Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 25 Mei 2014

Mengulik Garuda Muda

Oleh Benni Setiawan

Resensi Buku Koran Sindo, Minggu, 25 Mei 2014



Membanggakan. Itulah kata yang tepat menggambarkan prestasi Timnas U-19. Mereka seakan mengobarkan semangat garuda yang mengepakkan sayap di bidang olahraga yang paling digandrungi oleh masyarakat: sepak bola.

Sepak bola seakan telah menjadi agama kedua bagi masyarakat di belahan bumi mana pun. Gaung sepak bola menjadi kebanggaan, bahkan kekalahan. Artinya, jika sebuah tim sepak bola memenangkan sebuah pertandingan di tingkat lokal maupun internasional, kebanggaan menjadi sebuah kenikmatan yang luar biasa.

Sebaliknya, jika kekalahan melanda sebuah tim, hal ini dapat menjadi hal yang memalukan bahkan sebuah aib. Karena itu, membangun kebanggaan sebuah bangsa melalui sepak bola seakan menjadi sebuah keniscayaan. Kebanggaan bersepak bola itu seakan kini sedang diretas oleh Garuda Muda. Tim nasional usia di bawah 19 tahun menjadi awal kebanggaan mewujudkan kehormatan sebuah bangsa di pentas internasional.

Kerja Keras

Buku Official Book TIMNAS U-19, Garuda Jaya ini menyuguhkan sebuah fakta unik, yaitu keberhasilan Timnas U- 19 tak lepas dari kerja keras dan pengalaman pribadi para pemainnya. Buku karya Andibachtiar Yusuf & Eko Priyono dengan gamblang menunjukkan perjuangan meraih prestasi dan kebanggaan merupakan usaha dan kerja keras. Lihatlah betapa Evan Dimas Darmono, Kapten Timnas U- 19.

Sebelum tenar karena prestasinya di Timnas U-19 dia harus menjalani pahit getirnya kehidupan. Pahit getir itulah yang mengantarkannya menuju sukses hari ini. Jangan bayangkan apa yang didapat Evan mudah diraih. Semua diperjuangkan dengan keringat, bahkan air mata. Tidak ada yang instan. Lahir dari keluarga sederhana, Evan kecil sulit memperoleh apa yang diinginkan. Untuk membeli sepatu sepak bola pun harus menunggu orang tuanya memiliki uang.

Ayah Evan pernah berprofesi sebagai petugas keamanan dan penjual sayuran. Ibunya hanya mengurus rumah tangga. Ibunya pernah pula bekerja “serabutan” untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bisa dibilang, kondisi Evan dan keluarganya pas-pasan. Evan baru bisa memiliki sepatu sepak bola pada usia sembilan tahun. Dibeli dari hasil keuntungan sang ayah saat berjuangan sayur keliling kampung. Kemudian Ibu Evan membelikan sepasang sepatu sepak bola merek Diadora seharga Rp20.000.

Sepatu yang terlalu besar di kaki Evan ini hanya bertahan tiga minggu. Evan pun pernah diledek karena meminjam sepeda motor tetangganya ketika ingin latihan. Semua cerita itu justru memoles ketangguhan Evan. Dia percaya, roda kehidupan berputar. Asal mau kerja keras, tidak ada yang mustahil (halaman 4-5). Cerita serupa dialami Putu Gede Juni Antara. Putu sempat murung dan menangis garagara sepatu bola. Keinginan memiliki sepatu bola terinspirasi saat ia menonton televisi.

Dia ingin mencoba main sepak bola dengan sepatu bola. Sebelum bergabung dengan Timnas U-19, Putu pernah mengalami kegagalan. Ia sempat dinyatakan tidak lolos dalam seleksi menembus tim Perseden Denpasar U-15. Di tengah kegundahan itu dia dengar nasihat ayahnya, bahwa jalan masih panjang. Berkat tekad yang bulat itu dia ingin lebih sukses untuk keluarga dan bangsa. Kenangan dua pria kelahiran, Surabaya, 13 Maret 1995 dan Denpasar, 7 Juni 1995 itu mengguratkan kisah betapa kesuksesan bukanlah kerja instan.

Kesuksesan merupakan buah dari kerja keras, kesabaran, dan kegigihan untuk terus maju. Saat kesuksesan telah teraih, apa yang pernah dilalui menjadi buah yang terasa manis. Hal itulah yang kini juga dirasakan oleh Dimas Sumantri. Di awal meretas karier sebagai pesepak bola, Dimas sering mendapatkan ejekan dari teman sepermainannya. Dulu, kontrol bola Dimas payah. Bola sering hilang di kakinya. Akan tetapi, dia yakin suatu hari bisa berprestasi supaya ejekan itu berubah menjadi pujian.

Talenta Muda

Keyakinan Dimas dibantu dukungan penuh dari kedua orang tuanya. Bapak Dimas, Sutrisno, yang sempat menjadi pesepak bola, rajin mengingatkan Dimas untuk tidak gampang menyerah. Karena semangat dari ayahnya itu dia pun kini mampu berujar, “Siapa pun bisa meraih prestasi setinggitingginya asal mau bekerja keras,” (halaman 29). Pesan manis untuk anak bangsa juga mengalun tulus dari Muchlis Hadi Ning Syaifulloh.

Pria kelahiran Mojokerto, 26 Oktober 1996, ini mengungkapkan, “Kadang merasa malu, tetapi mau bagaimana lagi. Saya terus bersemangat. Saya memegang prinsip pantang menyerah. Pokoknya tetap berusaha sebaik mungkin dan jalan menuju prestasi akan terbuka,” (halaman 51).