Meraih Cita
Minggu, 14 Oktober 2012
Menulis Sejarah “Ugal-ugalan”
oleh Benni Setiawan
Judul : Naga Bhumi Mataram, Mengungkap Jati Diri
Penulis : El Pramono
Penerbit: Citra Kreasi Indonesia, Jakarta
Cetakan : September, 2012
Tebal : 558 Halaman
Resensi Buku, Seputar Indonesia, Minggu, 14 October 2012
Keren. Itulah kesan pertama saya ketika membaca kalimat demi kalimat dalam buku Naga Bhumi Mataram, Mengungkap Jati Diri ini. Buku ini berbeda dengan karya sejarah lainnya.
Buku ini unik, karena sejarah ditulis secara “ugal-ugalan”. “Ugalugalan” di sini bukan dalam artikel negatif (kurang ajar), namun ditulis secara renyah,mudah dicerna,dan menginspirasi. Renyah karena ditulis dengan bahasa tutur-tulis yang mengalir. Diksinya (pilihan) pun kaya.Jadi siapa yang membacanya akan terhanyut dalam buaian kata yang memikat.
Mudah dicerna,karena alur kronologi kesejarahan diurai dengan pendekatan kritis objektif. Namun, tidak kaku seperti kalau kita membaca buku- buku sejarah.Inspiratif,karena buku ini, sependek pengetahuan saya, keluar dari kebakuan penulisan sejarah, Sehingga apa yang disajikan menjadi penanda atau zaman baru penulis sejarah yang ringan (tidak njlimet). Melalui “penulisan model baru”ini, sejarah periode atau abad kedelapan lebih tergambar dengan baik. Buku ini seperti ingin mengisi sedikitnya referensi—untuk tidak menyebut kekosongan literatur abad kedelapan.
Kisah Arga Triwikrama
Abad kedelapan yang dimaksud dalam buku ini adalah kisah tentang persaingan dua wangsa terbesar di abad itu, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra.Dua wangsa ini saling klaim dan berperang demi sebuah tanah yang kemudian disebut Bhumi Mataram. Dalam catatan sejarah,pendiri Kerajaan Medang atau Mataram Kuno adalah Raka I Mataram Ratu Sanjaya. Sang Wamçakarta (pendiri wangsa), Wangsa Sanjaya (Canggal, 732 Masehi). Banyak sumber mengatakan bahwa Raja itu menguasai kitab suci, seni bela diri, dan juga kekuatan militer.
Dengan kekuatannya,dia telah menaklukkan daerah-daerah tetangga sekitar kerajaannya dan memerintah dengan bijaksana sehingga tanah Yawadwipa diberkati dengan perdamaian dan kemakmuran. Setelah lebih dari dua dasawarsa memerintah, Raka I Mataram Ratu Sanjaya digantikan putranya,Raka I Tejah Purnapana Panangkaran. Pada masa pemerintahan Putra Sanjaya ini,muncul kekuatan lain yakni Wangsa Syailendra,yang tampil menguasai Bhumi Mataram.
Sejak masa pemerintahan Raka I Tejah Purnapana Panangkaran,Bhumi Mataram terbagi dalam dua kekuatan besar, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra.Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa menguasai Bhumi Mataram di bagian utara, sedangkan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha menguasai Bhumi Mataram di bagian selatan. Lebih lanjut, kisah dalam buku ini mengambil latar pada masa akhir dari Kerajaan Mataram Kuno atau Bhumi Mataram, yakni saat persaingan antara kedua wangsa itu mencapai babak akhir. Kisah ini merupakan fiksi yang dibangun berdasarkan informasi yang ada seputar era akhir Kerajaan Mataram Kuno.
Tokoh utamanya adalah seorang pemuda bernama Arga Triwikrama. Pemuda ini tidak diketahui siapa ayah-ibunya.Ia hanya dikatakan tinggal sejak kecil bersama seorang paman. Pejabat Utama Kota Tembelang sekaligus Ketua Perguruan Merak Mas. Pemuda itu beruntung mendapatkan warisan dari seorang tokoh masa silam. Naga Branjangan. Berbekal wasiranitu,ia menelusuri jejak asal-usulnya dan berdiri tegak sebagai Satria Pembela Bhumi Mataram. Perjalanan Arga Triwikrama diulas secara rinci dan mengesankan dalam buku ini. Arga Triwikrama memiliki kegemaran yang tidak lazim bagi anak di era itu, yaitu baca tulis.
Di era itu, anak-anak biasanya berlatih kanuragan. Melalui olah kanuragan, anakanak menjadi pribadi perkara dan kuat. Karena ketidaksukaan pada olah kanuragan,Arga tertinggal jauh dari teman sebayanya. Namun demikian, kebiasaan dan kemampuan baca-tulis telah mengantarkannya pada sebuah keberuntungan lain.
Ketika Arga berada di dalam gua, sebagaimana petunjuk Naga Branjangan, ia mulai memahami bagaimana hidup di dalam gua. Ia cepat menyesuaikan diri. Ia pun mampu memahami dan melatih diri melalui meditasi.Tujuh meditasi utama (Meditasi Cakra Dasar, Cakra Suci, Cakra Ulu Hati, Cakra Jantung, Cakra Tenggorokan, Cakra Kening, dan Cakra Mahkota) ia lalui dengan sempurna.
Polah Elite
Buku karya alumnus STF Driyarkara ini memuat kisah sejarah peradaban agung di Bhumi Mataram.Sebuah kisah dan tingkah pola para pemimpin di masa lalu yang tidak pernah lepas dari kuasa memerintah. Kuasa memerintah pun hanya dimiliki segolongan elite dan dekat dengan raja. Gambaran di atas pun tampaknya tidak hilang sampai sekarang.Kuasa elite selalu menang dan rakyat selalu dikalahkan.
Kekuasaan wajib dipertahankan dengan cara-cara yang tidak halal sekalipun.Menjilat, pencitraan,atau apa pun namanya adalah bagian halal dalam memperoleh kuasa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar