam di dalam jantung seluruh agama, etika, tradisi spiritual, mengimbau kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan.
Belas kasi mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah menghapuskan penderitaan sesame manusia, melengserkan diri kita sendiri dari pusat dunia kita dan meletakkan orang lain di sana, serta menghormati kesucian setiap manusia lain, memperlakukan setiap orang, tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan, dan kehormatan mutlak.
Dalam kehidupan publik maupun pribadi pun penting untuk secara konsisten dan empatik mencegah apa-apa yang mengakibatkan penderitaan. Bertindak atau berbicara secara kasar karena kebencian, chauvinism atau kepentingan sendiri, untuk memiskinkan, mengeksploitasi atau mencabut hak-hak dasar siapapun, dan menghasut kebencian dengan merendahkan orang lain—musuh kita sekalipun—merupakan penyangkalan kemanusiaan kita bersama.
Buku ini mengajak semua manusia untuk mengembalikann belas kasih ke pusat moralitas dan agama; kembali kepada prinsip kuno bahwa setiap interpretasi atas kitab suci yang menyuburkan kekerasan, kebencian, atau kebejatan adalah tidak sah; memastikan bahwa kaum muda diberi informasi akurat dan penuh rasa hormat mengenai tradisi, agama, dan budaya lain; mendukung apresiasi positif atas keragaman budaya dan agama; menumbuhkan empati yang cerdas atas penderitaan seluruh manusia—bahkan mereka yang dianggap sebagai musuh.
Kita perlu dengan segera menjadikan belas kasih sebuah kekuatan yang jelas, bercahaya, dan dinamis di dunia kita yang terpolarisasi. Berakar dalam tekad yang berprinsip mengatasi keegoisan, belas kasih dapat menembus batas-batas politik, dogmatis, ideologi, dan agama. Lahir dari saling kebergantungan kita yang mendalam, kasih sayang adalah penting bagi hubungan manusia dan bagi kemanusiaan yang paripurna. Ini adalah jalan menuju pencerahan, dan sangat diperlukan untuk penciptaan ekonomi yang adil dan komunitas global yang damai.
Armstrong menyebut belas kasih sebagai Kaidah Emas, yang meminta kita untuk melihat ke dalam hati kita sendiri, menemukan apa yang membuat kita tersakiti, dan kemudian menolak, dalam keadaan apapun, untuk menimbulkan rasa sakit itu pada orang lain (hal. 15).
Sebuah proses kesadaran dan belajar yang semestinya menjadi kebiasaan hidup seumur hidup. Dengan proses tersebut manusia akan menemukan kemanusiaannya sebagai makhluk sosial dan beradab.
Lebih lanjut, penulis buku bestseller, Sejarah Tuhan itu menyatakan kita manusia, dibandingkan dengan spesies-spesies lainnya, bergantung secara lebih radikal pada cinta. Otak kita telah berevolusi untuk peduli dan membutuhkan kepedulian—sedemikian rupa sehingga mereka menjadi lebih jika kepedulian ini tak ada (hal. 25).
Buku ini seakan menggugah kesadaran alam bawah sadar kita tentang pentingnya hidup welas asih. Pasalnya welas asih merupakan ujian spiritualitas sejati. Siapa yang mampu menempuhnya dengan baik, maka ia akan menjadi pribadi istimewa yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri melainkan bagi kehidupan di jagat raya ini. Sebuah karya monumental yang patut menjadi rujukan.

Minggu, 23 September 2012

Kisah Kasih si Anak (N)akal



Oleh Benni Setiawan
Resensi Seputar Indonesia, Minggu, 02 September 2012


Anak nakal. Itulah cap yang senantiasa mengiringi anak berperilaku atraktif.Anak seperti ini senantiasa mendapatkan perlakuan minor dari orang tua dan masyarakat. Sering kali mereka juga dianggap sampah masyarakat dan tidak memiliki masa depan.


Masyarakat belum mampu menerima “potret” berbeda seperti ini.Padahal anak-anak yang kemudian dicap nakal sering kali mempunyai potensi tersembunyi yang luar biasa. Hal inilah yang dialami oleh Botchan. Botchan sejak kecil selalu membuat ulah. Hal-hal aneh selalu menjadi rutinitas hariannya.

Seperti berkelahi, bermain senjata tajam, dan merusak tanaman tetangga. Saking nakalnya Botchan,sang ayah sampai kewalahan menghadapi anak ini.Sang ayah pun senantiasa berujar bahwa ia tidak memiliki masa depan. Sang ayah pun mengacuhkan Botchan dan lebih memedulikan kakak Botchan. Kondisi seperti ini membuat Botchan semakin mengakukan dirinya.

Kasih Sayang

Untunglah Botchan memiliki Kiyo, perempuan tua yang bertugas menjadi pembantu di keluarnya. Kiyo hanya seorang perempuan tua tidak tamat sekolah dasar (SD).Namun,Kiyo mampu membaca keunggulan Botchan dan mengolahnya menjadi potensi yang mumpuni. Berkat Kiyo, yang senantiasa memberikan kasih sayang dan membesarkan hati,Botchan pun tumbuh menjadi anak hebat.

Kiyo pun selalu memperkenalkan cita-cita sekaligus imajinasi yang merangsang Botchan tumbuh dengan menatap masa depan cerah. Kiyo selalu berpesan kepada Botchan,kamu akan sukses kelak. Kiyo pun ingin selalu di dekat Botchan. Dengan suara lirih, ia berpesan agar nanti sekiranya Botchan sudah punya rumah memperkenankan Kiyo untuk tinggal bersamanya.Rumah impian Botchan pun tumbuh bersama harapan Kiyo. Botchan pun akhirnya lulus sekolah fisika.

Setelah lulus pada usia 23 tahun lebih empat bulan Botchan diminta untuk menjadi guru di daerah terpencil (Shikoku) dengan gaji 40 yen per bulan. Botchan pun akhirnya berangkat ke Shikoku setelah berpamitan dengan Kiyo. Perempuan tua itu pun melepas Botchan dengan mata yang berkaca-kaca. Berbekal warisan yang tidak banyak, Botchan pun akhirnya menjadi guru Matematika SMU di Shikoku.

Botchan tetaplah Botchan yang teguh pendirian dan apa adanya (tidak suka basa-basi). Botchan pun tampil beda.Ia tidak mau jadi penjilat seperti teman gurunya yang lain. Ia pun selalu berperilaku jujur dalam mengemban amanat menjadi seorang guru. Saat ia menjadi guru piket, banyak kejadian yang memuat ia marah.Pasalnya, aksi iseng siswanya. Saat ini Botchan ingin tidur di ruang penjaga sekolah.

Dalam keadaan gelap, tiba-tiba di dalam kelambu telah banyak belalang yang sengaja dimasukkan siswanya. Botchan pun memanggil dua orang siswa.Tanpa basa-basi ia menanyakan mengapa mereka iseng kepadanya.Namun,sang siswa tetap tenang dan tidak menampakkan wajah bersalah. Inilah yang membuat Botchan marah.Ia terkenang saat masih kecil. Ketika itu ia memang nakal.Namun, ia selalu jujur dan mengakui segala perbuatan yang telah ia lakukan. Botchan berprinsip,berani berbuat, maka harus berani bertanggung jawab.

Usia SD

Keberanian Botchan melawan sistem pun ia tunjukkan ketika guru senior memintanya untuk tidak mengajar karena cekung matanya menunjukkan kelelahan.Namun, dengan tegas ia menolak seruan itu. Botchan dengan lantang menjawab, “jika tidak mengajar cuma karena kurang tidur, saya akan mengembalikan sebagian gaji ke sekolah”. Sebuah sikap keatria dan penuh tanggung jawab yang Botchan warisi dari Kiyo.

Novel ini sungguh istimewa. Kisah kasih sayang antara Kiyo dan Botchan membelalakkan mata betapa kunci sukses seseorang bermula saat ia masih kanak-kanak. Saat umur anak usia sekolah dasar. Dengan kasih sayang,imajinasi,dan kepercayaan penuh anak akan tumbuh menjadi pribadi dewasa.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Romo Mangunwijaya. Romo Mangun, sebagaimana diungkapkan Mudji Sutrisno dalam pengantar buku Y Dedy Pradipto, Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional, Kontestasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar (2007) menyatakan memperbaiki edukasi di Indonesia harus dimulai dari sekolah dasar.Sebab,yang harus dibenahi adalah persoalan mendasar, yakni alur jalan berpikir atau logikanya.

Novel ini pun mengajarkan kepada tenaga pendidik di Indonesia agar jujur dan menjalankan amanatnya dengan baik.Sebagaimana kisah Botchan. Iarela dipotong gaji jika tidak mengajar walaupun hanya satu hari. Novel yang menduduki posisi penting dalam sastra Jepang ini mengajarkan kepada siapa saja untuk senantiasa menebarkan kasih sayang, optimisme, dan imajinasi.

Dengan tiga hal itu, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berbudaya dan berdaya saing. Mereka akan hidup dengan penuh tanggung jawab dan berprinsip.

Simbah Penyala Obor Kehidupan



Judul : Saga no Gabai Baachan (Nenek Hebat dari Saga)
Penulis : Yoshichi Shimada
Penerbit : Kansha Books, Jakarta
Terbit : 2011
Tebal : 245 Halaman

Oleh Benni Setiawan

Resensi Buku, Jateng Pos, 23 September 2012

Nenek atau Simbah dalam bahasa Jawa tidak hanya seorang perempuan tua. Di tengah kerentaannya ia memiliki segudang pengalaman hidup. Dia pun selalu menuturkan dan menjadi teladan bagi anak dan cucu-cucunya.
Simbah dalam budaya Jawa, misalnya, merupakan sosok individu yang sangat mencintai cucunya. Cinta yang tanpa batas ini menyebabkan cucu dapat begitu dekat, akrab, dan manja kepada Simbah (T. Priyo Widianto; 2001).

Relasi cinta
Relasi cinta tanpa batas inilah yang menjadikan seorang cucu bisa mandiri dan belajar kearifan hidup dari seorang Simbah. Inilah yang kemudian diceritakan secara apik oleh Yoshichi Shimada dalam Saga no Gabai Baachan.
Novel yang lebih akrab disebut Nenek Hebat dari Saga ini bertutur tentang kehidupan seorang anak bersama seorang Simbah bernama Osano. Osano lahir pada tahun ke-33 era Meiji (tahun 1900). Di tahun 17 era Showa (1942), pada masa perang, suaminya meninggal. Kemudian sejak saat it dia hidup dalam masa pascaperang yang berat sebagai tukang bersih-bersih di Universitas Saga dan SD/SMP yang berafiliasai dengannya. Nenek bertahan hidup sambil membesarkan lima anak perempuan dan dua anak laki-laki.
Akihiro Tokunaga, nama asli Yoshichi Shimada, mulai hidup bersama Nenek Osano sejak tahun 33 era Showa (1958), ketik itu Nenek sudah berusia 58 tahun, namun masih saja tetap bekeja sebagai tukang bersih-bersih. Sudah pasti hidupnya jauh dari kemewahan, tapi selalu saja entah bagaimana dia tampak sangat bersemangat dan ceria.
Itulah kelebihan seorang Nenek. Dia akan tetap tersenyum dan memberi semangat kehidupan bagi cucu-cucunya walaupun kondisinya tidak seindah yang ia impikan.
Karena cinta kasih yang tak terbatas inilah, Shimada mampu bertahan hidup dengan baik. Dia mampu menjalani hidup pasca-perang yang menyesakkan dengan senyuman riang seorang nenek.

Kearifan hidup
Dia pun belajar kearifan hidup semasa sekolah dasar yang sekarang baru dia sadari. Kearifan hidup itu bermula dari hal yang sangat sederhana. Yaitu ketika Nenek Osano meneriakkan instruksi dalam menanak nasi. Berkat instruksi yang membangun Akhiro mampu menunaikan tugas sederhana ini dengan segenap jiwa dan penghayatannya.
Demikian pula ketika Nenek Osano selalu mengikatkan sebatang magnet dengan seutas tali di pinggalnya. Magnet ini sangat berguna untuk menarik paku dan logam yang sepanjang jalan. Paku dan logam tersebut selain dapat dijual juga bermanfaat guna membersihkan jalan dari ranjau darat.
Lebih lanjut, kearifan seorang Nenek Osano juga terlihat ketika ia meletakkan sebuah galah di sungai depan rumahnya. Sungai bagi keluarga Osano bagai supermarket tanpa bayar. Ia dapat memperoleh barang yang dibutuhkan dari berkah aliran sungai. Berkat galah tersebut ranting atau batang pohon tersangkut yang kemudian dapat dipergunakan untuk kayu bakar.
Galah tersebut juga mampu menahan buah-buahan dan sayuran yang ikut terbawa arus sungai. Bersamaan dengan itu, Nenek Osano mengajarkan bahwa tidak semua barang busuk tidak berguna sama sekali. Sayur yang bagi sebagian orang dianggap cacat tetaplah sebuah sayuran ketika dimasak. Rasanya pun tetap asin ketika dibumbui garam.
Melalui cara sederhana ini Nenek Osano, mengajarkan kepada cucu-cucunya arti keteraturan hidup. Lebih dari itu, Nenek Osano mengajarkan arti penting menjaga keseimbangan alam. Membersihkan sungai dengan cara sederhana dengan mengambil manfaatnya dapat mencegah terjadinya banjir dan kekeruhan air sungai.
Pekerjaan ini mungkin bagi sebagian orang terkesan rendahan. Namun, inilah karya nyata manusia yang membahagiakan. Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagian itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita. Bukan orang lain.
Apa yang dilakukan oleh Nenek Osano mungkin tidak diketahui oleh di hilir. Inilah yang kemudian disebut sebuah kebaikan. Kebaikan sejati adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan.
Ketulusan seorang nenek mendidik cucu-cucunya di usia muda akan terus terkenang dalam hidup. Hal inilah yang diakui oleh Yoshichi Shimada. Melalui buku ini, ia ingin mewartakan bahwa ketangguhan seorang nenek telah mengantarkannya menuju sebuah kemandirian di kemudian hari.
Seorang nenek dari Saga telah membuktikan hal tersebut melalui penuturan indah oleh sang cucu melalui buku ini. Buku ini tidak hanya bercerita tentang relasi antara seorang nenek dan cucunya. Namun, mengurai cinta kasih tanpa batas seorang nenek yang mampu menyalakan obor kehidupan dalam setiap langkah. Selamat membaca.


Rabu, 29 Agustus 2012

Menjadi Genius ala Mr. Haanel



Resensi Buku, Kedaulatan Rakyat, Minggu, 26 Agustus 2012

Judul : The Master Key System
Penulis : Charles F. Haanel
Penerbit : AW Publishing, Jakarta
Cetakan :April 2012
Tebal : xxii + 327 Halaman

Sebagian besar kesulitan kita disebabkan oleh ide-ide yang membingungkan dan ketidaktahuan akan minat sejati kita. Tugas besar kita adalah menemukan hukum alam, yang padanya kita harus beradabtasi. Maka, pemikiran yang jernih dan kebijaksaaan moral amat berharga. Semua proses, bahkan proses berpikir pun, berada di atas fondasi yang kokoh ini.

Semakin tajam kepekaan kita, semakin tajam penilaian kita, semakin halus cita rasa kita, semakin halus perasaan moral kita, semakin halus inteligensi kita, semakin tinggi aspirasi kita—semakin murni dan kuat pemuasan yang diberikan oleh eksistensi ini. Karena itu, studi tentang segala yang terbaik yang telah dipikirkan di dunia ini memberi kegembiraan yang luar biasa.

Segala kekuatan, kegunaan, dan kemungkinan pikiran dengan interpretasi yang baru ini jelas jauh lebih hebat daripada pencapaian apa pun yang luar biasa, jauh lebih hebat daripada impian-impian kemajuan materi. Pemikiran adalah energy. Pemikiran aktif adalah energy aktif; pemikiran yang terkonsentrasi adalah energy yang terkonsentrasi. Pemikiran yang terkonsentrasi pada tujuan tertentu akan menjadi kekuatan. Inilah kekuatan yang sedang digunakan oleh mereka yang tidak percaya pada nilai kemiskinan, atau keindahan penyangkalan diri. Mereka percaya bahwa hal-hal negative ini merupakan isi pembicaraan manusia lemah.

Kemampuan untuk menerima dan mewujudkan kekuatan ini tergantung pada kemampuan mengenali energi tak terbatas yang selalu ada di dalam diri manusia, yang senantiasa mencipta dan mencipta lagi tubuh dan pikirannya, serta setiap saat siap mewujudkan melalui dirinya seperti yang diperlukan. Pengenalan akan kebenaran ini dengan proporsi yang tepat, akan menjadi perwujudan di dalam kehidupan luar setiap individu.

The Master Key System karya Charles F. Haanel ini membahas mengenai sukses dan cara mencapaianya. Definisi sukses memang bersifat personal, tetapi buku yang pernah dilarang bererdar selama 70 tahun karya Haanel ini menunjukkan kepada Anda jalan mencapai ke tujuan dengan cara ilmiah.

Karya yang menurut Napoleon Hill, Bapak Motivasi Dunia, mengantarkannya menuju kesuksesan ini lebih dari sekadar buku tentang menjadi karyawan atau pengusaha yang baik—menjanjikan lebih dari kondisi keuangan yang baik. The Master Key System memberikan peluang besar untuk menjadi sukses secara total—tubuh, pikiran, jiwa.

The Master Key System berfokus untuk menjadikan pembacanya seorang yang luar biasa. Seluruh gagasan dan pengamatan Mr. Haanel itu juga digunakan oleh Van Gogh, Carnegie, Bill Gates, dan Warren Buffet. The Master Key System akan membantu Anda menjadi orang genius.

*)Benni Setiawan, pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.


Selasa, 07 Agustus 2012

Kritik Nalar ala Dawam



Koran Tempo, Minggu, 5 Agustus 2012

kebangkitan dunia Islam hanya dapat diraih melalui pencerahan nalar. Yaitu dengan memilih rasaionalisme sebagai pijakan berpikir dalam melihat segala sesuatu

Judul : Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam
Penulis : M. Dawam Rahardjo
Penerbit : Freedom Institute, Jakarta
Cetakan : April 2012
Tebal : xlii+ 390 Halaman

Bagi yang akrab dengan perkembangan pemikiran Islam kontemporer, judul buku Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam ini akan segera mengingatkan kita pada gagasan besar yang digarap oleh Mohammed Arkoun melalui proyek “kritik nalar Islam” dan Mohammed Abid al-Jabiri dengan “kritik Nalar Arab”. Namun demikian, tidak sebagaimana Arkoun dan Jabiri yang sejak awal berupaya menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah yang digunakannya tersebut secara ketat dan sophisticated, M. Dawam Rahardjo, penulis buku ini, cenderung “mengabaikan” masalah klarifikasi istilah ini.

Dengan banyak mengacu kepada Arkoun dan al-Jabiri, sangat jelas bahwa Dawam ingin ambil bagian dari proyek “kritik nalar” yang sudah dicanangkan oleh kedua pemikir garda depan tersebut. Dawam rupanya secara sengaja menjadikan proyek “kritik nalar” Arkoun dan al-Jabiri sebagai otoritas referensial atau kerangka acuan bagi proyek “kritik nalar Islamisme” yang dilakukannya. Karenanya, penjelasan tentang definisi tentang apa yang dimaksudkan dengan “kritik nalar”, ia tampaknya menyetujui dan mengambil begitu saja pengertian istilah tersebut dari Arkoun dan al-Jabiri. Adapun pemilihan kata “Islamisme” sepertinya dibuat secara berbeda dengan kata “Islam” dalam proyek “kritik nalar Islam” miliki Arkoun dan kata “Arab” dalam “kritik nalar Arab” milik al-Jabiri.

Bagi Dawam, gagasan mengenai ideologi Islamisme dari gerakan Islam sendiri mulai muncul pada belahan kedua dasawarsa 1930an. Tapi wacana itu berbentuk negatif, yaitu dalam melawan gagasan sekulerisme yang ditawarkan oleh Sukarno. Wacana ideologi pada waktu itu berbentuk kritik dan penentangan dan bukan gagasan kreatif. Ketika muncul gagasan untuk membentuk khilafah di dunia Islam di Timur Tengah, sikap gerakan Islam di Indonesia pun juga tidak jelas atau tidak ada.

Pada waktu itu, memang muncul dua komite khilafah. Yang satu dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto untuk menghadiri pertemuan di Kairo dan yang kedua ketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah untuk pergi ke Jeddah. Tapi, kedua-duanya, menurut Gus Dur, bukan untuk menerima gagasan mendirikan Khilafah Islam, melainkan hanya berjanji untuk menghadiri undangan pertemuan. Gagasan yang jelas mengenai konsep negara dan sistem politik itu sendiri tidak jelas (hal. 41).

Dalam makna nalar kebangkitan Islam, Dawam menyebut dunia Islam dewasa ini ditandai oleh kebangkitan revivalisme. Di sini ada dua makna kebangkitan. Pertama, kebangkitan sebuah peradaban baru di masa modern. Kedua, menghidupkan kembali masa lampau, misalnya masa al-khulafa’ al-Rasyidin atau masa Salafi, yakni generasi awal ketika peradaban Islam yang baru tumbuh itu masih belum dipengaruhi oleh peradaban lain, khususnya Yunani.

Kebangkitan dalam arti pertama itulah yang dimaksud dalam kebangkitan Abad ke-14 Hijriyah. Tapi, kebangkitan ini tidak terjadi, paling tidak hanya parsial saja dan penuh dengan kegamangan. Sedangkan kebangkitan dalam arti kedua adalah revivalisme yang dikemukakan oleh John Naisbit dan Peter Berger yang tak lain adalah kebangkitan fundamentalisme agama yang sebenarnya terjadi juga pada agama-agama lain. Ini justru menimbulkan kerisauan, karena kebangkitan tersebut disertai dengan konflik, tindak kekerasan dan terorisme (hal 209-210).

Gagasan bernas Dawam tersebut seakan mengamini pendapat Mochtar Naim (2011). Mochtar Naim menulis dunia Islam sekarang telah memasuki era tamadun Gelombang Ketiga. Tujuh abad pertama adalah era tamadun Gelombang Pertama yaitu dari munculnya Islam di padang pasir Arabia pada abad VII Masehi ke puncak kegemilangannya di Baghdad dan Kordoba pada abad XIV. Lalu tiba masa menurunnya selama tujuh abad kedua, berupa era tamadun Gelombang Kedua yang dirundung kegelapan dan berada di bawah supremasi kekuasaan Barat. Kemudian Perang Dunia II sebagai titik nadirnya sekaligus awal dari era kebangkitan kembali tamadun Gelombang Ketiga.

Tamadun Gelombang Ketiga merupakan tantangan sekaligus peluang bagi umat Islam bangkit. Kebangkitan ini tentunya berawal dari sebuah kesadaran diri dan lingkungan (kesejarahan) bahwa umat Islam memeliki khasanah intelektual. Setidaknya hal ini dibuktikan dengan kejayaan Islam di era Abbasiyah.

Bagi Dawam, kebangkitan dunia Islam hanya dapat diraih melalui pencerahan nalar. Yaitu dengan memilih rasaionalisme sebagai pijakan berpikir dalam melihat segala sesuatu. Melalui rasionalisme ini, diharapkan agar Dunia Islam bisa mengembangkan ilmu pengetahuan secara sungguh-sungguh dan tidak terjebak dengan semata-mata mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan yang pada dasarnya bersifat metafisik.

Tampaknya Dawam serius dengan proyek nalar islamismenya ini. Hal ini tampak pada setiap penjelasan yang dihadirkan berdasarkan permenungan mendalam dalam berbagai kajian keilmuan. Maka benarlah kata Moh Shofan dalam epilognya. Pikiran-pikiran Dawam dalam buku ini, boleh dibilang seperti elang yang merentangkan sayapnya menjelajah semua wilayah, yakni memotret semua disiplin keilmuan; budaya, politik, agama, ideologi, dan ekonomi.

*)Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Minggu, 22 Juli 2012

Belajar Kearifan dari Ki Ageng Suryomentaram



Judul : Makrifat Jawa untuk Semua, Menjelajah Ruang Rasa dan Mengembangkan Kecerdasan batin bersama Ki Ageng Suryomentaram
Penulis : Abdurrahman El-‘Ashiy
Penerbit: Serambi, Jakarta
Terbit : 2011
Tebal : 310 Halaman

Jateng Pos, Resensi, Minggu, 22 Juli 2012

Tanah Jawa telah melahirkan banyak pemikir besar. Sebut saja Wali Sanga, Ranggawarsita, dan Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram lahir pada 20 Mei 1982 dengan nama kecil B.R.M. (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji, sebagai putra ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamangku Buwono VII, yang bertakhta di keratin Ngayogyakarta Hadiningrat. Ibudanya bernama B.R.A (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putrid Patih Danurejo VI yang kemudian bergelar Pangeran Cakraningrat.

Ki Ageng meninggal pada Minggu Pon 18 Maret 1962 pukul 16.45 dalam usia 70 tahun.
Jalan pikiran Ki Agen mirip dengan J. Krishnamurti dari India (1895-1986), Zarathusta dari Persia (abad ke-7-6 SM) dan Sokrates dari Yunani (469-399 SM). Krishnamurti mendasarkan ajarannya pada pengetahuan tentang diri sendiri (self knowledge), yang kurang lebih sama dengan Ki Ageng yang mendasarkan ajarannya pada pemahaman atas diri sendiri (pangawaikan pribadi) (hal. 37).

Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang diajarkan Ki Ageng Suryomentaram bukanlah pelajaran agama atau aliran kebatinan (paguron), dan bukan pula ajaran budi pekerti yang menganjurkan dan melarang tingkah laku tertentu. Begitulah beliau menegaskan dalam pembukaan wejengannya tentang ilmu pengetahuan, yang kemudian tertangkap secara implicit sebagai semacam epistemology.

Ya, karena sebelum beliau mendedah ajarannya ini dengan lebih mendalam, lebih dahulu beliau mendefinisikan bahwa pengetahuan (kawruh) adalah hasil mempelajari atau memahami sesuatu yang telah benar-benar diketahui. Sedangkan berbagai pemahaman yang benar atau pengertian yang telah terorganisasi dalam ruang rasa, beliau menyebutnya sebagai ilmu.

Karena itu, ilmu pengetahuan menerut Ki Ageng adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap manusia sebagai halnya makanan dan minuman atau bahkan udara, dalam kaitannya demi melangsungkan hidup dan kehidupan. Obyek pengetahuan yang bisa benar-benar diketahui oleh semua manusia adalah dua macam. Yang pertama, obyek pengetahuan yang hanya bisa diketahui secara menyeluruh atau total (gemblengan/mujmal), yang Ki Ageng istilahkan sebagai barang asal (ashalah).

Barang asal adalah sesuatu yang bersifat tanpa hitungan (tanpa cacah), tidak kasat-mata, dan tak beruang-waktu. dan yang kedua adalah obyek pengetahuan yang bersifat terperinci (roncern/tafshili), dan Ki Ageng menyebutnya sebagai barang jadi (atsar) atau yang diwujudkan (dumedi/mawjud).

Barang jadi diadakan oleh barang asal. Karena itu pengetahuan yang berkaitan dengan barang asal, oleh Ki Ageng disebut sebagai pokok ilmu pengetahuan (ghayah al-ilm). Cara memikirkan ilmu barang asal berbeda atau bahkan berlawanan dengan memikirkan ilmu barang jadi. Memikirkan ilmu barang asal tidak memerlukan pertanyaan berapa, bagaimana, di mana, dan kapan. Sedangkan memikirkan ilmu barang jadi harus dengan pertanyaan berapa, bagaimana, di mana, dan kapan.

Karena barang asal bersifat tetap dan tidak mengalami perubahan (konstan), maka ilmu tentang barang asal pun bersifat tetap dan tidak akan berkembang sampai kapan pun. artinya, seseorang hanya bisa memahaminya secara menyeluruh atau tidak bisa memahaminya sama sekali.

Jadi, tidak ada pemahaman terhadap barang asal yang hanya setengah-setengah. Sedangkan terhadap barang jadi yang bersifat tidak tetap karena bisa mengalami perubahan dan perkembangan (relatif), ilmu yang berkaitan dengannya pun tidak tetap dan bisa saja memiliki pemahaman yang nanggung atau setengah-setengah terhadap barang jadi ini.

Berpikir Objektif
Berhubung seluruh makhluk hidup yang dapat berpikir di alam semesta hanyalah manusia, maka dalam realitas kehidupan ini, manusia harus dijadikan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Dan manusia, menurut Ki Ageng, mampu berpikir objektif (benar-benar mengetahui), meskipun kebanyakan dari mereka lebih berpikir subjektif (mengira mengetahui/sok tahu).

Berpikir objektif adalah benar-benar merasakan, memahami, dan dapat menyaksikan objek yang dipikirkannya tanpa penghalang (hijab). Sedangkan berpikir subjektif adalah tidak benar-benar merasakan, tidak benar-benar memahami, dan tidak dapat menyaksikan objek yang dipikirkannya secara langsung. Karena itu, manusia yang berpikir subjektif sesungguhnya adalah manusia yang tidak realistis, karena ia hanya menuntut pengharapannya atas objek yang ia pikirkan.

Jadi, berpikir objektif adalah melakukan eksplorasi tanpa batas. Bahkan terhadap objek yang tidak bisa diketahui oleh pikiran sekalipun, ia tetap bisa mengeksplorasi. Contohnya adalah ketika memikirkan kejadian alam semesta.

Apakah yang telah terjadi sebelum ada langit dan bumi? Dan apa pula yang terjadi sebelumnya? Pertanyaan sejenis itu bisa terus diperpanjang, namun kita harus jujur mengatakan bahwa kita tidak tahu. Begitu juga dalam memikirkan setelah bumi dan langit lenyap, apakah yang akan terjadi? Kita harus jujur mengatakan bahwa kita tidak mengetahui jawabannya. Titik (hal. 78).

Buku ini menyuguhkan salah satu satu khazanah kearifan yang kaya dari “Sang Matahari Jawa”, Ki Ageng Suryomentaram. Sang Pencerah dari Mataram ini dipandang berhasil membumikan ajaran adi luhung leluhurnya. Dengan bahasanya yang sederhana, dia juga mampu menerangkan berbagai wacana filsafat tentang awal mula dan akhir alam semesta ke dalam penjelasan yang mudah dicerna.

Apa yang diretas oleh Ki Ageng merupakan khasanah intelektual Nusantara. Kehadiran buku ini yang mendedah pemikiran Ki Ageng seakan menambah bukti bahwa kita tidak usah terlalu silau dengan keagungan karya pemikir luar negeri. Nusantara telah melahirkan banyak pemikir besar. Dan menjadi kewajiban bagi kita untuk mengkali dan memunculkannya ke tengah jagat pemikiran modern.

*)Benni Setiawan, blogger buku, bertualangkata.blogspot.com



Minggu, 24 Juni 2012

Catatan Kegelisahan Benny




Resensi Seputar Indonesia, Sunday, 24 June 2012

Korupsi seakan menjadi kata terpopuler saat ini. Ia kerap disebut oleh masyarakat dan media, baik elektronik maupun cetak. Di tengah garangnya praktik korupsi, Benny K Harman pun menyorotinya. Sebuah kegelisahan?

Tingginya intensitas penyebutan kata ini pun berbanding lurus dengan tindak pidananya. Pejabat publik seakan berlomba menjadi juara korupsi.Tidak hanya pejabat laki-laki,namun para perempuan pun menjadi bagian dari perilaku terkutuk tersebut. Hal ini terbukti dengan mendekamnya empat perempuan di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah Angelina Sondakh (anggota Komisi III DPR RI),Miranda S Gultom (man-tan Deputi Senior Bank Indonesia),Mindo Rosalia Manulang(bekas anak buah Muhammad Nazaruddin), dan Neneng Sri Wahyuni (istri Muhammad Nazaruddin).

Perempuanperempuan sosialita tersebut kini sedang meratapi nasibnya di balik jeruji besi akibat perbuatannya. Masifnya perampokan uang negara ini membuat gerah Benny K Harman.Benny yang mendapat amanat mewakili suara rakyat dari Flores,Lembata,dan Alor Nusa Tenggara Timur (NTT) dan pernah duduk sebagai Ketua Komisi III (Bidang Hukum dan Hak Asasi Manu-sia) ini merasa terpanggil un-tuk turut bertanggung jawab terhadap masalah kronis bang-sa (korupsi).

Dua Sisi

Melalui buku Negeri Mafia Republik Koruptor, Mengugat Peran DPR Reformasi ini Benny mengemukakan betapa korupsi memusat—untuk tidak menyebut merata—di kekuasaan pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Baginya, korupsi menimbulkan dampak yang cenderung meluas.Korupsi bukan saja berdampak pada membusuknya sistem demokrasi dan rule of law,tetapi juga merusak sendi-sendi dan tatanan kehidupan masyarakat,persaingan yang sehat dan terus bertahannya ekonomi biaya tinggi.

Korupsi telah menimbulkan politik biaya tinggi,menghambat program mengentaskan kemiskinan, melemahkan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia terutama hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat terutama kaum miskin. Pembahasan buku ini berangkat dari dua sisi yang berbeda tetapi sekaligus saling melengkapi. Di satu sisi, berangkat dari keprihatinan publik atas KKN dan dengan itu membangkitkan harapan partisipasi dalam penghapusan atau penekanan tingkat korupsi.

Sementara di sisi lain, berdasarkan pada peran DPR dalam pembangunan dan pengoperasian sistem pemberantasan korupsi. Pandangan politik hukum dan produk legislasi menggambarkan kehendak dan realisasi DPR bagi pembangunan sistem pemberantasan korupsi. Sebaliknya pendapat dan komentar kritis, pengaduan, desakan atau pun protes menggambarkan keprihatinan dan partisipasi publik,agar pemberantasan korupsi menemukan sasaran yang lebih tepat dan efektif. Relasi antara pemberantasan korupsi yang dioperasikan dengan paparan potret dan dampak korupsi yang dibentangkan secara empiris, menunjukkan sejumlah titik lemah atau kekurangan dalam sistem tersebut.

Peran DPR

Peran DPR dalam buku ini berlangsung dengan menggunakan wewenang secara konstitusional dan menjalankan tiga fungsinya dalam bidang legislasi,anggaran,dan pengawasan sebagai lembaga legislatif.Secara khusus,peran DPR dalam pembangunan sistem pemberantasan korupsi melalui pembentukan UU,melegitimasi pembentukan institusi yang berwenang bagi pelaksanaan penindakan dan pengadilan maupun institusiinstitusi yang dapat menjalankan fungsi bagi penyaluran partisipasi publik dalam keprihatinan publik dan sekaligus membangkitkan harapan mereka agar korupsi yang berdampak luas itu dapat ditekan atau diperangi (halaman 442).

Harapan besar masyarakat terhadap peran DPR tentunya bermuara pada proses penyusunan Undang-undang yang bersih. Ketika DPR bersih, proses penyusunan Undangundang sebagai ruh bangsa pun akan gemilang. UU akan melahirkan tatanan masyarakat patuh hukum dan beradab. Sebaliknya, jika penyusunan UU saja penuh intrik dan “main mata”untuk menyelewengkan anggaran maka,kehancuran negeri akan semakin dekat.

Buku ini adalah ajakan kepada para politisi di parlemen untuk sungguh-sungguh menyadari bahwa negeri ini ke depan akan menjadi negeri bebas korupsi apabila, DPR selain menyadari strategi posisi politik yang dimilikinya juga menyadari pentingnya kemauan politik yang kuat dari DPR sendiri untuk memberantas korupsi.

Benni Setiawan Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,Yogyakarta