Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 30 Mei 2011

Kepemimpinan Jadi Kunci



Judul : The Swordless Samurai
Penulis : Kitami Masao
Penerbit: Zahir Books, Jakarta
Terbit : 2010
Tebal : xvii + 262 Halaman

“Books”, Bisnis Indonesia, Minggu, 29 Mei 2011

”Aku tidak pernah mahir dalam seni berpedang. Bahkan, ronin kelas tiga sanggup mengalahkanku dalam perkelahian jalanan! Aku sadar, aku harus lebih menggunakan otak daripada tubuh, khususnya jika aku ingin kepalaku tetap menempel di leher”.
Itulah petikan petuah bijak Toyotomi Hideyoshi. Sebuah kerendahan hati seorang pemimpin besar yang patut menjadi teladan. Hideyoshi lahir pada tahun 1536 dari sebuah keluarga miskin di Nagoya. Hideyoshi bertumbuh pendek, tidak atletis, tidak berpendidikan, dan berwajah jelek. Daun telinganya besar, matanya dalam, tubuhnya kecil, dan wajahnya dan keriput (sekeriput apel kering), membuat dia tampak seperti kera, sehingga orang memberinya julukan monyet seumur hidupnya.
Hideyoshi lahir pada puncak masa kekacauan Jepang, zaman perang antar-klan, ketika kemampuan bertarung atau dunia kependetaan menjadi satu-satunya cara bagi rakyat jelata yang ambisius untuk melarikan diri dari kehidupan banting tulang sebagai petani. Perawakan Hideyoshi yang hanya setinggi 150 senti dan berbobot lima puluh kilogram serta bungkuk tampaknya menutup peluang untuk berkarier di bidang militer. Namun ia melesat ke atas seperti meteor, ke puncak kekuasaan, sekalius menyatukan negeri yang sudah tercabik-cabik perang saudara selama lebih dari seratus tahun.
Kemampuan Hideyoshi membalik keadaan ini tidak terlepas dari prinsip-prinsip kepemimpinannya. Ia meletakkan dasar kepemimpinan yang belum terpikirkan oleh pemimpin Jepang sebelumnya.

Tujuh prinsip
Buku The Swordless Samurai ini mengurai prinsip-prinsip kepemimpinan Hideyoshi dengan bahasa sastra yang anggun. Prinsip-prinsip tersebut adalah; pertama, pemimpin harus bekerja lebih keras daripada yang lain.
Kedua, keberuntungan memihak mereka yang berani. Pemimpin mesti mengeksploitasi dalam membuat keputusan. Bertindaklah berani pada saat-saat kritis.
Ketiga, dedikasi kepada orang lain akan membuat orang lain berdedikasi kepadamu. Hanya mereka para pengikut yang berdikasi yang bisa mencapai tampuk kepemimpinan. Jika seseorang berhasrat memiliki pengikut setia, terapkan pengabdian untuk itu. Dedikasikan dirimu pada pemimpinmu.
Beberapa mungkin berpikir bahwa konsep ini hanya berlaku untuk pengikut, bukan pemimpin. Tapi mereka yang punya aspirasi untuk memimpin mula-mula harus belajar melayani. Dan mereka yang ingin menjadi atasan bagi orang lain mula-mula harus menjadikan majikan bagi mereka sendiri. Dengan demikian, prinsip-prinsip kepemimpinan berlaku sama untuk atasan maupun bawahan. Kesampingkan kepentinganmu sendiri demi kepentingan pemimpinmu.
Keempat, memiliki visi. Pemimpin besar bisa saja salah—tapi mereka tidak bisa ragu-ragu. Visi yang kuat dan terfokus pada masa depan—hal yang menginspirasi harapan dan kepercayaan diri di antara para pengikut—adalah ciri kepemimpinan utama. Pemimpin besar percaya apa pun bisa dilakukan. Di sanalah terletak rahasia penyelesaian masalah. Hadapi setiap tugas dengan tekad yang mantap.
Kelima, mempersiapkan segala sesuatu dengan matang dan bertindak berani. Pemimpin dan pengikut harus menyadari kelemahan-kelemahan mereka dan mengubahnya menjadi keunggulan. Keberhasilanmu bisa saja bergantung pada hal itu. Pemimpin yang cerdas akan membalikkan situasi, mengubah kelemahan menjadi keunggulan.
Kebesaran sebagai seorang pemimpin diukur dari seberapa besar kemauanmu menerima tantangan yang merisaukan. Raihlah tujuan-tujuan yang berat dengan melaksanakan komitmen. Pertaruhkan semua untuk memenangkan semua. Pemimpin yang menang akan memahami rahasia kemenangan: bertindaklah lebih awal untuk selesai lebih awal.
Keenam, pemimpin yang dicintai mempraktikkan rasa kekeluargaan. Perlakukanlah pengikutmu sebagai keluarga. Kesetiaan berlaku baik dulu maupun sekarang. Kesetiaan bisa didapat, tetapi tidak akan pernah bisa dibeli.
Pemimpin yang menghukum pengikut mereka gara-gara masalah kecil hanya akan menyakiti diri mereka sendiri. Tapi pemimpin yang mencoba menumbuhkan semangat sebesar ia memberi pengaruh adalah pemimpin yang memberlakukan rahasia kebaikan. Maafkanlah kesalahan-kesalahan sepele.
Ketujuh, bentuk tim kreatif. Pemimpin yang bertanggung jawab harus bisa mengayomi. Jangan lupakan kesederhanaan. Jangan manjakan diri kelewat batas. Waspada akan kesombongan. Berpegang teguhlah pada kesahajaan. Jangan pamer. Pemimpin harus menerapkan keseimbangan. Kekang obsesimu. Pemimpin sejati bertindak sesuai dengan ketegasannya. Bersikap tegas untuk menghindari pertikaian.
Buku ini akan membimbing siapa saja yang ingin sukses dalam kepemimpinan. Khususnya dalam kepemimpinan politik kenegaraan.
Pada akhirnya, kisah-kisah kesuksesan akan memberikan inspirasi tapi kesuksesan biasanya bergantung pada keadaan tertentu. Kegagalan, sebaliknya, selalu mengajarkan kita sesuatu. Pemimpin yang efektif harus bisa menerima kesuksesan maupun kegagalan dan belajar dari keduanya.

Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar