Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 23 Mei 2011

Belajar dari Bajak Laut



Jawa Pos, Minggu, 22 Mei 2011

Judul : Tinggalkan Sekolah sebelum Terlambat, Belajar Cerdas Mandiri dan Meraih Sukses dengan Metode Bajak Laut
Penulis : James Marcus Bach
Penerbit : Kaifa, Bandung
Tebit : April, 2011
Tebal : 280 halaman


“Jadikan setiap tempat sekolah, dan jadikan setiap orang guru”. Itulah petuah bijak Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional yang namanya senantiasa dikutip setiap bulan Mei.

Ironisnya, penyebutan ini hanya sampai pada kerongkongan. Tidak sampai sebuah penghayatan kehidupan. Karena itu, tidak aneh jika pendidikan Indonesia tidak punya visi. Pendidikan bagaikan mengelola perusahaan dengan mencari untung sebesar-besarnya dengan mengekang seluruh pelaku pendidikan. Mereka tidak mempunyai imajinasi yang dapat mengubah dunia. Semuanya dikerdilkan demi memuaskan nafsu pendidikan ala pemerintah.

Menilik kondisi yang demikian, jangan harap pendidikan Indonesia mampu memanusiakan manusia sebagaimana harapan Romo Driyarkara. Alih-alih memanusiakan manusia, pendidikan Indonesia belum mampu memanusiakan diri sendiri sebagai potensi mandiri anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

Kondisi demikian sudah saatnya disadari oleh stakeholder pendidikan Indonesia. Pendidikan harus dikembalikan ke ranah yang benar. Yaitu mendorong peserta didik berpikir bebas dan lepas dari sekat-sekat primordial.



Metafora Bajak Laut

Nah, buku Tinggalkan Sekolah Sebelum Terlambat ini mengajarkan bagaimana manusia dapat bebas dari keterkungkungan insani. Yaitu dengan metafora menjadi bajak laut.

“Menjadi bajak laut”adalah sebuah metafora besar tentang cara belajar yang diterapkan oleh sejumlah orang. Itu memberi rasa nyaman dan dukungan pada sebagian orang yang pikirannya cenderung pada sebagian orang yang pikiran-pikirannya yang mau-tidak mau berkelana. Beberapa orang menyebutnya”gangguan pemusatan perhatian” (attention deficit disorder). Sebenarnya bukan itu, dia lebih mirip rasa ingin tahu yang tidak dapat dihambat.

Bajak laut memicu pembentukan diri yang tiada henti. Para bajak laut yang sesungguhnya berlayar dengan kapal-kapal di laut. Orang-orang yang belajar seperti bajak laut menggunakan pikiran sebagai kendaraan mereka, dan berlayar di samudera ide.

Para bajak laut mengawali pelayaran mereka untuk mencari harta karun. Orang-orang yang belajar seperti bajak laut merancang kurikulumnya sendiri. Mereka mengawali sebuah pelayaran untuk mencari pengetahuan.

Para bajak laut menggunakan ancaman dan kekerasan untuk mencapai tujuan akhir mereka. Orang-orang yang belajar seperti bajak laut tidak menyukai kekerasan fisik: mereka adalah orang-orang yang berani dengan hasrat intelektual yang bergelora. Untuk harta karun yang mereka cari, mereka menggunakan metode pencarian yang unik, bukan kekuatan senjata.

Para bajak laut mencari kekayaan material, seperti emas batangan, permata, dan mata uang perak kuno yang dinamai pieces of eight. Kekayaan yang dicari oleh orang-orang yang belajar seperti bajak laut adalah kekayaan yang tidak dapat disentuh, tetapi bukan berarti kurang berharga: berbagai jenis pengetahuan, keahlian, rahasia-rahasia besar, keterkaitan dengan pikiran-pikiran lain, dan pribadi yang terus-menerus tumbuh menjadi lebih kuat (hal 38-39).



Dekonstruksi Kemapanan

Penulis buku ini, James Marcus Bach, pernah drop-out dari SMA. Ia lalu belajar otodidak dan menjadi manajer di Apple Computer, pembicara, dan pengajar di bidang pengujian perangkat lunak di sejumlah laboratorium dan universitas top di berbagai negara. Bach ingin menunjukkan bahwa upaya untuk meraih kecerdasanlah yang membuat Anda cerdas, bukan hanya IQ yang dibawa sejak lahir, atau sederet ijasah formal.

Anda tak harus menjadi pelaut untuk bisa mengarungi samudra kehidupan nan luas. Bajak laut juga sanggup melakukan itu—kadang bahkan lebih hebat daripada pelaut “sekolahan”. Buku ini bercerita tentang kegembiraan kita karena bertanggung jawab atas pemikiran-pemikiran kita sendiri.

Tulisannya sangat blak-blakan, liar, dan nakal, namun sangat inspiratif. Sementara itu, metode-metodenya—belajar ala bajak laut—sangat unik dan ingin mentrasfer cara belajar mandiri kepada setiap pembaca. Buku ini adalah karya cerdas tentang cara menjadi orang cerdas yang berbeda.

Buku ini ingin mendekontruksi kemapanan sistem pendidikan yang berlangsung di berbagai belahan dunia. Pendidikan bukan hanya duduk manis di bangku sekolah guna mendapatkan gelar berderet. Pendidikan adalah cara membebaskan imajinasi dan merangkainya menjadi spirit guna menghadapi persoalan kehidupan.

Sebagaimana diakui penulisnya, buku ini tidak berbicara tentang sekolah. Namun, Bach berbagi pengalamannya tentang sekolah untuk menekankan beberapa perbedaaan antara mendidik diri –sendiri dan pendidikan formal.

Apa yang dikemukakan Bach di atas telah diretas oleh founding fathers bangsa ini. Bapak-bapak Pendidikan Indonesia seperti Ki Hajar Dewantara, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’arie, Driyarkara, dan YB Mangunwijaya telah meletakkan dasar pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada kerja dan ijasah. Pendidikan merupakan pengagungan akan fitrah kemanusiaan sebagai makhluk berpikir.



Benni Setiawan, Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar