Meraih Cita
Selasa, 17 April 2012
Menelaah Jantung Kapitalisme
Dilansir dari PERADA, Koran Jakarta, Selasa, 17 April 2012
Ekonom liberal, Joseph Schumpeter, dalam Capitalism, Socialism, and Democracy (1994) pernah menyatakan keunggulan kapitalisme adalah ketegaran semangat dan militansinya dalam penolakan terhadap kemandekan. Menurut dia, kunci pertumbuhan ialah karena keberadaan inovator yang berani mengambil risiko dengan "perusakan yang kreatif" melalui penggantian (teknologi) lama dengan yang baru.
Salah satu sumber kekaguman Karl Marx terhadap kapitalisme juga karena kemampuannya untuk senantiasa memperbarui diri. Borjuasi, kelas dominan di dalam masyarakat kapitalis tidak bisa ada tanpa terus-menerus merevolusionerkan perkakas dan hubungan produksi. Yang tak kalah penting adalah keseluruhan hubungan kemasyarakatan. Di bawah kapitalisme, tidak bisa ada sesuatu yang langgeng.
Semua yang beku dicairkan. Yang baru segera menjadi kuno bahkan sebelum menguap. Tidak ada ruang tersembunyi dari rengkuhan pasar yang senantiasa harus memperluas diri bagi komoditas yang terus-menerus diproduksi demi laba karena hanya laba yang menjadi sumber sekaligus tujuan akhir pergerakan kapital. Semua dibuka, ditinggali, dirombak, supaya laba terus tercipta.
Produksi dan konsumsi menjadi kosmopolitan. Semua yang pernah dibuka, ditinggali dan dirombak. Ini soal "hidup dan mati" dunia kapitalis, kata Marx. Oleh karena itu, pusat-pusat industri manufaktur warisan revolusi industri seperti Ruhr dan Manchester kini sunyi dari gemuruh mesin pintal. Mesin-mesin produksi lama disingkirkan, teknologi baru diadopsi. Sumber-sumber energi kuno digantikan. Pabrik-pabrik dipindahkan dari Inggris ke Eropa daratan, lalu ke Amerika, lalu ke Jepang, Korea, Tiongkok, Malaysia, Honduras, Taiwan, dan India, lalu ke Kamboja, Vietnam, Indonesia, dan Afrika.
Pertanyaannya, apa penggerak semua perubahan ini? Mengapa kapital harus bergerak, secara geografis, teknologis, kuantitatif, dan kualitatif?
Tenaga Kerja
Jawaban pertanyaan tersebut tidak sulit ditemukan dalam uraian panjang buku Geneologi Kapitalisme, Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapilatistik ini. Peningkatan teknologi merupakan upaya kapitalis menaikkan produktivitas dan intensitas kerja sebagai jalan menyingkirkan tenaga kerja dari proses produksi.
Di mata kapitalis, satu-satunya faktor produksi yang bisa melawan hanyalah tenaga kerja. Apabila produktivitas dan intensitas kerja meningkat, porsi investasi untuk membayar upah tenaga kerja terkurangi.
Untuk apa saya membayar lima pekerja buat mendapat 5.000 barang per hari bila dengan tiga orang saja bisa didapat 5.000 barang per hari? Memang ada teknologi baru, tapi kadang perlu tenaga kerja yang mahal sehingga ongkos produksi jauh lebih mahal. Padahal, masih banyak tenaga kerja murah yang bisa diperas dengan teknologi lama. Jadi, membeli teknologi lama tentu lebih rasional ketimbang mengadopsi teknologi baru.
Murah tidaknya harga tenaga kerja di suatu tempat tentu dipengaruhi tingkat perkembangan kapital yang berdampak pada standar biaya hidup rata-rata. Tetapi, yang utama ialah kekuatan politik ekonomi golongan pengusaha dan seberapa kuatnya perjuangan kelas pekerja di tempat itu di dalam memajukan kepentingan (hal 254).
Buku ini menunjukkan jantung kapitalisme, mengurai prinsip-prinsip dasar, cara kerja, sejarah perkembangannya, serta pranata-pranata yang menopangnya. Kapitalisme tidak dilihat sekadar sebagai sistem ekonomi, tetapi relasi sosial yang sudah merasuk ke relung-relung kehidupan manusia. Inilah mengapa pendekatan antropologi yang digunakan dalam kajian ini menjadi pisau analisis yang amat tajam untuk membedah anatomi kapitalisme.
Diresensi Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Sunan Kalijaga
Judul : Genealogi Kapitalisme
Penulis : Dede Mulyanto
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : Januari 2011
Tebal : xxii 284 Halaman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar