Meraih Cita

Meraih Cita

Sabtu, 27 Oktober 2012

Membaca Yesus Historis

Oleh Benni Setiawan


Resensi Buku Harian Jogja, Kamis, 25 Oktober 2012

Judul : The Mystery of Historical Jesus
Penulis : Louay Fathoohi
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan : 2012
Tebal : 851 Halaman

Yesus, sebuah nama yang lekat dalam sejarah umat manusia. Namanya akan selalu ada dalam sejarah ingatan bangsa di dunia. Mengingat masyhurnya nama Yesus, maka tidak aneh jika banyak peneliti dan pengkaji menuliskannya dalam sejumlah karya dari pelbagai perspektif. Baik dari sejarah hidupnya, sosio kepridiannya, maupun risalahnya.

Salah satu karya itu adalah buku The Mystery of Historical Jesus ini. Buku ini berusaha dengan baik menyatakan dengan jelas asumsi-asumsi dan untuk membedakan antara ayat-ayat dari kitab suci dan fakta-fakta independen yang dikutip serta interpretasi atas fakta-fakta itu. Louay Fatoohi mendiskusikan secara terperinci bukan hanya argumen-argumennya, melainkan juga bantahan atas argumen-argumen itu. Dengan cara demikian memudahkan pembaca untuk menilai kekuatan argumen-argumen buku ini dan mengambil alur interpretasi yang berbeda atas ayat-ayat dan fakta-fakta yang diuraikan.

Buku ini merupakan kajian yang lengkap atas Yesus menurut al-Qur’an dalam pengertian bahwa setiap ayat yang membicarakan tentang dia secara langsung maupun tidak telah dianalisis. Hal yang sama berlaku bagi ayat-ayat yang berbicara tentang ibunya dan dua figur relevan lainnya, termasuk Zakaria dan putranya Yahya (Yohanes Pembaptis). Seperti dalam QS al-Maidah 5:75, al-Hadid, 57:27, dan Ali-Imran, 3: 52.

Dengan asumsi dasar bahwa al-Qur’an merupakan Firman Allah, buku ini berupaya memperhatikan konsistensi kisah al-Qur’an tentang Yesus dan keselarasannya dengan fakta-fakta sejarah. Buku ini juga membandingkan kisah al-Qur’an yang konsisten tentang kehidupan Yesus dengan masalah-masalah yang dimiliki oleh kisah yang sama di dalam sumber-sumber Kristiani.

Yesus Sejarah
Buku ini pun mengisi kekosongan literatur tentang Yesus sejarah dengan mempertimbangkan secara bersamaa kisah al-Qur’an, Injil, dan sumber-sumber historis tentang kehidupan Yesus. Buku ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa, berbeda dari kisah Perjanjian Baru, pernyataan al-Qur’an tentang Yesus bersifat konsisten dan bisa dibenturkan dengan apa yang kita ketahui dari sejarah. Dengan kata lain, buku ini berupaya untuk mengetahui Yesus historis dengan mempelajari al-Qur’an sekaligus sejarah.

Yesus tidak pernah mengklaim bersifat ketuhanan. Dia adalah Nabi yang Muslim---meskipun yang terhormat secara khusus—sebagaimana Adam, Ibrahim, Musa, dan banyak utusan Allah lainnya. Dia adalah hamba Allah yang taat, yang menekankan kehambaannya pada Tuhan. Ungkapan perifrastik “Anak Allah” yang sering digunakannya dimaksudkan untuk menepis upaya-upaya menuhankannya di masa depan. Tindakan berjaga-jaga ini ternyata tidak menghentikan orang-orang dari menuhankannya.

Kemunculan Yesus bukanlah sebuah peristiwa unik dalam sejarah utusan-utusan Allah kepada manusia ataupun semacam titik klimaks. Kehadiran Yesus adalah sebuah peristiwa monumental, tapi demikian pula kedatangan setiap nabi lain.

Tuhan mewahyukan Yesus sebuah kitab bernama “Injil”, sebagaimana Dia mewahyukan Taurat kepada Musa. Nama kitab itu, yang berarti kabar baik, diturunkan dari kenyataan bahwa kitab itu memuat kabar baik tentang kedatangan Nabi terakhir, Muhammad. Sosok parakletos (paraclete) misterius yang disebutkan Yesus di dalam naskah-naskah Yohanes menunjuk kepada Muhammad. Istilah ini merupakan penyimpangan kecil dari kata periklytos dalam bahasa Yunani. Yang terakhir ini berarti “sangat terpuji”, yang merupakan makna yang sama dengan “Muhammad” (halaman 781-782).

Kunci Sukses itu Bernama Pikiran

Oleh Benni Setiawan



Resensi Buku, Solo Pos. Minggu, 21 Oktober 2012

Judul : The Master Key System
Penulis : Charles F. Haanel
Penerbit : AW Publishing, Jakarta
Cetakan :April 2012
Tebal : xxii + 327 Halaman
Harga : Rp. 80.000,-

Buku The Master Key System ini sungguh istimewa. Walaupun ditulis seabad silam, namun penyajian, gaya bahasa, dan pembahasannya masih aktual hingga kini. Sebuah warisan peradaban klasik yang masih dapat kita nikmati hingga saat ini.

Karya Charles F. Haanel ini membahas mengenai sukses dan cara mencapainya. Pengertian sukses bagi Haanel adalah segala sesuatu yang Anda inginkan untuk diri Anda sendiri dan hidup Anda. Itu bisa berarti menurunkan berat badan beberapa kilo atau merintis perusahaan bernilai multijuta dolar. Definisi sukses memang bersifat personal, tetapi The Masker Key System ini menunjukkan kepada Anda jalan mencapai tujuan dengan cara ilmiah.

Satu hal yang utama dan menjadi kekuatan inti dari buku ini adalah pembelajaran tentang kekuatan pikiran. Sebuah materi yang puluhan tahun kemudian menjadi buah pembicaraan di berbagai belahan dunia, di antaranya dengan munculnya buku The Secret, yang penulisnya sendiri—Rhonda Byrne—mengaku juga terinspirasi oleh karya Haanel ini.
Kekuatan pikiran yang mendasari tindakan itu sebenarnya telah menjadi hukum Tuhan yang universal. Yakni, apa yang dipikirkan dengan sejelas-jelasnya, akan jadi kenyataan jika dilandasi dengan perjuangan mati-mati.

Pikiran bersifat kreatif. Kondisi, lingkungan, dan setiap pengalaman di dalam kehidupan adalah akibat dari sikap mental kita yang mendarah daging dan menguasai. Perilaku pikiran bergantung pada apa yang kita pikirkan. Karena itu, rahasia dari semua kekuatan, keberhasilan, dan kekayaan bergantung pada cara berpikir (halaman 3).

Tiga model
Setidaknya Haanel membagai tiga model pikiran. Pertama, pikiran objektif yang menghubungkan kita dengan dunia luar. Otak sebagai organ pikiran dan sistem saraf serebrospinal memampukan kita untuk berkomunikasi secara sadar dengan setiap bagian tubuh. Sistem saraf inilah yang merespons setiap sinar, panas, bebauan, suara, dan cita rasa.

Apabila pikiran kita berfungsi dengan benar, apabila pikiran memahami kebenaran, apabila pikiran yang dikirimkan ke tubuh melalui sistem saraf serebrospinal itu bersifat kontruktif, maka sensasi yang dimunculkan pun menyenangkan dan harmonis.
Kedua, pikiran bawah sadar yang menghubungkan kita dengan dunia dalam diri. Saraf di perut bagian atas (pleksus solar) merupakan organ pikiran ini. saraf juga memiliki sistem yang mengendalikan sensasi subjektif, seperti kegembiraan, ketakutan, cinta, emosi, pernapasan, imajinasi, dan berbagai fenomena bawah sadar lainnya.

Melalui pikiran bawah sadar inilah kita terhubung dengan pikiran universal, dan kita terhubung juga dengan kekuatan semesta yang bersifat konstruktif dan tak terbatas.
Ketiga, pikiran universal adalah energi yang statis, energi yang statis, energi potensial. Demikianlah adanya. Pikiran ini bisa terwujud hanya melalui individu, dan individu bisa terwujud hanya melalui pikiran universal. Keduanya adalah satu.
Kemampuan setiap individu untuk berpikir adalah kemampuannya untuk bertindak sesuai dengan semesta dan untuk mewujudkannya. Manusia memiliki kesadaran yang berdasarkan atas kemampuannya berpikir.

Apa yang diungkapkan oleh Haanel di atas selaras dengan ungkapan Aristoteles. Filsuf besar Yunani tersebut menyebut energi pikiran adalah esensi dari kehidupan.
Kelebihan kunci sukses ala Haanel adalah terletak pada kepekaannya terhadap nilai-nilai sosial. Ia menyebut, sukses terbesar akan datang bila Anda dimampukan untuk menolong orang lain (halaman 296). Sebuah teologi welas asih yang tak akan pernah lekang zaman.

Pada akhirnya, mengutip petuah pria yang mengawali kariernya sebagai seorang office boy ini, “banyak keberhasilan bisa diraih bila waktu dan pikiran itu diarahkan secara baik dengan objek tertentu yang jelas untuk melakukan ini. Anda perlu memusatkan kekuatan mental Anda pada suatu pikiran tertentu dan mempertahankan pikiran itu sampai semua pikiran lainnya tersingkir”. Selamat membaca dan mengarungi samudera luas kehidupan.

Kiat Sukses ala Hideyoshi

Oleh Benni Setiawan


Resensi Harian Pelita, Sabtu, 20 Oktober 2012

Judul : Strategi Hideyoshi, Another Story of the Swordless Samurai
Penulis : Tim Clark dan Mark Cunningham
Penerbit: Zahir Books, Jakarta
Terbit : Agustus 2011
Tebal : 278 Halaman
ISBN : 978-979-19337-3-5



Toyotomi Hideyoshi bukanlah tokoh rekaan. Ia tergolong salah satu orang yang paling luar biasa di dunia. Ia lahir tahun 1536 atau 1537 di desa pertanian Nakamura, sekarang pinggiran kota Nagoya. Di sanalah Toyota Motor Corporation bermarkas. Tidak banyak yang diketahui tentang kehidupan Hideyoshi sebelum ia bekerja untuk Oda Nobunaga di usia delapan belas tahun.
Tetapi sejarah yang disajikan dalam buku Strategi Hideyoshi, Another Story of the Swordless Samurai ini mewakili pandangan umum mengenai masa mudanya. Satu hal yang pasti, ia terlahir sebagai petani yang tidak dikenal.
Karir Hideyoshi melesat sejak ia bergabung dengan klan Oda dan berbakti sepenuh hati kepada cita-cita Nobunaga untuk mengakhiri peperangan antar-daerah dan menyatukan Jepang kembali “di bawah satu pedang”.
Hideyoshi menggantikan Nobunaga yang wafat tahun 1582. Pada tahun 1590 Hideyoshi berhasil mengendalikan sebagian besar wilayah Jepang.
Meskipun kurang berkibar dibandingkan Nobunaga atau Ieyasu, Hideyoshi adalah orang yang paling mengilhami warga Jepang untuk yakin dengan kemampuan mereka sendiri. Bagaimana Hideyoshi mampu mengubah kultul bangsa Jepang?
Kesuksesan Hideyoshi ini ditopang oleh kemauannya yang keras. Niat dan usaha yang sungguh-sungguh inilah yang mampu mengubah keadaan seseorang. Hideyoshi telah membuktikan itu. Ia yang sebelumnya hanya seorang petani miskin, tubuhnya kecil, dan bakat bela dirinya yang minim dengan kemauan keras mampu menjadi pemimpin Jepang yang legendaris.
Selain itu Hideyoshi memegang prinsip bahwa kerjasama melahirkan keberhasilan. Tanpa hal yang demikian kepemimpinan akan rapuh dan tidak memiliki keberpihakan.
Lebih lanjut, Hideyoshi pun mengajarkan petuah sederhana penuh makna. Yaitu, usaha yang sedang-sedang saja membuahkan hasil yang sedang-sedang saja. Tapi usaha yang luar biasa membuahkan hasil yang luar biasa pula! Sebuah prinsip yang mampu mengubah keadaan menjadi luar biasa.

Zaman perang antar-klan
Kisah Hideyoshi benar-benar memotret esensi Zaman Perang Antar-Klan di Jepang. Suatu masa yang luar biasa dan berlangsung antara akhir tahun 1400-an hingga awal 1600-an. Karena tidak adanya pemerintahan pusat, penguasa-penguasa daerah pada masa itu terpaksa mempertahankan diri dengan mengandalkan sumber daya dan bakat mereka sendiri. Kalau tidak, mereka akan ditumbangkan oleh pemimpin yang lebih kuat, atau pasukan bersenjata yang lebih hebat.
Dalam era yang penuh gejolak inilah istilah gekokujo menjadi terkenal. Kata itu berarti “yang rendah melengserkan yang tinggi dan kuat”. Suatu istilah yang menandai berakhirnya sistem kepemimpinan berdasarkan bakat, yang dulunya berkembang dalam masyarakat feodal Jepang.
Namun, dalam kebanyakan kasus, gekokujo tidak benar-benar “rendahan”. Mereka adalah samurai, pedagang yang berpengaruh, atau para gubernur yang berkemauan keras. Karena itulah kemajuan Hideyoshi yang mencengangkan menjadi cambuk bagi rakyat jelata yang mendambakan perubahan nasib.
Tidak ada era lain yang memberikan gambaran umum Jepang sebaik Zaman Perang Antar-Klan. Pada masa itu, pemimpin pasukan bertempur di sekitar enam puluh daerah. Sementara itu bandit dan ronin berkeliaran ke pelosok-pelosok desa, dan samurai yang tangguh—entah yang baik maupun jahat—meraih ketenaran yang tidak tanggung-tanggung.
Inilah momen yang paling menentukan. Suatu masa yang kental dengan pertumpahan darah dan kericuhan, tapi menjadikan harapan. Meski begitu, Zaman Perang Antar-Klan terbukti lebih berpengaruh dibandingkan masa serupa yang terjadi di Barat. Karena empat abad setelah kematian Hideyoshi citra, dan cita-cita samurai masih tertanam kuat di Jepang.
Sebagai pemimpin besar, Hideyoshi telah mengembalikan kondisi damai, membangun jalan, jembatan, dan fasilitas sosial lainnya, juga menciptakan peraturan tanah yang terpadu, membangun sistem otonomi dengan menyebarkan pemerintahan, mengembangkan sektor budaya dan seni, serta memulihkan kejayaan dan kelayakan keluarga kerajaan yang telah lama terabaikan.
Memang, Hideyoshi tidak memaparkan jalan menuju keberuntungan yang diungkapkan dalam buku ini secara resmi. Akan tetapi, semuanya merupakan saripati dari pernyataan dan keputusan yang diwariskannya. Di samping itu, kehidupan Hideyoshi memang secara alamiah mencerminkan ajaran tersebut. Rasa syukur, sadar akan bakatnya, tujuan yang bisa dicapai, pengerahan usaha yang luar biasa, dan kerja sama yang kuat telah memungkinkan lelaki kecil yang berasal dari rakyat jelata ini mengendalikan sebuah bangsa dan menjadi “petani” yang paling sejahtera. Boleh jadi nilai-nilai inilah yang memungkinkan Jepang, sebagai negara kepulauan yang miskin sumber daya, menjadi negara adidaya kedua dari segi ekonominya.

Bushido
Tetapi, barangkali ada lagi jalan pamungkas di balik keberhasilan Hideyoshi dan Jepang. Yaitu, nilai-nilai yang terdapat dalam peraturan samurai yang bernama Bushido. Bushido secara harfiah berarti jalan ksatria, tepatnya tata cara perilaku samurai, baik dalam profesi maupun kehidupan sehari-harinya.
Adapun delapan kebajikan Bushido adalah kebenaran atau keadilan, keberanian, kemuliaan dan pengampunan, kesopanan, kejujuran dan ketulusan, kehormatan, kesetiaan, karakter dan pengendalian diri.
Sebuah buku apik penuh inspirasi yang dapat membangkitkan semangat kita membangun bangsa Indonesia dengan belajar dari kesuksesan pemimpin Jepang.

Minggu, 14 Oktober 2012

Menulis Sejarah “Ugal-ugalan”



oleh Benni Setiawan

Judul : Naga Bhumi Mataram, Mengungkap Jati Diri
Penulis : El Pramono
Penerbit: Citra Kreasi Indonesia, Jakarta
Cetakan : September, 2012
Tebal : 558 Halaman

Resensi Buku, Seputar Indonesia, Minggu, 14 October 2012

Keren. Itulah kesan pertama saya ketika membaca kalimat demi kalimat dalam buku Naga Bhumi Mataram, Mengungkap Jati Diri ini. Buku ini berbeda dengan karya sejarah lainnya.


Buku ini unik, karena sejarah ditulis secara “ugal-ugalan”. “Ugalugalan” di sini bukan dalam artikel negatif (kurang ajar), namun ditulis secara renyah,mudah dicerna,dan menginspirasi. Renyah karena ditulis dengan bahasa tutur-tulis yang mengalir. Diksinya (pilihan) pun kaya.Jadi siapa yang membacanya akan terhanyut dalam buaian kata yang memikat.

Mudah dicerna,karena alur kronologi kesejarahan diurai dengan pendekatan kritis objektif. Namun, tidak kaku seperti kalau kita membaca buku- buku sejarah.Inspiratif,karena buku ini, sependek pengetahuan saya, keluar dari kebakuan penulisan sejarah, Sehingga apa yang disajikan menjadi penanda atau zaman baru penulis sejarah yang ringan (tidak njlimet). Melalui “penulisan model baru”ini, sejarah periode atau abad kedelapan lebih tergambar dengan baik. Buku ini seperti ingin mengisi sedikitnya referensi—untuk tidak menyebut kekosongan literatur abad kedelapan.

Kisah Arga Triwikrama

Abad kedelapan yang dimaksud dalam buku ini adalah kisah tentang persaingan dua wangsa terbesar di abad itu, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra.Dua wangsa ini saling klaim dan berperang demi sebuah tanah yang kemudian disebut Bhumi Mataram. Dalam catatan sejarah,pendiri Kerajaan Medang atau Mataram Kuno adalah Raka I Mataram Ratu Sanjaya. Sang Wamçakarta (pendiri wangsa), Wangsa Sanjaya (Canggal, 732 Masehi). Banyak sumber mengatakan bahwa Raja itu menguasai kitab suci, seni bela diri, dan juga kekuatan militer.

Dengan kekuatannya,dia telah menaklukkan daerah-daerah tetangga sekitar kerajaannya dan memerintah dengan bijaksana sehingga tanah Yawadwipa diberkati dengan perdamaian dan kemakmuran. Setelah lebih dari dua dasawarsa memerintah, Raka I Mataram Ratu Sanjaya digantikan putranya,Raka I Tejah Purnapana Panangkaran. Pada masa pemerintahan Putra Sanjaya ini,muncul kekuatan lain yakni Wangsa Syailendra,yang tampil menguasai Bhumi Mataram.

Sejak masa pemerintahan Raka I Tejah Purnapana Panangkaran,Bhumi Mataram terbagi dalam dua kekuatan besar, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra.Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa menguasai Bhumi Mataram di bagian utara, sedangkan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha menguasai Bhumi Mataram di bagian selatan. Lebih lanjut, kisah dalam buku ini mengambil latar pada masa akhir dari Kerajaan Mataram Kuno atau Bhumi Mataram, yakni saat persaingan antara kedua wangsa itu mencapai babak akhir. Kisah ini merupakan fiksi yang dibangun berdasarkan informasi yang ada seputar era akhir Kerajaan Mataram Kuno.

Tokoh utamanya adalah seorang pemuda bernama Arga Triwikrama. Pemuda ini tidak diketahui siapa ayah-ibunya.Ia hanya dikatakan tinggal sejak kecil bersama seorang paman. Pejabat Utama Kota Tembelang sekaligus Ketua Perguruan Merak Mas. Pemuda itu beruntung mendapatkan warisan dari seorang tokoh masa silam. Naga Branjangan. Berbekal wasiranitu,ia menelusuri jejak asal-usulnya dan berdiri tegak sebagai Satria Pembela Bhumi Mataram. Perjalanan Arga Triwikrama diulas secara rinci dan mengesankan dalam buku ini. Arga Triwikrama memiliki kegemaran yang tidak lazim bagi anak di era itu, yaitu baca tulis.

Di era itu, anak-anak biasanya berlatih kanuragan. Melalui olah kanuragan, anakanak menjadi pribadi perkara dan kuat. Karena ketidaksukaan pada olah kanuragan,Arga tertinggal jauh dari teman sebayanya. Namun demikian, kebiasaan dan kemampuan baca-tulis telah mengantarkannya pada sebuah keberuntungan lain.

Ketika Arga berada di dalam gua, sebagaimana petunjuk Naga Branjangan, ia mulai memahami bagaimana hidup di dalam gua. Ia cepat menyesuaikan diri. Ia pun mampu memahami dan melatih diri melalui meditasi.Tujuh meditasi utama (Meditasi Cakra Dasar, Cakra Suci, Cakra Ulu Hati, Cakra Jantung, Cakra Tenggorokan, Cakra Kening, dan Cakra Mahkota) ia lalui dengan sempurna.

Polah Elite

Buku karya alumnus STF Driyarkara ini memuat kisah sejarah peradaban agung di Bhumi Mataram.Sebuah kisah dan tingkah pola para pemimpin di masa lalu yang tidak pernah lepas dari kuasa memerintah. Kuasa memerintah pun hanya dimiliki segolongan elite dan dekat dengan raja. Gambaran di atas pun tampaknya tidak hilang sampai sekarang.Kuasa elite selalu menang dan rakyat selalu dikalahkan.

Kekuasaan wajib dipertahankan dengan cara-cara yang tidak halal sekalipun.Menjilat, pencitraan,atau apa pun namanya adalah bagian halal dalam memperoleh kuasa. 

Melacak Sejarah Tuhan



Oleh Benni Setiawan

Resensi Buku Jateng Pos, Minggu Legi, 14 Oktober 2012

Judul : Sejarah Tuhan. Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-agama Manusia
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan : September 2011
Tebal : 673 Halaman

Perbincangan mengenai Tuhan selalu menimbulkan perdebatan. Pasalnya, perbincangan ini menyangkut sesuatu yang hakiki dan diimani secara utuh. Namun, di tangan Karen Amrstrong dalam buku Sejarah Tuhan ini, perbincangan mengenai Tuhan menjadi sesuatu yang mengasyikan dan membuka cakrawala kita tentang “kebenaran keberadaaan Tuhan”.

Buku ini bukanlah tentang sejarah realitas Tuhan yang tak terucapkan, yang berada di luar waktu dan perubahan, melainkan merupakan sejarah persepsi umat manusia tentang Tuhan sejak era Ibrahim hingga hari ini. Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu.

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain. Bahkan, pernyataan “saya beriman kepada Tuhan” tidak mempunyai makna obyektif, tetapi seperti pernyataan lain umumnya, baru akan bermakna jika berada dalam suatu konteks, misalnya ketika dicetuskan oleh komunitas tertentu.

Akibatnya, tidak ada satu gagasan pun yang tidak berubah dalam kandungan kata “Tuhan”. Kata ini justru mencakup keseluruhan spektrum makna, sebagian di antaranya ada yang bertentangan atau bahkan saling meniadakan. Jika gagasan tentang Tuhan tidak memiliki keluwesan semacam ini, niscaya ia tidak akan mampu bertahan untuk menjadi salah satu gagasan besar umat manusia.

Ketika sebuah konsepsi tentang Tuhan tidak lagi mempunyai makna atau relevansi, ia akan diam-diam ditinggalkan dan digantikan oleh sebuah teologi baru. Seorang fundamentalis akan membantah ini, karena fundamentalisme antihistoris; mereka meyakini bahwa Ibrahim, Musa, dan nabi-nabi sesudahnya semua mengalami Tuhan dengan cara yang persis sama seperti pengalaman orang-orang pada masa sekarang.

Namun, jika kita memperhatikan ketiga agama besar, menjadi jelaslah bahwa tidak ada pandangan yang objektif tentang “Tuhan”: setiap generasi harus menciptakan citra Tuhan yang sesuai baginya. Hal yang sama juga terjadi pada ateisme. Pernyataan, “saya tidak percaya kepada Tuhan” mengandung arti yang secara sepintas berbeda pada setiap periode sejarah. Orang-orang yang diberi julukan “ateis” selalu menolak konsepsi tertentu tentang ilah.

Bukan Sejarah Biasa
Lebih lanjut, buku ini bukan sejarah dalam pengertian biasa, sebab gagasan tentang Tuhan tidak tumbuh dari satu titik kemudian berkembang secara linier menuju suatu konsep final. Teori-teori ilmiah mempunyai sistem kerja seperti itu, tetapi ide-ide dalam seni dan agama tidak. Sebagaimana dalam puisi cinta, orang berulang kali menggunakan ungkapan yang sama tentang Tuhan. Bahkan, kita dapat menemukan kemiripan telak dalam gagasan tentang Tuhan di kalangan Yahudi, Kristen, dan Islam. Meskipun orang Yahudi maupun Islam memandang doktrin Trinitas dan Inkarnasi sebagai suatu kekeliruan, mereka juga mempunyai teologi-teologi controversial versi mereka sendiri. Setiap ekspresi yang amat bervariasi tentang tema-tema universal ini memperlihatkan kecerdasan dan kreatifitas imajinasi manusia ketika mencoba mengekspresikan pemahamannya tentang “Tuhan” (hlm. 24).

Sejarah Tuhan adalah kajian lengkap tentang Tuhan yang paling populer sejak publikasi pertamanya pada dekade terakhir abad ke-20. Ditulis oleh Karen Armstrong, komentator masalah agama terkemuka asal Inggis. Buku ini melacak sejarah persepsi dan pengalaman manusia tentang Tuhan sejak zaman Nabi Ibrahim hingga masa kini. Selain memerinci sejarah tiga agama monoteistik; Yahudi, Kristen, dan Islam. Buku ini juga menampilkan tradisi Buddha, Hindu, dan Konfusius. Evolusi keyakinan manusia tentang Tuhan dilacak dari akar-akar kunonya di Timur Tengah hingga sekarang.

Melalui narasi yang gurih, ia mengajak kita menulusuri filsafat klasik dan mistisisme Abad Pertengahan hingga era Reformasi, Pencerahan, dan skeptisisme zaman modern. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Karen Armstrong telah melakukan upaya luar biasa menyuling sejarah intelektual monoteisme ke dalam satu buku yang memikat dan enak dibaca seperti ini.

Selain itu, kelebihan buku ini tersaji dari pembacaan literatur klasik dan modern yang sangat ketat dan kaya. Sehingga apa yang disajikan menjadi bacaan yang luar biasa dalam pencarian makna Tuhan. Sebuah buku yang layak dibaca oleh khalayak umum yang ingin mengenal secara lebih dekat dan rasional mengenai agama dan Tuhan yang selama ini diyakini kebenarannya.

Rabu, 10 Oktober 2012

Belajar itu Menyenangkan



Oleh Benni Setiawan

Judul : Menikmati Belajar secara Kreatif
Penulis : Peng Kheng Sun
Penerbit: Samudra Biru, Yogyakarta
Terbit : 2011
Tebal : viii + 94 Halaman

Resensi Buku, Jateng Pos, Minggu, 8 Oktober 2012

Belajar merupakan kebutuhan—untuk tidak menyebut kewajiban manusia. Dengan belajar manusia akan mengetahui makna. Makna inilah yang akan membawa manusia menjadi manusia seutuhnya dan berkepribadian. Pemahaman terhadap makna inilah yang juga menjadi penanda atau pembeda (furqon) manusia dengan makhluk Tuhan yang lain.
Namun, seringkali proses pembelajaran membosankan. Belajar menjadi proses yang menjemukan dan tidak merangsang keinginan untuk senantiasa meningkatkan kuantitas dan kualitas diri. Inilah masalah serius yang seringkali dihadapi peserta didik baik di rumah maupun di sekolah.

Maka dari itu dibutuhkan media atau metode untuk mengurai persoalan ini. Buku karya Peng Kheng Sun, Menikmati Belajar secara Kreatif ini menyuguhkan serangkaian cara dan metode untuk keluar dari kejemuan belajar menjadi belajar yang menyenangkan.

Belajar dan Bermain
Salah satunya adalah dengan menggabungkan belajar dengan bermain. Bermain adalah sesuatu yang menyenangkan. Jika belajar dapat dipadukan dengan bermain, maka seseorang akan mampu secara spontan menikmati proses kreatif ini.

Namun, bagi Peng Kheng Sun, ada hal yang perlu diperlu diingat adalah penggabungan belajar dan bermain bertujuan utama supaya kegiatan belajar menjadi ringan dan bisa dinikmati, bukan pada bermainnya. Karena itu, bukan berarti belajar bisa dilakukan seenaknya tanpa ada disipilin. Jadi fokusnya harus tetap ke belajarnya yakni menambah kepandaian atau pengetahuan (hal. 10).

Mengenal Diri Sendiri
Selain itu, Peng Kheng Sun juga mendedah adanya proses kreatif belajar dengan cara mengenali diri sendiri. Pengenalan diri sendiri akan membawa pada pilihan atau metode belajar yang pas dan cocok bagi kita. Kekeliruan dalam menganalisis kebutuhan sendiri akan berakibat fatal dalam proses pembelajaran. Maka dari itu, seorang guru di sekolah dituntut untuk mampu mengembangkan berbagai macam metode pembelajaran agar peserta didiknya tidak bosan.

Buku ini ditulis secara sederhana, lugas, praktis, dan kreatif sehingga memungkinkan setiap pembelajar dapat menerapkan cara-cara tersebut dengan mudah. Bahkan pembelajar sendiri pun dapat mengembangkan pola baru atau memodifikasi pola yang sudah ada untuk membuat belajar menjadi lebih gampang dan nikmat.

Buku ini ingin menegaskan bahwa belajar itu harus menyenangkan. Pasalnya, belajar adalah proses mengolah potensi yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada setiap manusia. Proses belajar kreatif dan menyenangkan merupakan esensi belajar sejati.
Pada akhirnya, Peng Kheng Sun melalui buku ini ingin menegaskan bahwa proses belajar harus lahir dari sebuah kesadaran diri dan pengolahan terhadap potensi yang telah ada. Jika hal ini dilakukan, maka pembelajar, meminjam istilah Andreas Harefa, akan menjadi insan merdeka, mandiri, mampu memanusiakan manusia, dan mampu bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Selamat membaca dan mempraktekan.