Meraih Cita

Meraih Cita

Selasa, 31 Maret 2015

Mozaik Nusantara



"Resensi", Koran Sindo, 29 Maret 2015.

Kota-kota di Indonesia sering merupakan sebuah gabungan eksplosif unsur-unsur yang saling berseberangan.

Di satu sisi terlihat modern dan kebarat-baratan, di sisi lain tradisional dan autentik: gedung-gedung tinggi sebagai pusat perkantoran, pusatpusat perbelanjaan, jalan-jalan tol dan gerai-gerai makanan siap saji. Sementara, di sisi lain terdapat kampung-kampung padat penduduk, pasar-pasar tradisional, becak dan warungwarung pedagang kaki lima.

Akan tetapi, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, tata ruang publik yang semrawut, kesenjangan yang besar antara si kaya dan si miskin, kurangnya ruang terbuka dan infrastruktur (jalan, angkutan umum, pengelolaan sampah), yang kelebihan beban adalah pemandangan yang menonjol. Melalui kajian sejarah yang sangat memadai, buku Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia, Medan, Jakarta, Cirebon, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang ini hadir mengisahkan betapa indah dan kayanya Indonesia.

Berdasarkan tulisan sejarah dan temuan arkeologis, kita dapat memperoleh gambaranyangmemadaitentangsituasi aslinya. Struktur kota dibentuk oleh kompleks tempat tinggal dengan tembok di sekelilingnya, yang dikelompokkan di sepanjang jalan-jalan lebar dan alun-alun dan lapangan umum. Kompleks-kompleks tersebut dihuni oleh kaum elite aristokratis dan religius.

Kelompok aristokrat terutama mengurusi produksi pertanian dan tidak mengurus perdagangan (internasional) secara langsung. Sebuah kompleks tempat tinggal terdiri dari beberapa pekarangan yang dikelilingi tembok dengan paviliun-paviliun terbuka dan pohon-pohon, yang saling terhubung melalui pintu-pintu gerbang. Titik pusat kota adalah alun-alun dengan keraton dan kompleks keagamaan penting di sekelilingnya yang ditempatkan secara berkelompok .

Alun-alun dipergunakan sebagai pasar dan aktivitas masyarakat. Ibu kota dibuat luas, tanpa dinding di sekelilingnya, sehingga tanpa disadari menjangkau sampai ke pedalaman. Alasan utama untuk tinggal di kota adalah kedekatannya dengan pusat kekuasaan. Di bawah pengaruh budaya Hindhu, arsitektur khas rumah panggung Indonesia mengalami perubahan bentuk, menjadi rumah yang didirikan di atas lantai batu dan tanah yang ditinggikan, dengan atap yang disangga oleh tiang-tiang dan ditutup oleh genteng (halaman 4-5).

Simbol Spiritual

Dalam konteks kota Yogyakarta misalnya, bangunanbangunan dan lapanganlapangan sepanjang poros utaraselatan keraton melambangkan perkembangan spiritual manusia. Memasuki lapangan utama keraton sama dengan mendekati kesempurnaan surga. Pendekatan spiritual Tuhan adalah konsep penting dalam filsafat Jawa.

Jalan yang harus ditempuh untuk itu dilambangkan dengan rute dari lapangan utama ke monumen tugu di utara. Rute ini melewati antara lain alun-alun (kesadaran manusia yang tak terukur, dengan dua pohon beringin sebagai dua kutub yang bersebarangan di semesta), persimpangan jalan (pencari jalan yang benar), pasar (godaan kesenangan duniawi), dan kantor pemerintah kerajaan (godaan kekuasaan duniawi).

Pada akhirnya kesatuan raja, rakyat, dan Tuhan secara simbolis tercapai di monumen tugu (halaman 177- 178). Selain persinggungan kosmologis yang tampak dalam sentuhan perkembangan wilayah Yogyakarta, buku ini juga menyuguhkan gambaran menarik mengenai “geseran” simbolis sosio-kultur masyarakat. Misalnya, gambaran tentang Glodok di Jakarta. Kawasan ini memang masih terdiri dari jaringan ganggang, tempat orang-orang China (Tionghoa) tinggal berdekatan.

Akan tetapi, tiga dasawarsa terakhir dari abad ke-20 banyak bangunan asli yang dibongkar untuk perluasan jalan atau diganti dengan bangunan-bangunan baru. Setelah pergantian politik tahun 1965, ketika elemenelemen China dianggap merongrong negara, tiap manifestasi budaya China di kehidupan publik ditabukan.

Reklame, sekolah, koran dan nama-nama berbau China menghilang dari pandangan. Baru pada tahun 1999 pembatasan-pembatasan manifestasi budaya China dihilangkan, sehingga Glodok kembali tampak berkarakter China. Kelenteng-kelenteng kembali ramai dikunjungi dan selama perayaan hari besar China ada pawai dan pertunjukkan barongsai di jalan (halaman 75).

Falsafah Bhinneka Tunggal Ika

Buku ini diawali dengan sebuah gambaran singkat mengenai perkembangan kota Indonesia. Pembahasan di babbab selanjutnya secara teratur merujuk pada bagian-bagian tertentu, dari gambaran singkat ini. Setelah itu diikuti dengan rute jelajah sembilan kota pusaka, yang masing-masing ditandai dengan warna berbeda. Setiap rute diawali dengan sebuah sejarah singkat kotanya (dulu dan sekarang).

Setiap rute dilengkapi dengan peta, sehingga dapat disesuaikan dengan keinginan, minat, dan waktu masing-masing. Tidak semua tempat menarik atau setiap bagian rute-rute tersebut harus dikunjungi atau dijelajahi. Sebuah rute dapat saja dipotong atau dipersingkat, sebagian dilakukan dengan kendaraan umum atau dilakukan dalam beberapa hari. Buku ini menjadi potret dan bukti otentik bahwa bangsa ini dibangun dari berbagai macam kultur.

Ragam budaya inilah yang menguatkan bangsa Indonesia sebagaimana tergambar dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah karya yang kembali menyadarkan betapa bangsa merupakan mozaik terindah (masterpiece) Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar