Meraih Cita
Minggu, 30 September 2012
Teologi Welas Asih
Oleh Benni Setiawan
Dimuat di Resensi, Majalah Matan, edisi September 2012
Judul : Compassion, 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan : 2012
Tebal : 247 Halaman
Welas asih, saling mengasihi, berbelas kasih, telah menjadi budaya bangsa Indonesia sejak dulu. Kearifan lokal itu telah menyatu dalam gerak langkah bangsa. Walaupun kini gaungan agak meredup, karena serbuan modernitas dan individualisme, namun denyutnya masih terasa hangat di pelosok-pelosok negeri.
Dalam kajian ilmiah, Karen Armstrong mengetengahkan teologi welas asih itu dalam buku Compassion, 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih ini. Armstrong yang selama ini dikenal dengan karya-karya monumental dan penuh gugatan tentang keberagaman dan “Tuhan” dengan penuh teori dengan analisis mendalam, melalui buku ini menghadirkan cara pandang yang lebih pragtis tanpa harus keluar dari kajian terdahulu.
Kehadiran buku ini bermula saat Armstrong mendapat penghargaan dari Technology, Entertainment, Design (TED). Lembaga terkemuka itu berkomitmen mewujudkan harapan sang penerima penghargaan. Adapun harapan Armstrong ketika itu adalah menyebarkan Charter for Compassion (Piagam Belas Kasih). Tujuan dari misi ini adalah mengembalikan belas kasih (welas asih) sebagai inti kehidupan religius dan moral.
Prinsip belas kasih yang bersemayam di dalam jantung seluruh agama, etika, tradisi spiritual, mengimbau kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan.
Belas kasi mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah menghapuskan penderitaan sesame manusia, melengserkan diri kita sendiri dari pusat dunia kita dan meletakkan orang lain di sana, serta menghormati kesucian setiap manusia lain, memperlakukan setiap orang, tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan, dan kehormatan mutlak.
Dalam kehidupan publik maupun pribadi pun penting untuk secara konsisten dan empatik mencegah apa-apa yang mengakibatkan penderitaan. Bertindak atau berbicara secara kasar karena kebencian, chauvinism atau kepentingan sendiri, untuk memiskinkan, mengeksploitasi atau mencabut hak-hak dasar siapapun, dan menghasut kebencian dengan merendahkan orang lain—musuh kita sekalipun—merupakan penyangkalan kemanusiaan kita bersama.
Buku ini mengajak semua manusia untuk mengembalikann belas kasih ke pusat moralitas dan agama; kembali kepada prinsip kuno bahwa setiap interpretasi atas kitab suci yang menyuburkan kekerasan, kebencian, atau kebejatan adalah tidak sah; memastikan bahwa kaum muda diberi informasi akurat dan penuh rasa hormat mengenai tradisi, agama, dan budaya lain; mendukung apresiasi positif atas keragaman budaya dan agama; menumbuhkan empati yang cerdas atas penderitaan seluruh manusia—bahkan mereka yang dianggap sebagai musuh.
Kita perlu dengan segera menjadikan belas kasih sebuah kekuatan yang jelas, bercahaya, dan dinamis di dunia kita yang terpolarisasi. Berakar dalam tekad yang berprinsip mengatasi keegoisan, belas kasih dapat menembus batas-batas politik, dogmatis, ideologi, dan agama. Lahir dari saling kebergantungan kita yang mendalam, kasih sayang adalah penting bagi hubungan manusia dan bagi kemanusiaan yang paripurna. Ini adalah jalan menuju pencerahan, dan sangat diperlukan untuk penciptaan ekonomi yang adil dan komunitas global yang damai.
Armstrong menyebut belas kasih sebagai Kaidah Emas, yang meminta kita untuk melihat ke dalam hati kita sendiri, menemukan apa yang membuat kita tersakiti, dan kemudian menolak, dalam keadaan apapun, untuk menimbulkan rasa sakit itu pada orang lain (hal. 15).
Sebuah proses kesadaran dan belajar yang semestinya menjadi kebiasaan hidup seumur hidup. Dengan proses tersebut manusia akan menemukan kemanusiaannya sebagai makhluk sosial dan beradab.
Lebih lanjut, penulis buku bestseller, Sejarah Tuhan itu menyatakan kita manusia, dibandingkan dengan spesies-spesies lainnya, bergantung secara lebih radikal pada cinta. Otak kita telah berevolusi untuk peduli dan membutuhkan kepedulian—sedemikian rupa sehingga mereka menjadi lebih jika kepedulian ini tak ada (hal. 25).
Buku ini seakan menggugah kesadaran alam bawah sadar kita tentang pentingnya hidup welas asih. Pasalnya welas asih merupakan ujian spiritualitas sejati. Siapa yang mampu menempuhnya dengan baik, maka ia akan menjadi pribadi istimewa yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri melainkan bagi kehidupan di jagat raya ini. Sebuah karya monumental yang patut menjadi rujukan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar