Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 11 Mei 2015

Belajar itu Menyenangkan

Oleh Benni Setiawan

Resensi Buku, Radar Surabaya, 10 Mei 2015.


Judul : CTL (Contextual Teaching & Learning), Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikan dan Bermakna
Penulis : Elaine B Johnson, Ph.D
Penerbit: Kaifa Learning, Bandung
Cetakan : Desember, 2014
Tebal : 352 halaman

Belajar itu menyenangkan. Melalui proses yang menyenangkan siswa akan betah dan nyaman dalam belajar. Ia akan mampu menerima dan mengembangkan ilmu sesuai dengan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia.

Namun, seringkali yang kita jumpai di dalam proses pendidikan, belajar masih jauh dari kata menyenangkan. Belajar seakan menjadi paksaan. Belajar pun masih sekadar hubungan simbolik antara guru dan siswa. Guru paling pintar, dan siswa adalah makhluk yang kurang pintar. Siswa pun tak betah di sekolah. Jika mereka berangkat hanya sekadar memenuhi “standar” presensi. Saat mereka telah keluar kelas, dan atau telah lulus, mereka tak mendapatkan ilmu apa-apa.

Mengingat kondisi itu, buku CTL (Contextual Teaching & Learning), Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna ini hadir. Buku karya Elaine B Johnson ini ingin membuktikan bahwa proses belajar-mengajar dapat dilakukan dengan cara-cara yang humanis. Melalui cara itu, hubungan antara guru dan siswa pun menjadi sangat akrab. Siswa merasa terayomi, dan guru tidak merasa berat dengan beban mengajar. Metode yang ditawarkan oleh Direktur Eksekutif MBM an Rekan, sebuah konsultan para pendidik dan pelaku bisnis ini adalah dengan CTL.

Mengaitkan Informasi
CTL adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerapkan pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima. Mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengalaman dan pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya (halaman 14).

Ketika siswa dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran akademik seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, atau sejarah dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan maka memberi mereka alasan untuk belajar. Mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah inti dari cara CTL (halaman 90).

Bisa dikatakan pengaitan paling ampuh adalah pengaitan yang mengundang siswa untuk membuat pilihan, menerima tanggungjawab, dan memberikan hasil yang penting bagi orang lain.

Perdamaian Berbasis Kesamaan

oleh Benni Setiawan

"Resensi" Koran Sindo, Minggu, 10 Mei 2015


Judul : The Harmony of Humanity, Teori Baru Pergaulan Antarbangsa Berdasarkan Kesamaan Manusia
Penulis : Prof. Dr. Raghib as-Sirjani
Penerbit : Pustaka al-Kautsar, Jakarta
Cetakan : 2015
Tebal : xii + 784 halaman


Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. al-Hujurat, 14: 13).

Ayat di atas menegaskan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Artinya, ia tidak dapat hidup sendiri. Ia membutuhkan orang lain. Manusia pun tidak dapat hidup tanpa keluarga sebagai tempat berlindung satu sama lain.

Kemaslahatan Bersama

Tampaknya potret keluarga inilah yang mendasari tesis The Harmony of Humanity. Dan jika menilik lebih jauh dalam sejarah panjang umat manusia. The Harmony of Humanity menjadi semacam pengungkit bahwa selayaknya manusia hidup damai dalam ragam perbedaan yang ada. Perbedaan bukan menjadi alasan untuk membenarkan konflik.

Sebaliknya, yang perlu terus disuarakan adalah kesamaan umat manusia menuju kemaslahatan bersama. Berbagai klan manusia dihadapkan pada dua pilihan cara untuk menggapai berbagai kepentingan, yaitu muslihat dan benturan atau pergaulan dan hidup bersama. Kita dapat melihat bahwa pergaulan selalu lebih baik, afdal , dan cocok dengan berbagai suku ”cerdas” itu, yang sangat sadar mengetahui bahwa maslahat yang ingin mereka wujudkan itu sebenarnya adalah maslahat bersama yang bersifat umum.

Ini bukan berarti bahwa pergaulan menjadi logika yang dominan, karena ada saja orang yang memenuhi kepentingan pribadi tanpa memedulikan kepentingan orang lain. Itulah sebabnya, benturan dan muslihat menjadi caranya untuk menggapai keinginannya (halaman 23). Buku karya Profesor Raghib as-Sirjani ini ingin mengukuhkan bahwa tak ada alasan bagi manusia untuk bermusuhan (konflik).

Pasalnya, manusia mempunyai banyak kesamaan sebagai modal membangun kerukunan dan perdamaian. Salah satu kesamaan itu adalah apa yang ia sebut sebagai kesamaan tertinggi. Kesamaan tertinggi adalah setiap manusia memiliki gambaran tertentu tentang Tuhan. Gambaran itulah yang menjadi keyakinan (akidah) yang kuat sehingga tidak mudah untuk dicabut selamanya.

Keyakinan inilah yang dapat menjadi tempat bernaung puluhan suku, ras, dan warna kulit. Namun seiring dengan itu, ia juga dapat menjadi penyebab konflik yang parah. Oleh sebab itu, yang harus dilakukan adalah jangan pernah mengusik keyakinan pihak lain (halaman 133).

Kesamaan Akal

Selain itu, manusia juga mempunyai kesamaan umum, dalam hal ini adalah kepemilikan akal. Kesamaan umum akal bertujuan agar berbagai suku bangsa dapat bertemu pada hal-hal yang rasional, bukan spiritual; pada dalildalil dan bukti-bukti kebenaran, bukan pada kesan pikiran atau perasaan ataupun hal-hal gaib. Di titik inilah akan terjadi koneksi dan pergaulan (halaman 138).

Dengan demikian, pelarangan penggunaan akal dalam kehidupan merupakan hal yang aneh. Pasalnya, larangan penggunaan akal menunjukkan cacat serta kesia-siaan pada kemanusiaan. Tidak diragukan lagi, hal itu akan menyeret ke arah peperangan dan konflik. Saat akal telah teroptimalkan dengan baik, maka ia akan menghasilkan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan tentang kehidupan memiliki peran signifikan dalam perjalanan menentukan pertemuan peradaban antarbangsa meskipun jarak mereka relatif berjauhan. Ilmu pengetahuan pun mampu mewujudkan kepentingan- kepentingan kolektif agar setiap peradaban dapat maju dan berkembang dengan pengalaman peradaban lain (halaman 411).

Oleh karena itu, dialog besar haruslah dilakukan antarkaum intelektual dan cendekiawan di dunia ini untuk merumuskan perjanjian kehormatan yang membahas tentang komitmen-komitmen standar yang harus dipenuhi, dan wajib dijaga oleh ruang seni. Ruang seni merupakan wadah kesamaan umum. Maka itu, pelanggaran terhadapnya merupakan perlawanan terhadap karakter manusia dan hak naluriahnya.

Ditambah lagi dengan ruang kesamaan tertinggi, yang pelanggaran dan permusuhan terhadapnya sama artinya dengan permusuhan terhadap simbol kesucian agama yang tertanam mendalam dalam emosional umat. Sungguh, tidak seorang pun mendapat kebaikan jika seni dijadikan sebagai senjata perang (halaman 547).

Pembenar dan Tafsir

Lebih lanjut, tesis utama dalam karya ini adalah kesamaan umat manusia dan urgensitasnya merupakan dasar pemersatu umat manusia. Saat manusia mencari perbedaan, maka ia sedang menggali kuburnya sendiri. Pasalnya, manusia seakan mencari pembenar untuk melakukan permusuhan dan peperangan.

Namun, saat manusia mencari persamaan sesamanya, ia sedang membangun sebuah peradaban baru berdasarkan cinta kasih tanpa batas. Buku ini menjadi jawaban ilmiah atas beberapa tesis terdahulu, seperti The End of History ala Francis Fukuyama dan The Clash of Civilizations anggitan Samuel P Huntinton. The Harmony of Humanity membawa angin segar bagi terciptanya perdamaian dunia didasarkan pada kesamaan manusia bukan pada perbedaan.

Pada akhirnya, buku karya cendekiawan asal Mesir ini pun secara ilmiah menjadi pembenar dan ”tafsir” terhadap Quran Surat al-Hujurat (49:13) di atas. Semoga kehadiran buku ini menjadi pemantik bagi umat manusia untuk dapat hidup rukun dan damai dalam bingkai kesamaan dan kemaslahatan bersama.