Meraih Cita
Minggu, 29 Agustus 2010
Mendalami Ruang Publik
Resensi, Sinar Harapan, Sabtu, 14 Agustus 2010 10:31
OLEH: BENNI SETIAWAN
Ruang publik (public sphere) menjadi populer dalam literatur filsafat dan ilmu-ilmu sosial pasca-komunisme.
Konsep ini seolah mengemas segala harapan akan perubahan sosial secara demokratis. Seberapa suburkah konsep ini untuk menjelaskan partisipasi masyarakat warga (civil society) dalam demokrasi?Interaksi Aktif Masyarakat-NegaraMenurut Franz Magnis Suseno dalam buku ini (hal 111-112), dalam masyarakat warga atau masyarakat politis, John Locke menyebut beberapa unsur fundamental yakni demokrasi modern, atau kalau mau, etika politik modern, terwujud. Pertama, prinsip kedaulatan rakyat yakni segala wewenang atas masyarakat harus datang dari masyarakat itu. Kedua, prinsip negara minimal, dalam arti bahwa wewenang negara dibatasi oleh rakyat yang berdaulat pada apa yang perlu agar negara dapat melakukan tujuan untuknya ia dirikan, yakni melindungi masyarakat.Ketiga, prinsip pembagian kekuasaan, yakni pembagian Locke yang masih kurang sempurna ke dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif akan dilengkapi menjadi trias politik oleh Charles de Secondat Montesquieu (1689-1755), seorang pengagum Locke dan tokoh liberalisme Prancis, dengan menambah kekuasaan yudikatif. Artinya kehakiman (sedangkan kekuasaan federatif dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif). Prinsip pembagian kekuasaan adalah bagi negara modern. Di dalamnya berakar paham negara hukum.Keempat, prinsip bahwa kekuasaan negara adalah terbatas. Pembatasan itu dirumuskan dalam Undang Undang Dasar yang menetapkan secara perinci wewenang tiga kekuasaan negara itu. Dengan demikian Locke adalah bapak paham negara konstitusional, artinya negara yang menjalankan seluruh kekuasaannya atas dasar sebuah Undang Undang Dasar. Kelima, keterbatasan itu juga kelihatan dalam penegasan Locke bahwa rakyat boleh melawan, bahkan boleh melakukan revolusi apabila negara melanggar hak-hak asasinya.Berbeda dengan Locke, Antonio Gramsci sebagaimana dicatat oleh R Haryono Imam, mewartakan masyarakat warga tersusun karena proses hegemoni. Konsepsi ini kerap dirumuskan sebagai kepemimpinan moral dan intelektual suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Pengaruh modal dan intelektual ini yang pada gilirannya membangkitkan dukungan (consent) dan persetujuan pada kelompok yang hegemonik. Consent adalah satu sisi dari dua sisi kekuasaan. Kekuasaan adalah consent yang didukung dan diperkuat oleh koersi (coercion) atau kekuasaan.Masyarakat warga dalam pandangan Gramsci memiliki dua karakteristik utama. Pertama, masyarakat warga adalah Locus bagi konflik politis dan pergulatan sosio-ekonomi. Kedua, masyarakat warga teryata merupakan locus hegemoni. Ia juga merupakan arena untuk membangun dan merebut hegenomi (hal 167-182).Ragam tafsir dan pengertian ini juga diikuti oleh pengertian ruang publik itu sendiri. Sekurangnya ada dua pengertian ruang publik yang dibahas dalam buku ini. Pertama, ruang publik adalah suatu wilayah yang dapat diakses semua orang dan wilayah ini membatasi dirinya secara spasial dari wilayah lain, yaitu ruang privat. Di sini berbeda dari ruang privat yang merupakan locus intimitas, ruang publik merupakan locus kewarganegaraan (citizenship) dan keadaban publik (public civility). Pengertian deskriptif ini dibedakan dari pengertian kedua yang bersifat normatif, yakni ruang publik yang seharusnya berperan kritis terhadap sistem politis. Dalam arti normatif ini ruang publik adalah suatu wilayah komunikasi tempat para warga negara berperan secara demokratis dalam mengawasi jalannya pemerintahan atau meminjam istilah Habermas—suatu tempat pengeraman kegelisahan politis warga" (hal 10-11).
Impitan Pasar dan BirokrasiBuku ini pertama-tama mengajak Anda untuk melacak pemikiran tentang kepublikan (publicity) dan masyarakat warga (civil society) yang membentang mulai dari Plato di zaman Yunani Kuno, melalui Abad Pertengahan sampai pada gagasan filsuf modern, seperti Hobbes, Locke, Rousseau, Kant dan Hegel. Konsep "ruang publik" lalu dibahas dalam kaitannya dengan kapitalisme, pluralisme, feminisme, dan kebudayaan yang menjadi keprihatinan para filsuf kontemporer, seperti Gramsci, Hannah Arendt, Habermas, dan Rorty.Mendalami pemikiran-pemikiran mereka, kita akan ditetapkan pada sebuah kegelisahan, jika dewasa ini ruang publik sungguh telah didistorsi oleh kepentingan-kepentingan pasar dan birokrasi pemerintah, bagaimana kita masih dapat mengharapkan peran demokratis masyarakat warga dalam medium yang sudah rancu itu?Buku ini diakhiri dengan upaya-upaya untuk menjawab kegelisahan tersebut. Sebagaimana tulisan Al Andang L Binawan yang memberikan kilas balik reflektif atas berbagai gagasan yang telah dibahas sebelumnya sambil mengajak kita untuk menemukan peran hukum dalam masyarakat dan peradaban dan kaitannya dengan ruang publik. Tulisan Al Andang memberi pesan kepada kita bahwa ruang publik direalisasikan melalui hukum yang mendasarkan diri pada hak-hak asasi manusia (hal. 349-367).Demikian pula dengan tulisan B Herry Priyono yang memberikan analisis kritis terhadap porak-porandanya ruang publik akibat merambahnya kekuatan-kekuatan pasar di berbagai arena kehidupan. Tulisan Herry Priyono tidak sekadar membongkar berbagai persoalan konseptual ruang publik, melainkan juga menyarankan jalan keluar yang diyakini dapat memberinya kembali kepada ruang publik yang tercekik oleh impitan pasar dan birokrasi (hal 369-395)Buku ini mencoba memberikan jawaban atas kegelisahan-kegelisahan yang mengitari ruang publik dan mendalami apa itu ruang publik. Buku ini akan memperluas perspektif Anda untuk memahami kemungkinan dan tantangan demokrasi partisipatoris dalam masyarakat majemuk seperti masyarakat kita.
Penulis adalah penulis dan pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar