Meraih Cita
Minggu, 25 November 2012
Pemilu dalam Optik Politik Hukum
Oleh Benni Setiawan
Resensi Buku, Seputar Indonesia, Minggu, 25 November 2012
Sejarah pemilihan umum (pemilu) di Indonesia penuh dengan catatan perubahan Undang-Undangan (UU). Sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga saat ini setidaknya sudah terselenggara sepuluh kali pemilu legislatif. Walaupun baru sepuluh kali menyelenggarakan pemilu, Indonesia, telah melahirkan sebelas UU Pemilu. Hal ini disebabkan, menyongsong pemilu legislatif tahun 2014 sudah lahir satu UU Pemilu sendiri. Hal tersebut masih ditambah dengan dua UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang saat pelenggaraan tahun 2004 dan 2009 diatur dengan UU sendiri.
Maka tidak aneh jik Moh. Mahfud MD (Pakar Hukum Tata Negara dan Ketua Mahkamah Konstitusi) menyatakan bahwa sejarah pemilu di Indonesia adalah sejarah politik hukum tentang pemilu. Pencarian politik hukum yang mengesankan bahwa UU Pemilu di Indonesia selalu lahir sebagai “proses instrumental” atau percobaan yang tak selesai-selesai. Hal ini setidaknya disebabkan oleh tiga hal.
Pertama, karena ada kesadaran bahwa pemilu yang diselenggarakan sebelumnya mengandung kelemahan yang harus diperbaiki untuk menyongsong pemilu berikutnya. Kedua, karena terjadi perubahan maupun mekanisme pemilu yang dilatarbelakangi oleh motif politik tertentu oleh sebagian besar partai politik yang menguasai kursi di DPR. Karena terjadi perubahan situasi, misalnya, demografi kependudukan dan perkembangan daerah, yang harus diakomodasi di dalam UU Pemilu.
Kedaulatan Rakyat
Dalam kerangka dasar itulah, Janedjri M Gaffar dalam buku Politik Hukum Pemilu ini mengulas pentingnya prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilu sebagai manifestasi dari UUD 1945. Bagi Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) ini prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip yang sangat mendasar dan dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada keseluruhan undang-undang di bidang politik. Hal demikian dinyatakan pula dalam Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Kemudian, terkait dengan peranan partai politik dan pemilih dalam sistem pemilihan, putusan MK tersebut menyatakan, peran rekruitmen partai politik tidak boleh melanggar prinsip kedaulatan rakyat.
Prinsip tersebut diwujudkan dalam bentuk penghargaan dan penilaian suara pemilih yang tidak boleh didistorsi oleh kekuasaan partai politik untuk mengubah pilihan rakyat menjadi pilihan pengurus partai politik. Peran penting partai politik dalam proses rekruitmen adalah menyeleksi dan memilih calon-calon yang cakap untuk kepentingan rakyat.
Ketentuan lain dalam UUD 1945 yang harus dijadikan acuan politik hukum pemilu adalah arah penyederhanaan partai politik. Walaupun secara tegas tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa sistem kepartaian yang dianut adalah sistem multipartai sederhana, namun hal itu dapat dilihat dari latar belakang pembahasan Perubahan UUD 1945 yang melahirkan ketentuan Pasal 6A ayat (2).
Pasal tersebut menentukan bahwa pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Frasa “gabungan partai politik” lahir dari maksud perumus Perubahan UUD 1945 untuk mengarahkan pada sistem multipartai sederhana (halaman 29-20). Hal ini diperlukan terutama demi stabilitas penyelenggarakan negara dan kelancaran pengambilan keputusan serta untuk mencegah kebuntuan akibat politik transaksional.
PT dan ET
Terkait dengan pemilu, penyederhanaan dilakukan melalui pemberlakukan parliamentary threshold (PT) atau electoral threshold (ET), atau keduanya. Sebagai sistem yang didesain sebagai saringan, sistem ini memang memiliki kelemahan, yaitu kemungkinan hilangnya suara atau aspirasi pemilih yang memberikan suaranya kepada partai yang tidak lolos PT atau ET. Namun, hal ini adalah konsekuensi dari pilihan sistem dan hanya akan terjadi pada saat awal pemberlakuan PT atau ET. Apalagi jika PT atau ET dibarengi dengan pengetatan syarat pembentukan partai baru secara proporsional dengan PT dan ET itu sendiri.
Konsolidasi dan penyempurnaan lain yang diperlukan dalam pemilu mendatang adalah masalah pelanggaran pemilu. Hal ini amat menentukan terwujud tidaknya asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil) dalam pemilu. Selama ini yang dianggap sebagai pelanggaran pemilu masih cenderung bersifat formal sehingga tidak dapat menjangkau tindakan-tindakan yang melanggar etika dan fatsoen politik. Selain itu mekanisme dan kelembagaan yang menangani pelanggaran pemilu juga belum mencukupi sehingga hanya sedikit pelanggaran yang dapat ditindak baik karena alasan pembuktian maupun rentang waktu yang diberikan.
Jika melihat perkara-perkara perselisihan hasil pemilu yang berujung di MK, penanganan pelanggaran ini menjadi sangat penting sebagai bagian dari konsolidasi sistem pemilu. Banyak pelanggaran pemilu sebelum masuk ke MK, terlihat tidak diproses secara hukum dan tidak mendapatkan sanksi. Akibatnya pelanggaran tersebut dianggap sebagai kewajaran dan pada akhirnya memengaruhi hasil pemilu. Padahal, hasil yang lahir dari proses yang penuh pelanggaran tentu telah menciderai kedaulatan rakyat dan asas pemilu yang jujur dan adil (halaman 42-43).
Buku yang berasal dari kumpulan artikel di pelbagai media massa ini menitik beratkan perhatian pada pemilu pascareformasi tahun 1998. Walaupun demikian, cara pengulasan buku ini akademik-ilmiah. Pasalnya, buku ini ditulis dengan perspektif demokrasi, konstitusi, dan pemilu, serta teori-teori tentang pemilu, baik yang menyangkut hukum pemilu (electoral law) maupun proses pemilu (electoral process).
Pada akhirnya, mengutip catatan Mahfud MD dalam pengantarnya, buku karya pria kelahiran Yogyakarta, 25 Oktober 1963, yang biasa disapa Janed ini, mengantarkan kepada kita memahami secara ilmiah pemilu dan demokrasi dalam optik politik hukum.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar