Oleh Benni Setiawan
Resensi Buku, Lampung Post, Minggu, 2 Desember 2012
Judul : Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia
Penulis : Jacques Bertrand
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Cetakan : 2012
Tebal : xi + 384 Halaman
Konflik antar etnis seakan menjadi hal lumrah di negeri ini. Belum selesai mengurai akar konflik di Bima Nusa Tenggara Barat, kini masyarakat kembali dihebohkan dengan konflik etnis di Lampung Selatan. Setidaknya 14 orang meninggal dalam peristiwa beradarah ini.
Mengapa konflik senantiasa menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia? Jaques Bertrand dalam buku Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia ini menyatakan bahwa ada kekeliruan dalam model kebangsaan indonesia.
Baginya, model kebangsaan Indonesia telah melahirkan kategori kelompok-kelompok yang tersingkirkan dan terpinggirkan. Meskipun model tadi didasarkan pada suatu konsep sipil, yakni bahwa kewarganegaraan harus diberikan kepada semua orang yang tinggal dibekas Hindia-Belanda, pengungkapannya dalam perundang-undangan telah menyingkirkan atau meminggirkan kelompok-kelompok tertentu. Suatu proses pembedaan telah memisahkan mereka dari konstruksi negara mengenai “keindonesiaan”.
Pada titik simpang kritis ketiga yang menyertai akhir rezim Orde Baru, sebagian kelompok tersebut adalah para peserta dalam atau korban dari kekerasan etnis. Suku Dayak yang terpinggirkan berperang melawan para pendatang suku Madura di Pulau Kalimantan pada 1996, 1999, dan 2001. Orang-orang Indonesia keturunan Cina menjadi sasaran selama gelombang kerusuhan berskala kecil antara 1996 dan 1998. Mereka juga menjadi korban dalam kerusuhan berdarah Mei 1998 yang secara resmi mengakhiri rezim Orde Baru Presiden Soeharto.
Peminggiran dan penyingkiran telah membedakan suku Dayak dan para keturunan Cina dari orang-orang Indonesia lainnya. Mereka memperlihatkan basis diskriminasi yang antara lain menjelaskan keterlibatan mereka dalam kekerasan etnis selama periode transisi kelembagaan pada akhir 1990-an.
Dua Simpul Konflik
Ada dua simpul masalah umum yang bisa menyebabkan konflik. Prinsip pertama, yang terkait dengan pertanyaan mengenai inklusi dan ekslusi keanggotaan, menyerupai pembedaan antara nasionalisme sipil dan etnis. Kriteria inklusi paling luas cenderung merupakan kriteria yang paling mendukung kestabilan, sementara yang paling mengekang, kerap terkait dengan jenis nasionalisme etnis terburuk, yang cenderung memunculkan kekerasan terhadap mereka yang disingkirkan.
Kekerasan juga bisa terjadi ketika kelompok-kelompok tercakup sebagai individu-individu tetapi mereka tidak diakui sebagai kelompok. Dalam kasus ini, inklusi bersifat luas dan mengikuti kriteria individualis menurut prinsip-prinsip liberal, tetapi tidak ada pengakuan atas kelompok-kelompok tertentu, perbedaan budayanya, dan kepentingan yang muncul dari perbedaan tersebut. Penolakan pengakuan yang berulangkali bisa menyebabkan kekerasan.
Prinsip kedua yang menentukan model kebangsaan terkait dengan ketentuan-ketentuan dan saran inklusi. Meski kriteria keanggotaan bisa saja luas dan beberapa kelompok diakui, inklusi mereka mungkin memberikan bagian yang lebih besar kepada budaya atau preferensi tertentu dari suatu kelompok yang hegemonis.
Dalam hal ini, bahasa resmi, kurikulum pendidikan, simbol nasional, praktik agama, atau representasi formal dalam lembaga-lembaga politik bisa memunculkan debat dan konflik. Perundingan bisa berlangsung melalui jalan damai, jika pemerintah dilengkapi dengan saluran atau wadah yang memadai untuk menyuarakan keluhan dan menciptakan tekanan terhadap kelompok yang dominan. Kelompok bisa membuat klaim dan mengendepankan kepentingan mereka melalui sarana kelembagaan formal seperti representasi dalam legislatif, atau sarana-sarana yang lebih informal seperti kritik terbuka melalui media ataupun protes poliik damai (hal 32).
Model Kebangsaan
Buku Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia ini menjelaskan bagaimana berbagai bentuk dari apa yang Jacques Bertrand sebagai “model kebangsaan” dilembagakan, terutama di bawah Orde Baru tapi juga dalam kurun sejarah sebelumnya pada abad ke-20. Rezim Orde Baru memakai konsep sempit tentang bangsa Indonesia dan melembagakannya melalui cara-cara yang menyokong peminggiran dan penyingkiran kelompok-kelompok tertentu, sehingga telah mengakibatkan gagalnya pengembangan sarana inklusi yang memadai bagi kelompok-kelompok yang melihat diri mereka sendiri sebagai suku-bangsa yang berbeda (seperti orang Timor Timur, Aceh, dan Papua), serta memperdalam ketegangan di antara kelompok-kelompok agama.
Buku karya Guru Besar Madya dalam bidang Ilmu-ilmu Politik, Universitas Toronto, Kanada ini semakin tajam ketika menggunakan teori institusionalis historis yang mampu menguak konflik-konflik pada akhir 1990-an sebagai titik simpang kritis baru dalam evolusi model kebangsaan Indonesia. Konflik tersebut muncul dari cara-cara terdahulu yang digunakan untuk menentukan apakah suatu kelompok termasuk, atau tidak, ke dalam model kebangsaan ini dalam berbagai titik simpang sejarah modern Indonesia.
Dari kajian ini, kita mendapat pengertian bahwa bentuk-bentuk pengeroposan politik dapat mempunyai kekuatan kumulatif yang sangat besar untuk membatasi jangkauan negara. Tindakan represif tidaklah melenyapkan ketidakpuasan, tapi membuat ketidakpuasan itu harus diungkapkan melalui saluran yang berbeda-beda atau dibungkam. Yang lebih penting lagi, kekesalan lama tumbuh di bawah stuktur lembaga Orde Baru dan mendefinisikan ulang konflik menurut berbagai cara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar