Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 21 Juni 2010

Membuka Selubung Hitam Genk Remaja

Resensi, Kedaulatan Rakyat, 6 Juni 2010 Mengapa aksi brutal genk motor terus saja berlangsung. Ada apa di balik maraknya genk remaja di Indonesia? Buku Genk Remaja: Anak Haram Sejarah ataukah Korban Globalisasi karya Doktor Sosiologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini setidaknya menjawab dua pertanyaan mendasar di atas. Dalam buku ini dijelaskan bahwa keberadaan genk remaja sebagai fenomena sosial merupakan hasil interaksi konteks sosial-politik global, nasional maupun lokal. Mereka ada bukan dengan tiba-tiba. Namun, dari proses imitasi (meniru-niru). Salah satunya dari menonton televisi dan film. Mereka belajar dari polah tingkah bintang film yang ia tonton, mulai dari gaya bergaul, berpakaian, dan bicara. Apa yang mereka tonton adalah tren yang wajib ditiru. Lebih dari itu, buku ini berfungsi sebagai sebuah jendela lebar untuk memahami alam pikir dan ekspresi budaya darah muda remaja yang menyalurkan gelora jiwa melalui genk remaja. Perkembangan genk remaja sejak dekade 1980-an hingga 2000-an dijelaskan secara gamblang, penuh canda tawa, dan memikat khas ala Yogyakarta. Kelebihan buku ini juga terletak pada analisis perspektif budaya Jawa (pewayangan). Di dunia wayang, dibedakan antara pelayan tokoh baik dan pelayan tokoh jahat. Pelayan tokoh baik diwakili oleh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Pelayan tokoh jahat diwakili oleh Togong dan Sawarita (mBilung). Togong adalah seorang konselor bagi mereka yang berada di sayap kiri, yaitu tokoh-tokoh yang berwatak jahat. Seperti Dursasana dan Duryudana. Sedangkan mBilung adalah tokoh yang lucu dan sangat karikatural. Ia gagap dalam menggunakan bahasa Jawa, dan lebih suka berbahasa Indonesia atau bahkan juga bahasa Inggris. Namun, dalam menggunakan bahasa Indonesia apalagi bahasa Inggris pun dia sering salah dan belepotan, tapi tetap juga memaksakan dirinya agar tampak bergaya. Dosen pada jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini mengakui bahwa gambar Togog yang tengah berkhayal menjadi Rambo, yang menghiasi sampul buku ini; sengaja ditampilkan sebagai sebuah refleksi sekaligus otokritik, jangan-jangan para remaja dan kita semua para orangtua adalah representasi tokoh Mbilung dan Togong. Nilai kondisi psikoligisnya “99% hampir waras” sukanya membuat keributan dan kekacauan di muka bumi dengan alasan hanya sekadar untuk hiburan (hal 13-14). Walaupun buku ini lebih banyak berbicara mengenai genk remaja dalam konteks lokal (Yogyakarta), namun buku ini patut dibaca oleh orangtua, pelajar, pendidik, akademisi, mahasiswa, penegak hukum, dan siapapun sebagai sebuah pengantar dan referensi guna mengetahui seluk beluk serta membuka selubung hitam genk remaja. Selamat membaca. *)Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar