Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 06 Juni 2011

Kisah Cinta Sukarno dengan Sembilan Istrinya


Analisis News, Senin, 6 Juni 2011

Judul : Istri-istri Sukarno
Penulis : Reni Nuryanti, dkk
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Terbit : September, 2007
Tebal : xi + 271 Halaman

Sukarno dan perempuan cantik. Sebuah kata yang tidak bisa dipisahkan. Di mana Sukarno singgah, ia senantiasa mampu memikat perempuan-perempuan cantik yang kemudian dinikahinya. Untuk urusan yang satu ini, Sukarno memang jagonya. Ia berperawakan tinggi besar, ganteng, dan mempunyai kharisma pemimpin yang tangguh. Modal sosial inilah yang menjadikan banyak perempuan jatuh hati kepada sosok Sukarno.

Setidaknya ada Sembilan istri Sukarno yang tercatat dalam sejarah. Yaitu Siti Utari Tjokroaminoto, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manopo, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar.

Istri-istri Sukarno mempunyai keunikan tersendiri. Mereka hadir dalam diri Sukarno pun dalam masa yang berbeda-beda. Mereka seperti mengiringi kebesaran Sukarno memimpin Republik.

Buku Istri-istri Sukarno ini bercerita tentang kisah cinta, keharuan, dan darma bakti seorang perempuan pendamping Sukarno. Buku ini tidak hanya mengulas dengan baik tentang kepribadian kesembilan istri Sukarno. Namun, juga mengetengahkan kemanusiaan Sukarno dan istri-istrinya. Artinya, kisah pertemuan, proses cinta, dan akhirnya menuju pelaminan diurai secara lugas oleh penulis-penulis muda berbakat yang menggeluti sejarah di bangku kuliah.

Seperti kisah cinta Sukarno dengan Naoko Nemoto (Ratna Sari Dewi). Gadis Sakura Jepang yang bertemu Sukarno saat perjalanan dinas ke Jepang ini tidak hanya penuh kontroversi, namun ia menjadi jembatan emas penghubung hubungan diplomatik Indonesia-Jepang dalam bidang perekonomian. Berkat Ratna, hingga kini hubungan Indonesia-Jepang hingga kini berjalan harmonis dan mesra. Sebagaimana keharmonisan cinta Sukarno dan Naoko Nemoto. Hubungan diplomatik yang intim ini pun kini dinikmati masyarakat Indonesia dan kalangan menengah atas dalam jejering bisnis otomotif dan perdagangan.

Kenyataan ini semakin dikuatkan oleh keinginan Sukarno untuk selalu dekat dengan Ratna. Dalam sebuah surat cintanya, Sukarno menyatakan keinginan hatinya untuk selalu didampingi oleh Ratna. Jika Ratna meninggal, Sukarno berkeinginan berada dalam satu liang lahat. Sebuah kehormatan bagi Ratna dan bangsa Jepang untuk terus bersanding dengan founding fathers bangsa Indonesia.

Demikian pula, dengan kisah cinta antara Sukarno dengan gadis muda belia berusia 16 tahun siswa SMA VII Jakarta, Yurike Sanger. Sebagai gadis belia, tentunya Yurike yang kemudian disebut Sukarno sebagai Yuriwati ini tidak kuasa menolak cinta kasih Sukarno.

Rasa cinta yang melekat pada diri Yurike kepada Sukarno dibarengi rasa kagum dan keteladanan. Dari sinilah muncul alasan mengapa Yurike begitu memuja Sukarno. Bahkan, Yurike yang masih muda pun dengan kecantikan yang menawan, tidak begitu tertarik oleh ketampanan pemuda usia sebaya (hal 215).

Sukarno memang hebat. Ia tidak hanya mampu mengayomi perempuan muda cantik, namun juga mampu menjadi pendamping bagi beberapa orang janda.

Kepandaian Sukarno mengambil hati perempuan baik lewat untaian surat ata ucap, menjadi rahasia cinta yang sulit dicari bandingannya. Sukarno begitu pandai membaca mata hati perempuan. Ia juga pandai menyesuaikan dengan perempuan mana ia berhadapan. Kepada Utari, ia memanggilnya Lak, Inggit ia panggil Enung, Fatma dipanggilnya Sayang, Hartini dan Kartini semuanya dipanggil Tien sayang, Yurike dipanggilnya Yuri sayang, dan kepada Heldy Djafar yang konon menjadi istri termuda, Sukarno memanggilnya khas, Dik Heldy (hal 244).

Pada akhirnya, buku ini tidak hanya menyuguhkan kisah cinta Sukarno dengan sembilan perempuan ayu nan rupawan. Namun, mengulas sisi-sisi manusia Sukarno dan istri-istrinya yang mungkin terselip dalam lembaran sejarah. Selamat membaca.


*)Benni Setiawan, Pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar