Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 02 Mei 2011

Konsisten Perjuangkan Hak



"Resensi", Seputar Indonesia, 1 Mei 2011

Karya sastra selalu menarik untuk ditelaah. Pasalnya, ia mengandung banyak petuah bijak. Petuah-petuah bijak yang terurai dalam karya sastra seakan menyapa dengan hangat dan masuk dalam relung jiwa.

Ia bagai secercah harapan menapaki hidup yang semakin tidak berpihak. Menilik hal demikian, benarlah apa yang disuarakan oleh Immanuel Kant. Kant menyebutkan tentang pemanusiaan manusia melalui karya-karya sastra.

Dalam diri manusia terus- menerus timbul kerentanan, yang justru karena relasi manusia yang tiada henti dengan ruang-waktu. Logika yang berkuasa atas ruang-waktu kerap menyudutkan manusia untuk terbentur serangkaian kesulitan. Logika yang mendikte ruangwaktu sedemikian rupa mengaduk- aduk perasaan manusia. Logika yang bekerja dalam ruang-waktu menyeret eksistensi manusia ke dalam pusaran keterpecahan dan keberpentingan perasaan. Sastralah yang pada akhirnya mengutuhkan kembali perasaan manusia yang telanjur tersuruk dalam keterpecahan dan keberkepingan itu. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa manusia menemukan keutuhan dirinya seusai menyimak karya-karya sastra.

Melalui karya sastra,manusia berpeluang menemukan partikularitas yang hilang terporakporandakan oleh logika ruangwaktu (Anwari WMK: 2011). Cerita indah yang terangkai dalam kata yang “menghibur” jiwa salah satunya dapat kita baca dari buku Shin Suikoden, Petualangan Baru Kisah Klasik Batas Air karya Eiji Yoshikawa (11 Agustus 1892-7 September 1962). Bagi pembaca novel Jepang, nama Eiji bukanlah nama baru.Karya-karyanya telah banyak menginspirasi pembacanya. Salah satu karya Eiji yang sampai sekarang masih sering “dikutip” adalah Novel Musashi. Sebuah novel klasik yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa berkisah kepahlawanan Samurai di abad pertengahan.

Suikoden atau biasa dikenal dengan kisah Batas Air dan 108 Pendekar Liang Shan merupakan kisah klasik China yang berasal dari Dinasti Ming (1368–1644). Buku ini berkisah tentang perlawanan kaum bandit yang dipimpin oleh Song Jiang melawan kediktatoran pemerintah Dinasti Song. Dari sisi pemerintah, kaum bandit ini adalah pemberontak yang harus dienyahkan. Namun, bagi kaum papa, ia adalah pahlawan yang dipuja. Hal ini karena, para bandit menjerah kekayaan orang-orang kaya untuk dibagikan kepada kaum miskin. Sementara itu, orang kaya yang bersekutu dengan pemerintah korup selalu gelisah dan menghalalkan segala cara untuk menumpas kawanan ini. Inilah perspektif yang senantiasa menghiasi lembaran sejarah bangsa.

Seseorang yang tidak seide dengan pemerintah adalah kelompok yang pantas ditulis dengan tinta merah. Sebaliknya, kelompok propemerintah adalah pejuang yang pantas mendapat penghargaan dan menorehkan tinta emas untuknya. Beberapa tokoh utama dalam novel jilid satu ini adalah, Shi Shin,pemuda dengan rajah sembilan naga di tubuhnya, ahli tongkat yang meski mudah emosi, namun sangat menghargai pertalian antarlelaki sejati. Ro Chi Shin si Pendeta Bunga, mantan polisi militer dengan tubuh dan sikap bagaikan raksasa kasar, namun berhati lembut laksana bunga musim semi yang dirajah indah menakjubkan di punggungnya.

Cendekiawan Go, guru kuil di desa yang tersohor ketajaman akal dan kepiawaiannya dalam membuat strategi. Tokoh-tokoh ini berjuang guna mewujudkan keadilan dan tatanan masyarakat kala itu. Mereka secara konsisten mewujudkan cita-cita mulia tersebut dengan kekuatan dan potensi diri yang dimiliki. Keadaan masyarakat dalam potret novel ini tak ubahnya seperti keadaan Indonesia dan dunia pada umumnya. Kaum miskin semakin terpinggirkan oleh sistem yang tidak memihak. Sedangkan pemerintah dan kaum kaya selalu bersuka cita. Seperti keinginan anggota dewan membangun gedung baru secara mewah yang menghabiskan dana 1,1 triliun rupiah.

Saat bersamaan masih banyak rakyat Indonesia yang hidup tanpa rumah (papan) yang layak. Padahal, dana sebanyak itu bisa untuk membangun 21.000 unit rumah baru. Lebih lanjut, novel ini seakan mengajak kita untuk merenungkan, apa yang bisa kita lakukan untuk kaum papa? Bagaimana kita melakukannya? Dan mengapa kita perlu meluangkan waktu mendidik kaum papa bangkit dari keterpurukan hidup? Walaupun di novel edisi pertama ini garis perjuangan yang ditempuh belum tampak,karena menurut versi aslinya karya ini bersambung sampai lima jilid, namun buku ini menyadarkan kita arti penting perjuangan melawan ketidakadilan.

Ketidakadilan harus diperjuangkan oleh orang-orang yang konsisten dan pantang menyerah. Pasalnya, cita-cita mulia ini tidak mudah diwujudkan dalam waktu singkat. (*)

●Benni Setiawan,
Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar