Meraih Cita

Meraih Cita

Jumat, 12 Juni 2015

Jawaban Buya atas Persoalan Islam

Oleh Benni Setiawan


Rak, Suara Merdeka, Selasa, 9 Juni 2015

Tahun ini genap 80 tahun usia Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii, bukanlah tokoh Islam kemarin sore. Ia telah lama mendedikasikan dirinya untuk kemajuan Islam dan bangsa Indonesia. Sebagai ucapan rasa syukur, Maarif Institute dan Mizan menerbitkan buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah, ini.

Buku ini seakan menjadi jawaban logis dan ilmiah dari seorang Ahmad Syafii Maarif terhadap persoalan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Buya Syafii ingin menegaskan ketiganya bisa bersinergi dan menjadi modal sosial bangsa. Melalui buku ini pendiri Maarif Institute itu ingin menegaskan bahwa Islam mempunyai corak beragam dan tentunya sangat berhimpitan dengan budaya lokal.

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menyebut, bahwa Islam itu bersifat universal dalam hakikat ajaran dan misi kemanusiaan. Akan tetapi, praktik sosial Islam dalam format budaya berbagai suku bangsa tidak mungkin bebas dari pengaruh lokal, nasional, atau pun global. Ini alamiah belaka, orang tidak perlu berdebat tentang partikularitas Islam yang sudah menyejarah itu. Yang harus dikawal lekat adalah doktrin pokoknya berupa tauhid, iman, dan amal saleh, semuanya ini tidak boleh tercemar. Ia harus utuh sebagai fundamen dari sistem iman seorang muslim.

Oleh sebab itu, bukanlah sebuah kesalahan terminologis jika ada sebuah Islam India, Islam Nigeria, Islam Amerika, Islam Iran, Islam Pantai Gading, Islam Jepang, Islam Arab Islam Turki, Islam Chad, Islam Brunei, Islam Cina, Islam Prancis, Islam Indonesia, dengan segala variasinya, dan seterusnya.

Hidup Berdampingan

Jangankan yang serba-besar itu, orang juga biasanya menyebut Islam menurut paham Muhammadiyah, paham NU, paham Persis, Islam paham garis keras, dan lain-lain (halaman 11- 12). Beragam corak itulah yang mengokohkan Islam. Islam senantisa mampu hidup berdampingan dengan segala sistem sosial yang ada.

Bahkan, tegas Buya Syafii, Islam jika dipahami secara benar dan cerdas akan memberikan dorongan dan sumbangan yang dahsyat untuk mengukuhkan keindonesiaan kita di bawah naungan payung, ”ke-Tuhanan Yang Maha Esa” dan ”kemanusiaan yang adil dan beradab”, sebagai salah satu manifestasi iman kita dalam kehidupan bersama sebagai bangsa.

Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan harusnya dianyam sedemikian elok dan asri sehingga sub-kultur yang bertebaran yang membentuk Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara merasa aman dan tenteram untuk bertahan di Benua Kepulauan ini sampai masa yang tak terbatas (halaman 41-42).

Siapa pun tidak bisa, dan memang tidak perlu, mengabaikan dimensi dan pengaruh lokal, selama semuanya itu menyangkut aspek kultural yang dibenarkan al-Qur’an. Sesungguhnya yang menjadi musuh keragaman adalah mereka yang ingin memonopoli kebenaran, dan jika perlu, Tuhan ”diperalatnya” (halaman 207).

Buya Syafii melalui buku ini pun secara gamblang dan tegas bahwa untuk membangun Indonesia yang seluas dan sebesar ini jelas tidak gampang. Akan tetapi, apakah pengalaman keberhasilan atau kegagalan kita selama sekian dasawarsa belum cukup juga untuk menjadikan kita sebagai bangsa yang siuman?

Kita tidak saja memerlukan otak-otak besar yang telah dan akan lahir dari rahim bangsa ini, tetapi juga, dan mungkin malah yang paling mendesak, punya hati nurani yang bersih, sebersih air Danau Matano di Sorowako. Otak cerdas telah banyak dilahirkan, tetapi hati yang cerdas dan tulus masih perlu diperjuangkan.

Bagaimana mengawinkan antara otak dan hati, itulah sebenarnya yang perlu dilakukan oleh seluruh sistem pendidikan kita di masa depan yang tidak terlalu jauh. Kecerdasan otak dapat melahirkan para ilmuan dan teknolog besar.

Namun, itu belum cukup, harus didampingi oleh kecerdasan hati yang akan membuahkan kearifan dan sikap timbang rasa yang adil.

Buku ini seakan menjadi curahan gagasan Buya Syafii terkait Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Dengan integritas tinggi tampaknya karya ini layak disebut sebagai masterpiece seorang Ahmad Syafii Maarif. Buku ini wajib Anda baca.

Refleksi Keindonesiaan Buya Syafii

Oleh Benni Setiawan


"Resensi Buku", Koran Sindo, 7 Juni 2015.

Pada 31 Mei 2015, genap 80 tahun Ahmad Syafii Maarif. Guna mensyukuri ulang tahun Buya Syafii begitu ia biasa disapa-Maarif Institute dan Mizan menerbitkan buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah.

Buku ini boleh dibilang karya monumental. Sebab, di dalam buku ini Buya Syafii mencurahkan gagasan, aksi, interpretasi, sikap, sekaligus integritas dalam menjawab persoalan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Buya Syafii tampil trengginas mengemas berbagai isu lengkap dengan catatan sejarah yang sangat kaya. Kemampuan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini dalam mengakses literatur Barat dan Timur pun semakin memperkaya khasanah kajian Islam di Indonesia.

Satu Tarikan Napas

Dalam karya ini pendiri Maarif Institute ini ingin menyeru kepada Indonesia, tanah tumpah darah kita semua, kepada Islam, agama mayoritas penduduk Indonesia, dan kepada kemanusiaan yang secara teori memayungi nasionalisme bangsa ini. Sebagai penduduk mayoritas di Nusantara semestinya umat Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan.

Ketiga konsep itu haruslah ditempatkan dalam satu napas sehingga Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalahmasalah besar bangsa dan negara. Sebutlah sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam; sebuah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara ini, tanpa diskriminasi, apa pun agama yang diikutinya atau tidak diikutinya.

Sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat miskin, sekalipunajarannya sangat anti-kemiskinan, sampai kemiskinan itu berhasil dihalau sampai batas-batas yang jauh di negeri kepulauan ini (halaman 17). Lebih lanjut, sembari mengutip ayat Alquran (al-Maidah, 5: 48), murid Fazlur Rahman ini, menyeru kepada semua pemeluk agama untuk berlomba- lomba dalam kebajikan.

Baginya, tugas penganut semua agama adalah berlomba menegakkan dan menyebarkan kebajikan untuk semua, tidak hanya untuk diri sendiri atau kelompok sendiri. Perlombaan dalam kebajikan itu pun tak boleh merusak perumahan Indonesia sebagai negara-bangsa milik bersama dan tidak boleh pula tergelincir dari koridor “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Maka keindonesiaan dalam arti kebangsaan Indonesia tidak boleh beralih menjadi kebangsaan yang ekspansif yang tidak lain dari imperialisme modern (halaman 31).

Pendukung Demokrasi

Dalam kerangka tersebut, Buya Syafii menegaskan bahwa sudah sejak awal mayoritas umat Islam Indonesia adalah pendukung sistem demokrasi. Berbeda dengan mitranya di berbagai belahan dunia yang menolak atau ragu terhadap demokrasi. Rakyat Indonesia yang mayoritas muslim malah memandang demokrasi sebagai realisasi prinsip syura seperti yang diajarkan oleh Alquran.

Selain karena pertimbangan agama, umat Islam Indonesia mendukung demokrasi juga berdasarkan realitas perimbangan jumlah mereka yang mayoritas sebagai pemeluk Islam. Maka melalui demokrasi, citacita kemasyarakatan dan kenegaraan Islam akan lebih mudah diperjuangkan, setidak-tidaknya demikianlah secara teoritik.

Oleh sebab itu, munculnya partai-partai yang bercorak Islam sebelum dan pasca-Proklamasi adalah dalam rangka menegakkan pilar-pilar demokrasi, sekalipun sering terhempas dalam perjalanan (halaman 148). Demikian pula dalam penerimaan Pancasila sebagai dasar filosofi negara. Maka terbuka peluang yang sangat lebar untuk membangun bangsa ini tanpa bertegang urat leher karena perbedaan teo-filosofis. Dengan berakhirnya debat itu, energi mengembangkan Islam khas Nusantara pun akan terus tersemai dan tumbuh subur.

Ilmu Garam

Inilah yang kemudian sering Buya Syafii sebut sebagai “ilmu garam, tidak ilmu gincu” dalam proses memperjuangkan Islam di Indonesia. Ketika garam larut dalam makanan, bekasnya tidak kelihatan, tetapi pengaruhnya dalam cita-rasa masakan sangat menentukan. Istilah yang Buya Syafii ambil dari Bung Hatta itu merupakan wejangan dalam rangka mendidik umat Islam Indonesia agar lebih arif dalam memperjuangkan cita-cita politik Islam (halaman 290).

Inilah kaitan antara Islam dan keindonesiaan dalam bingkai politik berkeadaban dan berkeadilan sosial. Sungguh luar biasa buku ini. Buku yang ditulis secara serius dan cermat yang semakin mengokohkan posisi Buya Syafii tokoh intelektual muslim par-execellen. Jika Anda ingin mengenal lebih dekat pribadi, gagasan, serta kiprah yang selama ini telah Buya Syafii lakukan, karya ini akan sangat membantu. Selamat ulang tahun Buya Syafii, panjang umur, terus menginspirasi negeri, dan senantiasa penuh berkah. Amin.

Senin, 11 Mei 2015

Belajar itu Menyenangkan

Oleh Benni Setiawan

Resensi Buku, Radar Surabaya, 10 Mei 2015.


Judul : CTL (Contextual Teaching & Learning), Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikan dan Bermakna
Penulis : Elaine B Johnson, Ph.D
Penerbit: Kaifa Learning, Bandung
Cetakan : Desember, 2014
Tebal : 352 halaman

Belajar itu menyenangkan. Melalui proses yang menyenangkan siswa akan betah dan nyaman dalam belajar. Ia akan mampu menerima dan mengembangkan ilmu sesuai dengan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia.

Namun, seringkali yang kita jumpai di dalam proses pendidikan, belajar masih jauh dari kata menyenangkan. Belajar seakan menjadi paksaan. Belajar pun masih sekadar hubungan simbolik antara guru dan siswa. Guru paling pintar, dan siswa adalah makhluk yang kurang pintar. Siswa pun tak betah di sekolah. Jika mereka berangkat hanya sekadar memenuhi “standar” presensi. Saat mereka telah keluar kelas, dan atau telah lulus, mereka tak mendapatkan ilmu apa-apa.

Mengingat kondisi itu, buku CTL (Contextual Teaching & Learning), Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna ini hadir. Buku karya Elaine B Johnson ini ingin membuktikan bahwa proses belajar-mengajar dapat dilakukan dengan cara-cara yang humanis. Melalui cara itu, hubungan antara guru dan siswa pun menjadi sangat akrab. Siswa merasa terayomi, dan guru tidak merasa berat dengan beban mengajar. Metode yang ditawarkan oleh Direktur Eksekutif MBM an Rekan, sebuah konsultan para pendidik dan pelaku bisnis ini adalah dengan CTL.

Mengaitkan Informasi
CTL adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerapkan pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima. Mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengalaman dan pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya (halaman 14).

Ketika siswa dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran akademik seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, atau sejarah dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan maka memberi mereka alasan untuk belajar. Mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah inti dari cara CTL (halaman 90).

Bisa dikatakan pengaitan paling ampuh adalah pengaitan yang mengundang siswa untuk membuat pilihan, menerima tanggungjawab, dan memberikan hasil yang penting bagi orang lain.

Perdamaian Berbasis Kesamaan

oleh Benni Setiawan

"Resensi" Koran Sindo, Minggu, 10 Mei 2015


Judul : The Harmony of Humanity, Teori Baru Pergaulan Antarbangsa Berdasarkan Kesamaan Manusia
Penulis : Prof. Dr. Raghib as-Sirjani
Penerbit : Pustaka al-Kautsar, Jakarta
Cetakan : 2015
Tebal : xii + 784 halaman


Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. al-Hujurat, 14: 13).

Ayat di atas menegaskan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Artinya, ia tidak dapat hidup sendiri. Ia membutuhkan orang lain. Manusia pun tidak dapat hidup tanpa keluarga sebagai tempat berlindung satu sama lain.

Kemaslahatan Bersama

Tampaknya potret keluarga inilah yang mendasari tesis The Harmony of Humanity. Dan jika menilik lebih jauh dalam sejarah panjang umat manusia. The Harmony of Humanity menjadi semacam pengungkit bahwa selayaknya manusia hidup damai dalam ragam perbedaan yang ada. Perbedaan bukan menjadi alasan untuk membenarkan konflik.

Sebaliknya, yang perlu terus disuarakan adalah kesamaan umat manusia menuju kemaslahatan bersama. Berbagai klan manusia dihadapkan pada dua pilihan cara untuk menggapai berbagai kepentingan, yaitu muslihat dan benturan atau pergaulan dan hidup bersama. Kita dapat melihat bahwa pergaulan selalu lebih baik, afdal , dan cocok dengan berbagai suku ”cerdas” itu, yang sangat sadar mengetahui bahwa maslahat yang ingin mereka wujudkan itu sebenarnya adalah maslahat bersama yang bersifat umum.

Ini bukan berarti bahwa pergaulan menjadi logika yang dominan, karena ada saja orang yang memenuhi kepentingan pribadi tanpa memedulikan kepentingan orang lain. Itulah sebabnya, benturan dan muslihat menjadi caranya untuk menggapai keinginannya (halaman 23). Buku karya Profesor Raghib as-Sirjani ini ingin mengukuhkan bahwa tak ada alasan bagi manusia untuk bermusuhan (konflik).

Pasalnya, manusia mempunyai banyak kesamaan sebagai modal membangun kerukunan dan perdamaian. Salah satu kesamaan itu adalah apa yang ia sebut sebagai kesamaan tertinggi. Kesamaan tertinggi adalah setiap manusia memiliki gambaran tertentu tentang Tuhan. Gambaran itulah yang menjadi keyakinan (akidah) yang kuat sehingga tidak mudah untuk dicabut selamanya.

Keyakinan inilah yang dapat menjadi tempat bernaung puluhan suku, ras, dan warna kulit. Namun seiring dengan itu, ia juga dapat menjadi penyebab konflik yang parah. Oleh sebab itu, yang harus dilakukan adalah jangan pernah mengusik keyakinan pihak lain (halaman 133).

Kesamaan Akal

Selain itu, manusia juga mempunyai kesamaan umum, dalam hal ini adalah kepemilikan akal. Kesamaan umum akal bertujuan agar berbagai suku bangsa dapat bertemu pada hal-hal yang rasional, bukan spiritual; pada dalildalil dan bukti-bukti kebenaran, bukan pada kesan pikiran atau perasaan ataupun hal-hal gaib. Di titik inilah akan terjadi koneksi dan pergaulan (halaman 138).

Dengan demikian, pelarangan penggunaan akal dalam kehidupan merupakan hal yang aneh. Pasalnya, larangan penggunaan akal menunjukkan cacat serta kesia-siaan pada kemanusiaan. Tidak diragukan lagi, hal itu akan menyeret ke arah peperangan dan konflik. Saat akal telah teroptimalkan dengan baik, maka ia akan menghasilkan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan tentang kehidupan memiliki peran signifikan dalam perjalanan menentukan pertemuan peradaban antarbangsa meskipun jarak mereka relatif berjauhan. Ilmu pengetahuan pun mampu mewujudkan kepentingan- kepentingan kolektif agar setiap peradaban dapat maju dan berkembang dengan pengalaman peradaban lain (halaman 411).

Oleh karena itu, dialog besar haruslah dilakukan antarkaum intelektual dan cendekiawan di dunia ini untuk merumuskan perjanjian kehormatan yang membahas tentang komitmen-komitmen standar yang harus dipenuhi, dan wajib dijaga oleh ruang seni. Ruang seni merupakan wadah kesamaan umum. Maka itu, pelanggaran terhadapnya merupakan perlawanan terhadap karakter manusia dan hak naluriahnya.

Ditambah lagi dengan ruang kesamaan tertinggi, yang pelanggaran dan permusuhan terhadapnya sama artinya dengan permusuhan terhadap simbol kesucian agama yang tertanam mendalam dalam emosional umat. Sungguh, tidak seorang pun mendapat kebaikan jika seni dijadikan sebagai senjata perang (halaman 547).

Pembenar dan Tafsir

Lebih lanjut, tesis utama dalam karya ini adalah kesamaan umat manusia dan urgensitasnya merupakan dasar pemersatu umat manusia. Saat manusia mencari perbedaan, maka ia sedang menggali kuburnya sendiri. Pasalnya, manusia seakan mencari pembenar untuk melakukan permusuhan dan peperangan.

Namun, saat manusia mencari persamaan sesamanya, ia sedang membangun sebuah peradaban baru berdasarkan cinta kasih tanpa batas. Buku ini menjadi jawaban ilmiah atas beberapa tesis terdahulu, seperti The End of History ala Francis Fukuyama dan The Clash of Civilizations anggitan Samuel P Huntinton. The Harmony of Humanity membawa angin segar bagi terciptanya perdamaian dunia didasarkan pada kesamaan manusia bukan pada perbedaan.

Pada akhirnya, buku karya cendekiawan asal Mesir ini pun secara ilmiah menjadi pembenar dan ”tafsir” terhadap Quran Surat al-Hujurat (49:13) di atas. Semoga kehadiran buku ini menjadi pemantik bagi umat manusia untuk dapat hidup rukun dan damai dalam bingkai kesamaan dan kemaslahatan bersama.

Minggu, 19 April 2015

Menjadi Terdepan dan Terbesar

Oleh Benni Setiawan

Resensi Buku Koran Sindo, 19 April 2015


Hanya satu di antara tiga dari pekerja yang benar-benar bekerja. Mereka hadir, being present baik secara fisik, mental maupun intelektual.

Mereka terlibat secara penuh di dalam pekerjaannya. Dan, satu di antara lima orang yang digaji oleh perseroan, bekerja berseberangan dengan apa yang ingin dicapai perseroan.

Temuan Gallup Management itu menjadi bukti nyata, betapa tidak banyak pekerja yang mampu mengolah potensi menjadi kekuatan mengembangkan perseroan.

Mereka hanya sekadar menjadi pekerja dan penggembira di dalam sebuah perseroan. Ironisnya, realitas yang sering kita temui di dalam kehidupan kerja adalah sebagian besar perseroan tidak merumuskan business purpose dengan cermat. Sebagian besar deklarasinya hanya terkesan dibuat untuk memenuhi tuntutan formalitas, jika tidak mau dikatakan lips service .

Meningkatkan Kualitas

Masalah inilah yang menjadi fokus kerja Hendrik Lim dalam buku Happy Work, Happy Life. Mengintegrasikan Engagement ke dalam Strategi Bisnis untuk Menciptakan Terobosan Kinerja dan Kepuasan Kerja ini. Sebagai seorang praktisi bisnis entrepreneurship dan seorang yang pernah menduduki Presiden Director ia ingin membagi ilmu dan pengalaman guna meningkatkan kualitas perseroan melalui engagement. Mengapa engagement?

Hendrik Lim mendasarkan pada hasil penelitian yang menyatakan bahwa jika perseroan sanggup mengengage pekerjanya, maka ia akan tumbuh 2.5 kali lipat. Tidak hanya itu, jika perseroan tersebut, selaian engagement, juga melakukan upaya enablement, grow rate kinerjanya, bahkan bisa mencapai 4.5 kali lipat.

Di dalam dunia kerja engaged employee berarti seseorang yang penuh terlibat, senang, dan antusias atas apa yang ia kerjakan. Ia bersedia dan atas kemauannya sendiri (diskretif) melakukan berbagai hal-hal jauh di luar batas kewajiban standar formal semata untuk kepentingan dan kemajuan organisasi. Pemicu peningkatan kinerja organisasi dan daya saing perseroan telah berubah. Siapa pun yang ingin berlaga dan menang di dunia bisnis, wajib menyesuaikan strategi dan teknik pendekatannya dalam upaya mencapai sasaran-sasaran strategisnya tersebut.

Suasana Senang

Perseroan yang bisa merancang iklim yang fun, exciting dan menantang, akan membuat suasana kerja menjadi riang. Orang menjadi senang dalam bekerja, lebih banyak tersenyum dan punya hubungan industrial yang hangat. Dan di sinilah intinya, ketika kita merasa senang, maka kemampuan berpikir kreatif kita terbuka paling lebar. Ketika kita senang, kita menjadi amat kreatif.

Semua ide-ide akan mengalir dengan sendirinya. Ia seperti air terjun yang otomatis mengalir lancar. Namun, hal yang sebaliknya akan terjadi, jika suasana kerja itu monoton, membosankan apalagi suasananya tegang dan tidak tenang. Maka kemampuan berpikir kreatif kita akan tersumbat seperti sebuah saluran yang ”mampet”. Tidak ada hasil kreatif yang bisa mengalir keluar dalam suasana kerja seperti itu (halaman 18-19).

Pada prinsipnya, engagement bukanlah suatu event atau program tambahan. Ia tidak bisa ditempatkan sebagai suatu auxiliary program. Tetapi engagement haruslah embedded di dalam strategi dan kultur perseroan. Engagement harus menjadi suatu strategi leadership untuk menyukseskan strategi bisnis (halaman 92). Sebagian besar perseroan tidak memanen hasil transformasi karena ada diskrepensi di dalam konsep dan implementasi. Ada gap antara the way we think and feel terhadap the way we do. Di sinilah engagement menjadi semacam kunci menyesuaikan dan mencocokkan hal itu.

Alat Pendongkrak

Dengan engagement, perseroan akan punya leverage competitiveness yang makin hebat. Dengan demikian ia bisa sustain dalam alam kompetisi, apalagi kini dalam kompetisi pasar global yang makin terintegrasi. Tidak hanya sustain, tetapi juga surplus. Engagement memungkinkan setiap orang bisa mengeluarkan semua hal-hal terbaik, bakat, kemampuan, keahlian yang selama ini tersimpan dan menyalurkannya ke dalam kinerja.

Dengan pendekatan yang integral tersebut, engagement kini bukan lagi sebuah buzzword semata. Ia bisa menjadi alat pendongkrak market value perseroan yang amat hebat (halaman 306- 307). Buku ini seakan menyadarkan kepada kita betapa banyak perseroan yang belum mampu survive bukan karena ketiadaan modal. Namun, mereka belum mampu mengolah dan mengelola pekerja menjadi kekuatan.

Sebagaimana buku Hendrik Lim sebelumnya (Adaptif, Besar, Gesit, ABG, dan Business Owner Selling Spirit & Strategy, BOSS ), karya ini bukan sekadar mengelaborasi potensi. Namun, juga mendesain sebuah strategi dan metodologi agar sebuah perseroan mampu menciptakan sebuah lompatan besar dan menjadi yang terbesar dan terdepan.

Minggu, 12 April 2015

Kupas Tuntas Cabe-cabean

Oleh Benni Setiawan

Ta'dib Magz | Edisi 1 Tahun 2015


Judul : “Cabe-cabean’ The Untold Stories
Penulis : Ian Karim dan Stanley Meulen
Penerbit : Loveable, Jakarta
Cetakan : 2014
Tebal : 210 halaman

Cerdas dan humanis. Dua kata yang layak menggambarkan buku “Cabe-cabean” The Untold Stories ini. Buku yang ditulis dan dicetak dengan gaya bahasa khas anak muda ini sungguh memikat. Pembaca seakan diajak bertualang ke negeri ‘cabe-cabean’ yang hidup di tengah masyarakat. Bukan untuk menghardik mereka, namun, mencoba berempati terhadap pilihan hidupnya.

Buku ini ditulis untuk membuka mata kita semua. Bahwa, ada sesuatu yang nyata yang telah terjadi di masyarakat, dan itu butuh perhatian kita semua. Untuk menyadarkan kita bahwa ada something missing dirasa kepedulian kita, yang sepertinya semakin hari semakin tergerus.

Gula-gula
Fenomena cabe ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2008. Tapi waktu itu belum dikenal istilah cabe. Melainkan gula-gula atau gulali atau dalam bahasa resmi dunia balap adalah umbrella girl. Namun, bukan umbrella girl sebagaimana yang ada di dalam balapan resmi.

Cabe-cabean berasal dari sini. Yaitu, trend cewek pendamping di arena balapan liar. Para gula-gula ini juga punya tugas lain yaitu sebagai gadis pengangkat bendera start atau lebih tepatnya sapu tangan di arena balap.

Ada semacam seleksi alam dalam pemilihan para gula-gula ini di kalangan joki. Dari beberapa perempuan, joki tidak akan langsung memilih.

Terjadilah semacam transformasi. Dulu hanya joki juaralah yang memiliki gula-gula atau cewek pendamping. Namun, setelah terjadinya perubahan kultur, joki-joki baru ini, yang mungkin baru akan turun di arena balap untuk pertama kalinya, ternyata sudah memiliki gula-gulanya sendiri. Cewek-cewek itu dalam komunitas balapan disebut sebagai gula karbitan (halaman 39).

Sering dibully
Ada sebuah benang merah yang bisa ditarik dari isu cabe-cabean ini. Tentang mengapa akhirnya mereka ada dan nama itu lahir. Benang merah itu adalah, fame alias popularitas. Karena joki dipercaya bisa mengangat kepopuleran mereka.

Namun, di balik itu ada fakta menarik dan mencengangkan. Mereka yang berusaha untuk bisa mendampingi seorang joki dan tidak peduli dengan latar belakangnya (yang penting bisa sama joki), ternyata kebanyakan adalah cewek-cewek yang tidak terlalu populer di sekolahnya.

Mereka adalah para siswi yang tereleminir bahkan juga kadang sering di-bully. Sekalipun mungkin ada di antara mereka yang tidak mengalaminya di sekolah. Tapi, sudah pasti mereka ini adalah anak-anak yang tersingkir di pergaulan karena faktor tekanan ekonomi mereka.

Mereka bukan siapa-siapa dan tidak diterima di mana-mana. Dan satu-satunya cara bagi mereka untuk merasa berharga adalah dengan mencari tempat. Teman dan sesuatu yang bisa memberikan mereka hal-hal yang mereka tidak akan dapatkan di sekolah dan lingkungannya, dan arena balapan liar adalah jawabannya. Mendapatkan joki akan membuat mereka populer. Inilah yang mereka cari (halaman 47).

Tekanan Ekonomi dan Minder
Ironisnya, berkembanglah pemahaman bahwa cewek gula-gula ini memang mudah sekali “dipake” dan digilir di kalangan joki atau anak-anak motor. Ada juga semacam image yang melekat pada cewek gula-gula. Bahwa, mereka itu alay, bego, dan kampung (makanya bisa sembarangan dipake). Nah, karena itu kemudian lahirlah istilah cabe yang akhirnya resmi menggantikan istilah gula-gula atau gulali. Cabe itu sendiri adalah kependekan dari, cewek alay bahan ent*tan/e*ean. Dipakai kata bahan, karena joki menyebut part motor dengan bahan (halaman 49).

Selain faktor ekonomi dan sosial, ada juga faktor lainnya yang melatarbelakangi terjunnya seorang cewek ABG menjadi cabe-cabean, yaitu faktor keluarga. Cabe tidaklah mencari uang. Mereka bukan bispak atau jablay. Mereka memilih jalan tersebut karena tekanan hidup, keluarga dan tekanan ekonomi. Mereka hanya ingin bebas. Tekanan ekonomi berbeda dengan masalah ekonomi. Karena kalau sudah berbicara masalah ekonomi, ujung-ujungnya pastilah uang. Iya, mereka butuh uang dan mereka juga senang jika mendapat uang, tapi bukan itu tujuan utama mereka menjadi cabe-cabean.

Cabe sebenarnya memiliki rasa minder yang cukup tinggi. Para cabe tidak akan pernah menghampiri lelaki yang memakai mobil atau motor bagus. Standar kendaraan mereka cukuplah motor bebek atau matic biasa untuk ‘tarif bawah’ dan bebek atau matic dengan velg jari-jari 17 plus krom untuk ‘tarif atas’. Mereka sama sekali tidak mau masuk ke dalam pergaulan yang lebi atas lagi. Buat cabe, itu bukanlah dunianya mereka (halaman 78-79).

Buku karya Ian Karim dan Stanley Meulen ini seakan menyodok alam bawah sadar kita untuk segera peduli terhadap masa depan anak bangsa.

Selasa, 31 Maret 2015

Mozaik Nusantara



"Resensi", Koran Sindo, 29 Maret 2015.

Kota-kota di Indonesia sering merupakan sebuah gabungan eksplosif unsur-unsur yang saling berseberangan.

Di satu sisi terlihat modern dan kebarat-baratan, di sisi lain tradisional dan autentik: gedung-gedung tinggi sebagai pusat perkantoran, pusatpusat perbelanjaan, jalan-jalan tol dan gerai-gerai makanan siap saji. Sementara, di sisi lain terdapat kampung-kampung padat penduduk, pasar-pasar tradisional, becak dan warungwarung pedagang kaki lima.

Akan tetapi, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, tata ruang publik yang semrawut, kesenjangan yang besar antara si kaya dan si miskin, kurangnya ruang terbuka dan infrastruktur (jalan, angkutan umum, pengelolaan sampah), yang kelebihan beban adalah pemandangan yang menonjol. Melalui kajian sejarah yang sangat memadai, buku Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia, Medan, Jakarta, Cirebon, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang ini hadir mengisahkan betapa indah dan kayanya Indonesia.

Berdasarkan tulisan sejarah dan temuan arkeologis, kita dapat memperoleh gambaranyangmemadaitentangsituasi aslinya. Struktur kota dibentuk oleh kompleks tempat tinggal dengan tembok di sekelilingnya, yang dikelompokkan di sepanjang jalan-jalan lebar dan alun-alun dan lapangan umum. Kompleks-kompleks tersebut dihuni oleh kaum elite aristokratis dan religius.

Kelompok aristokrat terutama mengurusi produksi pertanian dan tidak mengurus perdagangan (internasional) secara langsung. Sebuah kompleks tempat tinggal terdiri dari beberapa pekarangan yang dikelilingi tembok dengan paviliun-paviliun terbuka dan pohon-pohon, yang saling terhubung melalui pintu-pintu gerbang. Titik pusat kota adalah alun-alun dengan keraton dan kompleks keagamaan penting di sekelilingnya yang ditempatkan secara berkelompok .

Alun-alun dipergunakan sebagai pasar dan aktivitas masyarakat. Ibu kota dibuat luas, tanpa dinding di sekelilingnya, sehingga tanpa disadari menjangkau sampai ke pedalaman. Alasan utama untuk tinggal di kota adalah kedekatannya dengan pusat kekuasaan. Di bawah pengaruh budaya Hindhu, arsitektur khas rumah panggung Indonesia mengalami perubahan bentuk, menjadi rumah yang didirikan di atas lantai batu dan tanah yang ditinggikan, dengan atap yang disangga oleh tiang-tiang dan ditutup oleh genteng (halaman 4-5).

Simbol Spiritual

Dalam konteks kota Yogyakarta misalnya, bangunanbangunan dan lapanganlapangan sepanjang poros utaraselatan keraton melambangkan perkembangan spiritual manusia. Memasuki lapangan utama keraton sama dengan mendekati kesempurnaan surga. Pendekatan spiritual Tuhan adalah konsep penting dalam filsafat Jawa.

Jalan yang harus ditempuh untuk itu dilambangkan dengan rute dari lapangan utama ke monumen tugu di utara. Rute ini melewati antara lain alun-alun (kesadaran manusia yang tak terukur, dengan dua pohon beringin sebagai dua kutub yang bersebarangan di semesta), persimpangan jalan (pencari jalan yang benar), pasar (godaan kesenangan duniawi), dan kantor pemerintah kerajaan (godaan kekuasaan duniawi).

Pada akhirnya kesatuan raja, rakyat, dan Tuhan secara simbolis tercapai di monumen tugu (halaman 177- 178). Selain persinggungan kosmologis yang tampak dalam sentuhan perkembangan wilayah Yogyakarta, buku ini juga menyuguhkan gambaran menarik mengenai “geseran” simbolis sosio-kultur masyarakat. Misalnya, gambaran tentang Glodok di Jakarta. Kawasan ini memang masih terdiri dari jaringan ganggang, tempat orang-orang China (Tionghoa) tinggal berdekatan.

Akan tetapi, tiga dasawarsa terakhir dari abad ke-20 banyak bangunan asli yang dibongkar untuk perluasan jalan atau diganti dengan bangunan-bangunan baru. Setelah pergantian politik tahun 1965, ketika elemenelemen China dianggap merongrong negara, tiap manifestasi budaya China di kehidupan publik ditabukan.

Reklame, sekolah, koran dan nama-nama berbau China menghilang dari pandangan. Baru pada tahun 1999 pembatasan-pembatasan manifestasi budaya China dihilangkan, sehingga Glodok kembali tampak berkarakter China. Kelenteng-kelenteng kembali ramai dikunjungi dan selama perayaan hari besar China ada pawai dan pertunjukkan barongsai di jalan (halaman 75).

Falsafah Bhinneka Tunggal Ika

Buku ini diawali dengan sebuah gambaran singkat mengenai perkembangan kota Indonesia. Pembahasan di babbab selanjutnya secara teratur merujuk pada bagian-bagian tertentu, dari gambaran singkat ini. Setelah itu diikuti dengan rute jelajah sembilan kota pusaka, yang masing-masing ditandai dengan warna berbeda. Setiap rute diawali dengan sebuah sejarah singkat kotanya (dulu dan sekarang).

Setiap rute dilengkapi dengan peta, sehingga dapat disesuaikan dengan keinginan, minat, dan waktu masing-masing. Tidak semua tempat menarik atau setiap bagian rute-rute tersebut harus dikunjungi atau dijelajahi. Sebuah rute dapat saja dipotong atau dipersingkat, sebagian dilakukan dengan kendaraan umum atau dilakukan dalam beberapa hari. Buku ini menjadi potret dan bukti otentik bahwa bangsa ini dibangun dari berbagai macam kultur.

Ragam budaya inilah yang menguatkan bangsa Indonesia sebagaimana tergambar dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah karya yang kembali menyadarkan betapa bangsa merupakan mozaik terindah (masterpiece) Tuhan Yang Maha Kuasa.