"Resensi", Koran Sindo, Minggu, 20 Oktober 2013
Pendidikan menjadi ruh bangsa. Jika pendidikan tersemai dengan baik, maka ia akan menghasilkan keadaban publik. Sebaliknya, jika pendidikan tidak mampu melakukan itu, maka kebangsaan akan rusak, yang pada gilirannya manusia semakin saling mengerkah.
Maka dari itu, pendidikan selayaknya diarahkan pada proses yang benar. Artinya, ia harus bertumpu pada kemanusiaan. Kemanusiaan yang menjamin setiap insan mampu melakukan kegiatan keseharian berdasarkan kesadaran diri dan lingkungannya. Mereka pun bertindak atas nama kemandirian.
Kemandirian yang akan mengantarkannya pada penemuan jati diri dan bertindak dalam ranah keadaban (homo homini socius). Kajian pendidikan di atas telah diretas oleh Maria Montessori sejak 6 Januari 1907 di Via dei Marzi 58. Saat itu Montessori yang berlatar belakang pendidikan dokter meresmikan pembukaan Casa dei Bambini yang pertama.
Manusia Mandiri
Nama itu muncul atas usulan Talamo, teman Montessori. Montessori dan Talamo menyukai nama tersebut dan memutuskan untuk menamakan pusat penampungan anak yang akan mereka resmikan itu Casa dei Bambini atau rumah bagi anak-anak. Maria Montessori yang lahir pada 31 Agustus 1870 di Kota Chiaravalle, Provinsi Ancona, Italia Utara, itu melakukan eksperimen pendidikan.
Setelah melakukan observasi terus menerus terhadap perilaku anak, akhirnya Montessori menyimpulkan bahwa, pertama, semakin menantang materi pembelajaran melalui alat peraga yang disiapkan dengan pengendali kesalahan yang ada dalam alat peraga tersebut, semakin materi itu menarik bagi anak-anak. Kedua, anak-anak melakukan kegiatan tidak karena tertarik pada hadiah, melainkan pada keinginan menaklukkan materi pembelajaran tersebut.
Ketiga,pendidikan harus mengikuti perilaku alami anak dan menyiapkan lingkungan yang bisa mendorong kegiatan spontan belajar agar anak mampu memanifestasikan dirinya melalui kegiatan belajar tersebut (halaman. 51). Melalui hal tersebut, tujuan pokok yang hendak dicapai Montessori adalah membuat anakanak mandiri dan melakukan segala sesuatunya sendiri. “Tak ada orang bebas, kecuali dia mandiri” adalah moto terkenal Montessori yang menjadi filosofi penting dalam pendekatannya.
Oleh karena itu, dalam pendekatan Montessori, hampirtidakpernah ditemukan hukuman. Hukuman yang diberikan hanya mengisolasi anak untuk tidak bergerak dan tidak melakukan apa pun (halaman 54). Doktrin lain yang diajarkan Montessori adalah “manusia itu berhasil bukan karena sudah diajarkan oleh gurunya, tetapi karena mereka mengalami dan melakukannya sendiri. Pengalaman adalah guru terbaik”.
Oleh karena itu, guru dalam lingkup pendekatan Montessori tidak lagi disebut sebagai guru, melainkan direktris karena fungsi guru lebih sebagai pengarah, fasilitator, dan observatoryatau pengamat (halaman 55). Melalui sikap tersebut, guru dan siswa mempunyai tugas yang sama. Yaitu mengembangkan kemanusiaan. Manusia yang senantiasa belajar sebagai proses penghargaan diri dan mensyukuri karunia Tuhan.
Hal tersebut terbaca dalam filosofi Montessoriana. Yaitu menghargai ciptaan tersempurna Tuhan melalui penghargaan terhadap manusia sejak ia dikandung, dilahirkan, menjadi anak-anak, bertumbuh remaja, dan akhirnya menjadi dewasa dan mampu menciptakan tatanan dunia baru yang penuh damai, sejahtera, dan bahagia sehingga nama Tuhan semakin dimuliakan.
Ki Hajar Dewantara
Agustina Prasetyo Magini dalam buku Sejarah Pendekatan Montossori ini pun mengungkapkan bahwa pemikiran Montessori telah masuk ke Indonesia. Pembawa gagasan Montessori adalah Ki Hajar Dewantara saat ia berada di Belanda pada masa pengasingannya pada 1913–1919. Ki Hajar Dewantara, Boedi Oetomo, dan Ernest Douwes Dekker ditangkap oleh Gubernur Jenderal Belanda Frederik Idenburg akibat tulisannya di suatu media massa.
Di tempat pengasingan itulah, Ki Hajar Dewantara melanjutkan profesinya sebagai wartawan dan mulai membuat gerakan pendidikan dengan mengajar di sekolah saudaranya. Pada tanggal 3 Juli 1922 ia mendirikan National Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Moto pendidikan Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangunkarsa, tut wuri handayani”.
Artinya, seorang guru, di depan menjadi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberikan dorongan. Pemikiran peran guru sebagai teladan, penyemangat, dan pendorong siswa merupakan pemikiran Montessori. Montessori dalam buku The Montessori Method menekankan bahwa peran guru harus tidak menjadi penghalang siswa untuk berkembang. Guru tidak lagi sebagai figur yang super, melainkan lebih sebagai pengarah atau direktris, teladan, dan observer atau peneliti kebutuhan perkembangan ananak.
Benni Setiawan,
Pegiat Karangmalang C15
Universitas Negeri Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar