Meraih Cita

Meraih Cita

Sabtu, 04 Juni 2011

Persaingan Dagang Dua Raksasa Ekonomi Asia



Judul : Matahari Terbit dan Tirai Bambu; Persaingan Dagang Jepang-Cina di Jawa Pada Masa Krisis 1930-an dan 1990-an
Penulis : Nawiyanto
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Terbit : 2010
Tebal : 148 Halaman

Analisis News, Rabu, 01 Juni 2011

Jepang dan Cina merupakan dua raksasa ekonomi Asia. Mereka bersaing mendapatkan tempat dan konsumen baru dari pelbagai penjuru dunia. Salah satunya di Indonesia. Khususnya di Jawa sebagai pusat perekonomian Indonesia.
Jawa menjadi pasar potensial persaingan dua raksasa ekonomi Asia ini. Jepang dan Cina menawarkan produk dengan harga yang jomplang (tidak seimbang). Rata-rata produk Jepang berharga mahal dengan jaminan kualitas yang lebih baik. Dan Cina dengan kualitas standar dengan bandrol harga yang lebih murah.
Dalam buku Matahari Terbit dan Tirai Bambu; Persaingan Dagang Jepang-Cina di Jawa Pada Masa Krisis 1930-an dan 1990-an ini sebagaimana cacatan Peter Post, berargumen bahwa tidak hanya persaingan harga menjadi basis persaingan Jepang dan Cina dalam pasar Impor Jawa. Faktor-faktor non-harga—khususnya pada 1990-an—termasuk iklan lewat media cetak dan elektronik, service gratis, bonus, dan berbagai fasilitas kredit memainkan peran sama pentingnya.
Hal ini merupakan argumen penting dalam buku ini dan argument yang sejauh ini hampir tidak menjadi wacana akademis utama dalam ekonomi Indonesia. seperti ditunjukkan Nawiyanto, pemanfaatan yang berhasil atas faktor-faktor non-harga bergantung pada pengetahuan yang intim atas pasar. Sementara Jepang berada di atas angin pada 1930-an serta selama 1970-an dan 1980-an, tampaknya sejak 1990-an perusahaan-perusahaan Cina melakukan bisnis lebih baik.
Oleh karena itu, masih perlu dilihat apakah Jepang akan dapat membalik arus dan mampu bersaing dengan Cina di pasar Jawa. Hal ini merupakan sesuatu yang sulit ditebak. Meskipun ekonomi Jepang dan bisnis Jepang di luar negeri selalu memperlihatkan daya tahan yang luar biasa dan mampu mengatasi berbagai kemunduruan ekonomi, tampaknya persaingan dengan adidaya ekonomi Cina adalah hal berbeda. Dekade mendatang tidak diragukan lagi akan memperlihatkan siapa pemenang atau pecundang dalam pasar impor Jawa, Jepang atau Cina.
Pemenang atas persaingan bisnis besar ini juga tidak bisa dilepaskan dari “permainan mata” antara pengusaha kedua negara dengan pengambil kebijakan di negeri ini. Hal ini sangat kentara ketika pejabat Indonesia dalam hal ini legislatif dan eksekutif. Inilah yang belum banyak dikupas oleh Nawiyanto dalam buku ini. Padahal dalam konteks sejarah sosial, hal ini penting dilihat sebagai pembanding apakah ada pengaruh antara kebijakan dan peran penerimaan pengusaha mengembangkan sayap bisnisnya di Jawa atau Indonesia.
Walaupun demikian, buku ini telah meletakkan dasar pengetahuan yang cukup bagus dalam menjabarkan tentang persaingan bisnis dua raksasa ekonomi di Asia (Jepang dan Cina). Buku karya Alumnus Australian Nasional University ini kaya akan data dan literatur yang menjadi kekuatan dalam mendasarkan kajian dalam historiografi Indonesia modern.
Pada akhirnya, buku ini layak mendapat apresiasi masyarakat pengkaji sejarah ekonomi bangsa guna meneropong masa depan kekuatan ekonomi dunia dan kesiapan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kearifan sekaligus sumber daya manusia dan ekonominya. Selamat membaca.

*)Benni Setiawan, Pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar