Oleh Benni Setiawan
Pecinta Buku asal Yogyakarta
"Books", Bisnis Indonesia, Minggu, 18 Agustus 2013
Judul : Born to Believe. Gen Iman dalam Otak
Penulis : Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan : Maret, 2013
Tebal : 484 Halaman
ISBN : 978-979-433-732-5
Harga: Rp. 69.000,-
Kajian tentang iman (keyakinan) sering membangkitkan persoalan yang mengguncang. Pasalnya, seringkali manusia tidak sadar bahwa banyak keyakinan berpijak di atas asumsi yang tak sempurna. Lalu, mengapa keyakinan bisa begitu berdaya sehingga dapat menenangkan dan atau merusak sehingga dapat menyebabkan seseorang menderita dan mati?
Buku Born to Believe. Gen Iman dalam Otak karya Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman mendedah konsepsi itu. Newbarg dan Waldman menyatakan bahwa keimanan bukan hal yang terkait dengan hati. Keimanan merupakan pokok atau hal sentral dalam otak manusia.
Otak manusia betul-betul merupakan sebuah mesin pemercaya, dan semua pengalaman yang kita punyai memengaruhi kedalaman dan kualitas kepercayaan ini. Keyakinan itu boleh jadi hanya berisi sekeping kebenaran, tetapi ia selalu memandu kita menuju tujuan. Tanpanya, kita tidak bisa hidup, apalagi mengubah dunia. Keyakinan itulah kredo kita, yang memberi kita keimanan, dan menjadikan kita seperti sekarang ini (halaman 31).
Temuan ini tentu mengklarifikasi untuk tidak menyebut mematahkan pendapat terdahulu yang menyatakan bahwa keimanan berpusat di hati. Melalui pemahaman yang baru ini kita semakin yakin bahwa otak merupakan pusat atau sentral kehidupan.
Bagian otak sebagai pusat keimanan itu bernama lobus frontal. Lobus frontal merupakan bagian otak paling baru dan berevolusi paling tinggi, terletak di belakang kening kita. Di sinilah tempat mekanisme-mekanisme penting yang mengatur kesadaran—tempat penyimpanan keyakinan dan mimpi-mimpi kita yang paling sakral.
Lobus frontal dijuluki “singgasana kehendak” karena ia mengarahkan perhatian kita dan mengawali perilaku. Profesor Radiologi dan Psikiatri pada University of Pennsylvania dan asisten peneliti di Center for Spirituality and the Mind ini menyebutnya sebagai “area atensi”. Menariknya, ia juga merupakan bagian yang dilihat dari segi fungsi, paling terpisah dari persepsi langsung kita mengenai realias.
Keyakinan-keyakinan itu, walaupun jauh dari terpisah dari realitas, membantu kita menghadapi nyaris semua aspek kehidupan. kemampuan ini menyoroti kekuatan keyakinan yang luar biasa, karena keberadaannya itu sendiri, sebagaimana kita ketahui, sangat mungkin merupakan fungsi yang hanya berlangsung di dalam ceruk dalam otak (halaman 128).
Oleh karena itu, otak merupakan poros keimanan. Jika Anda percaya dengan Tuhan yang pengasih, penyayang, maka berfokus pada keyakinan ini akan memicu keadaan senang dan damai. Namun, jika Anda membayangkan Tuhan pengancam dan pembalas dendam, bermeditasi atas keyakinan itu akan menghasilkan reaksi neurofisiologis berupa kecemasan dan takut. Maka, bergantung pada cara Anda memilih bermeditasi atau berdoa, Anda bisa memupuk rasa kasih sayang atau kebencian; tetapi kunci untuk menciptakan realitas apa pun didasarkan atas pengulangan kuat suatu gagasan. Hal ini tidak mengharuskan adanya meditasi yang khusyuk, tetapi banyak jenis ibadah bisa menimbulkan respons yang sangat kuat.
Kalau Anda ingin menciptakan teroris, rumusnya sangat sederhana. Kucilkan anak-anak atau pemuda dari keluarga dan teman-temannya. Ajari mereka bahwa negara atau kelompok mereka hebat, bahwa mereka lebih unggul daripada orang lain, dan bahwa “musuh” memang ingin menghancurkan mereka. Anda bahkan bisa memasukkan gagasan tentang Tuhan yang pendendam, yang akan memberikan pahala bagi tindakan kekerasan terhadap musuh terkutuk.
Dengan tubuh dan otak dalam keadaan selalu awas dan marah, para teroris yang dikondisikan ini akan gampang, bahkan berkeinginan untuk menarik pemicu atau meledakkan bom—khususnya jika balasan surgawi yang dijanjikan besar. Sebagaimana disampaikan dengan gamblang oleh Mark Juergensmeyer, kekerasan bisa memberdayakan agama.
Keadaan kita menakar realitas lewat derajat aktivitas saraf yang berlangsung di otak. Semakin lama kita berfokus pada objek kontemplasi, semakin nyata pikiran itu. Begitu pula halnya dengan emosi, semakin Anda dicekam perasaan tertentu, semakin nyata ia tampaknya (halaman 295).
Pesan moral dari buku ini adalah berhati-hatiah dengan apa yang Anda doakan, meditasikan, atau idam-idamkan. Karena kemungkinan ia akhirnya menjadi kebenaran.
Jika Anda ingin membuat spiritualitas menjadi bagian inti dari kehidupan Anda—jika Anda ingin membawa kedamaian, kasih sayang, dan hak asasi menjadi realitas—maka dengan segala cara berfokuslah pada ideal-ideal ini sesering mungkin. Tetapi, jika teori kuantum atau psikoanalisis adalah bidang Anda, maka membaca, mempelajari, dan berkontemplasi merenungkan subjek-subjek ini akan membantu mengubahnya menjadi kebenaran mendasar. Sains, psikologi, dan agama, semua memiliki nilai instrinsik dan pemaknaan pribadi; dan masing-masing menuntun ke lapisan lebih dalam dari suatu realitas yang kita tidak pernah pahami seutuhnya, karena keterbatasan otak.
Pada akhirnya, menilik realitas yang demikian, otak merupakan poros iman (keyakinan). Sebuah buku yang perlu dibaca guna mengoreksi proses keimanan kita selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar