Meraih Cita
Minggu, 22 Juli 2012
Belajar Kearifan dari Ki Ageng Suryomentaram
Judul : Makrifat Jawa untuk Semua, Menjelajah Ruang Rasa dan Mengembangkan Kecerdasan batin bersama Ki Ageng Suryomentaram
Penulis : Abdurrahman El-‘Ashiy
Penerbit: Serambi, Jakarta
Terbit : 2011
Tebal : 310 Halaman
Jateng Pos, Resensi, Minggu, 22 Juli 2012
Tanah Jawa telah melahirkan banyak pemikir besar. Sebut saja Wali Sanga, Ranggawarsita, dan Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram lahir pada 20 Mei 1982 dengan nama kecil B.R.M. (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji, sebagai putra ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamangku Buwono VII, yang bertakhta di keratin Ngayogyakarta Hadiningrat. Ibudanya bernama B.R.A (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putrid Patih Danurejo VI yang kemudian bergelar Pangeran Cakraningrat.
Ki Ageng meninggal pada Minggu Pon 18 Maret 1962 pukul 16.45 dalam usia 70 tahun.
Jalan pikiran Ki Agen mirip dengan J. Krishnamurti dari India (1895-1986), Zarathusta dari Persia (abad ke-7-6 SM) dan Sokrates dari Yunani (469-399 SM). Krishnamurti mendasarkan ajarannya pada pengetahuan tentang diri sendiri (self knowledge), yang kurang lebih sama dengan Ki Ageng yang mendasarkan ajarannya pada pemahaman atas diri sendiri (pangawaikan pribadi) (hal. 37).
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang diajarkan Ki Ageng Suryomentaram bukanlah pelajaran agama atau aliran kebatinan (paguron), dan bukan pula ajaran budi pekerti yang menganjurkan dan melarang tingkah laku tertentu. Begitulah beliau menegaskan dalam pembukaan wejengannya tentang ilmu pengetahuan, yang kemudian tertangkap secara implicit sebagai semacam epistemology.
Ya, karena sebelum beliau mendedah ajarannya ini dengan lebih mendalam, lebih dahulu beliau mendefinisikan bahwa pengetahuan (kawruh) adalah hasil mempelajari atau memahami sesuatu yang telah benar-benar diketahui. Sedangkan berbagai pemahaman yang benar atau pengertian yang telah terorganisasi dalam ruang rasa, beliau menyebutnya sebagai ilmu.
Karena itu, ilmu pengetahuan menerut Ki Ageng adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap manusia sebagai halnya makanan dan minuman atau bahkan udara, dalam kaitannya demi melangsungkan hidup dan kehidupan. Obyek pengetahuan yang bisa benar-benar diketahui oleh semua manusia adalah dua macam. Yang pertama, obyek pengetahuan yang hanya bisa diketahui secara menyeluruh atau total (gemblengan/mujmal), yang Ki Ageng istilahkan sebagai barang asal (ashalah).
Barang asal adalah sesuatu yang bersifat tanpa hitungan (tanpa cacah), tidak kasat-mata, dan tak beruang-waktu. dan yang kedua adalah obyek pengetahuan yang bersifat terperinci (roncern/tafshili), dan Ki Ageng menyebutnya sebagai barang jadi (atsar) atau yang diwujudkan (dumedi/mawjud).
Barang jadi diadakan oleh barang asal. Karena itu pengetahuan yang berkaitan dengan barang asal, oleh Ki Ageng disebut sebagai pokok ilmu pengetahuan (ghayah al-ilm). Cara memikirkan ilmu barang asal berbeda atau bahkan berlawanan dengan memikirkan ilmu barang jadi. Memikirkan ilmu barang asal tidak memerlukan pertanyaan berapa, bagaimana, di mana, dan kapan. Sedangkan memikirkan ilmu barang jadi harus dengan pertanyaan berapa, bagaimana, di mana, dan kapan.
Karena barang asal bersifat tetap dan tidak mengalami perubahan (konstan), maka ilmu tentang barang asal pun bersifat tetap dan tidak akan berkembang sampai kapan pun. artinya, seseorang hanya bisa memahaminya secara menyeluruh atau tidak bisa memahaminya sama sekali.
Jadi, tidak ada pemahaman terhadap barang asal yang hanya setengah-setengah. Sedangkan terhadap barang jadi yang bersifat tidak tetap karena bisa mengalami perubahan dan perkembangan (relatif), ilmu yang berkaitan dengannya pun tidak tetap dan bisa saja memiliki pemahaman yang nanggung atau setengah-setengah terhadap barang jadi ini.
Berpikir Objektif
Berhubung seluruh makhluk hidup yang dapat berpikir di alam semesta hanyalah manusia, maka dalam realitas kehidupan ini, manusia harus dijadikan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Dan manusia, menurut Ki Ageng, mampu berpikir objektif (benar-benar mengetahui), meskipun kebanyakan dari mereka lebih berpikir subjektif (mengira mengetahui/sok tahu).
Berpikir objektif adalah benar-benar merasakan, memahami, dan dapat menyaksikan objek yang dipikirkannya tanpa penghalang (hijab). Sedangkan berpikir subjektif adalah tidak benar-benar merasakan, tidak benar-benar memahami, dan tidak dapat menyaksikan objek yang dipikirkannya secara langsung. Karena itu, manusia yang berpikir subjektif sesungguhnya adalah manusia yang tidak realistis, karena ia hanya menuntut pengharapannya atas objek yang ia pikirkan.
Jadi, berpikir objektif adalah melakukan eksplorasi tanpa batas. Bahkan terhadap objek yang tidak bisa diketahui oleh pikiran sekalipun, ia tetap bisa mengeksplorasi. Contohnya adalah ketika memikirkan kejadian alam semesta.
Apakah yang telah terjadi sebelum ada langit dan bumi? Dan apa pula yang terjadi sebelumnya? Pertanyaan sejenis itu bisa terus diperpanjang, namun kita harus jujur mengatakan bahwa kita tidak tahu. Begitu juga dalam memikirkan setelah bumi dan langit lenyap, apakah yang akan terjadi? Kita harus jujur mengatakan bahwa kita tidak mengetahui jawabannya. Titik (hal. 78).
Buku ini menyuguhkan salah satu satu khazanah kearifan yang kaya dari “Sang Matahari Jawa”, Ki Ageng Suryomentaram. Sang Pencerah dari Mataram ini dipandang berhasil membumikan ajaran adi luhung leluhurnya. Dengan bahasanya yang sederhana, dia juga mampu menerangkan berbagai wacana filsafat tentang awal mula dan akhir alam semesta ke dalam penjelasan yang mudah dicerna.
Apa yang diretas oleh Ki Ageng merupakan khasanah intelektual Nusantara. Kehadiran buku ini yang mendedah pemikiran Ki Ageng seakan menambah bukti bahwa kita tidak usah terlalu silau dengan keagungan karya pemikir luar negeri. Nusantara telah melahirkan banyak pemikir besar. Dan menjadi kewajiban bagi kita untuk mengkali dan memunculkannya ke tengah jagat pemikiran modern.
*)Benni Setiawan, blogger buku, bertualangkata.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar