Meraih Cita
Sabtu, 26 Januari 2013
Kiai Mbeling Bertutur tentang Kehidupan
"Perada", Koran Jakarta, Sabtu, 26 Januari 2013
Markesot Bertutur merupakan karya klasik Emha Ainun Nadjib dan salah satu karya emas dalam sejarah kepengarangan budayawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 itu. Melalui buku ini orang yang biasa disapa kiai Mbeling tersebut, bertutur tentang kehidupan. Ia seakan menjadi juru bicara masyarakat di tengah zaman edan, meminjam istilah Ranggawarsita.
Manusia senantiasa bernafsu menumpuk harta walaupun dengan cara ilegal. Maka, tidak heran jika kelak di alam kubur ketika ditanya, "Man Rabbuka?" (Siapa Tuhanmu), manusia banyak yang menjawab, "Mercy, Rabbi" (Mercy Tuhanku).
Manusia menuhankan atau menomorsatukan dalam hidup harta, hedonisme, popularitas, karier, egoisme, Mercy, Tiger, dst. Mereka memperoleh tempat utama dalam hidup manusia. Manusia menganggungkan dan menyembah mereka. Nafsu dan kekhilafan hidup menjadi rumbai atau "hiasan dinding jiwanya." Hakikatnya tetaplah semua dinomorsatukan (halaman 100).
Menilik manusia seperti itu, maka tidak mengherankan jika bumi, gunung, dan laut geram. Mereka pun berdoa kepada Tuhan untuk menghancurkan makhluk berakal ini karena sering berdusta! Mereka pura-pura menyembah Tuhan. Padahal setiap saat mereka tidak menomorsatukan Dia. Manusia merusak alam, rakus, dan serakah. Mereka hanya tahu kepentingan diri sendiri. Mereka itu pencuri-pencuri yang mengaku alim!
Namun, Tuhan Mahapenyayang. Dengan bijak Tuhan berseru kepada bumi, gunung, dan laut. "Wahai gunung, laut, dan bumi, tenanglah! Tingkat kalian lebih rendah dari manusia, sehingga tidak akan sanggup menghayati betapa Aku amat mencintai manusia sebagai karya agung-Ku. Aku Mahatahu yang Kukehendaki. Ketahuilah, seandainya engkau yang menciptakan manusia, akan demikian …" (halaman 244).
Melalui cerita-cerita ringan, budayawan multitalenta ini pun menyodok ingatan, betapa kehidupan selayaknya menjadikan manusia arif. Emha menyebut, urip itu urap. Hidup itu mengaduk, mencampur, mempergaulkan, menyentuh satu unsur dengan lainnya. Campur itulah urip. Itulah kehidupan.
Campur ialah kesalingtergantungan antara sesuatu dan yang lain. Juga antara satu orang dan lainnya. Manusia memasak dengan panci. Apakah dia pernah membuat panci? Masyarakat menyalakan kompor dengan api. Apakah mereka pernah menggali minyak dari tanah dan membuat penthol korek? Jadi manusia membutuhkan orang lain (halaman 366).
Maka dari itu, setiap orang sesungguhnya saat harus berterima kasih kepada sangat banyak orang lain yang tidak dikenal. Kalau dihitung-hitung jumlah kewajiban manusia untuk berterima kasih, seluruh usia ini sesungguhnya tidak cukup untuk hanya mengucap terima kasih.
Melalui uraian-uraian pendek dan diksi yang memikat, motor penggerak kelompok Kiai Kanjeng ini seakan sedang bertutur tentang potret kehidupan yang kadang dilupakan dari proses kesadaran. Emha dengan cekatan membaca persoalan sosial dengan bahasa ringan dan mudah dicerna.
Emha, meluncurkan kritik terhadap kemanusiaan tanpa tedeng aling-aling. Melalui tokoh Markesot, Markembloh, Markasan, Markemon, dan lain-lain yang tergabung dalam Konsorsium Para Mbambung (KPMb), suami Nopia Kolopaking ini menyodok alam bawah sadar manusia. Betapa manusia saat ini gagap realitas. Manusia telah banyak kehilangan kemanusiaannya. Jadi, tulisannya tetap relevan. Sebuah permenungan yang tak lekang zaman.
Diresensi Benni Setiawan, dosen Universitas Negeri Yogyakarta
Judul : Markesot Bertutur
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : November 2012
Tebal : 471 Halaman
ISBN : 978-979-433-723-3
Harga : Rp69.000
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar