Oleh Benni Setiawan
Resensi Harian Pelita, Sabtu, 20 Oktober 2012
Judul : Strategi Hideyoshi, Another Story of the Swordless Samurai
Penulis : Tim Clark dan Mark Cunningham
Penerbit: Zahir Books, Jakarta
Terbit : Agustus 2011
Tebal : 278 Halaman
ISBN : 978-979-19337-3-5
Toyotomi Hideyoshi bukanlah tokoh rekaan. Ia tergolong salah satu orang yang paling luar biasa di dunia. Ia lahir tahun 1536 atau 1537 di desa pertanian Nakamura, sekarang pinggiran kota Nagoya. Di sanalah Toyota Motor Corporation bermarkas. Tidak banyak yang diketahui tentang kehidupan Hideyoshi sebelum ia bekerja untuk Oda Nobunaga di usia delapan belas tahun.
Tetapi sejarah yang disajikan dalam buku Strategi Hideyoshi, Another Story of the Swordless Samurai ini mewakili pandangan umum mengenai masa mudanya. Satu hal yang pasti, ia terlahir sebagai petani yang tidak dikenal.
Karir Hideyoshi melesat sejak ia bergabung dengan klan Oda dan berbakti sepenuh hati kepada cita-cita Nobunaga untuk mengakhiri peperangan antar-daerah dan menyatukan Jepang kembali “di bawah satu pedang”.
Hideyoshi menggantikan Nobunaga yang wafat tahun 1582. Pada tahun 1590 Hideyoshi berhasil mengendalikan sebagian besar wilayah Jepang.
Meskipun kurang berkibar dibandingkan Nobunaga atau Ieyasu, Hideyoshi adalah orang yang paling mengilhami warga Jepang untuk yakin dengan kemampuan mereka sendiri. Bagaimana Hideyoshi mampu mengubah kultul bangsa Jepang?
Kesuksesan Hideyoshi ini ditopang oleh kemauannya yang keras. Niat dan usaha yang sungguh-sungguh inilah yang mampu mengubah keadaan seseorang. Hideyoshi telah membuktikan itu. Ia yang sebelumnya hanya seorang petani miskin, tubuhnya kecil, dan bakat bela dirinya yang minim dengan kemauan keras mampu menjadi pemimpin Jepang yang legendaris.
Selain itu Hideyoshi memegang prinsip bahwa kerjasama melahirkan keberhasilan. Tanpa hal yang demikian kepemimpinan akan rapuh dan tidak memiliki keberpihakan.
Lebih lanjut, Hideyoshi pun mengajarkan petuah sederhana penuh makna. Yaitu, usaha yang sedang-sedang saja membuahkan hasil yang sedang-sedang saja. Tapi usaha yang luar biasa membuahkan hasil yang luar biasa pula! Sebuah prinsip yang mampu mengubah keadaan menjadi luar biasa.
Zaman perang antar-klan
Kisah Hideyoshi benar-benar memotret esensi Zaman Perang Antar-Klan di Jepang. Suatu masa yang luar biasa dan berlangsung antara akhir tahun 1400-an hingga awal 1600-an. Karena tidak adanya pemerintahan pusat, penguasa-penguasa daerah pada masa itu terpaksa mempertahankan diri dengan mengandalkan sumber daya dan bakat mereka sendiri. Kalau tidak, mereka akan ditumbangkan oleh pemimpin yang lebih kuat, atau pasukan bersenjata yang lebih hebat.
Dalam era yang penuh gejolak inilah istilah gekokujo menjadi terkenal. Kata itu berarti “yang rendah melengserkan yang tinggi dan kuat”. Suatu istilah yang menandai berakhirnya sistem kepemimpinan berdasarkan bakat, yang dulunya berkembang dalam masyarakat feodal Jepang.
Namun, dalam kebanyakan kasus, gekokujo tidak benar-benar “rendahan”. Mereka adalah samurai, pedagang yang berpengaruh, atau para gubernur yang berkemauan keras. Karena itulah kemajuan Hideyoshi yang mencengangkan menjadi cambuk bagi rakyat jelata yang mendambakan perubahan nasib.
Tidak ada era lain yang memberikan gambaran umum Jepang sebaik Zaman Perang Antar-Klan. Pada masa itu, pemimpin pasukan bertempur di sekitar enam puluh daerah. Sementara itu bandit dan ronin berkeliaran ke pelosok-pelosok desa, dan samurai yang tangguh—entah yang baik maupun jahat—meraih ketenaran yang tidak tanggung-tanggung.
Inilah momen yang paling menentukan. Suatu masa yang kental dengan pertumpahan darah dan kericuhan, tapi menjadikan harapan. Meski begitu, Zaman Perang Antar-Klan terbukti lebih berpengaruh dibandingkan masa serupa yang terjadi di Barat. Karena empat abad setelah kematian Hideyoshi citra, dan cita-cita samurai masih tertanam kuat di Jepang.
Sebagai pemimpin besar, Hideyoshi telah mengembalikan kondisi damai, membangun jalan, jembatan, dan fasilitas sosial lainnya, juga menciptakan peraturan tanah yang terpadu, membangun sistem otonomi dengan menyebarkan pemerintahan, mengembangkan sektor budaya dan seni, serta memulihkan kejayaan dan kelayakan keluarga kerajaan yang telah lama terabaikan.
Memang, Hideyoshi tidak memaparkan jalan menuju keberuntungan yang diungkapkan dalam buku ini secara resmi. Akan tetapi, semuanya merupakan saripati dari pernyataan dan keputusan yang diwariskannya. Di samping itu, kehidupan Hideyoshi memang secara alamiah mencerminkan ajaran tersebut. Rasa syukur, sadar akan bakatnya, tujuan yang bisa dicapai, pengerahan usaha yang luar biasa, dan kerja sama yang kuat telah memungkinkan lelaki kecil yang berasal dari rakyat jelata ini mengendalikan sebuah bangsa dan menjadi “petani” yang paling sejahtera. Boleh jadi nilai-nilai inilah yang memungkinkan Jepang, sebagai negara kepulauan yang miskin sumber daya, menjadi negara adidaya kedua dari segi ekonominya.
Bushido
Tetapi, barangkali ada lagi jalan pamungkas di balik keberhasilan Hideyoshi dan Jepang. Yaitu, nilai-nilai yang terdapat dalam peraturan samurai yang bernama Bushido. Bushido secara harfiah berarti jalan ksatria, tepatnya tata cara perilaku samurai, baik dalam profesi maupun kehidupan sehari-harinya.
Adapun delapan kebajikan Bushido adalah kebenaran atau keadilan, keberanian, kemuliaan dan pengampunan, kesopanan, kejujuran dan ketulusan, kehormatan, kesetiaan, karakter dan pengendalian diri.
Sebuah buku apik penuh inspirasi yang dapat membangkitkan semangat kita membangun bangsa Indonesia dengan belajar dari kesuksesan pemimpin Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar