Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 26 Mei 2013

Iman, Urusan Otak

Oleh Benni Setiawan



Resensi, Koran Sindo, Minggu, 26 Mei 2013

Kajian tentang iman (keyakinan) sering kali dikaitkan dengan urusan hati. Konon hati menjadi sumber iman. Pemahaman inilah yang kemudian menjadikan seseorang sering kali bertindak irasional.

Bahkan banyak manusia beranggapan iman hanya perlu diyakini tanpa harus mencari tahu mengapa hal itu perlu dilakukan dan untuk apa dilakukan. Pemahaman keimanan yang seperti ini menjadikan seseorang gelap mata. Seseorang sering kali mendasarkan keimanan pada realitas teks tanpa melakukan kajian atau penafsiran dengan kemampuan akal sehat (otak). Maka tidak aneh jika banyak orang yang mengaku beragama melakukan tindakan anarkistis, bahkan membunuh didasarkan pada aspek keimanan hati ini.

Klarifikasi

Buku Born to Believe: Gen Iman dalam Otak karya Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman melakukan klarifikasi terhadap proses keimanan tersebut. Bagi Andrew dan Mark, keimanan merupakan hasil kerja aktivitas otak. Iman bukan hanya urusan hati, tetapi juga berkaitan erat dengan proses rasionalitas sebuah keyakinan. Melalui pemahaman yang demikian, seseorang tidak akan mudah terjebak pada pemahaman yang sempit mengenai agama dan atau kepercayaan.

Manusia semakin terbuka terhadap narasi teks dan mendorongnya untuk berpikir rasional berdasarkan kerja saraf otak sebagai anugerah Tuhan yang luar biasa. Simpulan itu didapat Newberg dan Waldman dalam penelitian panjang. Salah satunya dengan meneliti biarawati. Para biarawati itu memiliki sistem keyakinan yang kuat, yang mengakomodasi data ilmiah dalam cara khusus.

Sejauh yang menyangkut mereka, Newberg dan Waldman memotret otak mereka ”mengenai Tuhan”. Para Buddhis, sebaliknya, menggunakan informasi yang sama untuk menegaskan bahwa ibadah membantu mereka meraih tingkat kesadaran murni, tempat mereka dapat menangkap sekilas realitas mutlak. Tapi, realitas itu tidak memasukkan pandangan mengenai Tuhan karena Tuhan bukan merupakan bagian dari sistem keyakinan mereka.

Inilah potret kedamaian hati. Inilah yang menarik tentang lobus frontal. Ia memungkinkan selusin orang yang semuanya memiliki pengalaman perseptual yang sama, menafsirkannya dalam selusin cara yang berbeda. Hal itulah yang memantik Newberg dan Waldman untuk memotret keyakinan atau lebih tepatnya cara keyakinan tertentu memengaruhi kerja otak. Dengan pemahaman itu, bukan keyakinan tertentu yang memengaruhi otak, tetapi otak menyediakan rasa realitas bagi muatan keyakinan tertentu dan mengesahkannya (halaman 278).

Makna dan Kebenaran

Lebih dari itu, profesor radiologi dan psikiatri pada University of Pennsylvania dan asisten peneliti di Center for Spirituality and The Mind ini juga mengulas pencarian biologis akan makna, spiritualitas, dan kebenaran. Apabila kita memahami neuropsikologi otak, keyakinan akan mampu tumbuh dan berubah ketika kita berinteraksi dengan orang lain yang memiliki pandangan berbeda tentang dunia. Newberg dan Waldman pun bersimpulan bahwa dengan menjadi orang beriman yang lebih baik, kita akan lebih peduli dalam pencarian kita akan makna dan kebenaran.

Hal itu dikarenakan kita terlahir untuk percaya, sebab kita tidak punya alternatif lain. Kita tidak pernah keluar dari diri kita sendiri. Kita harus banyak berasumsi untuk membuat dunia ”di luar sana” masuk akal. Keyakinan spiritual yang kita anut serta pengalaman spiritual yang dapat kita peroleh juga dipengaruhi sirkuit saraf dan keterbatasannya. Tuhan mungkin ada, tetapi kita dapat merasa Tuhan—atau hal yang lain— hanya lewat berfungsinya otak (halaman 41–42).

Tiap belahan otak menerima realitas dengan cara berbeda. Secara umum dikatakan bahwa belahan kanan meraup secara spasial dunia seutuhnya lewat perasaan. Sisi kiri mengubah realitas menjadi rangkaian ide yang dapat dikomunikasikan lewat bahasa kepada orang lain. Kedua belahan otak itu, ketika bekerja bersama-sama, memberi kita rasa realitas yang jelas berbeda daripada rasa yang terbentuk ketika hanya salah satu belahan yang bekerja.

Itulah mengapa ketika kita merasa tenang dan bersemangat, kita mungkin terlibat dalam kegiatan yang tidak memikirkan diri sendiri; tetapi ketika merasa marah, kita berperilaku egois, dengan hanya sedikit empati atau peduli. Dari perspektif neurologis, setiap keadaan emosional dapat menghasilkan keyakinan yang berbeda, bahkan bertentangan dari waktu ke waktu. 

Benni Setiawan,
Dosen dan
Pegiat Karangmalang C15
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Minggu, 19 Mei 2013

Pacaran No, Nikah Yes!

Oleh Benni Setiawan



Jurnal Nasional | Minggu, 19 May 2013

Pacaran bukan perilaku mengakomodasi masa depan, melainkan justru menghancurkannya.


0


"Pacaran nggak buat kamu dewasa, tapi buat kamu beradegan dewasa". Itulah kicauan Jaya YEA yang terpampang jelas dalam buku Udah Putisan Aja! Jaga Kehormatanmu, Raih Kemuliaanmu ini. Adegan dewasa seperti kissing, petting, seks oral, hubungan intim, dan aborsi menjadi harga yang harus dibayar dari perilaku pacaran.

Data Badan Koordinator Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan pada 2010 di Jabodetabek, remaja yang hilang keperawanannya mencapai 51 persen. Merujuk data yang sama di Surabaya remaja yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, disusul secara berturut Medan, 52 persen; Bandung, 47 persen, dan Yogyakarta, 37 persen.

Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2010 menyebutkan sebanyak 32 persen remaja usia 14-18 tahun di Jakarta, Bandung, dan Surabaya mengaku pernah melakukan hubungan seksual. Survei itu juga menyebutkan 21,2 persen remaja putri pernah melakukan aborsi. Lebih dari setengah remaja yang disurvei mengaku sudah pernah bercumbu atau pun melakukan oral seks.

Menghancurkan Masa Depan

Semua itu konon didasarkan pada cinta. Cinta disempitkan dengan pacaran, yang terbatas pada rayuan palsu dan gandengan tangan (halaman 56). Cinta pun hanya sebatas sebatang cokelat dan setangkai bunga. Wajarlah bila ia hilang dilahap nafsu. Bila tidak, ia pun akan lekang digerogoti masa. Begitulah cinta setangkai mawar. Habis dicium, habis disentuh, habis dipreteli satu demi satu kelopaknya, habis pula manfaatnya. Habis indah wangi mawar. Yang tinggal adalah getir pedih penyesalan. Bila cinta sebatang cokelat atau setangkai bunga, ia bisa dibayar pula dengan sejumlah harga. Tak peduli siapa yang meminta (halaman 80).

Maka dari itu, pacaran tidak akan membawa manfaat. Pacaran hanya akan menjerumuskan seseorang pada lembah kenistaan. Lembah di mana manusia tersungkur dalam keburukan dan mengerdilkan kemanusiaan itu sendiri.

Derajat manusia pun lebih rendah daripada hewan, bahkan lebih nista. Manusia kehilangan akal warasnya. Karena ia tidak mampu membedakan kebaikan dan keburukan. Manusia menjadi budak nafsu yang terbingkai atas nama cinta palsu. Cinta murni pun telah dibajak demi kepentingan sesaat. Kepentingan memuaskan nafsu seksual yang bukan pada tempatnya.

Dalam pacaran seringkali terjadi kekerasan, baik fisik maupun psikis. Biasanya korban pacaran itu adalah perempuan. Mereka terpaksa (baca: dipaksa) menuruti kemauan sang pacar. Jika tidak mau perempuan akan dimaki dan bahkan mendapat perlakuan kasar.

Oleh karena itu, seharusnya perempuan sadar bahwa pacaran bukanlah aktivitas yang aman baginya dan bagi masa depannya. Perempuan dengan masa depan cerah itu penting bagi laki-laki, tetapi perempuan dengan masa lalu tanpa noda itu jauh lebih penting. Sebaliknya, laki-laki dengan masa depan cerah penting bagi perempuan, tetapi laki-laki dengan masa lalu tanpa noda itu jauh lebih penting.

Pendek kata, pacaran tidak mengakomodasi masa depan, melainkan menghancurkannya. Menghancurkan diri sendiri dengan perbuatan yang menyimpang dari norma. Sehingga menyulitkan baginya untuk menatap masa depan cerah.

Menuju Kebahagiaan

Guna menghindari keadaan itu, pernikahan menjadi solusi mujarab. Pernikahan adalah kebaikan, sedangkan berkeluarga adalah kebaikan. Maka, suatu kebaikan sudah semestinya diawali dengan kebaikan pula. Pernikahan yang diawali dengan pacaran ibarat orang berharap kebaikan, tapi sudah memulainya dengan keburukan. It's not how life works (halaman 99).

Pernikahan bukanlah sebuah bahtera yang hanya bisa dijalani dengan cinta. Ia perlu ilmu yang tunjukkan terang agar benar jalannya. Serius dalam pernikahan bukan diukur dari tutur yang terlisan, tapi diukur dari perbuatan yang penuh kelayakan (halaman 176).

Maka dari itu mempersiapkan diri menjadi orang baik menjadi kata kuncinya. Pasalnya, di dalam al-Qur'an telah jelas bahwa orang baik akan berpasangan dengan orang baik. Sebaliknya, orang jahat akan berpasangan dengan orang yang buruk.

Hal itu merupakan sunnatullah. Jika Anda menginginkan pasangan yang dapat menjadi iman dan makmum yang baik, maka perbanyaklah berbuat kebajikan. Karena kebajikan akan menuntun Anda pada kemuliaan.

Buku karya Felix Y Siauw ini menuntun siapa saja yang ingin mendapatkan penghormatan diri dan lingkungan dengan cara menikah. Sebuah ikatan suci yang sah dan halal. Melalui hal itu seseorang akan menemukan ketenteraman lahir dan batin.

Buku ini dengan tegas menyatakan bahwa pacaran hanya akan menyeret seseorang berperilaku negatif dan kotor. Pacaran mendorong seseorang melakukan hubungan layaknya suami-istri. Padahal mereka belum mempunyai legalitas untuk melakukan hal itu.

Buku yang ditulis ringan dengan gambar-gambar lucu oleh Emeralda Noor Achni ini menyuguhkan data dan fakta pacaran bukanlah pilihan tepat bagi manusia. Dan pernikahan merupakan pilihan tepat dan jalan menuju kebahagiaan. Sebuah buku yang layak dibaca oleh remaja, orangtua, dan siapa saja yang ingin selamat dari cengkeraman nafsu sesaat.

*)Benni Setiawan, Dosen dan Pegiat Karangmalang C15 Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Data Buku

Judul : Udah Putusin Aja! Jaga Kehormatanmu, Raih Kemuliaanmu

Penulis : Felix Y Siauw

Penerbit: Mizania, Bandung

Cetakan: Februari 2013

Tebal : 180 Halaman

ISBN : 978-602-9255-43-0