Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 27 Oktober 2013

Transformasi ala Hendrik Lim


Resensi, Koran Sindo, Minggu, 27 Oktober 2013

Di dalam dunia bisnis dan ekonomi yang amat cepat berubah saat ini, transformasi bukanlah sebuah opsi, tetapi mandatory jika perseroan ingin tetap exist dan makin bertumbuh.

Ada banyak sekali drivers of business change, beberapa di antaranya knowledge economy, e-commerce, konvergensi digital, dan integrasi pasar. Semua ini menciptakan landscape bisnis yang baru, yang berakibat pada shifting of competitiveness.

Bagi perseroan yang ingin produk atau jasanya tetap relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat konsumen, transformasi perseroan sejatinya menjadi the way of business survival. Transformasi bisa diibaratkan dengan perjalanan ke area yang belum kita kenal. Transformation is a journey to challenge unfamiliar territory. Untuk meningkatkan probabilitas keberhasilan transformasi, beberapa hal dasar ini perlu dipersiapkan oleh perseroan yaitu mentalitas, milestone, skala prioritas, kompas, peta, dan rambu-rambu perjalanan. Perlu juga memahami pitfall atau jebakan transformasi. Semua ini dibutuhkan untuk memastikan “bekal” resources perseroan bisa dipakai secara tepat dan efektif sepanjang jalan.

Langkah Fundamental

Buku Adaptif, Besar, Gesit, Model, dan Framework Transformasi Perseroan yang ditulis Hendrik Lim ini menyuguhkan langkah fundamental yang disajikan secara praktis untuk membantu perseroan melakukan transformasi kinerja. Melalui bacaan dan cara pandang yang disajikan dengan runtut yang jelas ini, sebuah perusahaan akan mampu bertahan di tengah semakin tingginya daya saing.

Buku ABG karya mantan Presiden Direktur/CEO Subsidiaries pada Djarum Grup ini mengurai bagaimana perseroan bisa semakin adaptif, besar, dan gesit memasuki era pasar bebas ASEAN. Pasar bebas mensyaratkan kesigapan perseroan agar mereka dapat membaca tanda perubahan zaman. Lebih lanjut Hendrik Lim jelas menyatakan buku ini sebuah usaha untuk menciptakan perseroan yang bisa makin besar, makin gesit, dan makin adaptif dengan memahami penggerak utama perilaku organisasi dan dasar kekokohan bisnis.

Kekokohan bisnis membutuhkan berbagai pendekatan (halaman 77-134). Ada yang masuk dari front business culture, business process, dan business content. Ada pula yang tidak masuk dari pilarpilar tersebut. Maksudnya, dalam segi business content, mereka tetap saja dalam content seperti sedia kala. Hanya cara pandang mereka terhadap bisnis yang mereka geluti itu yang berbeda secara fundamental.

Pria yang pernah menimba ilmu di Asian Institute of Technology dan Singapore- Stanford USA itu mencontohkan Bank Centra Asia (BCA). Sejak dua dekade lalu mulai melihat bahwa bank akan menjadi medium transaksi dan payment (pembayaran), tidak lagi sekadar sebagai lembaga saving-financing (penyimpanan uang). Atas pemikiran cerdas ini, BCA kemudian melakukan gerak langkah antisipasi strategis. Mulai dari investasi jaringan, teknologi, ATM, dan berbagai fitur payment yang melekat dengan ATM. Melalui langkah maju yang belum terpikirkan oleh bank lain, BCA menjadi kampiun perbankan swasta nasional.

BCA pun mampu bertahan di tengah badai krisis keuangan. Langkah adaptif BCA ini pun kemudian ditiru oleh bank-bank lain. Kini ATM dan fitur payment lain bahkan menjadi nilai plus dan pilihan bagi nasabah untuk bertransaksi. Terobosan BCA ini seakan menjadi penanda zaman bahwa masyarakat semakin enggan berlama-lama berurusan dengan bank. Mereka ingin serbainstan dan cepat karena waktu menuntut hal demikian.

Langkah Gila

Maka itu, transformasi perseroan membutuhkan langkah gila. Langkah berani mewujudkan mimpi dengan membaca arah masa depan. Melalui buku ini, Hendrik Lim ingin menebarkan semangat, cara pandang, dan seperangkat nilai dan alat (tool kit) yang akan membuat perseroan Anda semakin matang dalam melakukan transformasi. Akhirnya transformasi organisasi perseroan adalah sebuah perjalanan untuk menantang nyali dan rasa takut (fear) secara kolektif dalam organisasi.

Transformasi tidak mengenal “secured perimeters”, jadi ia menantang keberanian untuk melangkah meskipun semua jawaban belum ada di tangan. Akan ada banyak hal yang justru hanya akan terbuka ketika langkah transformational actiontelah dijalankan. Ini juga bukan jalan yang gampang. Tapi, sebuah langkah yang perlu, untuk memastikan perseroan tetap sustain dan exist di tengah deru perubahan pasar dan selera konsumen yang amat cepat berubah.

Tidak semua perseroan memerlukan buku ini. Buku ini hanya dikhususkan bagi mereka yang benar-benar ingin melihat hijrah besar dalam kehidupan corporate life. 

Benni Setiawan
Adalah penggiat Karangmalang C15 dan dosen luar biasa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Minggu, 20 Oktober 2013

Mengajarkan Pendidikan Seumur Hidup

"Resensi", Koran Sindo, Minggu, 20 Oktober 2013


Pendidikan menjadi ruh bangsa. Jika pendidikan tersemai dengan baik, maka ia akan menghasilkan keadaban publik. Sebaliknya, jika pendidikan tidak mampu melakukan itu, maka kebangsaan akan rusak, yang pada gilirannya manusia semakin saling mengerkah.

Maka dari itu, pendidikan selayaknya diarahkan pada proses yang benar. Artinya, ia harus bertumpu pada kemanusiaan. Kemanusiaan yang menjamin setiap insan mampu melakukan kegiatan keseharian berdasarkan kesadaran diri dan lingkungannya. Mereka pun bertindak atas nama kemandirian.

Kemandirian yang akan mengantarkannya pada penemuan jati diri dan bertindak dalam ranah keadaban (homo homini socius). Kajian pendidikan di atas telah diretas oleh Maria Montessori sejak 6 Januari 1907 di Via dei Marzi 58. Saat itu Montessori yang berlatar belakang pendidikan dokter meresmikan pembukaan Casa dei Bambini yang pertama.

Manusia Mandiri

Nama itu muncul atas usulan Talamo, teman Montessori. Montessori dan Talamo menyukai nama tersebut dan memutuskan untuk menamakan pusat penampungan anak yang akan mereka resmikan itu Casa dei Bambini atau rumah bagi anak-anak. Maria Montessori yang lahir pada 31 Agustus 1870 di Kota Chiaravalle, Provinsi Ancona, Italia Utara, itu melakukan eksperimen pendidikan.

Setelah melakukan observasi terus menerus terhadap perilaku anak, akhirnya Montessori menyimpulkan bahwa, pertama, semakin menantang materi pembelajaran melalui alat peraga yang disiapkan dengan pengendali kesalahan yang ada dalam alat peraga tersebut, semakin materi itu menarik bagi anak-anak. Kedua, anak-anak melakukan kegiatan tidak karena tertarik pada hadiah, melainkan pada keinginan menaklukkan materi pembelajaran tersebut.

Ketiga,pendidikan harus mengikuti perilaku alami anak dan menyiapkan lingkungan yang bisa mendorong kegiatan spontan belajar agar anak mampu memanifestasikan dirinya melalui kegiatan belajar tersebut (halaman. 51). Melalui hal tersebut, tujuan pokok yang hendak dicapai Montessori adalah membuat anakanak mandiri dan melakukan segala sesuatunya sendiri. “Tak ada orang bebas, kecuali dia mandiri” adalah moto terkenal Montessori yang menjadi filosofi penting dalam pendekatannya.

Oleh karena itu, dalam pendekatan Montessori, hampirtidakpernah ditemukan hukuman. Hukuman yang diberikan hanya mengisolasi anak untuk tidak bergerak dan tidak melakukan apa pun (halaman 54). Doktrin lain yang diajarkan Montessori adalah “manusia itu berhasil bukan karena sudah diajarkan oleh gurunya, tetapi karena mereka mengalami dan melakukannya sendiri. Pengalaman adalah guru terbaik”.

Oleh karena itu, guru dalam lingkup pendekatan Montessori tidak lagi disebut sebagai guru, melainkan direktris karena fungsi guru lebih sebagai pengarah, fasilitator, dan observatoryatau pengamat (halaman 55). Melalui sikap tersebut, guru dan siswa mempunyai tugas yang sama. Yaitu mengembangkan kemanusiaan. Manusia yang senantiasa belajar sebagai proses penghargaan diri dan mensyukuri karunia Tuhan.

Hal tersebut terbaca dalam filosofi Montessoriana. Yaitu menghargai ciptaan tersempurna Tuhan melalui penghargaan terhadap manusia sejak ia dikandung, dilahirkan, menjadi anak-anak, bertumbuh remaja, dan akhirnya menjadi dewasa dan mampu menciptakan tatanan dunia baru yang penuh damai, sejahtera, dan bahagia sehingga nama Tuhan semakin dimuliakan.

Ki Hajar Dewantara

Agustina Prasetyo Magini dalam buku Sejarah Pendekatan Montossori ini pun mengungkapkan bahwa pemikiran Montessori telah masuk ke Indonesia. Pembawa gagasan Montessori adalah Ki Hajar Dewantara saat ia berada di Belanda pada masa pengasingannya pada 1913–1919. Ki Hajar Dewantara, Boedi Oetomo, dan Ernest Douwes Dekker ditangkap oleh Gubernur Jenderal Belanda Frederik Idenburg akibat tulisannya di suatu media massa.

Di tempat pengasingan itulah, Ki Hajar Dewantara melanjutkan profesinya sebagai wartawan dan mulai membuat gerakan pendidikan dengan mengajar di sekolah saudaranya. Pada tanggal 3 Juli 1922 ia mendirikan National Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Moto pendidikan Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangunkarsa, tut wuri handayani”.

Artinya, seorang guru, di depan menjadi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberikan dorongan. Pemikiran peran guru sebagai teladan, penyemangat, dan pendorong siswa merupakan pemikiran Montessori. Montessori dalam buku The Montessori Method menekankan bahwa peran guru harus tidak menjadi penghalang siswa untuk berkembang. Guru tidak lagi sebagai figur yang super, melainkan lebih sebagai pengarah atau direktris, teladan, dan observer atau peneliti kebutuhan perkembangan ananak. 

Benni Setiawan,
Pegiat Karangmalang C15
Universitas Negeri Yogyakarta.

Minggu, 08 September 2013

Peran Penting Sekolah Swasta

Oleh Benni Setiawan


"Pustaka", Kedaulatan Rakyat, Ahad, 8 September 2013

Judul : Sekolah untuk Kaum Miskin. Pelajaran Menakjubkan dari Masyarakat Paling Miskin di Dunia
Penulis : James Tooley
Penerbit: Alvabet, Jakarta
Cetakan : 2013
Tebal : ix + 476 Halaman


Sekolah swasta bukan lembaga kelas dua. Sekolah swasta dalam kesejarahan bangsa Indonesia bahkan telah ada sebelum berdirinya sekolah negeri. Peran penting sekolah swasta dalam mendidik bangsa pun tidak diragukan lagi. Mereka telah berhasil membangun jejaring sekolah dari tingkat pendidikan rendah hingga pendidikan tinggi.

Keunggulan sekolah swasta itu ternyata tidak hanya di Indonesia. James Tooley dalam Sekolah untuk Kaum Miskin. Pelajaran Menakjubkan dari Masyarakat Paling Miskin di Dunia menyatakan sekolah swasta telah berperan penting dalam proses pendidikan di berbagai negara.

Buku ini menceritakan perjalanan Tooley dari kota kumuh terbesar di Afrika hingga ke daerah-daerah pedalaman Gansu, China. Dalam perjalanannnya ia menemukan keluarga dan guru yang mengajarinya bahwa masyarakat miskin di sana tidak menunggu bantuan pendidikan. Mereka membangun sekolah dan mendidik anak-anak mereka sendiri.

Mungkin sekolah swasta itu berada di dalam bangunan yang sangat kekurangan. Mungkin mereka memang memiliki guru yang kurang terdidik, yang dibayar di bawah harga persatuan guru. Namun, apa yang dianggap kelemahan ini tampaknya tidak relevan; guru yang terdidik dan digaji tinggi tidak menyebabkan semakin tingginya komitmen guru—kenyatannya yang terjadi justru sebaliknya (hal. 306).

Profesor bidang kebijakan pendidikan di Newcastle University, Inggris, ini pun pada sebuah kesimpulan bahwa pendidikan swasta telah menjadi sebuah norma di banyak negara, sebelum kekuatan Barat memaksakan sistem mereka. Pelajaran vital dari sejarah adalah bahwa sistem pendidikan negeri yang terpusat bukan model yang sesuai secara kultural bagi masyarakat di Asia dan Afrika sub-Sahara dewasa ini. Dalam memperjuangkan pendidikan swasta bagi kaum miskin, kita mungkin sekaligus memperjuangkan sebuah kepulangan menuju akar budaya rakyat (hal. 396).

Sebuah kritik kemapanan bagi sekolah negeri yang senantiasa menunggu bantuan dari pusat. Sehingga kemandirian dan keseriusan menyelenggarakan pendidikan bervisi kemanusiaan seringkali terabaikan.

Pada akhirnya, buku ini menjadi bukti, betapa peran swasta dalam proses pendidikan sangatlah penting. Perang penting swasta dalam hal itu pun sudah lama berlangsung dan berkembang di Republik ini.

*)Benni Setiawan, Pegiat Karangmalang C15 Universitas Negeri Yogyakarta.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Otak Sebagai Poros Iman

Oleh Benni Setiawan
Pecinta Buku asal Yogyakarta


"Books", Bisnis Indonesia, Minggu, 18 Agustus 2013

Judul : Born to Believe. Gen Iman dalam Otak
Penulis : Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan : Maret, 2013
Tebal : 484 Halaman
ISBN : 978-979-433-732-5
Harga: Rp. 69.000,-

Kajian tentang iman (keyakinan) sering membangkitkan persoalan yang mengguncang. Pasalnya, seringkali manusia tidak sadar bahwa banyak keyakinan berpijak di atas asumsi yang tak sempurna. Lalu, mengapa keyakinan bisa begitu berdaya sehingga dapat menenangkan dan atau merusak sehingga dapat menyebabkan seseorang menderita dan mati?

Buku Born to Believe. Gen Iman dalam Otak karya Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman mendedah konsepsi itu. Newbarg dan Waldman menyatakan bahwa keimanan bukan hal yang terkait dengan hati. Keimanan merupakan pokok atau hal sentral dalam otak manusia.
Otak manusia betul-betul merupakan sebuah mesin pemercaya, dan semua pengalaman yang kita punyai memengaruhi kedalaman dan kualitas kepercayaan ini. Keyakinan itu boleh jadi hanya berisi sekeping kebenaran, tetapi ia selalu memandu kita menuju tujuan. Tanpanya, kita tidak bisa hidup, apalagi mengubah dunia. Keyakinan itulah kredo kita, yang memberi kita keimanan, dan menjadikan kita seperti sekarang ini (halaman 31).

Temuan ini tentu mengklarifikasi untuk tidak menyebut mematahkan pendapat terdahulu yang menyatakan bahwa keimanan berpusat di hati. Melalui pemahaman yang baru ini kita semakin yakin bahwa otak merupakan pusat atau sentral kehidupan.

Bagian otak sebagai pusat keimanan itu bernama lobus frontal. Lobus frontal merupakan bagian otak paling baru dan berevolusi paling tinggi, terletak di belakang kening kita. Di sinilah tempat mekanisme-mekanisme penting yang mengatur kesadaran—tempat penyimpanan keyakinan dan mimpi-mimpi kita yang paling sakral.

Lobus frontal dijuluki “singgasana kehendak” karena ia mengarahkan perhatian kita dan mengawali perilaku. Profesor Radiologi dan Psikiatri pada University of Pennsylvania dan asisten peneliti di Center for Spirituality and the Mind ini menyebutnya sebagai “area atensi”. Menariknya, ia juga merupakan bagian yang dilihat dari segi fungsi, paling terpisah dari persepsi langsung kita mengenai realias.

Keyakinan-keyakinan itu, walaupun jauh dari terpisah dari realitas, membantu kita menghadapi nyaris semua aspek kehidupan. kemampuan ini menyoroti kekuatan keyakinan yang luar biasa, karena keberadaannya itu sendiri, sebagaimana kita ketahui, sangat mungkin merupakan fungsi yang hanya berlangsung di dalam ceruk dalam otak (halaman 128).

Oleh karena itu, otak merupakan poros keimanan. Jika Anda percaya dengan Tuhan yang pengasih, penyayang, maka berfokus pada keyakinan ini akan memicu keadaan senang dan damai. Namun, jika Anda membayangkan Tuhan pengancam dan pembalas dendam, bermeditasi atas keyakinan itu akan menghasilkan reaksi neurofisiologis berupa kecemasan dan takut. Maka, bergantung pada cara Anda memilih bermeditasi atau berdoa, Anda bisa memupuk rasa kasih sayang atau kebencian; tetapi kunci untuk menciptakan realitas apa pun didasarkan atas pengulangan kuat suatu gagasan. Hal ini tidak mengharuskan adanya meditasi yang khusyuk, tetapi banyak jenis ibadah bisa menimbulkan respons yang sangat kuat.

Kalau Anda ingin menciptakan teroris, rumusnya sangat sederhana. Kucilkan anak-anak atau pemuda dari keluarga dan teman-temannya. Ajari mereka bahwa negara atau kelompok mereka hebat, bahwa mereka lebih unggul daripada orang lain, dan bahwa “musuh” memang ingin menghancurkan mereka. Anda bahkan bisa memasukkan gagasan tentang Tuhan yang pendendam, yang akan memberikan pahala bagi tindakan kekerasan terhadap musuh terkutuk.

Dengan tubuh dan otak dalam keadaan selalu awas dan marah, para teroris yang dikondisikan ini akan gampang, bahkan berkeinginan untuk menarik pemicu atau meledakkan bom—khususnya jika balasan surgawi yang dijanjikan besar. Sebagaimana disampaikan dengan gamblang oleh Mark Juergensmeyer, kekerasan bisa memberdayakan agama.

Keadaan kita menakar realitas lewat derajat aktivitas saraf yang berlangsung di otak. Semakin lama kita berfokus pada objek kontemplasi, semakin nyata pikiran itu. Begitu pula halnya dengan emosi, semakin Anda dicekam perasaan tertentu, semakin nyata ia tampaknya (halaman 295).

Pesan moral dari buku ini adalah berhati-hatiah dengan apa yang Anda doakan, meditasikan, atau idam-idamkan. Karena kemungkinan ia akhirnya menjadi kebenaran.

Jika Anda ingin membuat spiritualitas menjadi bagian inti dari kehidupan Anda—jika Anda ingin membawa kedamaian, kasih sayang, dan hak asasi menjadi realitas—maka dengan segala cara berfokuslah pada ideal-ideal ini sesering mungkin. Tetapi, jika teori kuantum atau psikoanalisis adalah bidang Anda, maka membaca, mempelajari, dan berkontemplasi merenungkan subjek-subjek ini akan membantu mengubahnya menjadi kebenaran mendasar. Sains, psikologi, dan agama, semua memiliki nilai instrinsik dan pemaknaan pribadi; dan masing-masing menuntun ke lapisan lebih dalam dari suatu realitas yang kita tidak pernah pahami seutuhnya, karena keterbatasan otak.

Pada akhirnya, menilik realitas yang demikian, otak merupakan poros iman (keyakinan). Sebuah buku yang perlu dibaca guna mengoreksi proses keimanan kita selama ini.

Minggu, 09 Juni 2013

Menyusuri Kisah Seorang Penulis

Oleh Benni Setiawan

Resensi, Kedaulatan Rakyat, 9 Juni 2013



Judul : Tidur Berbantal Koran. Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis : N. Mursidi
Penerbit: Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan : 2013
Tebal : xiv+ 246 Halaman


Penulis, bukanlah profesi pilihan utama di negeri ini. Negeri ini masih dipenuhi oleh generasi muda yang ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Bagi mereka PNS menjanjikan harapan besar bagi masa depan. Namun, ternyata masih ada anak muda yang gigih mewujudkan cita-cita menjadi penulis di tengah keterbatasan. Dia adalah N. Mursidi.

N. Mursidi dalam buku Tidur Berbantal Koran. Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan ini mengisahkan perjalanan hidupnya meraih cita menjadi seorang penulis. Melalui buku ini ia menyatakan bahwa kehidupan tidak boleh disesali apalagi ditangisi. Setiap jengkal kehidupan memiliki makna. Makna yang akan mengantarkan kita pada sebuah fase menikmati hasil jerih payah dan kerja keras kita selama ini.

Berbekal semangat, N. Mursidi bertekad merantau ke Kota Pelajar, Yogyakarta. Kuliah pertamanya pun gagal. Ia harus DO dari Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, karena ketiadaan biaya. Namun, berbekal semangat, akhirnya ia kembali menjejakkan kaki di kampus. Yaitu di Institute Agama Islam Negeri (IAIN, kini UIN) Sunan Kalijaga.

Di kampus barunya ini ia memulai berkarya. Usaha memasuki dunia tulis menulis diawali dengan kegemarannya memotret. Sebagai fotografer amatir ia memberanikan diri mengirimkan tulisannya. Tanpa dinanya, akhirnya potret itu dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat.

Koran kebanggaan warga Yogyakarta ini pun menjadi “rumah pertama” untuk tulisan Nur Mursidi. Sebuah novel resensi yang ia baca selama semalam suntuk berbuah hasil. Resensi itu dimuat di Kedaulatan Rakyat Minggu dalam waktu dua minggu setelah pengiriman.

“Seketika itu, aku merasa kejatuhan durian runtuh. Minggu pagi itu, waktu berjualan Koran, aku merasa seperti menjual tulisanku sendiri. Setiap orang yang naik bus, kutawari koran Kedaulatan Rakyat dengan harapan karyaku akan dibaca banyak orang” (hal 114-115), kenangnya.

Sejak itu, tulisannya kerap menghiasai berbagai media massa. Nur Mursidi pun menjadi raja resensi. Hampir setiap minggu, resensinya selalu nangkring di halaman media massa.
Buku ini menggambarkan perjuangan Nur Mursidi menjadi seorang penulis. Penulis yang mengantarkannya menuju profesi wartawan yang kini ia tekuni.

Buku karya Nur Mursidi ini mengajarkan kepada kita, bahwa dengan kesulitan kita mampu merasakan kemudahan. Jika kita tidak pernah merasakan penderitaan, kita tidak akan pernah tahu bagaimana kebahagiaan itu. Sebuah karya yang sayang untuk dilewatkan.

*)Benni Setiawan, Pegiat Karangmalang C15 Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Minggu, 26 Mei 2013

Iman, Urusan Otak

Oleh Benni Setiawan



Resensi, Koran Sindo, Minggu, 26 Mei 2013

Kajian tentang iman (keyakinan) sering kali dikaitkan dengan urusan hati. Konon hati menjadi sumber iman. Pemahaman inilah yang kemudian menjadikan seseorang sering kali bertindak irasional.

Bahkan banyak manusia beranggapan iman hanya perlu diyakini tanpa harus mencari tahu mengapa hal itu perlu dilakukan dan untuk apa dilakukan. Pemahaman keimanan yang seperti ini menjadikan seseorang gelap mata. Seseorang sering kali mendasarkan keimanan pada realitas teks tanpa melakukan kajian atau penafsiran dengan kemampuan akal sehat (otak). Maka tidak aneh jika banyak orang yang mengaku beragama melakukan tindakan anarkistis, bahkan membunuh didasarkan pada aspek keimanan hati ini.

Klarifikasi

Buku Born to Believe: Gen Iman dalam Otak karya Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman melakukan klarifikasi terhadap proses keimanan tersebut. Bagi Andrew dan Mark, keimanan merupakan hasil kerja aktivitas otak. Iman bukan hanya urusan hati, tetapi juga berkaitan erat dengan proses rasionalitas sebuah keyakinan. Melalui pemahaman yang demikian, seseorang tidak akan mudah terjebak pada pemahaman yang sempit mengenai agama dan atau kepercayaan.

Manusia semakin terbuka terhadap narasi teks dan mendorongnya untuk berpikir rasional berdasarkan kerja saraf otak sebagai anugerah Tuhan yang luar biasa. Simpulan itu didapat Newberg dan Waldman dalam penelitian panjang. Salah satunya dengan meneliti biarawati. Para biarawati itu memiliki sistem keyakinan yang kuat, yang mengakomodasi data ilmiah dalam cara khusus.

Sejauh yang menyangkut mereka, Newberg dan Waldman memotret otak mereka ”mengenai Tuhan”. Para Buddhis, sebaliknya, menggunakan informasi yang sama untuk menegaskan bahwa ibadah membantu mereka meraih tingkat kesadaran murni, tempat mereka dapat menangkap sekilas realitas mutlak. Tapi, realitas itu tidak memasukkan pandangan mengenai Tuhan karena Tuhan bukan merupakan bagian dari sistem keyakinan mereka.

Inilah potret kedamaian hati. Inilah yang menarik tentang lobus frontal. Ia memungkinkan selusin orang yang semuanya memiliki pengalaman perseptual yang sama, menafsirkannya dalam selusin cara yang berbeda. Hal itulah yang memantik Newberg dan Waldman untuk memotret keyakinan atau lebih tepatnya cara keyakinan tertentu memengaruhi kerja otak. Dengan pemahaman itu, bukan keyakinan tertentu yang memengaruhi otak, tetapi otak menyediakan rasa realitas bagi muatan keyakinan tertentu dan mengesahkannya (halaman 278).

Makna dan Kebenaran

Lebih dari itu, profesor radiologi dan psikiatri pada University of Pennsylvania dan asisten peneliti di Center for Spirituality and The Mind ini juga mengulas pencarian biologis akan makna, spiritualitas, dan kebenaran. Apabila kita memahami neuropsikologi otak, keyakinan akan mampu tumbuh dan berubah ketika kita berinteraksi dengan orang lain yang memiliki pandangan berbeda tentang dunia. Newberg dan Waldman pun bersimpulan bahwa dengan menjadi orang beriman yang lebih baik, kita akan lebih peduli dalam pencarian kita akan makna dan kebenaran.

Hal itu dikarenakan kita terlahir untuk percaya, sebab kita tidak punya alternatif lain. Kita tidak pernah keluar dari diri kita sendiri. Kita harus banyak berasumsi untuk membuat dunia ”di luar sana” masuk akal. Keyakinan spiritual yang kita anut serta pengalaman spiritual yang dapat kita peroleh juga dipengaruhi sirkuit saraf dan keterbatasannya. Tuhan mungkin ada, tetapi kita dapat merasa Tuhan—atau hal yang lain— hanya lewat berfungsinya otak (halaman 41–42).

Tiap belahan otak menerima realitas dengan cara berbeda. Secara umum dikatakan bahwa belahan kanan meraup secara spasial dunia seutuhnya lewat perasaan. Sisi kiri mengubah realitas menjadi rangkaian ide yang dapat dikomunikasikan lewat bahasa kepada orang lain. Kedua belahan otak itu, ketika bekerja bersama-sama, memberi kita rasa realitas yang jelas berbeda daripada rasa yang terbentuk ketika hanya salah satu belahan yang bekerja.

Itulah mengapa ketika kita merasa tenang dan bersemangat, kita mungkin terlibat dalam kegiatan yang tidak memikirkan diri sendiri; tetapi ketika merasa marah, kita berperilaku egois, dengan hanya sedikit empati atau peduli. Dari perspektif neurologis, setiap keadaan emosional dapat menghasilkan keyakinan yang berbeda, bahkan bertentangan dari waktu ke waktu. 

Benni Setiawan,
Dosen dan
Pegiat Karangmalang C15
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Minggu, 19 Mei 2013

Pacaran No, Nikah Yes!

Oleh Benni Setiawan



Jurnal Nasional | Minggu, 19 May 2013

Pacaran bukan perilaku mengakomodasi masa depan, melainkan justru menghancurkannya.


0


"Pacaran nggak buat kamu dewasa, tapi buat kamu beradegan dewasa". Itulah kicauan Jaya YEA yang terpampang jelas dalam buku Udah Putisan Aja! Jaga Kehormatanmu, Raih Kemuliaanmu ini. Adegan dewasa seperti kissing, petting, seks oral, hubungan intim, dan aborsi menjadi harga yang harus dibayar dari perilaku pacaran.

Data Badan Koordinator Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan pada 2010 di Jabodetabek, remaja yang hilang keperawanannya mencapai 51 persen. Merujuk data yang sama di Surabaya remaja yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, disusul secara berturut Medan, 52 persen; Bandung, 47 persen, dan Yogyakarta, 37 persen.

Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2010 menyebutkan sebanyak 32 persen remaja usia 14-18 tahun di Jakarta, Bandung, dan Surabaya mengaku pernah melakukan hubungan seksual. Survei itu juga menyebutkan 21,2 persen remaja putri pernah melakukan aborsi. Lebih dari setengah remaja yang disurvei mengaku sudah pernah bercumbu atau pun melakukan oral seks.

Menghancurkan Masa Depan

Semua itu konon didasarkan pada cinta. Cinta disempitkan dengan pacaran, yang terbatas pada rayuan palsu dan gandengan tangan (halaman 56). Cinta pun hanya sebatas sebatang cokelat dan setangkai bunga. Wajarlah bila ia hilang dilahap nafsu. Bila tidak, ia pun akan lekang digerogoti masa. Begitulah cinta setangkai mawar. Habis dicium, habis disentuh, habis dipreteli satu demi satu kelopaknya, habis pula manfaatnya. Habis indah wangi mawar. Yang tinggal adalah getir pedih penyesalan. Bila cinta sebatang cokelat atau setangkai bunga, ia bisa dibayar pula dengan sejumlah harga. Tak peduli siapa yang meminta (halaman 80).

Maka dari itu, pacaran tidak akan membawa manfaat. Pacaran hanya akan menjerumuskan seseorang pada lembah kenistaan. Lembah di mana manusia tersungkur dalam keburukan dan mengerdilkan kemanusiaan itu sendiri.

Derajat manusia pun lebih rendah daripada hewan, bahkan lebih nista. Manusia kehilangan akal warasnya. Karena ia tidak mampu membedakan kebaikan dan keburukan. Manusia menjadi budak nafsu yang terbingkai atas nama cinta palsu. Cinta murni pun telah dibajak demi kepentingan sesaat. Kepentingan memuaskan nafsu seksual yang bukan pada tempatnya.

Dalam pacaran seringkali terjadi kekerasan, baik fisik maupun psikis. Biasanya korban pacaran itu adalah perempuan. Mereka terpaksa (baca: dipaksa) menuruti kemauan sang pacar. Jika tidak mau perempuan akan dimaki dan bahkan mendapat perlakuan kasar.

Oleh karena itu, seharusnya perempuan sadar bahwa pacaran bukanlah aktivitas yang aman baginya dan bagi masa depannya. Perempuan dengan masa depan cerah itu penting bagi laki-laki, tetapi perempuan dengan masa lalu tanpa noda itu jauh lebih penting. Sebaliknya, laki-laki dengan masa depan cerah penting bagi perempuan, tetapi laki-laki dengan masa lalu tanpa noda itu jauh lebih penting.

Pendek kata, pacaran tidak mengakomodasi masa depan, melainkan menghancurkannya. Menghancurkan diri sendiri dengan perbuatan yang menyimpang dari norma. Sehingga menyulitkan baginya untuk menatap masa depan cerah.

Menuju Kebahagiaan

Guna menghindari keadaan itu, pernikahan menjadi solusi mujarab. Pernikahan adalah kebaikan, sedangkan berkeluarga adalah kebaikan. Maka, suatu kebaikan sudah semestinya diawali dengan kebaikan pula. Pernikahan yang diawali dengan pacaran ibarat orang berharap kebaikan, tapi sudah memulainya dengan keburukan. It's not how life works (halaman 99).

Pernikahan bukanlah sebuah bahtera yang hanya bisa dijalani dengan cinta. Ia perlu ilmu yang tunjukkan terang agar benar jalannya. Serius dalam pernikahan bukan diukur dari tutur yang terlisan, tapi diukur dari perbuatan yang penuh kelayakan (halaman 176).

Maka dari itu mempersiapkan diri menjadi orang baik menjadi kata kuncinya. Pasalnya, di dalam al-Qur'an telah jelas bahwa orang baik akan berpasangan dengan orang baik. Sebaliknya, orang jahat akan berpasangan dengan orang yang buruk.

Hal itu merupakan sunnatullah. Jika Anda menginginkan pasangan yang dapat menjadi iman dan makmum yang baik, maka perbanyaklah berbuat kebajikan. Karena kebajikan akan menuntun Anda pada kemuliaan.

Buku karya Felix Y Siauw ini menuntun siapa saja yang ingin mendapatkan penghormatan diri dan lingkungan dengan cara menikah. Sebuah ikatan suci yang sah dan halal. Melalui hal itu seseorang akan menemukan ketenteraman lahir dan batin.

Buku ini dengan tegas menyatakan bahwa pacaran hanya akan menyeret seseorang berperilaku negatif dan kotor. Pacaran mendorong seseorang melakukan hubungan layaknya suami-istri. Padahal mereka belum mempunyai legalitas untuk melakukan hal itu.

Buku yang ditulis ringan dengan gambar-gambar lucu oleh Emeralda Noor Achni ini menyuguhkan data dan fakta pacaran bukanlah pilihan tepat bagi manusia. Dan pernikahan merupakan pilihan tepat dan jalan menuju kebahagiaan. Sebuah buku yang layak dibaca oleh remaja, orangtua, dan siapa saja yang ingin selamat dari cengkeraman nafsu sesaat.

*)Benni Setiawan, Dosen dan Pegiat Karangmalang C15 Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Data Buku

Judul : Udah Putusin Aja! Jaga Kehormatanmu, Raih Kemuliaanmu

Penulis : Felix Y Siauw

Penerbit: Mizania, Bandung

Cetakan: Februari 2013

Tebal : 180 Halaman

ISBN : 978-602-9255-43-0

Minggu, 28 April 2013

Membebaskan Diri dari Emosi Negatif

Oleh Benni Setiawan



Resensi, Koran Sindo, Minggu, 28 April 2013

Emosi dapat menjadi pembunuh. Emosi bisa membunuh penyelesaian rencana, perwujudan impian, juga pencapaian kehidupan yang pernah kita cita-citakan dan sangat kita dambakan bagi diri sendiri.

Emosi-emosi yang sangat berbahaya juga mampu memicu perilaku yang mengarah pada berkurangnya rasa percaya diri dan harga diri. Utamanya, emosi bisa menghancurkan semangat dan energi positif yang kita miliki.

Jelaslah, semua itu emosi yang sangat merugikan. Bagaimana kita mengendalikan dan terbebas dari emosi negatif itu? Buku 7 Langkah Menguasai Emosi Negatif ini memberikan sejumlah rekomendasi dan catatan penting agar kita dapat membebaskan diri dari emosi negatif.

Alat Keselamatan

Buku karya Ken Lindner, pemilik dan chief executive officer perusahaan hosting representation paling sukses di dunia, ini bagai seperangkat alat keselamatan emosi. Ia memberi kita serangkaian langkah-langkah yang jelas dan sudah terbukti untuk bertindak dengan kejernihan intelektual. Kejernihan intelektual itu sepenuhnya akan menentukan pilihan hidup dan karier yang penting bagi kita.

Kuncinya kita harus menguasai emosi dan dorongan di dalam diri dan kemudian mengubahnya menjadi sekutu sewaktu kita membuat pilihan hidup yang penting. Saat mempelajari buku ini kita akan menyadari pentingnya mengidentifikasi dan bekerja dengan hal-hal, orang, peristiwa, dan tujuan yang paling kita dambakan, sayangi, takuti, benci, dan paling membuat kita malu.

Semua itu memicu muatan energi terkuat kita yang dihasilkan untuk membantu dan menggerakkan kita mengalahkan dan menetralisasi muatan energi dan emosi membahayakan yang dapat memengaruhi/mengacaukan penilaian intelektual terbaik kita. Maka, dengan mengetahui apa sesungguhnya yang memotivasi, menggerakkan, dan membangkitkan gairah, kita akan menemukan personal emotional triggers (PETs).

PETs adalah emas dan kebenaran. Emas mencakup tujuan dan impian yang sangat berarti. Emas inilah yang paling memotivasi dalam kehidupan. Adapun kebenaran adalah visi mengenai kehidupan yang sangat kita dambakan bagi diri sendiri dan sosok yang paling ingin kita wujudkan dalam diri.

Visi inilah yang sebenarnya menjadi inspirasi dan motivasi kita. Lebih dari itu, PETs adalah orang-orang, peristiwa, mimpi, tujuan, hasil, dan informasi yang menyerang lubuk hati terdalam— yang memicu muatan energi sangat kuat yang dihasilkan emosi—sehingga memotivasi dan menggerakkan diri kita untuk bertindak.

PETs memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menghancurkan pola perilaku yang membahayakan, sehingga kita pun bebas untuk dengan penuh kesadaran membuat pilihan hidup yang sesuai dengan emas dan kebenaran (halaman 53). Setelah mengetahui PETs, langkah selanjutnya adalah bersikap antisipatif.

Bersikap antisipatif menuntut kita untuk mempelajari masa yang akan datang dan mempertimbangkan tantangan bermuatan energi yang dihasilkan emosi apakah yang akan kita hadapi pada saat mendesak; apa pula yang akan kita lakukan dalam situasi tertentu yang mengharuskan diri sendiri menentukan pilihan hidup (halaman 97).

Pada saat mendesak, kita akan dituntut untuk mengakses, memutar kembali, dan menggunakan visualisasi pilihan hidup potensial yang tersimpan di dalam benak selama kita melakukan langkah cegah serang. Cegah serang merupakan rangkaian langkah persiapan yang mempersiapkan kita beberapa hari, minggu, dan/atau bulan sebelum kita harus menentukan satu, atau beberapa pilihan hidup ini.

Mengakui Kesalahan

Penting untuk mengakui kesalahan yang pernah kita lakukan dalam menentukan pilihan hidup di masa lalu agar kita dapat menyusun rencana yang tepat dan lebih menguntungkan untuk menghadapi kesempatan serupa di masa mendatang (halaman 105).

Ketika melakukan frame atas persoalan yang dihadapi, kita menyusun tumpukan pembuatan pilihan, kemudian mengisinya dengan begitu banyak energi dan/atau muatan energi bertegangan tinggi sehingga muatan energi yang berasal dari emosi yang berbahaya akan terkalahkan dan selanjutnya musnah.

Hasilnya, pada saat mendesak, kita pun bebas dari emosi yang berbahaya sehingga mampu membuat pilihan hidup sesuai dengan kebenaran yang sangat berharga (halaman 139). Dalam mewujudkan itu, perlu memahami dan merasakan belas kasih dan memaafkan orang-orang yang pernah berperilaku dan menyakiti diri kita.

Dengan itu kita dapat menghilangkan muatan energi yang membahayakan diri sendiri. Sebagai manusia, kita pasti pernah melakukan kesalahan, menghadapi rintangan, dan mengalami kemunduran. Jangan khawatir, tetaplah ikuti dan lakukan langkah-langkah dan strategi dalam buku ini.

Kita pun perlu senantiasa mengkaji ulang dan memperbaiki setiap kesalahan. Dengan cara ini, kita sudah siap untuk memastikan dan menikmati hasil yang bermanfaat dan memuaskan.

Benni Setiawan, Dosen dan Penggiat Karangmalang C15 Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Minggu, 21 April 2013

Memahami Hubungan Islam-Kristen

Oleh Benni Setiawan

Pustaka, Kedaulatan Rakyat, Minggu, Kliwon, 21 April 2013



Judul : Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen. Titik Temu dan Titik Seteru Dua Komunitas Agama Terbesar di Dunia
Penulis : Hugh Goddard
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan : Januari, 2013
Tebal : 402 Halaman


Dalam bingkai sejarah dunia, hubungan Islam-Kristen menorehkan catatan yang panjang dan menyakitkan. Keduanya lahir dan berkembang di Timur Tengah. Namun, dalam perkembangan berikutnya, keduanya merambah dan menanamkan pengaruh ke pelbagai penjuru dunia; Kristen di Eropa dan Amerika, sementara Islam di Afrika dan Asia. Selama dua abad terakhir, sebagai akibat dari hubungan dagang, migrasi, itu berkembang semakin mendunia. Kini, hanya segelintir kawasan dunia yang tidak dihuni oleh kaum Kristen dan kaum Muslim meskipun dalam proporsi sangat berbeda.

Relasi Islam-Kristen dalam proses kesejarahan yang panjang itu dipotret secara ilmiah oleh Hugh Goddard dalam buku Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen. Titik Temu dan Titik Seteru Dua Komunitas AgamaTerbesar di Dunia ini.

Hugh menyatakan bahwasanya hubungan Islam-Kristen pernah mesra di awal abad ketujuh masehi. Hal itu terkait dengan penafsiran pada Kitab Perjanjian Lama. “Tafsiran pemersatu” ini muncul dari cerita Ibrahim/Abraham yang melahirkan Ismail dari istri Siti Hajar/Hagar. Kemunculan Ismail sebagai bagian dari komunitas muslim ini menjadi bukti kebenaran Kitab Perjanjian Lama.

Namun, dalam perkembangannya, kesamaan pandangan ini kian luntur. Hal ini disebabkan beberapa hal, pertama, sejak 756/138, muncul kekhalifahan Bani Umayyah di Spanyol sehingga agenda Harun al-Rasyid untuk membina hubungan baik dengan bangsa Franka kemungkinan dimaksudkan agar mendapat dukungan mereka untuk melawan Umayyah. Kedua, fakta bahwa pertikaian di antara kaum muslimin di Spanyol mendorong beberapa raja Muslim meminta bantuan kepada Karolus Agung pada 777/160 untuk melawan pesaing muslim mereka. Karolus Agung meresponsnya dengan mengirimkan pasukan ke Spanyol untuk membantu mereka. Namun, ketika kembali di Prancis, pasukan belakangnya diserang dan dibantai. Insiden inilah yang beberapa abad kemudian mengilhami penulisan epik The Song of Roland, tentang heroism pemimpin pasukan belakang ketika diserang oleh kaum muslimin. Tetapi, penting untuk dicatat bahwa dalam kejadian yang sebenarnya, bukan dalam epik, para penyerang itu bukanlah kaum muslimin, melainkan bangsa Basque (hal. 157-158).

Lebih lanjut, pandangan yang sangat negative terhadap Islam itu dipicu oleh suatu gerakan Kristen yang disebut “Gerakan Kemartiran Spanyol”, yang selama dasawarsa 850-860/235-246 membentuk apa yang disebut pandangan apokaliptik terhadap Islam.

Namun, kini Islam-Kristen sudah mulai menampakkan wajah sejuknya. Islam-Kristen sudah menjalin dialog dan kerjasama. Bertemunya Islam-Kristen ini tentu tak lepas dari peran Konsili Vatikan II. Konsili itu juga mengajak umat Kristen dan kaum muslimin untuk melupakan masa lalu dan berusaha dengan tulus untuk saling memahami satu sama lain.

Buku ini memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan Islam-Kristen pada masa silam. Dengan mendedah masa lalu itu, Hugh berharap keduanya mampu meningkatkan sikap saling memahami pada masa sekarang dan mempercayai jalinan kerja sama antara keduanya di masa depan, bukan malah memicu konflik yang lebih besar.

*)Benni Setiawan, Pegiat Karangmalang C15 Universitas Negeri Yogyakarta.

Selasa, 02 April 2013

Tips Membaca Cepat

oleh Benni Setiawan



Judul : Kiat Meningkatkan Kemampuan Membaca Cepat
Penulis : Dra. Lusi Hidayati
Penerbit : Fire Publiser, Pati
Cetakan : 2012
Tebal : viii + 72 Halaman


Membaca merupakan fitrah kemanusiaan. Membaca menjadikan manusia semakin kukuh dalam bingkai kemanusiaan. Pasalnya, melalui membaca, manusia semakin mengetahui dirinya. Mengetahui diri akan memudahkan identifikasi mengetahui lingkungan bahkan Tuhannya.

Dengan demikian, kemampuan membaca dengan cepat dan baik menjadi salah satu solusi di tengah semakin cepatnya informasi yang tersedia. Telah menjadi rahasia umum, jika kemajuan teknologi informasi mendorong tersajinya ragam peristiwa dalam hitungan menit. Internet menjadi penanda hal tersebut. Banyaknya ragam berita peristiwa tersebut mendorong kita untuk mengetahuinya. Jika terlewatkan, kita akan ketinggalan berita.
Kemampuan membaca secara cepat dan baik di era teknologi informasi ini tersaji dengan baik dalam buku Kiat Meningkatkan Kemampuan Membaca Cepat ini. Lusi Hidayati dengan bahasa sederhana menyajikan tips membaca cepat berdasarkan pengalamannya.

Tips itu adalah, pertama, memiliki minta yang besar terhadap buku atau materi yang hendak And abaca. Semakin berminat Anda terhadap sebuah buku, maka semakin cepat pula Anda membacanya. Sebaliknya, jika kita kurang berminat terhadap sebuah buku, maka kecepatan membaca kita pun menjadi lambat. Jadi minat menjadi hal utama dalam proses membaca cepat.

Kedua, berusahalah berkonsentrasi penuh saat membaca. Semakin Anda mampu berkonsentrasi, maka semakin cepat pula Anda membaca. Carilah suasana tenang dan nyaman. Namun, tidak semua orang menyukai kesunyian. Ada pula seseorang yang mampu berkonsentrasi penuh saat terjadi keramaian. Jadi dalam hal ini yang terpenting adalah konsentrasi. Temukan kenyamaan diri Anda saat membaca.

Ketiga, hindarilah gerakan-gerakan yang tidak perlu, seperti menggerakkan bibir, kepala, menggaruk tangan, dan sebagainya. Selain itu, membacalah dalam posisi yang baik agar mata dan tubuh Anda tidak cepat lelah. Kelelahan mata dan tubuh akan mampu menghilangkan keinginan (mood) untuk membaca. Jadi, pertahankan stamina Anda dalam membaca.

Keempat, menguasai teknik membaca cepat, yakni mampu membaca beberapa kata sekaligus dan berirama. Dalam hal ini Anda perlu melatih fiksasi agar menjadi lebih lebar, yakni kemampuan mata mengenali beberapa kata sekaligus. Dengan latihan yang baik, Anda akan mampu membaca beberapa kata sekaligus. Jika Anda mampu membaca tiga kata sekaligus, berarti kecepatan membaca Anda tiga kali lebih cepat daripada orang-orang yang hanya membaca per kata.

Kelima, membaca berirama berarti kita tidak membaca teks dengan kecepatan yang sama. Adakalanya, kita membaca lebih cepat untuk teks-teks yang mudah dipahami. Sedangkan untuk teks-teks yang memerlukan perhatian yang lebih besar, kita juga akan menurunkan kecepatan membaca.

Keenam, aktif membaca. Artinya, memiliki kebiasaan membaca setiap hari. Semakin aktif Anda membaca, maka semakin banyak pula informasi yang bisa diserap. Keaktifan membaca juga dengan sendirinya akan meningkatkan kecepatan Anda membaca.

Keenam tips dan teknik membaca tersebut akan mempermudah kita memahami sebuah tulisan. Baik, di dalam buku, surat kabar, mauapun berita edisi online.

Buku karya seorang pendidik di SMP Negeri 1 Pati ini akan mengantarkan Anda pada proses bagaimana menjadi pembaca handal dengan membaca cepat. Buku ini semakin memperjelas bahwa membaca dan kemampuan memahami sebuah kalimat menjadi modal sosial manusia untuk tetap dapat bertahan hidup di tengah laju perubahan zaman yang semakin cepat.

Senin, 01 April 2013

Kearifan Lokal Pulau Timor Harus Terus Dihidupkan

Oleh Benni Setiawan



"Perada", Koran Jakarta, Senin, 01 April 2013

Kehidupan masyarakat kini sedang dilanda arus modernisasi yang sangat kuat yang seakan terus merasuk dalam sumsum. Namun begitu, di tengah laju modernisme ini, masih ada kearifan lokal yang senantisa dipegang teguh masyarakat.

Masyarakat yang kini terpola dalam berbagai corak di desa-desa masih sangat lekat mewarisi kebiasaan masa silam. Walaupun ketinggalan zaman, justru masyarakat menilai masih amat positif memberi sesuatu yang bermakna bagi kehidupan sehari-hari.

Seakan, kekuatan modernismus tidak mampu membantu manusia menghadapi persoalan-persoalan hidup sehari-hari sehingga kompensasi positifnya manusia modern lari pada warisan leluhur untuk mencari ketenangan hidup. Pada waktu yang sama mereka menemukan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan dan persoalan (halaman 4).

Solusi mengurai kesulitan hidup tertuang dalam lanskap orang Rote. Perjumpaan Injil dan budaya Rote telah melewati sejarah panjang, baik berupa tindakan penolakan maupun upaya adopsi dan adaptasi konsep kultural orang Rote. Sebuah upaya berteologi bisa datang dari bawah dan jemaat sebagai basis dan akar.

Teologi semacam itu merupakan sebuah upaya kontekstualisasi yang nonelitis karena berangkat dari pengalaman dan filosofi hidup yang dekat dengan masyarakat. Dalam narasi penciptaan dalam versi bahasa bini, sangat gamblang penggunaan idiom dan metafor kultural orang Rote. Konsep-konsep biblis ditransformasikan dalam alam berpikir yang telah menjadi tradisi.

Kearifan lokal dipakai untuk mengungkapkan konsep Yudea-Kristiani yang juga memiliki muatan kulturalnya. Kearifan lokal menjadi lebih hidup karena sang mahahelo memahaminya dengan baik dan mengekspresikannya dengan benar (hal 211-212). Kearifan lokal merupakan modal utama hidup yang dianggap sebagai sebuah perjalanan, di laut dengan perahu dan di darat dengan rumah.

Maka, kehidupan bersama mesti dijaga dengan baik. Perahu mesti dijaga keseimbangannya, jangan terlalu berat dengan muatan atau terlalu ringan. Rumah mesti menjadi kediaman yang dapat membawa mereka ke tujuan perjalanan dan bukan menjadi akhir dari perjalanan.

Rumah tidak boleh dijadikan tempat penumpukan barang-barang yang membuat perjalanan terhambat. Rumah mesti diisi dengan barang hasil pekerjaan dan usaha yang keras dan kadang sulit. Penumpukan harta tanpa kerja keras dipandang haram. Lebih lanjut, kehidupan sosial perlu dipelihara dari pertikaian, ambisi, menang sendiri, serakah, dan tidak mau tahu.

Sebagai sebuah masyarakat perahu yang berlayar, tiap orang mesti tahu perannya sebagai teman seperjalanan. Kerja sama dan saling membutuhkan mesti dipelihara antara perempuan di buritan dan lakilaki sebagai nakhoda di haluan baik secara gender, seks, maupun spiritual (halaman 260).

Kearifan lokal tersebut seakan menjadikan masyarakat lekat dengan kebudayaannya, tidak lagi terasing akan kebudayaanya sendiri. Masyarakat hidup berdampingan dengan "alam" sebagai basis kultural maupun ideologi. Itulah rancangan besar dalam buku Kebudayaan: Sebuah Agenda, dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya ini.

Buku hasil kajian beberapa pakar dari perspektif yang beragam ini memaparkan sejarah lisan maupun tulis. Berkat kejelian dan penelitian yang tidak sebentar, mereka menemukan rangkaian kearifan lokal masyarakat Timor yang menjadi semacam "panduan" bagi masyarakat agar tidak terlena modernisasi yang hanya akan mengerdilkan peran masyarakat dalam komunitas beradab (bonum commune).

Sebuah buku yang membuka alam bawah sadar bahwa bangsa ini kaya akan ragam budaya dalam wujud kearifan lokal yang akan tetap lestari dan tumbuh jika terus digali, diajarkan, dan dipraktikkan.

Judul : Kebudayaan: Sebuah Agenda dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya
Penyunting : Gregor Neonbasu SVD PhD
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Februari 2013
Tebal : xxiii 336 Halaman
ISBN : 978-979-22-9343-2

Minggu, 24 Maret 2013

Orang Miskin Wajib Sekolah

Oleh Benni Setiawan



"Resensi", Koran Sindo, Minggu, 24 Maret 2013

Pendidikan bukan hanya milik kaum kaya. Pendidikan dalam wujud sekolah kini menjadi milik semua kalangan masyarakat. Orang miskin mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.

Pendidikan bukan hanya milik kaum kaya. Pendidikan dalam wujud sekolah kini menjadi milik semua kalangan masyarakat. Orang miskin mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.

Kesadaran masyarakat itu pun kini tumbuh di pelbagai negara berkembang. Orang tua miskin senantiasa mendorong anakanaknya untuk menikmati pendidikan. Orang tua miskin yang buta aksara tidak ingin anakanak mereka bernasib sama; miskin, terpinggirkan, dan jauh dari sentuhan keberpihakan.

Kebangkitan kaum miskin ini dipotret dengan apik oleh JamesTooley, dalambuku Sekolah untuk Kaum Miskin ini. Berdasarkan penelitian mendalam mengenai realitas kehidupan kaum miskin di beberapa negara, ia secara gamblang menunjukkan betapa gelombang kesadaran dan kebangkitan orang miskin di pelbagai penjuru dunia khususnya negara berkembang dalam melek aksara dan memperoleh pendidikan layak begitu tinggi.

Sekolah Swasta

Adalah Saba Tabasum yang berusia sembilan tahun dan dua saudarinya mendapat sekolah gratis di Sekolah Swasta Master Mind. Ayahnya, yang lulusan SD, sekarang ini hanya bisa berbaring di tempat tidur karena kecelakaan kerja. Ibunya, yang buta aksara, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah tetangga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga.

Ketiga anak dan kedua orang tua tersebut bertahan hidup dari pemasukan sang ibu, yang berjumlah sekitar 200 rupee (4,44 dolar) per bulan. Dengan uang ini, dia berusaha menyekolahkan ketiga putrinya, mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan membayar biaya kesehatan suaminya. Saba termasuk pandai di sekolahnya. Dia menjadi salah satu murid terbaik di sekolahnya dan bercita- cita menjadi guru.

Peace High School memberi Shakera Khan yang berusia lima tahun dan ketiga saudarinya potongan biaya 40%. Ayah mereka, yang buta aksara, bekerja di toko sepatu dengan gaji harian paling besar 100 rupee ( 2 , 2 2 dolar). Meski begitu, jika dia tidak berhasil menjual satu pun sepatu, dia akan pulang ke rumah dengan tangan hampa. Ibu mereka juga buta aksara, tapi berusaha membantu dengan bekerja sebagai buruh harian denganupah25sampai30rupee (56 sampai 66 sen) per hari.

Farath Sultana, bocah berusia sepuluh tahun, juga bersekolah di Peace High School. Ayahnya bekerja sebagai tukang bersih masjid dan mendapatkan upah bulanan sebesar 700 rupee (15,55 dolar), yang dia akui tidak cukup untuk memberi makan keempat anggota keluarganya. Keluarga tersebut tinggal menumpang pada kerabat yang membantu mereka bertahan hidup setiap bulannya dengan menyediakan makanan.

Baik sang ibu maupun sang ayah keduanya buta aksara, tapi mereka ingin anak mereka bersekolah. Peace High School menyediakan biaya sekolah gratis baik kepada Farath maupun adik laki-lakinya yang berusia enam tahun, karena kondisi keuangan keluarga mereka yang kekurangan. Tampaknya sekolah-sekolah swasta ini, sementara bergerak sebagai bisnis, juga menyediakan filantropi untuk masyarakat mereka.

Mereka memang pengusaha, tapi mereka juga ingin dipandang sebagai “pekerja sosial”, dengan cara memberi sesuatu kepada masyarakat. Mereka ingin dihormati sekaligus sukses. Mengapa orang miskin itu memilih sekolah swasta, padahal sekolah negeri memberi biaya, seragam, makan siang, buku gratis? Pasalnya, sekolahsekolah negeri penuh sesak, kotor, bau, gelap, dan tidak terurus.

Salah satunya bahkan bertempat di bekas peternakan ayam. Sekolah negeri benarbenar tidak memenuhi standar. Guru-guru tidak hadir, dan kalau pun hadir, mereka jarang mengajar (halaman 28-29). Sekolah-sekolah swasta untuk kaum miskin tumbuh pesat di negara-negara berkembang. Di banyak wilayah perkotaan, mereka melayani sebagian besar anak sekolah miskin.

Kualitas mereka lebih bagus daripada sekolah negeri yang disediakan untuk kaum miskin. Banyak orang melihat cara memperluas akses pendidikan bagi orang miskin dari sektor pendidikan swasta sebagai sebuah langkah maju. Sekolah swasta menggaet investor untuk berinvestasi. Investor dapat membantu mereka dalam mengejar peran penting dalam memberikan pendidikan berkualitas untuksemua( halaman430).

Education for All

Berbagai bukti dari negaranegara berkembang saat ini mendukung kepercayaan mereka dalam hal semangat kewiraswastaan: wiraswasta pendidikan memang muncul untuk menyediakan peluang pendidikan, termasuk di kalangan anggota masyarakat yang paling miskin. Mereka muncul karena orang tua dan masyarakat miskin peduli terhadap pendidikan; yang merupakan prioritas fundamental.

Ketika mereka memiliki keraguan (yang berdasar) terhadapefisiensidan efektivitas sekolah negeri, mereka akan menciptakan alternatif mereka sendiri—setidaknya ketika mereka tidak dihambat atau dicegah untuk melakukan hal itu oleh kebijakan pajak dan peraturan. Profesor bidang kebijakan pendidikan di Newcastle University, Inggris ini melalui kajiannya mewartakan bahwa orang miskin mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan (education for all). Mereka dapat bangkit dari keterpurukan tanpa harus mengemis belas kasihan negara. Mereka kini berdampingan sekolah sekolah-sekolah swasta yang dengan tulus memberikan pendidikan terbaik untuk masa depan anak-anaknya.

Rabu, 06 Maret 2013

Merenungkan Piwulang Kehidupan



Kedaulatan Rakyat, Minggu, 03 Maret 2013. Pustaka

Judul : Markesot Bertutur
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : November 2012
Tebal : 471 Halaman

Oleh Benni Setiawan*)

Piwulang (pelajaran) tentang kehidupan dapat kita temui dimana dan dari siapa saja. Pelajaran tidak hanya sebatas di bangku sekolah (pawiyatan). Namun, terhampar di samudera luas kehidupan.

Salah satu piwulang yang dapat kita renungkan adalah dari buku karya Emha Ainun Nadjib, Markesot Bertutur ini. Buku ini dikemas dengan gaya bertutur sehingga memberikan keasyikan tersendiri bagi pembaca.

Penggerak Kiai Kanjeng ini melalui Markesot and friends (Markemon, Markembloh, Markasan, dan “Mar”-“Mar” yang lain) yang tergabung dalam KPMb (Konsorsium Para Mbambung), mencoba menciptakan obrolan-obrolan bernas dan cerdas tentang permasalahan kekinian. Melalui metode obrolan, permasalahan yang rumit (seperti soal nilai-nilai agama) atau yang bertensi tinggi (seperti soal demokrasi-politik) dapat diurai sedemikian rupa menjadi persoalan yang dengan mudah dapat dicerna oleh orang-orang awam sekalipun. Hal ini karena, dalam setiap tulisan dibalut oleh canda (guyonan) yang segar serta logika orang-orang mbambung.

Mbambung berarti manusia jalanan atau manusia yang menggelandang tak tentu arah. Dalam konteks buku ini mbambung dapat dimaknai manusia yang terpinggirkan atau dipinggirkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu atau manusia yang tidak masuk hitungan dan tidak digubris oleh lingkungannya.

Dalam catatan “Pohon Pionir” (halaman 317-322) dan “Markesot Diintegorasi” (halaman 410-415) secara gamblang penulis menjelaskan siapa sebenarnya para mbambung itu—baik yang asli maupun yang tidak asli.

Tampaknya penulis menggunakan istilah mbambung ini sekadar untuk menunjukkan bahwa dia perlu ruang gerak yang tidak formal dan cukup bebas untuk—suatu saat—menyalahi konvensi atau hal-hal yang sudah mapan. Dari sosok mbambung inilah, seluruh obrolan yang terkumpul dalam buku ini diikat secara utuh dan menyeluruh.

Hidup ini sangat luas dan dimensi-dimensi persoalannya tak terhingga. Untuk itu, diperlukan bukan sekadar wawasan yang luas dan pengetahuan yang terus dicari, melainkan juga kearifan dan sikap luhur yang konsisten dari hari ke hari.

Kearifan dan sikap luhur inilah yang diajarkan oleh Budayawan kelahiran Jombang 27 Mei 1953 ini. Kearifan dalam memahami sebuah realitas sosial akan mengantarkan kita pada sikap luhur. Sebuah sikap menghayati dan nglakoni sikap membela nilai dan kelompok manusia yang harus dibela. Karena pada dasarnya tak ada “orang besar” dan “orang kecil” dalam takaran pemilikan ekonomi atau perbedaan status sosial budaya. Kecil dan besar hanya terjadi pada kualitas pribadi. Sebuah piwulang kehidupan yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Sabtu, 26 Januari 2013

Kiai Mbeling Bertutur tentang Kehidupan


"Perada", Koran Jakarta, Sabtu, 26 Januari 2013

Markesot Bertutur merupakan karya klasik Emha Ainun Nadjib dan salah satu karya emas dalam sejarah kepengarangan budayawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 itu. Melalui buku ini orang yang biasa disapa kiai Mbeling tersebut, bertutur tentang kehidupan. Ia seakan menjadi juru bicara masyarakat di tengah zaman edan, meminjam istilah Ranggawarsita.

Manusia senantiasa bernafsu menumpuk harta walaupun dengan cara ilegal. Maka, tidak heran jika kelak di alam kubur ketika ditanya, "Man Rabbuka?" (Siapa Tuhanmu), manusia banyak yang menjawab, "Mercy, Rabbi" (Mercy Tuhanku).

Manusia menuhankan atau menomorsatukan dalam hidup harta, hedonisme, popularitas, karier, egoisme, Mercy, Tiger, dst. Mereka memperoleh tempat utama dalam hidup manusia. Manusia menganggungkan dan menyembah mereka. Nafsu dan kekhilafan hidup menjadi rumbai atau "hiasan dinding jiwanya." Hakikatnya tetaplah semua dinomorsatukan (halaman 100).

Menilik manusia seperti itu, maka tidak mengherankan jika bumi, gunung, dan laut geram. Mereka pun berdoa kepada Tuhan untuk menghancurkan makhluk berakal ini karena sering berdusta! Mereka pura-pura menyembah Tuhan. Padahal setiap saat mereka tidak menomorsatukan Dia. Manusia merusak alam, rakus, dan serakah. Mereka hanya tahu kepentingan diri sendiri. Mereka itu pencuri-pencuri yang mengaku alim!

Namun, Tuhan Mahapenyayang. Dengan bijak Tuhan berseru kepada bumi, gunung, dan laut. "Wahai gunung, laut, dan bumi, tenanglah! Tingkat kalian lebih rendah dari manusia, sehingga tidak akan sanggup menghayati betapa Aku amat mencintai manusia sebagai karya agung-Ku. Aku Mahatahu yang Kukehendaki. Ketahuilah, seandainya engkau yang menciptakan manusia, akan demikian …" (halaman 244).

Melalui cerita-cerita ringan, budayawan multitalenta ini pun menyodok ingatan, betapa kehidupan selayaknya menjadikan manusia arif. Emha menyebut, urip itu urap. Hidup itu mengaduk, mencampur, mempergaulkan, menyentuh satu unsur dengan lainnya. Campur itulah urip. Itulah kehidupan.

Campur ialah kesalingtergantungan antara sesuatu dan yang lain. Juga antara satu orang dan lainnya. Manusia memasak dengan panci. Apakah dia pernah membuat panci? Masyarakat menyalakan kompor dengan api. Apakah mereka pernah menggali minyak dari tanah dan membuat penthol korek? Jadi manusia membutuhkan orang lain (halaman 366).

Maka dari itu, setiap orang sesungguhnya saat harus berterima kasih kepada sangat banyak orang lain yang tidak dikenal. Kalau dihitung-hitung jumlah kewajiban manusia untuk berterima kasih, seluruh usia ini sesungguhnya tidak cukup untuk hanya mengucap terima kasih.

Melalui uraian-uraian pendek dan diksi yang memikat, motor penggerak kelompok Kiai Kanjeng ini seakan sedang bertutur tentang potret kehidupan yang kadang dilupakan dari proses kesadaran. Emha dengan cekatan membaca persoalan sosial dengan bahasa ringan dan mudah dicerna.

Emha, meluncurkan kritik terhadap kemanusiaan tanpa tedeng aling-aling. Melalui tokoh Markesot, Markembloh, Markasan, Markemon, dan lain-lain yang tergabung dalam Konsorsium Para Mbambung (KPMb), suami Nopia Kolopaking ini menyodok alam bawah sadar manusia. Betapa manusia saat ini gagap realitas. Manusia telah banyak kehilangan kemanusiaannya. Jadi, tulisannya tetap relevan. Sebuah permenungan yang tak lekang zaman.


Diresensi Benni Setiawan, dosen Universitas Negeri Yogyakarta

Judul : Markesot Bertutur
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : November 2012
Tebal : 471 Halaman
ISBN : 978-979-433-723-3
Harga : Rp69.000

Rabu, 23 Januari 2013

MENGUKUR MINAT BACA DENGAN SISTEM READING RECORD (RR)

Oleh: Peng Kheng Sun



Seperti sudah diketahui, minat baca masyarakat di Indonesia masih rendah. Mengenai hal ini banyak pihak telah berupaya mencari akar masalahnya dan menawarkan solusi untuk meningkatkan minat baca seperti membuat taman baca, rumah baca, perpustakaan, dan sebagainya. Selain itu, juga terdapat banyak buku yang isinya memotivasi orang untuk membaca. Masih kurang? Masih ada istilah bulan Gemar Membaca dan Duta Buku, serta berbagai atribut konvensional lainnya. Hasilnya jelas, yakni kenyataannya sampai saat ini minat baca masyarakat Indonesia masih berjalan di tempat.

Nah, mengapa minat baca di Indonesia tetap rendah? Jawaban yang paling sederhana tapi logis dan amat jelas adalah orang-orang yang gemar membaca di Indonesia justru mengalami sejumlah kerugian tanpa konpensasi yang nyata. Jika membaca malah menderita kerugian, siapa yang mau dirinya disuruh memikul beban kerugian? Di Indonesia tanpa banyak membaca pun orang-orang bisa menjadi juara kelas, mahasiswa berprestasi tinggi, artis dan presenter top, guru teladan, PNS teladan, pejabat papan atas, atau apa saja bahkan termasuk menjadi penulis buku best seller! Lantas apa manfaat nyata yang bisa diharapkan dari membaca? Jawabannya: Tidak ada, atau setidaknya tidak ada manfaat yang tampak signifikan, kecuali hanya sedikit manfaat yang dicari-cari dengan susah payah. Keadaan ini masih diperburuk lagi dengan policy perbukuan yang sangat kental aroma komersialnya sehingga benar-benar bikin sial saja.

Sejumlah slogan basi masih terus bergema dengan nafas Senin-Kamis dan wajah frustrasi mejeng di perpustakaan-perpustakaan sekolah dan umum. Buku adalah Jendela Dunia, Membaca Memperluas Wawasan, Membaca sangat penting bagi setiap orang, dan berbagai ocehan lainnya yang semakin tidak karuan sehingga jelas tidak perlu dipedulikan lagi. Mengapa? Karena masalahnya bukan terletak di situ. Masalahnya terletak pada: Apa perbedaan nyata dari orang-orang yang gemar membaca dengan orang-orang yang tidak gemar membaca? Pengalaman puluhan tahun saya menjual buku membuat saya paham, banyak orang suka mengklaim dirinya suka membaca walau kenyataannya sama sekali tidak ada minat terhadap buku apalagi mempunyai perpustakaan pribadi. Artinya, selama ini memang tidak kentara antara orang-orang yang gemar membaca dengan mereka yang tidak gemar membaca. Di sinilah letak ruginya menjadi orang-orang yang benar-benar gemar membaca, yakni:

Mereka harus mengeluarkan uang untuk membeli buku.
Mereka harus merelakan sejumlah waktunya untuk membaca.
Buku-buku mereka biasanya dipinjam orang-orang yang kurang gemar membaca dan sering tidak dikembalikan lagi.

Nah, logikanya dengan kerugian yang begitu nyata, siapa sih yang mau menjadi individu yang gemar membaca? Orang-orang yang gemar membaca hanyalah mereka yang memang dari sononya sudah memiliki hobi membaca atau setidaknya karena terpaksa seperti tuntutan tugas yang harus dikerjakan. Akan tetapi, mereka yang tidak mempunyai hobi membaca tapi masih waras tentu malas memasuki ranah yang cuma menghabiskan uang dan waktunya. Benar begitu, bukan? Sistem Reading Record (RR) adalah sistem yang menciptakan kontras (perbedaan yang benar-benar nyata) di antara mereka yang gemar membaca dan yang tidak. Dengan sistem RR, keuntungan membaca menjadi jelas atau setidaknya sudah ada perbedaan yang tampak nyata antara mereka yang gemar membaca dan yang tidak.

MANFAAT RR
Tujuan utama RR adalah mengukur kegemaran membaca seseorang. Jika seseorang mengaku gemar membaca, maka hal itu bisa dilihat dari RR yang dibuatnya. Dengan demikian, RR akan secara kontras menunjukkan siapa saja individu yang gemar membaca dan yang tidak. Hal ini sama saja dengan orang-orang yang membuat berbagai macam perbedaan seperti: master dan non-master untuk dunia catur, bintang dan non-bintang untuk hotel, pangkat untuk militer, best seller dan non-bestseller untuk buku (walau ini adalah jenis perbedaan yang menyesatkan). Dalam buku The Power of Creativity (bagian lampiran), saya menyarankan membuat Reading Record (RR). Ternyata banyak pembaca yang sudah mencoba membuat dan merasakan manfaatnya secara nyata bagi mereka. Bahkan RR kini sudah mulai diajarkan di sekolah-sekolah dan juga digunakan oleh para pelamar kerja. Berikut ini adalah manfaat-manfaat RR.

Mempermudah Distribusi Informasi Buku
Dengan menggunakan RR untuk mencatat setiap buku koleksi pribadi yang telah selesai dibaca, pembaca bisa mendistribusikan informasi tentang judul-judul buku tersebut kepada pihak lain yang mungkin membutuhkannya. Sebaliknya, kita juga bisa melihat RR pihak lain untuk mencari informasi judul buku-buku yang kita perlukan. Dengan adanya RR, penyebaran informasi judul-judul buku menjadi sangat praktis dilakukan oleh siapa saja.

Mempermudah Menemukan Referensi
Dengan membuat RR, kita dengan mudah menemukan berbagai referensi bacaan yang diperlukan untuk menulis berbagai macam tulisan. Jika kita sedang mencari referensi untuk suatu tema, cobalah periksa RR kita yang terbaru. Jadi, RR menolong kita mengelola buku-buku koleksi kita secara efisien dan efektif.

Mengukur Minat Baca
RR bermanfaat untuk mengukur keaktifan atau minat baca kita. Apakah minat kita dari waktu ke waktu meningkat atau malah menurun? Dalam RR kita bisa melihat seberapa banyak persisnya jumlah judul dan jumlah halaman buku yang sudah selesai kita baca. Kita juga bisa mengetahui jumlah buku yang kita baca dalam jangka waktu tertentu, misal selama tiga bulan atau setengah tahun.

Merangsang Minat Baca
RR merangsang pembaca semakin giat membaca dan mencintai bacaan. Dengan membuat RR, kita menjadi lebih termotivasi untuk membaca lebih banyak. Kita ingin skor RR kita terus meningkat. Dengan membuat RR, perkembangan minat dan kemajuan membaca kita terdokumentasikan dengan baik dan rapi.

Meningkatkan Kemampuan Apresiasi Terhadap Bacaan
RR meningkatkan kemampuan apresiasi kita terhadap kualitas bacaan. Dengan membuat RR, kemampuan kita menilai buku akan lebih terasah. Kita bisa membedakan mana buku yang berkualitas dan mana yang hanya ditulis secara asal-asalan. RR juga memungkinkan kita membandingkan berbagai macam judul buku yang telah kita baca.
Berfungsi seperti Curriculum Vitae (CV)

RR merupakan salah satu data diri seperti curriculum vitae (CV), yakni catatan tentang buku yang sudah pernah kita baca. RR menunjukkan jenis buku apa saja yang menjadi minat kita serta seberapa banyak kita telah membacanya. Semakin banyak kita membaca buku-buku yang membahas suatu subjek, maka semakin luas pula wawasan kita di bidang itu. Misal, jika RR kita menunjukkan bahwa kita sudah membaca 125 judul buku tentang menulis, maka wawasan kita tentang menulis adalah seluas itu. Pencatatan ini juga memungkinkan klasifikasi bacaan yang dikoleksi.
Mencatat Jumlah Buku Koleksi

RR juga berfungsi untuk mencatat jumlah buku koleksi kita, termasuk menunjukkan buku-buku yang belum selesai dibaca. Buku yang sudah selesai dibaca dikasih tanda angka 1, sedangkan buku yang belum selesai dibaca bisa dikasih tanda angka 0 atau tidak diisi.


Contoh Reading Record
Reading Record (RR) - Peng Kheng Sun Topik: Kreativitas
Kol Judul Buku     Hal Penulis Penerbit Terbit Koleksi
Rp. 000
1 The Power of Creativity 1 A 150 Peng Kheng Sun ANDI 2010 2010 32
2 Cracking Creativity 1 A 308 M. Michalco ANDI 2010 2010 65
3 The Art of Innovation 1 A 379 Tom Kelly Gramedia 2002 2010 67
4 Exploiting Chaos 1 A 278 Jeremy Gutsche Gramedia 2010 2010 95
5 Knowledge & Innovation 1 B 485 Zuhal Gramedia 2010 2010 140
6 Berpikir Lateral 1 B 296 Edward De Bono Erlangga 1991 1995 30
7 Bengkel Kreativitas 1 A 311 Jordan E. Ayan Kaifa 2003 2008 57
8 How to Mind Map 1 C 76 Tony Buzan Gramedia 2004 2010 30
9 Mengembangkan Kreativitas 0 David Campbell Kanisius 1993 2010 25
10 Thinker Toys 1 A 416 M Michalco Kaifa 2009 2010 86
11 Mind Map at Works 1 B 194 Tony Buzan Gramedia 2006 2010 55
12 Mind Map 1 A 148 Sutanto Windura Elex Media 2009 2010 60
13 Be An Absolute Genius! 0 Sutanto Windura Elex Media 2009 2010 60
14 The Art of Creative Thunking 1 C 134 John Adair Golden B 2008 2009 27
15 7 Hal Gratis yang Menentukan Kesuksesan Anda 1 A 244 Peng Kheng Sun Gramedia 2012 2012 44
16 Buku Pintar Mind Map 1 B 225 Tony Buzan Gramedia 2009 2010 50
17 Cara Belajar Cepat 1 A 412 Ricki Linksman Dahara P. 2004 2005 30
18 Menikmati Belajar secara Kreatif 1 A 94 Peng Kheng Sun Samudra Biru 2011 2011 20
    16   4150         973
25 Oktober 2012

Memetakan Ragam Bacaan
Dengan membuat RR, kita bisa memetakan jenis bacaan apa saja yang kita baca. Kita bisa membuat beberapa RR sesuai dengan jenis bacaan. Misal, kita bisa membuat RR tentang buku pemasaran, kreativitas, menulis, umum, dan sebagainya. Kemudian, kita membuat Rekapitulasi RR. Dengan demikian, kita bisa memetakan secara jelas berbagai ragam bacaan yang kita baca. Kita bisa menganalisis ragam bacaan yang kurang dibaca. Contoh, untuk buku Komputer, dari 45 judul buku, saya baru selesai membaca 18 judul atau baru 40%. Sedangkan buku Kepemimpinan, dari 59 judul, saya telah membaca 58 judul atau 98%.

Rekapitulasi RR
REKAPITULASI READING RECORD - PENG KHENG SUN
Buku Buku Jumlah
TOPIK BUKU Koleksi Dibaca Halaman
1 Komputer 45 18 40% 3,319
2 Rohani 59 58 98% 12,066
3 Menulis 99 91 92% 15,849
4 Pemasaran 30 23 32% 2,190
5 Kreativitas 18 16 89% 4,410
6 Umum 24 7 29% 2,674
Jumlah 275 213 77% 40,508
25 Oktober 2012

Informasi Bacaan Penulis
Dengan mencantumkan RR dalam karyanya, seorang penulis telah memberikan informasi buku-buku yang dibacanya. Informasi ini bisa menjadi petunjuk bagi pembaca untuk memahami ide-ide sang penulis dan sumber-sumbernya. Selain itu, jika setiap kali menerbitkan bukunya penulis mencantumkan RR terbarunya, maka pembaca bisa menilai seberapa besar peningkatan bacaan buku sang penulis. Jika jumlah buku yang dicantumkan di RR sangat banyak, penulis bisa menyertakannya dalam bentuk kepingan CD. Intinya, karena buku-buku yang kita baca akan mempengaruhi cara berpikir kita, maka penting bagi kita sebagai pembaca mengetahui buku-buku yang dibaca oleh sang penulis. Dengan kata lain, kita perlu tahu buku-buku apa saja yang berkontribusi terhadap pemikiran sang penulis buku yang sedang kita baca.

PERKEMBANGAN RR
Sejak pertama kali diciptakan hingga kini RR telah digunakan oleh siswa/mahasiswa, orangtua, guru/dosen, karyawan/calon karyawan, atasan, pembicara, pengusaha, ibu rumah tangga, dan setiap orang yang ingin mendokumentasikan pengalamannya membaca buku. Siswa yang membuat RR akan memudahkan guru memantau seberapa besar kegemaran membaca dan buku-buku bertema apa yang menjadi minatnya. Guru atau dosen yang membuat RR bisa memberikan informasi kepada murid-murid sumber bacaannya yang dimilikinya. Pihak perusahaan bisa mendapatkan informasi wawasan calon karyawannya dengan membaca RR calon karyawan. Singkat kata, RR memberikan informasi yang membuat perbedaan antara mereka yang gemar membaca dan yang tidak.
***

Senin, 14 Januari 2013

Kisah Manusia Setengah Dewa



Oleh Benni Setiawan

Resensi Jurnal Nasional,Minggu, 13 Januari 2013

Sebuah buku yang mengisahkan dan mengajarkan bahwa kebenaran dan kebajikan harus terus diperjuangan dengan sepenuh jiwa dan raga.

Kebusukan tidak hanya terlihat di pemerintah pusat, tetapi juga di pemerintahan daerah. Yang kuat selalu menang. Kepalsuan mengalahkan orang jujur. Orang yang pandai bergaul dengan bangsawan di pemerintah pusat dapat diberikan surat perintah untuk mengendalikan pemerintahan daerah maupun pengurusan politik di daerah sesuka hatinya. Ini sebuah penanda zaman penuh kekacauan. Zaman di mana kebenaran ditertawakan dan kebatilan menjadi mantra kehidupan. Pengucap kebaikan disisihkan dalam kancah kehidupan. Pengucap keburukan mendapat tempat dan juga singgasana kekuasaan.

Zaman gelap tersebut pernah terjadi di Jepang. Tepatnya pada abad ke-10. Kesewenang-wenangan klan Fujiwara menjadi puncaknya. Semua pejabat penting di pusat maupun di daerah adalah kerabat klan Fujiwara. Kondisi itu berlangsung lebih dari 10 tahun sehingga masyarakat Ibu Kota memiliki dua wajah, yaitu wajah terang yang menjadi pusat kebudayaan besar dan anggun, dan wajah gelap tempat berkeliarannya berbagai kejahatan. Keduanya berdesakan di Bumi yang sama.

Dua Sisi Kepribadian

Kondisi yang seperti itu benar di depan mata Kojiro (nama kecil Masakado). Kedatangannya ke Kyoto untuk pertama kalinya membelalakkan matanya bahwa ketidakadilan telah terjadi di Ibu Kota.

Perlahan Masakado mendalami kondisi itu. Dan dia pun akhirnya mengetahui akar persoalan kerusakan sistem di Ibu Kota. Dia memulai karier menjadi pelayan dan kemudian menjadi pejabat di pemerintahan.

Masakado adalah lelaki Bando yang kasar. Tetapi, karena pernah tinggal di Ibu Kota selama sekian tahun dan mencoba meniru kehidupan anggun keluarga Menteri Sayap Kanan, tak mengherankan jika dia pernah membuat satu atau dua sajak.

Masakado memiliki dua sisi kepribadian, mirip sisi depan dan belakang perisai. Pada sisi yang satu, sebagai pemimpin yang dengan ganas menaklukkan delapan negeri Bando. Pada sisi yang lain, dia selalu dikuasai kegelisahan. Maka, untuk memuaskan sisi keduanya yang jujur, pada suatu malam di akhir tahun, saat menginap di Dusun Daiho, dia duduk sendirian di depan meja di tempat pemujaan Kuil Daiho Hachiman dan menulis sepucuk surat.

Dia menulis surat pernyataan untuk menyatakan keadaan dan pemikirannya yang sebenarnya terhadap Istana dan pemerintah pusat. Dia sudah muak melihat kebusukan, kebohongan, kepura-puraan yang menyengsarakan rakyat.

Perjuangkan Kebenaran

Cita-citanya hanya sederhana. Dia hanya ingin menjadi orang yang bahagia dan bersahaja d tanah airnya yang damai. Tetapi, keinginan yang sederhana itu pun selalu dihalangi.

Masakado sulit mewujudkan cita-cita mengangkat harkat dan martabat bangsanya. Melalui jiwa yang tulus, dia pun mulai mengatur strategi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan.

Apa yang diretas Masakado ini sepertinya dia ingin memenuhi janji di Gunung Hiei bersama Fujiwara Sumitomo. Kala itu, Masakado dan Sumitomo duduk bersama sembari menengguk secangkir sake. Tiba-tiba, Sumitomo berujar "Kalau muncul orang yang memusnahkan kebusukan pemerintahan yang dikuasai para bangsawan dan memberikan hujan anugerah dan harapan kepada kaum melarat di duni ini, itulah Sumitomo dari Iyo".

Mendengar ucapan Sumitomo tersebut, darah Masakado mendidih. Dia pun kembali bersemangat untuk berperang menegakkan kebenaran dan keadilan.

Saat itu dia memimpin serangan pemberontakan besar terhadap pemerintah pusat Kyoto. Apa yang direncakan Masakado berbuah manis. Dia pun berhasil menaklukkan beberapa daerah di sekitar Kyoto.

Setelah memenangkan beberapa pertempuran, seraya menunggang kuda, Masakado menjenguk warga di sana-sini. Dengan mata telinganya sendiri, dia menyaksikan dan mendengarkan kesengsaraan mereka. Dia semakin terbelalak melihat kebusukan pemerintahan. Rintihan dan jeritan rakyat menjadikan Masakado semakin bersemangat dan ingin segera mengempur kembali pemerintahan korup di Kyoto.

Melihat tingkah polah Masakado itu, Kaisar pun gusar. Kaisar menganggap Masakado sebagai ancaman. Untuk itu, Kaisar pun menyediakan hadiah besar bagi siapa pun yang bisa membunuh dan membawakan kepala Masakado kepadanya.

Usaha Kaisar menggejar Masakado tidak lepas dari saran Sadamori. Sadamori mengusulkan kepada pemerintah untuk memutuskan Masakado sebagai musuh Istana.

Dia pun berhasil dibunuh dan kepalanya pun dipenggal untuk dibawa ke Kyoto sebagai bukti. Tanggal 14 Februari, tahun ke-3 Tengyo (940 M) adalah hari kematian Masakado. Usianya baru 38 tahun.

Konon, kepala Masakado sampai di Ibu Kota pada tanggal 24 April. Tulang jenazahnya dikubur di kuil di Desa Shibazaki daerah Edo dan berbagai tempat lain yang memiliki hubungan dengannya. Di kemudian hari, tempat-tempat itu menjadi monumen atau tempat bersejarah. Kenyataan itu membuktikan di wilayah Bando, banyak orang yang merindukan atau mengasihaninya bahkan setelah kematiannya.

Perjuangan Masakado melawan ketidakadilan menjadikan dia dielu-elukan oleh generasi berikutnya. Dia dianggap manusia setengah dewa. Pasalnya, orang-orang yang berada di sekitar kematiannya, selalu dirundung kemalangan. Seperti Tadabumi yang mati dalam amarah atau Sanayori, anak Tadahira, yang sering sakit-sakitan setelah perang itu. Bahkan banyak orang menyebut hal itu sebagai kutukan dari Masakado.

Menilik kisah Masakado yang penuh kejujuran, kesetiaan, dan sikap perjuangan melawan kebusukan tak heran jika Miyamoto Musashi dan Minamoto no Yoritomo mengaguminya.

Data Buku
Judul : Taira No Masakado. Kisah tentang Cinta, Darah & Air Mata
Penulis : Eiji Yoshikawa
Penerbit: Kansha Books, Jakarta
Cetakan: Oktober 2012
Tebal : 635 Halaman

Tionghoa Muslim di Nusantara


Oleh Benni Setiawan*)

Resensi Buku, Kedaulatan Rakyat, Minggu, 13 Januari 2013

Judul :Orang-orang Tionghoa dan Islam di Majapahit
Penulis : Adrian Perkasa
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Cetakan : 2012
Tebal : xvi + 148 Halaman

Kajian tentang Islam di masa Indonesia lama atau klasik merupakan pembahasan yang tergolong langka. Apalagi dalam kaitan dengan Kerajanan Majapahit. Sebuah kerajanaan terkenal di Nusantara yang wilayahnya meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia hingga Semenanjung Malaya.

Buku Orang-orang Tionghoa dan Islam di Majapahit ini mengisi kekosongan untuk tidak menyebut kelangkaan literatur dalam kajian tersebut. Berdasarkan prasasti Canggu Adrian Perkasa mengulas Islam di Ibu Kota Kerajaan Majapahit (Trowulan) pada abad XIV-XV.

Menurut alumnus Jurusan Ilmu Sejarah dan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair), Surabaya ini keberadaan komunitas muslim di Trowulan tercatat dalam Ying-Yai Shenglan yang ditulis oleh Ma Huan pada 1416. Terdapat dua komunitas masyarakat muslim saat itu yaitu pertama, komunitas Huihui ren atau penduduk yang berasal dari barat dalam hal ini adalah orang Islam yang berasal dari kawasan Cina bagian barat. Mereka berpakain dan tinggal dengan layak. Kedua, adalah komunitas Tang ren yang berasal dari Cina di antaranya dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhoun yang mayoritas beragama Islam (halaman 61).

Buku ini menawarkan suatu tafsiran baru terhadap terjemahan prasasti Canggu yang menyebutkan signifikansi pengaruh kelompok pedagang dan penguasa kawasan perdagangan bagi Kerajaan Majapahit. Dari hak istimewa yang diberikan, terdapat izin untuk melaksanakan ibadah lima waktu bagi kelompok tersebut. Prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk karena melihat pentingnya kelompok tersebut identik dengan ibadah yang dilakukan agama Islam yaitu salat wajib. Keberadaan kelompok muslim yang diakui, dilindungi, dan diberikan hak istimewa oleh Raja Hayam Wuruk menjadikan mereka sebagai kelompok elit baru di Majapahit.

Perspektif munculnya kelompok elit baru ini merupakan hal baru lainnya yang bermanfaat digunakan untuk melihat bagaimana penyebaran Islam di Ibu Kota Kerajaan Majapahit abad XIV-XV. Melalui perspektif ini dapat diuraikan perkembangan Islam dengan jelas di mana sebelumnya belum ada yang memakai Islam di Ibu Kota Kerajaan Majapahit pada abad XIV-XV.

Buku ini seakan menyodok ingatan publik. Memberi kesadaran baru akan arti penting Tionghoa Muslim di Nusantara. Aktor film Ketika Cinta Bertasbih dan Cinta Suci Zahrana ini pun dengan kepala tegak melalui karya enerjik dan penuh temuan baru ini meruntuhkan banyak teori terdahulu. Sebuah buku yang layak mendapat apresiasi. Selamat membaca.