Meraih Cita

Meraih Cita

Jumat, 31 Desember 2010

Menguak Jati Diri Manusia



Resensi, Suara Merdeka, 07 Nopember 2010

MENGAPA akhir-akhir ini bangsa Indonesia saling baku hantam dan bunuh? Mengapa bangsa Indonesia yang konon ramah dengan budaya ketimuran melakukan perbuatan biadab seperti itu? Hal ini karena bangsa Indonesia kehilangan -kalau tidak mau disebut tidak mempunyai jati diri.

Buku ini berbicara mengenai jatidiri manusia. Pembahasan mengenai jatidiri ini terutama difokuskan pada jatidiri yang dapat menjadi bahan refleksi setiap orang yang ingin mendalami mengenai dirinya sendiri yang sebenarnya.

Buku ini tidak membicarakan jatidiri manusia dalam pengertian hakikat manusia pada umumnya yang menjadi ciri khas spesies makhluk yang disebut manusia, sebagaimana dimengerti oleh Aristoteles dan aliran-aliran yang berafiliasi dengannya. Pembicaraan mengenai hakikat manusia sebagai spesies tidak menjadi fokus utama buku ini, bukan karena permasalahan mengenai manusia pada umumnya sudah boleh dianggap selesai atau tuntas, tetapi justru sebaliknya.

Permasalahan-permasalahan yang muncul terkait dengan martabat manusia pada umumnya terutama justru disebabkan oleh kaburnya pemahaman mengenai jatidiri masing-masing individu, sehingga pelecehan terhadap manusia lain tidak disadari sebagai pelecehan terhadap martabatnya sendiri.

Bahasan mengenai jatidiri di dalam buku ini berfungsi sebagai tawaran yang diharapkan dapat membantu pembaca untuk memahami orang lain dan terutama diri sendiri, serta menentukan sikap di dalam memaknai hidup masing-masing. Namun, buku ini benar-benar hanya merupakan tawaran bantuan yang tidak dapat menggantikan peran masing-masing pembaca untuk menggali dan mengenali diri sendiri.

Buku ini mencoba memberikan pengertian mengenai jatidiri yang dapat difungsikan secara operasional untuk dijadikan pegangan bagaimana cara memahami diri serta bagaimana membentuknya. Dengan pemahaman ini diharapkan pula pembaca dapat mengidentifikasi letak tanggung jawab terhadap hidupnya, tindakan-tindakannya, serta keputusan-keputusan yang diambilnya dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan untuk memperkembangkan dirinya masing-masing secara optimal.

Bukan Resep
Jadi, buku ini bukanlah resep untuk menemukan jatidiri, tetapi lebih menyajikan titik tolak yang bermartabat untuk refleksi, memahami jatidiri, serta memperkembangkannya secara bertanggung jawab.

Lebih lanjut, P Hardono Hadi menyatakan sungguh ironis, kalau kita menyadari apa yang biasanya terjadi. Kita sudah lama belajar, baik secara formal maupun informal, mengenai berbagai hal macam bidang, tema, topik, dan masalah dengan menginvestasikan sebegitu banyak waktu, uang, dan energi. Tetapi tidak banyak waktu, uang dan energi yang kita tanamkan untuk mempelajari diri kita sendiri, dan sungguh-sungguh berusaha untuk memperlakukan diri sendiri secara adil.

Sekali lagi, hal-hal itu biasanya diandaikan begitu saja di dalam keseharian kita. Kita seharusnya sudah mengenai diri kita sendiri. Tetapi yang seharusnya ini bukannya dijadikan perhatian utama, tetapi malahan dijadikan pengandaian yang tidak pernah diungkap kebenarannya secara tuntas. Karena seharusnya kita sudah mengenal diri sendiri, maka kita andaikan begitu saja dan tidak pernah dibicarakan secara serius dalam pergaulan dan interaksi kita dengan orang lain.

Sungguh ironis bahwa kita mempunyai segudang cerita mengenai hal-hal di luar kita, tetapi, kita menjadi bisu dan bingung kalau diminta untuk mengatakan siapa diri kita yang sesungguhnya. Di sinilah peran filsafat, yaitu untuk membongkar pengandaian-pengandaian yang dianggap tabu dan terlalu angkuh untuk dengan rendah hati mengakui ketidaktahuan kita dan mulai berlajar untuk tahu (halaman 23-24).

Berbalut pendekatan dan teori-teori filsafat buku ini mengajarkan kepada kita betapa pentingnya mengetahui diri kita sendiri. Mengutip Jalaluddin Rumi, penyair sufi kelahiran Afghanistan (1207-1273), jangan melihat ke luar. Lihatlah ke dalam diri sendiri dan carilah itu. Buku ini akan mengantarkan Anda melihat secara jernih siapa diri kita.

Walaupun berujur dengan teori-teori filsafat namun buku ini ringan untuk dibaca dan mudah dipahami. Kemampuan penulis meramu karya-karya filsuf klasik hingga modern menjadikan buku ini pantas dibaca dan direnungkan.

Pada akhirnya, kehadirian buku ini sangat pas di tengah situasi keindonesiaan yang dipenuhi oleh konflik horizontal yang semakin mengganas. Buku ini memberi kesadaran baru arti penting memahami jatidiri sebagai pedoman dan pegangan hidup. Selamat membaca.

(Benni Setiawan-33/CN15)

Pentingnya Etika Bisnis



Resensi, Seputar Indonesia,

Mengapa perusahaan-perusahaan besar hancur dalam waktu relatif singkat dan mengakibatkan gejolak perekonomian yang begitu dahsyat? Jawabannya, perusahaan-perusahaan tersebut tidak menggunakan etika dalam bisnisnya. Padahal etika bisnis merupakan faktor kesuksesan sebuah perusahaan.
Inilah yang hendak dinyatakan William J. Byron dalam buku The Power of Principles ini. Byron menekankan prinsip mengarahkan tindakan pilihan Anda. Dengan tegas ia menyatakan, di tengah menuju perjalanan sukses di dalam bisnis, Anda harus membiarkan prinsip-prinsip Anda memegang kendali (Halaman 12).
Ada sepuluh prinsip dalam menjalankan etika bisnis, pertama, prinsip integritas. Integritas berarti pengertian keutuhan, ketegaran watak, kejujuran, keandalan, dan tanggung jawab. Integritas adalah konsistensi antara standar yang dipeluk dan tindakan yang diambil—terutama ketika tidak dilihat siapa pun. Integritas merupakan dasar dari semua keutamaan bisnis yang lain. Akan terlalu sulit menjalankan bisnis bila orang yang membuat kesepakatan tidak mempunyai integritas. Integritas erat kaitannya dengan kejujuran. Kejujuran merupakan dasar bagi integritas.
Kedua, prinsip kejujuran. Prinsip ini memuat penyampaian kebenaran di dalam semua keadaan; ini juga mencakup akuntabilitas dan transparansi.
Kejujuran berarti mengatakan apa adanya. Kejujuran adalah penuh kesadaran, dan kebenaran selalu membebaskan Anda. Mungkin ada akibat-akibat yang tidak menyenangkan bagi Anda bila Anda mengatakan kebenaran. Tetapi, sebagaimana pepatah mengatakan “kebenaran akan selalu muncul” dan orang yang mengatakan kebenaran akan selalu mendapat tempat untuk berdiri, jiwa untuk berseru, dan pikiran yang damai yang tidak dapat dirampas (Halaman 91).
Ketiga, prinsip kesamaan. Tentu saja, dengan prinsip ini dimaksudkan keadilan, memperlakukan yang sama secara sama, memberikan kepada masing-masing orang yang menjadi haknya. Adil berarti mengakui nilai dasar semua manusia.
Keempat, prinsip martabat manusia. Prinsip dari semua etika ini—personal dan organisasional—mengakui nilai yang melekat pada seseorang. Ini mendorong pengakuan dengan penuh rasa hormat terhadap nilai orang lain justru karena ia adalah manusia.
Prinsip martabat manusia merupakan prinsip paling dasar baik dari etika personal maupun etika sosial. Di dalam budaya perusahaan yang baru, martabat manusia sedang mengalami ujian berat. Di dalam konteks perampingan perusahaan misalnya, para karyawan di semua tingkat diperlakukan seolah-olah mereka adalah onderdil yang dapat dibuang. Dalam banyak kasus, batas dasar dan lembar neraca lebih banyak mendapat perhatian daripada manusia yang kehilangan pekerjaan mereka karena proses “yang ditata ulang” atau “reka ulang” di dalam tempat kerja. Pemberhentian ini harus dilakukan secara bermartabat dan dengan jaminan minimal—uang pesangon, perjanjangan asuransi kesehatan, pelatihan kembali atau bantuan untuk mendapatkan pekerjaan lagi (Halaman 140-141).
Kelima, prinsip partisipasi, dalam hal ini partisipasi di tempat kerja. Prinsip ini menghormati hak orang lain agar tidak diabaikan di tempat kerja atau disingkirkan dari pengambilan keputusan di dalam organisasi.
Setiap manusia di semua tempat kerja mempunyai hak untuk menyampaikan pikirannya di dalam keputusan-keputusan yang menyangkut mata pencahariannya. Ditutupnya pintu bagi semua diskusi berarti ditolaknya juga hormat bagi martabat manusia. Partisipasi di tempat kerja bukannya tidak berhubungan dengan budaya perusahaan dan sikap manajemen tingkat atas.
Keenam, prinsip komitmen. Bahwa seseorang yang mempunyai komitmen dapat diandalkan tanggung jawabnya, sifat dapat dipercaya, kesetiaan, dan kepatuhannya. Bila sifat-sifat ini lenyap dari tempat kerja, akan ada masalah semangat pada sisi produksi, dan ini hampir pasti bahwa kualitas produk dan layanan juga akan hilang.
Ketujuh, prinsip tanggung jawab sosial. ini menunjuk pada kewajiban untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih luas dan untuk memperlakukan masyarakat sebagai salah satu pihak terkait dalam segala hal yang dilakukan oleh perusahaan atau organisasi.
Kedelapan, prinsip kebaikan umum. Ini berlaku sebagai lawan dari individualisme; ini mengaitkan kepentingan personal seseorang dengan kesejahteraan masyarakat. Ini mungkin yang paling sulit di antara semua prinsip untuk disepakati bersama dalam organisasi berkaitan dengan kebaikan umum perusahaan dan kemudian menghubungkan pengertian itu dengan pengertian mengenai kebaikan umum yang lebih luas di luar organisasi.
Kesembilan, prinsip subsidiaritas. Mungkin ini dipahami dalam pengertian penyerahan dan desentralisasi, dengan mempertahankan pembuatan keputusan dekat dengan dasar yang paling rendah. Ini berarti bahwa tidak ada keputusan yang boleh diambil pada tingkat yang lebih tinggi oleh apa yang boleh dibuat sama efektif dan efisiennya pada tingkat yang lebih rendah di dalam organisasi.
Kesepuluh, prinsip etis mengenai cinta. Prinsip ini juga berarti prinsip keyakinan yang diinternalisasikan, yang mendorong kesediaan untuk mengorbankan waktu, kenyamanan seseorang, dan menyumbangkan ide-ide dan barang-barang materinya demi kebaikan orang lain.
Buku ini meminta perhatian terhadap kerja, nurani, karakter, moralitas, kemanusiaan, pengorbanan, dan prinsip. Ini bukanlah suatu pembeberan menyusul skandal-skandal Enron, WorldCom, Adelphi dan skandal-skandal etis lain yang telah membuat bisnis di Amerika babak belur dalam tahun-tahun terakhir. Ini merupakan suatu latihan dalam pemaparan yang dimaksudkan untuk melibatkan pikiran dan nurani mereka yang sekarang, atau akan segera menjadi pengambil keputusan di dalam sistem bisnis.
Penulis sangat berharap bahwa para pembaca buku ini akan menjadi yakin bahwa bila mereka selalu memikirkan etika dalam pekerjaan mereka, mereka akan menyelesaikan lebih banyak hal dengan lebih efisien dan lebih menguntungkan daripada yang sekarang mungkin diduga.

*)Benni Setiawan, Alumnus Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Kiat Sekolah Gratis



Pustaka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Wage, 7 November 2010

Siapa bilang kuliah di luar negeri harus mengeluarkan duit banyak? Kita bahkan bisa menyelesaikan kuliah di luar negeri secara gratis. Banyak sekali kesempatan kuliah di mancanegara yang bisa diperoleh melalui beasiswa.
Kemudian bagaimana mendapat kesempatan emas ini? Buku Kuliah Gratis di Luar Negeri ini akan mengantarkan Anda dalam mempelajari seluk beluk memperoleh beasiswa kuliah di luar negeri. Berbagai hal tentang kuliah di luar negeri diurai dengan bernas oleh Reny Y. Reny Y berdasarkan wawancara dengan penerima beasiswa di beberapa negara, memberikan trik dan panduan guna memperoleh kesempatan emas ini.
Buku ini adalah pilihan tepat bagi siapapun yang ingin mendapatkan informasi lengkap tentang kuliah di luar negeri dan tip-tip untuk mendapatkannya. Dengan panduan dari buku ini, kita biasa menyelami kesempatan kita untuk mendapatkan beasiswa kuliah ke Amerika Serikat, Australia, Eropa, Jepang dan Korea, serta Mesir.
Dengan buku ini di tangan, Anda akan mengetahui berbagai kiat jitu untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Segera miliki buku ini dan persiapkan diri Anda belajar di negeri seberang. Selamat membaca.

Benni Setiawan, Pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Minggu, 12 Desember 2010

Solusi Atasi Krisis Iklim

Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 12 December 2010 KRISISiklim bukanlah isapan jempol belaka.Sudah banyak bukti empiris menunjukkan bahwa bumi sudah rusak.Bencana alam banjir dan tanah longsor serta anomali cuaca menerpa berbagai belahan dunia lain. Pilihan untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa hal demikian, akan banyak generasi mendatang menuntut—untuk tidak menyebut mengutuk—kita sebagai penghuni terdahulu yang tidak mampu bertindak menyelamatkan alam. Inilah pesan yang dapat kita ambil dari buku Our Choicekarya Al Gore.Buku ini membicarakan solusi- solusi dalam menangani krisis iklim. Sang penulis yang juga mantan Wakil Presiden Ke-45 Amerika Serikat itu mengakui telah mengorganisasi dan memoderatori lebih dari 30 Solutions Summits dalam rangka mengatasi krisis iklim. Di samping memimpin pertemuanpertemuan, penulis juga bertemu satu per satu dengan para ahli terkenal seluruh dunia dalam upaya menemukan cara-cara paling efektif mengatasi krisis iklim. Our Choicemerupakan hasil wawasan- wawasan inovatif yang ditawarkan oleh peserta dalam dialog selama bertahun-tahun.Para ahli membantu menyusun sebuah pendekatan segar dan unik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal inilah yang menjadi dasar penulisan buku ini, memilih gambar- gambar, dan memesan ilustrasi- ilustrasi––untuk mengumpulkan di suatu tempat semua solusi yang paling efektif yang sekarang tersedia dan bersama-sama akan mengatasi krisis ini. Hal itu dimaksudkan untuk memberi inspirasi kepada para pembaca untuk bertindak–– tidak hanya secara individual, tetapi juga peserta dalam proses-proses politik yang digunakan semua negara dan dunia secara keseluruhan––untuk menentukan pilihan yang sekarang sudah ada di hadapan kita. Kita dapat mengatasi krisis iklim. Memang akan sulit, tetapi kalau memilih untuk mengatasinya, saya tidak ragu sedikit pun bahwa kita mampu dan akan berhasil. Sungguh, keberhasilan kita di dalam mengubah ekonomi global ke pola rendah karbon akan menghasilkan solusi-solusi yang diperlukan bagi masalah-masalah yang telah dibiarkan memburuh selama berabad-abad. Langkah pertama yang penting untuk solusi tersebut adalah sebagai berikut: kita harus menentukan pilihan.Yang saya maksudkan dengan kita adalah peradaban global kita. Di sanalah letak, sebagaimana disebut Shakespeare,“kesulitannya”— karena tidak masuk akal untuk membayangkan bahwa kita sebagai spesies mampu membuat keputusan kolektif secara sadar. Meskipun begitu, itulah tugas yang sekarang kita hadapi (hlm 12–16). Lebih lanjut, rasa iba dan bantuan terhadap mereka yang telah terlukai oleh dampak-dampak dari krisis global terdahulu merupakan kebutuhan praktis untuk membangun dan meneguhkan konsensus global yang penting bagi tugas berat untuk mengatasi krisis dan menghindarkan dari dampakdampak buruk. Kenyataan penting yang diremehkan oleh mereka yang ingin memusatkan perhatian hanya pada adaptasi adalah bahwa kecuali kalau kita mengambil langkah tegas untuk menghentikan kerusakan lingkungan bumi, adaptasi akan terbukti tidak mungkin sama sekali. Seandainya kita tidak mengambil tindakan tegas, dampakdampak terburuk dari krisis iklim akan semakin nyata dari generasi ke generasi, meningkat dalam kekuatan destruktifnya dari dekade satu ke dekade lain. Tapi kita tidak dapat menunggu kedahsyatan krisis dengan kekuatan penuhnya untuk memobilisasi suatu tanggapan,karena itu akan sudah sangat terlambat untuk menghentikan proses yang telah mulai kita gerakkan. Dalam istilah praktisnya,penyelamatan generasi mendatang harus dimulai sekarang juga. Bahkan sewaktu kita mengulurkan tangan kita kepada mereka dari generasi sekarang yang menderita, kita harus menolak pendapat bahwa penyelamatan ini merupakan sesuatu yang terlalu berlebihan daripada sekadar permulaan dari apa yang harus kita laksanakan (hlm 29–30). Buku ini juga memberi sebuah jawaban yang genuine atas pertanyaan mendasar,bagaimana kita memecahkan krisis iklim ini? Dengan memberi perhatian besar pada polusi yang sebelumnya diabadikan, Amerika Serikat menetapkan insentif yang kuat untuk memulai perubahan historis meninggalkan pembakaran batu baru tanpa menangkap dan menyimpan CO2 yang dikandungnya. Dorongan baru untuk mengubah produksi energi kami dari bahan bakar fosil ke sumber-sumber matahari, angin, dan panas bumi memacu gelombang perbaikan dalam teknologi-teknologi itu dan yang lain yang menghindarkan polusi. “Kami mendapat kejutan yang menyenangkan bahwa begitu banyak dari perubahan-perubahan bukanlah hanya murah, tetapi sebenarnya menguntungkan. Banyak dari industri kami menemukan cara untuk mengubah praktikpraktik yang sia-sia dan menjadi lebih efisien. Para petani, peternak, dan pemilik tanah besar mulai menanam pohon-pohon berjumlah jutaan dan mengubah cara menanam tanaman pangan dan menjalankan peternakan”(hlm 424) Dorongan-dorongan baru untuk mengurangi karbon membuka aliran sumber-sumber daya untuk membiayai penanaman pohon,pertanian organik, pemulihan kesuburan tanah,pembaruan pendidikan— dengan fokus pada anak-anak pe-rempuan dan laki-laki—serta inisiatif- inisiatif layanan kesehatan, dengan tekanan khusus pada layanan kesehatan ibu dan anak yang meningkatkan tingkat kelanjutan hidup anak dan mempercepat perubahan seluruh dunia menuju keluarga- keluarga kecil (hlm 425). Kelebihan lain dari buku yang dicetak secara spesial ini adalah tanggung jawab moral menyelamatkan alam (hutan) dari kerusakan. Buku ini dicetak dengan kertas khusus yang memperoleh pengakuan dari The Foresty Stewardship Council (FSC). Pada akhirnya, buku ini merupakan karya paling otoritatif guna memecahkan krisis iklim yang sedang kita hadapi. Dengan membaca buku ini, Anda akan diajak berpikir sekaligus bertindak untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan yang dahsyat. Benni Setiawan, alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Agar Kuliah Kerja Nyata Berdampak pada Kehidupan Masyarakat

Resensi, Jurnal Nasional, Minggu, 14 Nov 2010 KULIAH Kerja Nyata (KKN) seakan telah menjadi tradisi dalam kurikulum perguruan tinggi. Selain guna memenuhi sistem kredit semester (SKS), KKN merupakan sarana yang tepat untuk "menguji" sejauh mana teori yang diterima oleh mahasiswa berpadu dengan realitas empirik di tengah masyarakat. Namun, tidak semua mahasiswa menyadari arti penting KKN ini. Sering kali KKN hanya dijadikan ajang liburan kuliah, pindah tidur, atau bahkan mencari jodoh. Maka tidak aneh jika program KKN tidak berdampak pada kehidupan masyarakat yang lebih baik. Program pemberdayaan masyarakat sering kali terlewatkan oleh mahasiswa sehingga KKN menjadi gamang dan miskin makna. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bagi program KKN yang diselenggarakan oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Kegiatan KKN yang diselenggarakan oleh mahasiswa UGM bertumpu pada realitas empiris di tengah masyarakat. Mahasiswa UGM membaca kebutuhan masyarakat sekitar kemudian menerjemahkannya dalam program kerja KKN. Contohnya, dalam mengatasi kekeringan dengan teknologi tepat guna. Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta merupakan daerah yang sering mengalami krisis air (kekeringan). Setidaknya ada 13 kecamatan yang selalu mengalami kekeringan. Yakni Kecamatan Gedangsari, Patuk, Nglipar, Ngawen, Paliyan, Tepus, Semanu, Rongkop, Girisubo, Panggang, Purwosari, Playen, dan Semin. Saat musim kemarau sumur masyarakat kering. Namun, Gunung Kidul mempunyai potensi sumber air dari dalam goa. Dengan sedikit kecekatan dan kelihaian beberapa mahasiswa, maka dibuatlah pompa air. Akan tetapi, mahasiswa KKN UGM tidak hanya membuat pompa untuk masyarakat, namun juga memberi keterampilan untuk merawatnya. Salah satu usaha untuk membuat suatu program pemberdayaan bersifat berkelanjutan adalah dengan menciptakan sistem. Membantu membuatkan pompa air di tengah-tengah masyarakat yang kekeringan mungkin bisa dilakukan oleh siapa saja, asalkan punya uang. Akan tetapi, tidak untuk kesiapan dan kemandirian masyarakat pascakegiatan. Jika tidak disiapkan bagaimana sistem pengelolaan terhadap alat yang canggih itu, maka keberdayaan masyarakat akan sulit dicapai. Dengan demikian, membantu masyarakat dengan memberikan sesuatu barang yang bersifat produktif, harus diikuti bagaimana melakukan pengelolaan yang baik terhadapnya. Mereka harus diberikan skill (keterampilan), di lingkungan mereka juga harus diciptakan sistem baru supaya sistem dan keahlian masyarakat tersebut siap, jika suatu saat pekerja sosial harus meninggalkan masyarakat tersebut. Inilah yang sering dilupakan dalam proses pemberdayaan, sehingga tidak sedikit program pemberdayaan gagal karena masyarakat tidak siap ditinggalkan oleh pekerja sosialnya (hlm. 41-51). Dalam hal penanganan bencana alam pun demikian. Mahasiswa yang terjun untuk KKN dapat bekerja sejak masa tanggap darurat. Tanggap darurat menjadi salah satu program yang bagus dilakukan secara cepat dalam rangka memenuhi kebutuhan korban bencana yang bersifat darurat. Misalnya, kebutuhan-kebutuhan primer seperti makanan, minuman, pakaian atau tempat tinggal. Maka tugas yang paling utama yang harus dilakukan adalah menerima dan menyalurkan logistik yang terdiri atas sandang, pangan, dan papan kepada masyarakat korban bencana yang membutuhkan bantuan. Dalam menyalurkan logistik, mahasiswa terlebih dahulu melakukan indetifikasi warga yang masih membutuhkan bantuan dan jenis barang yang diperlukan untuk selanjutnya menentukan sasaran pemberian, jenis dan jumlah logistik yang akan diberikan sesuai dengan stok yang dimiliki. Seluruh kegiatan penerimaan dan penyaluran logistik dicatat, sehingga akuntabel. Program pascabencana pun penting untuk disentuh. Seperti program pemulihan ekonomi pascabencana. Program ini bertujuan untuk mengindentifikasi kegiatan-kegiatan ekonomi (mata pencaharian) warga sebelum bencana alam dan menggali potensi-potensi ekonomi yang dapat dikembangkan pascabencana alam. Realisasi program ini adalah berupa penyuluhan pertanian dan peternakan yang diberikan kepada warga yang memiliki mata pencarian bertani dan beternak. Bahkan, di beberapa unit, mahasiswa memberikan bantuan berupa bibit tani dan inseminasi buatan pada ternak sapi. Dalam melaksanakan program ini, mahasiswa banyak mendapat bantuan dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Peternakan UGM (hlm. 77-112). Buku ini juga menyuguhkan beberapa program pemberdayaan yang patut ditiru, seperti wajib belajar sembilan tahun, pemberantasan buta aksara dalam pemberdayaan masyarakat, pengembangan desa wisata melalui sistem informasi geografis berbasis web, pemetaan dan pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah berbasis biogas, serta pemberdayaan politik dalam pemilu. Kesemuanya berangkat dari potensi yang ada di dalam masyarakat dan dilakukan secara berkesinambungan. Pada akhirnya, buku ini merupakan rekam kegiatan KKN kampus UGM yang selalu menekankan pada pola pemberdayaan masyarakat. Harapannya, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik oleh kalangan akademisi atau masyarakat pada umumnya dari praktik terbaik (best practice) yang diulas dalam buku ini. *** Data Buku Judul: Belajar dari Masyarakat, Best Practices Program Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat LPPM UGM Editor: Dr drh Joko Prastowo, MSi Penerbit: Samudra Biru, Yogyakarta Cetakan: I, Juni 2010 Tebal: x + 142 halaman ISBN: 978-602-96516-0-7 Harga: Rp26.000 *** *)Benni Setiawan, penulis dan pembaca buku, tinggal di Sukoharjo. http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Pustaka&berita=149248&pagecomment=1

Jumat, 26 November 2010

Bertualang Bersama Gullible

Seputar Indonesia, Resensi, Sunday, 21 November 2010 Hidup Anda adalah milik Anda.Mengingkari ini sama dengan menyatakan secara tidak langsung bahwa orang lain lebih berhak atas hidup Anda dari pada Anda sendiri. Demikian salah satu prinsip hidup yang bisa dipetik dari buku Petualangan Jonathan Gullible,Sebuah Odisei Pasar Bebas. Sebuah buku luar biasa. Bercerita tentang persoalan keseharian yang mungkin sering kita lupakan dan remehkan. Namun, pada hakikatnya mengandung sejuta makna hidup yang akan membimbing kita menuju kehidupan yang lebih baik. Buku cerdas dengan gaya pembahasan yang unik dan menawan ini didahului dengan bercerita bergaya cerpen, renungan, ulasan, catatan, latar belakang, dan sekaligus referensi.Kecerdasan buku ini telah membius jutaan manusia.Karena karya ini telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa sejak pertama kali terbit 30 tahun yang lalu. Inilah pujian yang pantas untuk melukiskan buku Petualangan Jonathan Gullible, Sebuah Odisei Pasar Bebas ini. Buku ini berisi tidak kurang dari 40 petuah bijak yang pantas kita renungkan dan menjadi catatan penting dalam mengarungi samudra kehidupan. Seperti sebuah cerita yang satu ini. Pada suatu ketika Jonathan ditodong oleh seorang pencuri. Berlangsunglah sebuah percakapan yang cocok dengan kondisi keindonesiaan saat ini. ”Kalau kamu harus kehilangan uang kamu,lebih baik berikan semuanya kepadaku, jangan kepada petugas pajak”. ”Kenapa?” tanya Jonathan seraya menaruhkan uang di tangannya yang cekatan dan terampil. ”Kalau kamu memberikan uang itu kepada saya,” kata pencuri itu sambil memasukkan lembaran uang ke dalam kantong kulit yang digantung di pinggangnya,”paling tidak saya akan pergi dan tidak mengganggumu lagi.Tapi, sampai hari kamu mati nanti, petugas pajak akan mengambil uangmu,yang dihasilkan oleh masa lalu kamu, dan dia juga akan mengontrol masa depanmu. Hah! Uang hasil jerih payah kamu setahun yang dia buang-buang lebih banyak jumlahnya dari uang yang kami, para perampok musiman, rampas dari kamu seumur hidupmu!” Jonathan terlihat bingung. ”Tapi, bukankah Dewan Bangsawan menggunakan uang pajak untuk melakukan hal-hal baik untuk rakyat?” ”Ya,tentu,”pencuri itu berkata dengan datar. ”Ada yang bertambah kaya. Tapi kalau membayar pajak itu baik, mengapa petugas pajak tidak meyakinkan kamu tentang manfaat pajak dan membuatmu membayar dengan sukarela?” Jonathan merenungkan perkataannya. ”Mungkin membujuk membutuhkan waktu dan upaya lebih banyak?” ”Tepat”, kata pencuri itu. ”Itu juga masalah buatku.Kami menghemat waktu dan tenaga dengan menggunakan senjata api!” Ia lalu duduk di sebelah Jonathan, yang mencoba bergerak, namun tidak berhasil. ”Tahu tidak?” Tanya pencuri itu sambil menghitung uangnya. ”Politik merupakan semacam ritual menyucikan. Hampir semua orang berpikir rasa iri, berbohong, mencuri,atau membunuh itu salah. Itu bukan hal yang dilakukan oleh tetangga Anda— kecuali kalau mereka bisa membuat para politisi melakukan pekerjaan kotor itu untuk mereka.Ya,politik memungkinkan semua orang, bahkan yang terbaik di antara kita. Merasa iri,berbohong,mencuri,dan bahkan kadang-kadang untuk membunuh. Dan kami tidak merasa terganggu.”(halaman.146–147) Pantaslah jika seorang Gayus HP Tambunan, petugas pajak golongan IIIA dapat berpenghasilan miliar rupiah.Dia dapat melakukan apa saja atas nama pajak (negara). Dia dapat membayar sipir dan atau petugas hukum lainnya untuk berlibur ke Bali dalam masa tahanan karena uang yang telah ada di tangan. Jelas uang pajak tidak masuk negara,namun masuk dalam saku petugas-petugas pajak. Sistem peradilan yang dimaksudkan membuat orang bertanggung jawab atas perbuatannya yang merugikan orang lain. Sayangnya, hukum tidak selalu berjalan seperti itu. Jelas bahwa semua koneksi politis memengaruhi sistem peradilan. Seandainya seorang politisi mendapat surat tilang, kemungkinan besar dia punya orang dalam untuk membersihkan catatannya. Ada kecenderungan hukum mengabaikan tanggung jawab pribadi dan memungkinkan orang menerima ganti rugi hanya karena rasa simpati atau persepsi tentang kekayaan. Kecenderungan di atas seringkali dijawab oleh pemerintah denganmengeluarkanundang- undang baru. Padahal menurut Ken Schoolland, perizinan dan peraturan menghambat kemajuan.Tak mengherankan bila negara-negara dengan jumlah peraturan terbanyak mengalami pertumbuhan ekonomi paling kecil. Pelajaran lain yang dapat kita petik dari buku ini adalah merenungkan salah satu prinsip Jonathan Gullible. Salah satu prinsipnya adalah prinsip kepemilikan pribadi. Hidup Anda adalah milik Anda. Mengingkari ini sama dengan menyatakan secara tidak langsung bahwa orang lain lebih berhak atas hidup Anda dari pada Anda sendiri.Tak seorang pun,atau kelompok orang,berhak atas hidup Anda sendiri halnya Anda tidak berhak atas hidup orang lain. Jonathan mengajarkan bahwa hidup kita tidak tergantung orang lain. Dengan kata lain, bangsa ini pun harus berdikari—meminjam istilah Soekarno. Bangsa Indonesia harus berdiri tegak di atas fondasi kebangsaannya sendiri, tidak bergantung dan menyerah tunduk takluk kepada bangsa lain.Tanpa hal yang demikian, sebagaimana kisah Jonathan, bangsa ini akan selalu miskin dan tidak merdeka (hidup layak). Buku ini memperkenalkan berbagai konsep ekonomi pasar dan masyarakat merdeka lewat berbagai kisah petualangan tokoh fisiknya, Jonathan Gullible. Ia juga sekaligus mengantar pembaca untuk berkenalan dengan berbagai tokoh klasik di dunia pemikiran liberal, antara lain Ludwig von Mises, Frederic Hayek, Milton Friedman, Henry Hazlitt,Ayn Rand. Buku ini menantang pembaca untuk mempertanyakan apa yang menyebabkan sebuah bangsa sejahtera, sementara yang lain tetap miskin. Jonathan memperkenalkan berbagai konsep dasar seperti hak kepemilikan, tragedi kepemilikan bersama, tatanan spontan, dan dilema demokrasi dan kebebasan, dsb.Bersama Jonathan pembaca diajak untuk menjelajahi berbagai pemikiran filosofis dan persoalan praktis dalam ekonomi, sosial,dan politik.(*) Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Minggu, 29 Agustus 2010

Belajar Juara ala Trump

Resensi, Suara Merdeka, 1Agustus 2010 Judul : Think Like A Champion! Penulis : Donald Trump Penerbit : Daras Book, Jakarta Terbit : 2010 Tebal : 211 Halaman Donald J. Trump adalah salah satu pengusaha tersukses, terbesar, dan terglamor di dunia. Nama “Trump” sendiri seolah telah menjadi brand dan mantra bagi kesuksesan. Visinya untuk sukses sekaligus menikmati hidup benar-benar telah menginspirasi banyak orang. Melalui bukunya ini, Think Like A Champion!, Trump ‘curhat’ mengenai kesuksesannya itu. Berawal dari catatan ayahnya, Fred C. Trump yang dikirim secara teratur, Trump bertutur secara lugas mengenai dirinya sendiri. Trump menyebut para juara dilahirkan dan para juara bisa dibentuk. Salah satu definisi juara adalah seseorang yang memperlihatkan keunggulan menonjol. Definisi lainnya adalah seorang yang menjadi pemenang hadiah pertama atau menduduki tempat pertama dalam suatu kompetisi. Para juara tambah Trump juga ingin mencapai sesuatu yang spesial. “Biasa-biasa saja” tidak akan cukup untuk seseorang yang memiliki pola pikir juara. Para juara berpikir besar. Para juara bekerja amat keras. Para juara itu fokus. Para juara berdisiplin. Berpikirlah seperti itu, para juara berfikir seperti juara. Secara lebih sederhana Rektor Trump University ini menjelaskan pilihan yang terbaik adalah mendapatkan prestasi setinggi mungkin. Mengapa menetapkan sasaran yang terlalu rendah? Apakah Anda pernah mendengar seorang anak berkata mereka tak ingin apa-apa ketika mereka dewasa? Mereka penuh impian dan rencana, dan jarang memilih cita-cita yang biasa-biasa saja. Mereka ingin jadi presiden, dokter, astronot, ilmuan, dan seterusnya. Mereka berada di rel yang benar dan memiliki pola pikir yang tepat. Jika Anda perlu, bawalah diri Anda kembali ke saat Anda memiliki prestasi tinggi sebagai suatu sasaran. Tidak setiap orang bisa menjadi juara dunia dalam satu hal, tapi Anda bisa berusaha keras menjadikan yang terbaik yang Anda bisa. Itulah langkah pertama—dan tanggung jawab harian. Para juara bekerja lebih keras lagi. Kita semua tahu kapan kita cukup melakukan sesuatu dan ketika kita benar-benar berusaha mati-matian. Berusahalah untuk memacu diri Anda—tiap hari. Jangan gagal karena Anda tidak pernah mengizinkan diri Anda untuk memulai! Jangan hindari kesuksesan karena Anda berpikir tanggung jawabnya mungkin terlalu besar—berfokus saja dan terus jalan! Anda akan kaget dengan apa yang bisa dihasilkan upaya cerdas. Buku ini begitu menawan. Mudah dibaca dan dimengerti. Membaca buku ini seperti mendapat bimbingan langsung dari Presiden Direktur Trump Organization. Jika Anda tidak memiliki waktu luang untuk membaca, inti buku ini terletak pada halaman 55-57. Namun, jika Anda ingin mengetahui rahasia sukses dan menemukan key word (kata kunci) berpikir juara ala Trump, halaman demi halaman dalam buku ini sayang untuk dilewatkan. Maka tidak berlebihan jika, Robert Kiyosaki, penulis Rich Dad Poor Dad dalam pengantar buku ini menyatakan, Trump melalui Think Like A Champion! telah mengajarinya berpikir seperti juara. Buku ini merupakan hadiah yang telah diberikan oleh Donald Trump pada istri dan dirinya. Sebuah hadiah yang Trump bagi dengan dunia. Sebuah hadiah yang lebih bernilai daripada uang. Jika Kiyosaki saja memberikan pujian semacam ini, maka buku ini sangat layak untuk dikonsumsi. Selamat membaca (Benni Setiawan)

Panduan Pasar Keuangan

Perada, Koran Jakarta, Rabu, 11 Agustus 2010 Judul : The Alchemy of FinancePenulis : George SorosPenerbit : Daras Books, JakartaTahun : I, Mei, 2010Tebal : 407 HalamanHarga : Rp100.000,- Empat ratus tujuh puluh tiga juta berbanding satu. Itulah peluang George Soros untuk membuat catatan investasi yang dia capai sebagai manajer Quantum Fund dari 1968 hingga 1993. Rekor investasinya merupakan penyangkalan yang paling tidak terbantahkan bagi hipotesis acak sepanjang sejarah! Soros mewartakan kesuksesannya itu melalui buku ini. The Alchemy of Finance merupakan salah satu karya terbesar sepanjang masa tentang dunia finansial dan investasi. Sebuah masterpiece dari salah seorang pakar sekaligus praktisi pasar keuangan yang paling sukses dalam sejarah. Buku ini memaparkan beragam strategi, filosofi , dan teknik yang dibutuhkan untuk sukses di dunia finansial dan investasi. Semua itu telah terbukti berhasil dan teruji selama 30 tahun terakhir. Tak pelak, buku ini menjadi bacaan wajib dan panduan utama bagi para praktisi investasi dan pasar keuangan yang serius. Buku ini berangkat dari konsep refl eksivitas. Konsep refleksivitas sangatlah sederhana. Dalam situasisituasi ketika ada para partisipan yang berpikir, terdapat interaksi dua arah antara pemikiran para partisipan dan situasi tempat mereka berpartisipasi. Di satu sisi, para partisipan mencoba memahami realitas, di sisi lain mereka mencoba menciptakan hasil yang diinginkan. Kedua fungsi itu bergerak ke arah berlawanan: dalam fungsi kognitif, realitas adalah apa yang terpampang; dalam fungsi partisipasi, pemahaman partisipan menjadi konstanta. Kedua fungsi dapat saling memengaruhi dengan merepresentasikan apa yang dianggap sebagai kenyataan. Soros menyebut interferensi antara kedua fungsi ini sebagai refleksivitas . Soros memandang refleksivitas sebagai sebuah lingkar umpan-balik antara pemahaman partisipan dan situasi ketika mereka berpartisipasi, dan Soros yakin bahwa konsep refleksivitas merupakan sesuatu yang sangat penting untuk memahami situasi-situasi ketika terdapat para partisipan dengan kemampuan berpikir. Refleksivitas menyebabkan pemahaman para partisipan menjadi tidak sempurna dan memastikan bahwa segala tindakan mereka akan membawa dampak yang tidak dimaksudkan. The Alchemy of Finance dimaksudkan sebagai sebuah serangan langsung terhadap paradigma yang berlaku saat ini, namun serangan ini bagaikan menghantam batu karang. Para ekonom profesional menganggap teori refleksivitas sebagai teori buatan seorang amatir yang gila akibat kesuksesan finansial. Teori refleksivitas merupakan teori filosofis, bukan teori ilmiah. Namun, teori refleksivitas jangan diabaikan hanya karena merupakan sebuah teori filosofis, dan teori ini jangan dibenturkan dengan realitas. Tidak ada laboratorium yang lebih baik untuk menguji teori refleksivitas daripada pasar keuangan, yang tidak menoleransi alasan (hal 68). Paul A Volcker dalam pengantarnya menyatakan bahwa The Alchemy of Finance bukanlah sebuah bacaan yang cepat dan mudah. Namun, Anda akan mendapatkan pengetahuan yang layak dari buku ini: sebuah pergulatan seorang pemikir yang independen dan yang tidak pernah berhenti mencari dalam upaya menerobos kekolotan lama dengan berbagai pandangan baru dan bermakna mengenai perilaku keuangan dan manusia. Peresensi adalah Benni Setiawan, pencinta buku, tinggal di Sukoharjo. 

Menuju Keunggulan Strategi

Resensi Seputar Indonesia, Saturday, 14 August 2010 Kepemimpinan dan perumusan strategi adalah sebuah seni.Seni merumuskanstrategi akan membantu sebuah perusahaan mencapai targettarget produksidan mencapai puncak kejayaan. Robert S Kaplan & David P Norton, pencipta konsep Balanced Scorecard, menunjukkan cara-cara terbaik dan menyeluruh yang terbukti berhasil pada ratusan perusahaan internasional yang menjadi klien mereka.Mereka berdua mentransformasi hal-hal yang tidak umum demi suksesnya pelaksanaan strategi. Konsep Balanced Scorecard terbangun dalam empat perspektif utama yaitu keuangan,pelanggan, proses internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Mengapa perusahaan perlu menggunakan Balanced Scorecard. Buku Execution Premiumini dengan lugas menjawab pertanyaan mendasar tersebut.Sebagian besar perusahaan, dalam menerapkan sistem manajemen strategi yang berbasis Balanced Scorecard,mengikuti urutan yang secara umum dimulai dengan prinsip pertama (gerakkan tim eksekutif), segera disusul dengan prinsip kedua (terjemahkan strategi ke dalam sebuah peta strategi yang berisi sasaran-sasaran strategis yang saling terkait disertai Balanced Scorecard dari ukuran dan sasaran) dan ketiga (selaraskan berbagai bagian dari bisnis melalui kartu skor yang saling terkait). Prinsip keempat mensyaratkan desain ulang beberapa sistem kunci sumber daya manusia (penetapan tujuan, motivasi), sedangkan prinsip kelima mensyaratkan desain ulang berbagai sistem perencanaan, penganggaran,dan pengendalian. Penerapan prinsip keempat dan kelima biasanya tidak dimulai sebelum program tersebut sudah berjalan satu tahun atau lebih. Nyatanya, Kaplan dan Norton menemukan bahwa perusahaanperusahaan mampu memperoleh hasil penting hanya dengan menerapkan prinsip pertama, kedua, dan ketiga secara menyeluruh dan menjalankan beberapa kegiatan dasar dalam prinsip keempat seperti program untuk mengomunikasikan strategi kepada karyawan dan mengikuti satu praktik dalam prinsip kelima yaitu menyelenggarakan rapat manajemen baru guna mengkaji ulang strategi. Namun, karena pendekatanpendekatan baru belum tertanam dalam sistem manajemen yang sedang berjalan pada organisasi (prinsip kelima),kinerjanya sering tidak berkesinambungan. Guna melengkapi kekurangan dan mewujudkan kesinambungan kinerja, dalam buku ini kedua penulis memulainya dengan mendokumentasikan praktik-praktik terbaik bagi prinsip kelima dari strategy-focused organization (SFO). Norton dan Kaplan mengakhirinya dengan sebuah sistem manajemen yang komprehensif dan mandiri yang mengaitkan strategi dan operasi. Sistem manajemen lingkaran-tertutup yang diuraikan dalam buku ini menggambarkan "kondisi terakhir" yang bisa dicapai oleh suatu perusahaan guna menghubungkan superioritas dalam pelaksanaan operasi dengan prioritas-prioritas strategis dan visi. Dalam buku ini, Norton dan Kaplan menguraikan bagaimana perusahaan mampu membangun hubungan yang kuat dari strategi sampai operasi sehingga kegiatan operasional sehari-hari daripada karyawan akan mendukung sasaran strategi. Dua penulis kawakan ini memperkenalkan sebuah kerangka baru untuk rapat tinjauan manajemen yang secara jelas memisahkan rapat-rapat kajian operasi yang memecahkan masalah jangka pendek dan memantau perbaikan proses-proses operasi kunci, dari rapat-rapat yang mengkaji dan memperbaiki pelaksanaan strategi. Sudah banyak elemen pelaksanaan strategi-strategi yang efektif. Perangkat penyusunan visi strategis dan perumusan strategi telah dikembangkan. Perangkat perencanaan strategi, termasuk peta strategi dan Balanced Scorecard, telah tersedia dan digunakan oleh banyak perusahaan lebih dari sepuluh tahun.Dan hampir semua perusahaan menggunakan perangkat operasional untuk manajemen mutu, perbaikan proses, dasbor, dan pembiayaan berbasis kegiatan. Bagaimanapun yang tidak ada adalah kerangka komprehensif untuk mengintegrasikan semua perangkat ini sehingga selaras dan harmonis sebagaimana mestinya. Dalam buku ini disajikan sebuah sistem manajemen komprehensif lingkaran-tertutup enam tahap yang mengintegrasikan berbagai perangkat manajemen untuk membantu perusahaan dalam proses-proses pelaksanaan strategi berikut ini; menyusun strategi, merencanakan strategi,menyelaraskan unit-unit organisasi dan karyawan dengan strategi, merencanakan operasi dengan menetapkan prioritas bagi manajemen proses dan dengan mengalokasikan sumber daya yang akan mengantarkan strategi, memantau dan belajar dari operasi dan strategi, serta menguji dan menyesuaikan strategi. Perusahaan membutuhkan sebuah struktur formal bagi komponen- komponen ini. Selain itu, mereka juga membutuhkan sebuah unit organisasi baru yang membantu merancang sistem yang terintegrasi, menjalankan proses-proses kunci di dalamnya, dan mengoordinasi proses-proses lainnya dengan fungsi-fungsi organisasi yang lain—sebuah unit yang kami sebut office of strategy management. Proses pelaksanaan strategi dan infrastruktur organisasi merupakan cara pengelolaan baru. Proses dan infrastruktur itu menciptakan sebuah pendekatan sistem bagi perencanaan strategi dan kaitannya dengan operasi. Melalui kombinasi antara konsep, kasus, dan metodologi,buku ini menguraikan dasar-dasar sistem pengelolaan strategi dan operasi dengan Balanced Scorecard sebagai intinya (halaman 53-54). Perlunya organisasi menghubungkan strategi dan operasi dalam sebuah daur yang berkelanjutan dan dinamis adalah tesis utama dari Execution Premium. Organisasi yang bisa membangun hubungan ini dan menjalankan strategi mereka lebih cepat dibandingkan pesaing mereka akan mendapatkan ganjaran yang sangat besar yakni Execution Premium (imbalan yang tinggi atas pelaksanaan strategi). Buku ini akan mengantarkan Anda menuju keunggulan pelaksanaan strategi.(*) Benni Setiawan,Mahasiswa program PascasarjanaUIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 

Mendalami Ruang Publik

Resensi, Sinar Harapan, Sabtu, 14 Agustus 2010 10:31 OLEH: BENNI SETIAWAN Ruang publik (public sphere) menjadi populer dalam literatur filsafat dan ilmu-ilmu sosial pasca-komunisme. Konsep ini seolah menge­mas segala harapan akan perubahan sosial secara demokratis. Seberapa suburkah konsep ini untuk menjelaskan partisipasi masyarakat warga (civil society) dalam demokrasi?Interaksi Aktif Masyarakat-NegaraMenurut Franz Magnis Suseno dalam buku ini (hal 111-112), dalam masyarakat warga atau masyarakat politis, John Locke menyebut beberapa unsur fundamental yakni demokrasi modern, atau kalau mau, etika politik modern, terwujud. Pertama, prinsip kedaulatan rakyat yakni segala wewenang atas masyarakat harus datang dari masyarakat itu. Kedua, prinsip negara minimal, dalam arti bahwa wewenang negara dibatasi oleh rakyat yang berdaulat pada apa yang perlu agar negara dapat melakukan tujuan untuknya ia dirikan, yakni melindungi masyarakat.Ketiga, prinsip pembagian kekuasaan, yakni pembagian Locke yang masih kurang sempurna ke dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif akan dilengkapi menjadi trias politik oleh Charles de Secondat Montesquieu (1689-1755), seorang pengagum Locke dan tokoh liberalisme Prancis, dengan menambah kekuasaan yudikatif. Artinya kehakiman (sedangkan kekuasaan federatif dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif). Prinsip pembagian kekuasaan adalah bagi negara modern. Di dalamnya berakar paham negara hukum.Keempat, prinsip bahwa kekuasaan negara adalah terbatas. Pembatasan itu dirumuskan dalam Undang Undang Dasar yang menetapkan secara perinci wewenang tiga kekuasaan negara itu. Dengan demikian Locke adalah bapak paham negara konstitusional, artinya negara yang menjalankan seluruh kekuasaannya atas dasar sebuah Undang Undang Dasar. Kelima, keterbatasan itu juga kelihatan dalam penegasan Locke bahwa rakyat boleh melawan, bahkan boleh melakukan revolusi apabila negara melanggar hak-hak asasinya.Berbeda dengan Locke, Antonio Gramsci sebagaimana dicatat oleh R Haryono Imam, mewartakan masyarakat warga tersusun karena proses hegemoni. Konsepsi ini kerap dirumuskan sebagai kepemimpinan moral dan intelektual suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Pengaruh modal dan intelektual ini yang pada gilirannya membangkitkan dukungan (consent) dan persetujuan pada kelompok yang hegemonik. Consent adalah satu sisi dari dua sisi kekuasaan. Kekuasaan adalah consent yang didukung dan diperkuat oleh koersi (coercion) atau kekuasaan.Masyarakat warga dalam pandangan Gramsci memiliki dua karakteristik utama. Pertama, masyarakat warga adalah Locus bagi konflik politis dan pergulatan sosio-ekonomi. Kedua, masyarakat warga teryata merupakan locus hegemoni. Ia juga merupakan arena untuk membangun dan merebut hegenomi (hal 167-182).Ragam tafsir dan pengertian ini juga diikuti oleh pengertian ruang publik itu sendiri. Sekurangnya ada dua pengertian ruang publik yang dibahas dalam buku ini. Pertama, ruang publik adalah suatu wilayah yang dapat diakses semua orang dan wilayah ini membatasi dirinya secara spasial dari wilayah lain, yaitu ruang privat. Di sini berbeda dari ruang privat yang merupakan locus intimitas, ruang publik merupakan locus kewarganegaraan (citizenship) dan keadaban publik (public civility). Pengertian deskriptif ini dibedakan dari pengertian kedua yang bersifat normatif, yakni ruang publik yang seharusnya berperan kritis terhadap sistem politis. Dalam arti normatif ini ruang publik adalah suatu wilayah komunikasi tempat para warga ne­ga­ra berperan secara demo­kratis dalam mengawasi jalannya pemerintahan atau meminjam istilah Habermas—suatu tempat pengeraman kegelisahan politis warga" (hal 10-11). Impitan Pasar dan BirokrasiBuku ini pertama-tama mengajak Anda untuk melacak pemikiran tentang kepublikan (publicity) dan masyarakat warga (civil society) yang membentang mulai dari Plato di zaman Yunani Kuno, melalui Abad Pertengahan sampai pada gagasan filsuf modern, seperti Hobbes, Locke, Rousseau, Kant dan Hegel. Konsep "ruang publik" lalu dibahas dalam kaitannya dengan kapitalisme, pluralisme, feminisme, dan kebudayaan yang menjadi keprihatinan para filsuf kontemporer, seperti Gramsci, Hannah Arendt, Habermas, dan Rorty.Mendalami pemikiran-pemikiran mereka, kita akan ditetapkan pada sebuah kegelisahan, jika dewasa ini ruang publik sungguh telah didistorsi oleh kepentingan-kepentingan pasar dan birokrasi pemerintah, bagaimana kita masih dapat mengharapkan peran demokratis masyarakat warga dalam medium yang sudah rancu itu?Buku ini diakhiri dengan upaya-upaya untuk menjawab kegelisahan tersebut. Sebagaimana tulisan Al Andang L Binawan yang memberikan kilas balik reflektif atas berbagai gagasan yang telah dibahas sebelumnya sambil mengajak kita untuk menemukan peran hukum dalam masyarakat dan peradaban dan kaitannya dengan ruang publik. Tulisan Al Andang memberi pesan kepada kita bahwa ruang publik direalisasikan melalui hukum yang mendasarkan diri pada hak-hak asasi manusia (hal. 349-367).Demikian pula dengan tulisan B Herry Priyono yang memberikan analisis kritis terhadap porak-porandanya ruang publik akibat merambahnya kekuatan-kekuatan pasar di berbagai arena kehidupan. Tulisan Herry Priyono tidak sekadar membongkar berbagai persoalan konseptual ruang publik, melainkan juga menyarankan jalan keluar yang diyakini dapat memberinya kembali kepada ruang publik yang tercekik oleh impitan pasar dan birokrasi (hal 369-395)Buku ini mencoba memberikan jawaban atas kegelisahan-kegelisahan yang mengitari ruang publik dan mendalami apa itu ruang publik. Buku ini akan memperluas perspektif Anda untuk memahami kemungkinan dan tantangan demokrasi partisipatoris dalam masyarakat majemuk seperti masyarakat kita. Penulis adalah penulis dan pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Dua Langkah Menuju Sukses

Perada, Koran Jakarta, Kamis, 26 Agustus 2010 Judul : Execution Premium Penulis : Robert S. Kaplan & David P. Norton Penerbit : Ufuk Press, Jakarta Tahun : I, Juni 2010 Tebal : 482 Halaman Harga :Rp.115.000,- Kesuksesan sebuah perusahaan terletak pada manajeman dan strategi yang digunakan. Dalam buku Execution Premium ini, Robert S Kaplan & David P Norton menguraikan bagaimana perusahaan mampu membangun hubungan yang kuat dari strategi sampai operasi sehingga kegiatan operasional sehari-hari serta karyawan akan mendukung sasaran strategi. Dua penulis kawakan ini memperkenalkan sebuah kerangka baru untuk rapat tinjauan manajemen yang secara jelas memisahkan rapat-rapat kajian operasi, yang memecahkan masalah jangka pendek dan memantau perbaikan proses-proses operasi kunci, dari rapat-rapat yang mengaji dan memperbaiki pelaksanaan strategi. Penggunaan peta strategi sebagai kerangka penyusunan merupakan ciri pembeda dari pendekatan perencanaan dan penyusunan strategi Kaplan & Norton. Sebagian besar pendekatan terhadap penyusunan strategi terfokus pada hasil dari strategi yang diinginkan. Misalnya, strategi tersebut menguraikan proposisi nilai pelanggan yang hendak ditawarkan oleh organisasi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan juga ceruk di mana organisasi itu akan bersaing. Tetapi pernyataan proposisi nilai tidak membahas bagaimana hal itu akan tercapai. Kebanyakan pendekatan strategi bisnis yang populer mendefi nisikan apa tetapi tidak mendefi nisikan bagaimana. Sebuah strategi yang lengkap harus mendefinisikan apa dan bagaimana—atau, dalam terminologi Kaplan & Norton, hasil-hasil yang diinginkan dan penggerak dari hasil-hasil itu. Struktur sebuah peta strategi memberikan kerangka yang komprehensif dan logis untuk merancang dan menjalankan sebuah strategi. Peta strategi adalah terobosan manajerial yang memungkinkan organisasi mengelola strategi secara lebih efektif dan mencapai execution premium (imbalan yang tinggi atas pelaksanaan strategi) dari implementasi yang sukses (hal 157). Fokus utama Kaplan & Norton dalam buku ini adalah desain sebuah sistem manajemen untuk menyelaraskan strategi unit bisnis dengan operasi. Namun, kebanyakan organisasi terdiri dari banyak unit bisnis dan unit pendukung, sehingga sistem manajemennya juga harus berhubungan dengan bagaimana strategi diintegrasikan ke seluruh unit organisasi beragam ini. Selain menyelaraskan unit-unit organisasi dengan strategi, sistem tersebut juga harus menyelaraskan karyawan dengan strategi. Jika semua karyawan tidak memahami strategi dan tidak termotivasi untuk mencapainya, maka kecil sekali kemungkinan pelaksanaan strategi akan berhasil (hal 201). Perusahaan yang mengikuti rekomendasi buku ini akan memiliki sistem manajemen yang lengkap; mengalokasikan sumber daya yang konsisten; mengetahui dengan cepat dampak operasional dan strategi dari keputusan-keputusan itu. Sistem manajemen lingkaran tertutup itu memungkinkan para eksekutif mengelola strategi maupun operasi, dan menyeimbangkan ketegangan di antara keduanya. Terwujudnya keseimbangan itu merupakan kunci sukses keberhasilan sebuah perusahaan. Peresensi adalah Benni Setiawan, pembaca dan penulis beberapa buku, tinggal di Sukoharjo 

Selasa, 20 Juli 2010

Menyingkap selubung kematian dini laki-laki

Resensi, Solopos, Edisi : Minggu, 18 Juli 2010 , Hal.IV Sukoharjo Dalam bayangan kita, laki-laki adalah seorang yang tegas, kuat, perkasa, dan tahan banting. Ia pemimpin rumah tangga. Ia tulang punggung keluarga. Namun, pada saat bersamaan, banyak laki-laki meninggal dalam usia lebih muda ketimbang perempuan. Mengapa terjadi demikian? Marianne J Legato, melalui buku Why Men Die First ini menjawab fenomena itu. Guru besar kesehatan pada Columbia University ini meneliti penyebab kerapuhan laki-laki dan menjelaskan segala yang dibutuhkan laki-laki agar bisa hidup lebih lama. Berdasarkan data dan fakta hasil penelitian Legato yang juga ahli kesehatan spesifik gender ini, mayoritas laki-laki meninggal dunia akibat penyakit jantung, bahkan laki-laki yang masih berusia muda. Kanker, depresi, stres, penuaan dini, adalah bahaya lainnya yang harus diwaspadai kaum laki-laki. Semua itu erat hubungannya dengan pola asuh yang salah dalam mendidik anak laki-laki pada masa kecil. Lalu, bagaimana menyiasati agar laki-laki bisa panjang umur? Buku ini mengungkap kelemahan yang relatif ada dalam diri laki-laki. Janin jenis kelamin laki-laki memiliki daya tahan lebih rendah dalam jangka waktu tertentu dibandingkan janin perempuan. Saat lahir, bayi laki-laki memiliki kelemahan terutama pada paru-parunya, sehingga ia lebih tidak dapat melampaui masa-masa sulit pada pekan-pekan pertama pascakelahirannya. Tingkat kematian bayi laki-laki juga lebih tinggi dibandingkan bayi perempuan. Sekurang-kurangnya 6% faktor penyebab kematian anak laki-laki antara usia satu hingga empat tahun adalah karena pembunuhan. Pada usia belasan dan di masa remaja, 20% laki-laki meninggal karena bunuh diri, dibunuh, atau karena perilaku ugal-ugalan. Perilaku sosial memegang peran besar dalam kehidupan laki-laki dengan angka kematiannya yang menakutkan. Kita mendorong anak laki-laki tetap “tegar” berjuang mengatasi rasa sakit, ketidakbahagiaan, dan ketidaknyamanan dalam bentuk persoalan pribadi apapun yang mereka hadapi. Kita tidak menganjurkan minta bantuan atau saran tentang bagaimana untuk mengurangi konsekuensi tekanan sosial. Hasilnya, laki-laki pada semua lapisan usia, cenderung mengalami depresi yang terpendam dan tidak mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya (Hal 16). Respons orangtua Respons orangtua dalam menghadapi kesusahan atau penderitaan yang dialami bayi sangat penting untuk membentuk pola respons terhadap stres pada kehidupan mendatang. Mengajarkan kepada anak laki-laki untuk “mengabaikan” saat dalam kesulitan atau saat terluka, dan bukannya menenteramkan serta menghibur, akan menghasilkan orang-orang dewasa yang tertekan dan gelisah. Perhatian yang bijak terhadap seorang remaja yang menderita akan mengajarinya menyuarakan masalah dan membantu menciptakan solusi serta mengembangkan diri menghadapi kejadian-kejadian serupa di masa mendatang. Menahan ekspresi berduka dan terluka hanya akan menghasilkan kontribusi pada rasa terisolasi dan tidak berdaya. ”Bahkan, saat menghadapi orang dewasa, dalam praktikku, aku perlu meminta pasien menceritakan kepadaku apa yang sebenarnya menyebabkan rasa sakit dan kemudian membantu mereka memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi. Hanya mendengarkan keluhan mereka tidaklah berguna, tapi menanggapi keluhan dengan pertanyaan yang mengandung energi, seperti ’Apa yang akan Anda lakukan untuk mengatasinya?’ benar-benar sangat efektif” (Hal 49). Lebih lanjut, penerima penghargaan dari New York Magazine sebagai dokter nomor satu yang mengangkat banyak isu kesehatan ini menjelaskan bahwa seks adalah salah satu cara memperpanjang usia laki-laki. Aktivitas bercinta menghasilkan luapan hormon oksitosin yang mendorong dan memperdalam penyerahan diri terhadap partner seksual. Saat hormon estrogen meningkatkan aktivitas oksitosin, testosteron akan menghambat dampaknya. Dengan demikian, buku ini sangat tepat dijadikan referensi bagi kaum Adam untuk hidup lebih baik. Juga pantas dimiliki kaum ibu sebagai acuan dalam mendidik anak-anaknya, khususnya anak laki-lakinya. Karena, buku ini merupakan hasil penelitian serius penulis selama bertahun-tahun yang disertai data dan fakta akurat. - Oleh : Benni Setiawan

Sabtu, 17 Juli 2010

Panduan Hidup Produktif

Dimuat di Pustaka, Kedaulatan Rakyat, Minggu, 11 Juli 2010, halaman 4 Judul : Beyond Productivity Penulis : Sugeng Santoso Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Terbit : Maret 2010 Tebal : 174 Halaman Apakah Anda ingin mengukur seberapa tinggi tingkat produktifitas? Apakah yang harus dilakukan guna meningkatkan produktifitas tinggi? Atau Anda ingin meningkatkan penghasilan yang kecil menjadi bernilai lebih dan besar? Jawaban dari semua pertanyaan tersebut di atas dapat disimak dalam buku Beyond Productivity karya Sugeng Santoso. Dalam pandangan Sugeng, setidaknya ada sepuluh hal pokok yang wajib dilakukan jika seseorang mengimpikan perubahan revolusioner dalam hidup. Kesepuluh hal tersebut antara lain memahami dua aturan dasar dalam produktivitas (too much things to do, too little time dan ketika Anda menjadi lebih baik Anda akan menarik lebih banyak tanggung jawab), memiliki kejelasan, kenali dan miliki kemampuan/kompetensi Anda, mengetahui faktor penghambat terbesar dalam diri anda, milikilah kreativitas, memiliki keberanian, selalu selesaikan pekerjaan terpenting Anda, miliki pembimbing, dan miliki hati yang mau melayani. Namun, pada dasarnya hanya ada dua hal pokok saja dalam melalakukan lompatan besar dalam hidup. Pertama, memahami dua aturan dasar dalam produktivitas. Kedua, memiliki hati yang mau melayani. Melayani merupakan pekerjaan para pemimpin dunia. Bahkan para Nabi dan Rasul merupakan pelayan bagi umatnya. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman penulis. Sehingga gagasan yang dilontarkan bukan hanya omong kosong atau imajinasi belaka. Kelebihan lain buku ini juga terletak pada cara penyajian yang lugas dan apa adanya. Setiap untaian kata begitu menghentak dan menyadarkan betapa banyak hal yang belum kita ketahui. Buku ini wajib dibaca oleh siapa pun yang ingin mengetahui potensi diri sebagai anugerah Tuhan dan meningkatkan produktifitas sebagai bekal hidup sukses dan sejahtera. Berbekal buku ini kita akan mampu menatap masa depan dengan lebih baik. Pendek kata, buku ini merupakan panduan hidup produktif. Selamat membaca!. *)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Dahsyatnya Kreatifitas

Resensi, Jurnal Nasional, Sun 04 Jul 2010 TUHAN membekali manusia sejak lahir dengan potensi. Potensi merupakan anugerah terindah dari Tuhan Yang Maha Esa. Berbekal potensi inilah manusia akan bertahan hidup. Potensi akan terus berkembang jika ia diasah, diolah, dan didayagunakan. Jika tidak ia akan mati atau layu sebelum berkembang. Pengolahan potensi yang baik dan benar inilah yang akan menjadikan manusia berada di taraf insani dan menjadi manusia mandiri. Manusia mandiri adalah mereka yang menjadikan hal kecil menjadi punya nilai besar. Ia tidak meremehkan hal kecil namun juga tidak gentar menghadapi tantangan yang bernilai besar. Lebih dari itu, Tuhan menganugerahkan kepada manusia kreativitas untuk menjadikan hidup manusia lebih bermanfaat daripada ciptaan yang lainnya. Tuhan memberikan kemampuan ini di dalam diri manusia untuk mengolah, memanfaatkan, dan menciptakan sesuatu yang baru dari bahan-bahan atau materi yang sudah Tuhan sediakan. Dengan demikian, bahan-bahan atau materi yang sudah ada menjadi sesuatu yang memiliki manfaat atau nilai lebih dari sebelumnya. Tuhan mengaruniakan kemampuan ini kepada semua orang. Namun, hal yang membedakan satu orang dengan yang lainnya adalah ada orang yang mau mengembangkan kreativitasnya dan orang yang enggan atau tidak mau. Buku the Power of Creativity, Mengubah yang Terbatas Menjadi Tak Terbatas ini merupakan buku yang akan mendorong dan memotivasi Anda untuk mengembangkan kreativitas Anda. Pikiran dan wawasan Anda tentang diri Anda sendiri yang mungkin selama ini sempit akan diubah. Buku ini akan menunjukkan kepada Anda bahwa ada sesuatu yang luar biasa di dalam diri Anda, tetapi belum dimanfaatkan. Anda akan ditolong untuk memahami apa itu kreativitas, bagaimana memelihara dan mengembangkan kreativitas di dalam diri sendiri. Anda akan diubah menjadi pribadi kreatif. Pribadi kreatif tidak akan patah arah menghadapi gejolak hidup. Ia akan selalu berpikir kreatif bagaimana menjadikan kesusahan hidup menjadi modal awal untuk bangkit menatap masa depan. Banyak orang telah membuktikan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah dan terus terpuruk. Kelebihan buku ini adalah kreativitas Kheng Sun dalam membuat reading record (RR) (lihat, hal 131-147). RR adalah sarana untuk mencatat sejauh mana kita memahami sebuah buku atau karya tulis. RR tidak hanya akan memudahkan kita mengetahui seberapa banyak lembar halaman yang telah pernah kita baca (kuantitas) namun juga mengajak Anda untuk dapat menjadi pembaca kritis (kualitas). Pembaca yang tidak hanya menyetujui gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh penulis, namun juga mampu memberikan kritik, catatan pinggir, dan penilaian yang obyektif mengenai sebuah bacaan. Kheng Sun melalui buku ini akan melatih Anda, tanpa menggurui bagaimana menjadi pembaca buku yang baik. Langkah praktis dan evaluasi disuguhkan oleh Kheng Sun dengan apik dan rinci. Lebih lanjut, kelebihan buku ini terletak pada kemampuan penulis mengemas “ayat-ayat Tuhan” menjadi tulisan yang menggugah. Kheng Sun dengan ketelitiannya mampu menyuguhkan sekian data yang akan mengantarkan setiap individu mengolah potensinya menjadi kekuatan baru, yang disebutnya sebagai the power of creativity. Kheng Sun dengan energik menjelaskan bahwa dahsyatnya kreativitas ini pada dasarnya bersumber dari dalam diri manusia sendiri. Sayangnya buku ini kurang dikemas dengan baik, misalnya jika dibandingkan dengan buku the Power of Kepepet, karya Jaya Setiabudi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cetakan II Desember 2008). Buku karya Kheng Sun ini agak serius. Pembahasaannya masih belum luwes. Berbeda dengan karya Jaya Setiabudi. Jaya Setiabudi mampu menyuguhkan data dan pembahasaan dengan ringan dan kadang diselangi dengan guyon atau canda yang menghibur. Lebih dari itu, buku karya Jaya Setiabudi juga dilengkapi dengan keterangan gambar yang unik, sehingga pembaca akan dibawa pada dua bahasa sekaligus. Pertama bahasa visual yang diwakili oleh gambar. Kedua bahasa tulis yang menyegarkan. Jika buku Kheng Sun ini dapat dikemas dengan lebih berbeda, penulis yakin buku ini mampu bersaing di pasar buku how to yang saat ini banyak membanjiri toko-toko buku. Meski demikian, buku ini pantas Anda memiliki. Sebagaimana dinyatakan oleh Hernowo, penulis beberapa buku bestseller, Selama ini kreativitas atau bagaimana menjadi kreatif kerap kali hanya dihubungkan dengan sosok seorang seniman. Apabila membaca buku ini, Anda akan mendapatkan pengetahuan baru tentang apa itu kreativitas dan bagaimana menjadi kreatif. Kreativitas adalah daya cipta atau kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dari hal-hal yang sudah ada yang sangat perlu dimiliki oleh setiap orang. Apabila seseorang mampu memiliki daya kreatif, dia akan menciptakan kehidupan yang tidak membosankan. Buku ini akan sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin menciptakan daya kreatif di dalam diri Anda. Akhirnya, buku ini pada dasarnya memberikan informasi kepada kita bahwa selama hayat di kandung badan, jangan pernah menyerah oleh keadaan. Selamat membaca. n Benni Setiawan, pencinta buku, tinggal di Sukoharjo http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Pustaka&berita=136126&pagecomment=1

Senin, 21 Juni 2010

Membuka Selubung Hitam Genk Remaja

Resensi, Kedaulatan Rakyat, 6 Juni 2010 Mengapa aksi brutal genk motor terus saja berlangsung. Ada apa di balik maraknya genk remaja di Indonesia? Buku Genk Remaja: Anak Haram Sejarah ataukah Korban Globalisasi karya Doktor Sosiologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini setidaknya menjawab dua pertanyaan mendasar di atas. Dalam buku ini dijelaskan bahwa keberadaan genk remaja sebagai fenomena sosial merupakan hasil interaksi konteks sosial-politik global, nasional maupun lokal. Mereka ada bukan dengan tiba-tiba. Namun, dari proses imitasi (meniru-niru). Salah satunya dari menonton televisi dan film. Mereka belajar dari polah tingkah bintang film yang ia tonton, mulai dari gaya bergaul, berpakaian, dan bicara. Apa yang mereka tonton adalah tren yang wajib ditiru. Lebih dari itu, buku ini berfungsi sebagai sebuah jendela lebar untuk memahami alam pikir dan ekspresi budaya darah muda remaja yang menyalurkan gelora jiwa melalui genk remaja. Perkembangan genk remaja sejak dekade 1980-an hingga 2000-an dijelaskan secara gamblang, penuh canda tawa, dan memikat khas ala Yogyakarta. Kelebihan buku ini juga terletak pada analisis perspektif budaya Jawa (pewayangan). Di dunia wayang, dibedakan antara pelayan tokoh baik dan pelayan tokoh jahat. Pelayan tokoh baik diwakili oleh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Pelayan tokoh jahat diwakili oleh Togong dan Sawarita (mBilung). Togong adalah seorang konselor bagi mereka yang berada di sayap kiri, yaitu tokoh-tokoh yang berwatak jahat. Seperti Dursasana dan Duryudana. Sedangkan mBilung adalah tokoh yang lucu dan sangat karikatural. Ia gagap dalam menggunakan bahasa Jawa, dan lebih suka berbahasa Indonesia atau bahkan juga bahasa Inggris. Namun, dalam menggunakan bahasa Indonesia apalagi bahasa Inggris pun dia sering salah dan belepotan, tapi tetap juga memaksakan dirinya agar tampak bergaya. Dosen pada jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini mengakui bahwa gambar Togog yang tengah berkhayal menjadi Rambo, yang menghiasi sampul buku ini; sengaja ditampilkan sebagai sebuah refleksi sekaligus otokritik, jangan-jangan para remaja dan kita semua para orangtua adalah representasi tokoh Mbilung dan Togong. Nilai kondisi psikoligisnya “99% hampir waras” sukanya membuat keributan dan kekacauan di muka bumi dengan alasan hanya sekadar untuk hiburan (hal 13-14). Walaupun buku ini lebih banyak berbicara mengenai genk remaja dalam konteks lokal (Yogyakarta), namun buku ini patut dibaca oleh orangtua, pelajar, pendidik, akademisi, mahasiswa, penegak hukum, dan siapapun sebagai sebuah pengantar dan referensi guna mengetahui seluk beluk serta membuka selubung hitam genk remaja. Selamat membaca. *)Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Belajar Sejarah Ekonomi Indonesia Bersama Thee

Resensi, Seputar Indonesia, 13 Juni 2010 Mempelajari Indonesia tentunya tidak lepas dari perjalanan sejarah ekonominya. Dengan mengetahui sejarah ekonomi Indonesia, kita akan mampu menatap masa depan ekonomi Indonesia dengan lebih baik. Hal inilah yang dilakukan oleh Dr. Thee Kian Wie. Thee menulis sebuah disertasi langka mengenai sejarah ekonomi Indonesia. Topik disertasi doktoral Thee, di University of Wisconsin, Amerika Serikat, yaitu mempelajari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi pada suatu masyarakat di masa lalu, sekaligus memahami apa yang terjadi pada kelompok-kelompok penduduk di dalamnya melalui sejarah ekonomi. Pengetahuan itu sangat berguna untuk memahami apa yang terjadi pada perekonomian masyarakat itu sekarang. Thee juga membuktikan perhatiannya pada persoalan masyarakat dengan beragam penelitian terkait tema perkembangan industri, penanaman modal di sektor industri, dan perkembangan teknologi. Menurut Thee, penguasaan teknologi sangat penting untuk mencapai daya saing berkelanjutan. Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan buruh murah, sumber daya alam yang sekarang makin berkurang, atau hanya bermain-main dengan kurs devisa. Berkat perhatian yang cukup besar terhadap perkembangan ekonomi Indonesia ia dianugerahi tanda kehormatan Republik Indonesia Bintang Jasa Utama dan Tanda Kehormatan Republik Indonesia Bintang Jasa Nararya. Thee lahir di Jakarta, 20 April 1935. Ia adalah seorang pakar ekonomi, penulis, dan peneliti senior Indonesia. Ia merupakan peneliti ahli dalam bidang ekonomika, khususnya sejarah ekonomi dan perkembangan industri. Keberadaannya sebagai peneliti sangat disegani baik di tingkat nasional maupun internasional. Lebih dari itu, Thee merupakan ekonomon berkepribadian yang merangkap sebagai ahli sejarah ekonomi. Ia adalah pegawai negeri dengan kemampuan akademis yang menonjol, berkomitmen untuk memajukan ilmu pengetahuan di Indonesia. Sebagai ilmuwan, Thee berusaha selalu dekat dengan persoalan riil masyarakat. Ia tak putus mencurahkan perhatian dan karya yang ia harapkan bermanfaat. Pesimisme, apalagi frustrasi tak pernah hinggap pada dirinya, meski berpuluh tahun menjadi pegawai negeri dengan gaji pas-pasan. Juga tanpa rangkap jabatan bergengsi (Kompas, 27 Juni 2008). Terbitnya buku Merajut Sejarah Ekonomi Indonesia, Essays in Honour of Thee Kian Wie, 75 Years Birthday ini semakin menandakan bahwa Thee merupakan ekonom yang “merakyat”. Ia mampu merangkul dan berdialog secara intensif kepada ekonom muda Indonesia sehingga spirit pembelaan terhadap kekayaan tanah air tertular kepada mereka. Lebih lanjut, Thee mampu menjangkau seluruh generasi sejarawan muda pada umumnya dan melalui peran mediasi dimainkan oleh Bambang Purwanto dan Thomas Lindblad pada khususnya, yang memfasilitasi suksesi pertemuan dan konferensi di Universitas Gadjah Mada pada bulan Juli 1999. Konferensi internasional tersebut, menghasilkan sebuah diskusi yang mendalam tentang naskah buku teks internasional yang membahas sejarah ekonomi Indonesia yang ditulis oleh Thee. Di tengah usia yang semakin sepuh, Thee tak kenal lelah untuk memajukan perkembangan sejarah ekonomi Indonesia di negerinya sendiri. Buku ini merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap Thee yang terus berjuang secara konsisten memajukan perkembangan sejarah ekonomi Indonesia. Buku ini memuat sejumlah pembahasan. Bagian pertama memuat pengenalan terhadap Thee dan pandangan-pandangan ekonominya. Howard Dick menulis kehidupan profesional Thee. Howard dalam tulisannya merasa beruntung berkenalan dengan Thee, karena berkat perkenalannya cakrawala mengenai sejarah ekonomi Indonesia semakin luas. Ia merasa mendapatkan banyak sesuatu yang baru dari perbincangan, pertemuan, dan diskusi dengan Thee. Demikian pula dengan Andreas Weber dan Henk Schulte Nordholt, yang menurunkan seri tulisan hasil wawancaran dengan Thee. Bagian kedua, bercerita secara khusus berkaitan dengan historiografi. Nawiyanto menulis mengenai sejarah ekonomi Indonesia khususnya survei kerja di Indonesia sejak tahun 1990. Sedangkan Bambang Purwanto mengidentifikasi tren terkini dan tantangan saat ini dalam sejarah ekonomi Indonesia. Bagian ketiga berfokus pada masa kolonial akhir. Arjen Taselaar menulis tentang ekonomi politik, Alex Claver menulis tentang peran penting dari etnis Cina/Tionghoa, Wasino memusatkan perhatiannya pada kredit pedesaan di Jawa, sedangkan Nasution menyajikan bukti pembangunan ekonomi daerah di Jawa Timur. Bagian keempat membawa kita pada peran dan fungsi negara dalam pembangunan ekonomi abad kedua puluh seperti yang dijelaskan oleh Anne Booth. Margana menulis tentang dekolonisasi di sektor minyak, sementara Thomas Lindblad memberikan informasi tentang investasi Inggris sejak tahun 1960-an. Bagian kelima, bercerita tentang kontribusi dan perkembangan sejarah ekonomi Indonesia yang lebih baru seperti persaingan dalam transportasi maritim di Asia Tenggara yang dianalisis oleh Singgih Tri Sulistiyono dan wacana publik tentang resesi ekonomi saat ini seperti dijelaskan oleh Vincent Houben. Guna semakin menyebarkan semangat pengabdian dan intelektual yang telah ditelorkan oleh Thee, pada akhir buku ini dilengkapi dengan daftar publikasi Thee sampai dengan tahun 2007. Pada akhirnya, buku yang ditulis oleh kolega, peneliti dan dosen muda yang mengkaji sejarah ekonomi Indonesia ini merupakan penghargaan terhadap prestasi Thee. Dengan membaca buku ini seakan kita ditantang untuk secara lebih dekat mengenal sosok Thee dan belajar mengenai sejarah ekonomi Indonesia kepadanya. *Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Selasa, 30 Maret 2010

Buku Panduan Kerukunan Beragama

Kedaulatan Rakyat, Minggu Kliwon, 28 Maret 2010 Kerukunan beragama merupakan mantra yang harus disemai di tengah semakin masifnya intoleransi dan diskriminasi. Tanpa ada upaya mewujudkan hal tersebut kehancuran bangsa atas nama agama akan semakin nyata. Tentunya hal ini bukan yang kita inginkan. Maka diperlukan upaya nyata mewujudkan kerukunan beragama dalam bingkai atau semangat toleransi, multikulturalisme, sikap saling hormat menghormati dan saling memahami, hak asasi manusia, dan kerelaan, ketulusan dan kejujuran dalam beragama. Buku Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? sebagai terjemahan dari karya asli dalam bahasa Inggris yang berjudul Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook pada tahun 2004 ini merupakan sebuah upaya nyata dalam mewujudkan tatanan kerukunan beragama itu. Buku yang semula merupakan makalah pada Konferensi Oslo tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, yang diadakan pada bulan Agustus 1998 dan disponsori bersama oleh pemerintah Norwegia begitu menawan. Selain ditulis oleh para pakar dan pekerja kerukunan beragama, buku ini diperkaya oleh perspektif sosial-budaya dan pendidikan yang beragam dari para penulisnya. Perspektif ini akan semakin memperkaya pengalaman dan cara kerja mewujudkan kerukunan beragama. Adalah penting untuk menekankan kembali bahwa proses ini memakan waktu, dengan beberapa bab diselesaikan dalam waktu yang sangat berbeda. Adalah penting juga untuk dikemukakan kembali bahwa para penulis yang berbeda datang dari berbagai latar belakang yang amat berbeda dan mengambil posisi yang amat berbeda di mana mereka masing-masing memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri. Ini adalah bagian dari argumen yang beralasan dan dialog dengan sikap saling menghormati yang sungguh amat diperlukan. Ada banyak hal untuk tidak disetujui, dan pada saat bersamaan, banyak untuk dipelajari. Buku antologi ini merupakan bahan rujukan tersendiri bagi mereka yang menaruh kepedulian terhadap upaya fasilitasi meningkatnya pemenuhan hak dan kewajiban mengikuti standar-standar internasional di bidang yang penting ini. Pada akhirnya, mengutip pendapat Azyumardi Azra dalam pengantarnya, buku ini merupakan sebuah bacaan wajib bagi seluruh stake-holders yang terkait dan peduli dengan perwujudan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tak kurang pentingnya, buku ini juga dapat menjadi salah satu referensi pokok bagi para pengajar dan mahasiswa Fakultas Hukum pada Universitas-universitas umum dan Fakultas Syariah dan Hukum pada Universitas Islam Negeri di tanah air kita. Dan tentu saja juga sangat penting bagi mereka yang terlibat dalam kepemimpinan agama, dialog-dialog intra dan antar-agama, dan kajian-kajian agama di lembaga-lembaga akademis maupun kemasyarakatan. (Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga)

Menyingkap Selubung Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Judul : Lahir dari Rahim, Wacana Perempuan Asia tentang Allah di Era Globalisasi Penulis : P. Mutiara Andalas, S.J. Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Terbit : 2009 Tebal : 320 halaman Resensi, Solo Pos, 7 Maret 2010 Wacana tentang perempuan selalu menarik untuk dikaji. Baik dari kajian ilmu sosial-humaniora maupun dalam perspektif teologi (agama). Kajian perempuan dalam perspektif teologi tentunya mempunyai nilai lebih. Artinya, selain mengundang perbedabatan pro dan kontra, kajian dalam perspektif ini akan semakin membuka kotak Pandora keberpihakan agama kepada perempuan sebagai makhluk Tuhan. Di sinilah Tuhan menampakkan wajah aslinya, sebagai yang Maha Adil. Dzat yang tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Semua sama dihadapan Allah. Yang membedakan hanyalah kualitas keimanan dan ketakwaan seseorang. Inilah yang mungkin diancang oleh P. Mutiara Andalas, S.J, dalam buku ini. Buku berjudul Lahir dari Rahim, Wacana Perempuan Asia tentang Allah di Era Globalisasi ini semakin menguatkan keyakinan kita akan kebesaran Allah. Mutiara Andalas dengan bernas merangkai beberapa kajian yang telah dilakukan oleh feminis di Asia menjadi sebuah bacaan yang renyah dan mengikat makna—meminjam istilah Hernowo. Fakta-fakta tentang diskriminasi dan subordinasi perempuan yang dilegitimasi dengan teks (ayat) suci dijelaskan secara gamblang tanpa ditutup-tutupi. Sebagaimana ketidakadilan yang terjadi di India. Dengan menganalisis kajian Aruna Gnanadason dan Baltazar, Mutiara Andalas dengan cermat mampu menyingkap selubung kekerasan terhadap perempuan dan anak di sana terutama korban perkosaan dan industri perdagangan perempuan. Mutiara Andalas sembari mengutip Gnanadason dan Baltazar mengkiritik otoritas gereja. Mereka mempertanyakan sikap Gereja tentang Aborsi. Baltazar merasa gereja kurang melibatkan perempuan dalam mendiskusikan perkara aborsi dan kontrasepsi yang menyangkut kehidupan perempuan. Penekanan dokumen Gereja bagi perempuan untuk mengambil keputusan sendiri berkaitan dengan aborsi dan kontrasepsi justru menyudutkan mereka. Perempuan sering kali terjepit di tengah-tengah kepentingan keluarga, masyarakat, dan Gereja yang seringkali berseberangan satu terhaadap yang lain. Menurut Gnanadason, Gereja terlalu dini menolak aborsi dalam kasus perkosaan, perang dan mengabaikan masa depan perempuan yang dirusak perkosaan dan anak yang dikandung dari perkosaan brutal. Gnanadason mengundang Gereja untuk melihat ulang gagasannya tentang mengampuni dan melupakan dosa. Ia merujuk kisah Yesus di salib yang mengampuni kekerasan terhadap-Nya. Teks ini seringkali diselewengkan untuk mengekalkan kekerasan terhadap perempuan tanpa proses keadilan bagi para pelakunya. Ia mengingatkan Gereja terhadap kemungkinan penyalahgunaan pengampunan dan pelupaan dosa untuk mengubur penindasan terhadap perempuan. Gnanadason menolak pengampunan tanpa keadilan bagi perempuan karena gagal memperbaiki relasi antara pelaku dan korban kekerasan. Belas kasih, pengakuan akan kesalahan, ganti rugi, dan janji untuk menghentikan kekerasan menjadi norma pengampunan kristiani. Pengampunan berlangsung pada tahap akhir setelah perempuan mendaku kembali kemanusiaannya. Gnanadason menggugat dualisme hierarkis dalam Gereja. Kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan pejabat Gereja sulit terkuak. Pejabat Gereja acap kali menyalahgunakan kuasa kepemimpinan-dalam- pelayanan justru untuk melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Mereka kemudian bersembunyi di balik takhta jabatannya untuk melepaskan diri dari tuntutan korban. Dalam iklim Gereja demikian, perempuan senantiasa berselimut kekhawatiran dan ketakutan. Yesus meruntuhkan dualisme hierarkis, dan Gnanadason berharap Gereja mengikuti jejak Yesus. Perempuan menyingkap paras penuh bilur kekerasan dan menyuarakan mazmur pembebasan. Mereka mengundang teolog untuk terlibat dalam pembebasan perempuan dengan membebaskan teologi dari bias ideologi yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. (hal. 142-144). Dengan demikian, buku ini mewartakan sebuah teologi properempuan. Yaitu, perempuan Asia mengeluarkan teologi dari lingkup sempitnya sebagai wacana tentang Allah. Teologi yang berhenti menjadi wacana tentang Allah telah terperosok dalam jurang abstraksi (violence of abstraction). Keterlibatan perempuan dalam teologi mempertautkan kembali teologi dengan kehidupan. Aktivitas berteologi berpaut dengan kehidupan karena senantiasa mengikhtiarkan pembebasan dan kepunahan manusia di sini dan sekarang (hal. 182-83). Walaupun buku ini berdimensi kristiani, namun buku ini sangat baik dibaca oleh siapapun yang merasa dirinya manusia. Dengan membaca buku ini, kita diajak untuk kembali merenung eksistensi manusia yang terdiri dari makhluk bernama “laki-laki” dan “perempuan”. Dua nama ini tidaklah terpisah satu dengan yang lain, atau bahkan mengklaim diri superior dan yang lain inferior. Laki-laki dan perempuan merupakan makhluk mandiri yang tidak saling mensubordinasi dan disubordinasi. Maka tidak aneh, dalam catatannya Jennie S. Bev menyatakan, penulis telah mampu membawa bendera merah-putih Indonesia dalam arena perdebatan teologi profeminis dengan gayanya yang elegan dan berani. Selamat membaca! *)Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kritik terhadap Konsep Tuhan ala Nietzshe

Resensi, Harian Jogja, Kamis Wage, 21 Januari 2010

Menyebut Nietzshe berarti kita akan bersentuhan dengan pokok-pokok pikirannya yang geneuin. Seperti nihilisme, kehendak untuk berkuasa (will to power, der Wille zur Macht, atau machtgelust), adimanusia (Ubermensch, Superman), dan perulangan abadi (eternal recurrence, ewige Wiederkehr des Gleiches).

Hingga kini pemikiran-pemikiran Nietzshe tersebut masih menjadi mantra abadi pengkaji filsafat. Ada yang menerimanya secara kritis, ada pula yang menelannya mentah-mentah. Bahkan, keterkaguman terhadap Nietzshe seringkali melupakan nalar kritis kita untuk mengkritik sebuah produk pemikiran.

Melalui buku Nietzshe Sudah Mati, Akhmad Santosa ingin menghadirkan sebuah diskusi yang tidak hanya taqlid buta terhadap Nietzshe. Bahkan secara terang-terangan Akhmad Santosa menyerang para penggagum Nietzshe. Dalam kaca mata Akhmad Santosa, filsuf Indonesia terlalu menuhankan Nietzshe sehingga ia kehilangan daya kritis untuk mengkritik gagasan tokoh bernama lengkap Friedrich Wilhelm Nietzshe itu.

Akhmad Santosa menyebut, di sini faktor keberanian ikut menentukan dalam berfikir; beranikah kita melompat dari posisi yang selama ini sudah kita akrabi untuk mencoba berpindah ke posisi lain dan mengakrabimsudut pandang yang berbeda? Dan yang lebih penting lagi, setelah kita pindah ke posisi yang baru dan mengakrabinya, beranikah kita memandang ke belakang dan mengakui pandangan-pandangan yang telah kita buat dari posisi yang lama? (hal. 5).

Walaupun demikian, Akhmad Santosa juga tidak lepas dari kritik. Salah satunya dari A. Setyo Wibowo. Dosen STF Driyarkara Jakarta ini secara jelas mengkritik cara berfikir Akhmad Santosa dalam membedah pemikiran Nietzshe. Bahkan, alumnus Universite Paris I-Pantheon Sorbonne ini menyatakan bahwa Akhmad Santosa justru mengikuti St. Sunardi! Tentu ini tidak masuk akal bagi Akhmad Santosa yang berpretensi menelanjangi kekeliruan St. Sunardi. Toh keduanya tidak mampu melihat bahwa bisa saja di situ Nietzshe sekadar memakai metode provokatif. Keduanya tidak tahu bahwa referensi orang sinting ini bisa saja merujuk pada kisah Yunani kuno tentang Diogenes Orang Sinting. Keduanya sepakat mengaitkan kematian Tuhan ini dengan kegilaan Nietzshe. Nietzshe adalah manusia yang terbelah, gila (hal. 236).

Lebih dari itu, A. Setyo Wibowo, gerah membaca tulisan Akhmad Santosa yang emosional dan menganggap pemikiran Nietzshe disetir oleh “kekecewaan dan kemuakan”. Menurut Setyo, alih-alih menyerang Nietzshe (dan juga St Sunardi), Akhmad Santosa justru dengan tepat menjadi contoh manusia ressentimen itu sendiri!

Namun demikian, apa yang telah dilakukan oleh Akhmad Santosa patut kita apresiasi. Khususnya dalam kerangka akademik dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Disaat banyak kelompok dan golongan yang mengadili pemikiran (buku) dengan kekerasan fisik, Akhmad Santosa dengan segala kelebihan dan kekurangannya “mengawali” ketidaksetujuaanya dengan buah karya St. Sunardi dengan menghadirkan sebuah “buku tandingan”. Sebuah tradisi intelektualitas yang patut kita tiru dan budayakan di tengah masyarakat.

*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Suna Kalijaga, Yogyakarta.