Meraih Cita

Meraih Cita

Rabu, 04 Mei 2011

Bunga Teratai yang Menguatkan Sukarno



Analisis News, Selasa, 3 Mei 2011

Judul : Fatmawati Sukarno, The First Lady
Penulis : Arifin Suryo Nugroho
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Terbit : 2010
Tebal : xx + 275 Halaman

Fatmawati Sukarno. Siapa yang tidak mengenalnya? Ketika di bangku sekolah dasar, kita akan mendapat pelajaran, bahwa penjahit Sang Merah Putih adalah beliau. Namun, sebenarnya siapa dia? Mengapa kemudian ia menjadi first lady?

Fatmawati lahir 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadijah. Fatmawati dilahirkan di Bengkulu, yang saat itu menjadi Ibu Kota Karasidenan Bengkulu. Kelahiran Fatmawati didahului oleh fisafat melalui mimpi Siti Chadijah malam hari sebelum melahirkan bayi mungil ini. Sang ibu bermimpi bahwa ia kejatuhan cinde (sebuah selendang yang disulam dengan benang emas) di atas kepalanya. Inilah tanda-tanda alam bahwa kelak ia akan menjadi seorang “pejuang” yang selalu dikenang sepanjang zaman.

Sebelum resmi menyandang nama Fatmawati, sang ayah dihadapkan pada pilihan sulit. Pilihan menentukan nama. Yaitu Fatmawati atau Siti Jubaidah. Fatmawati berarti bunga teratai. Sedangkan Siti Jubaidah merupakan nama salah satu istri Nabi Muhammad., s.a.w. di tengah kebimbangan itu, Hassan Din dan Siti Chadijah menuliskan dua nama di kertas putih kemudian diundi. Hasil undian itu memunculkan nama Fatmawati.

Fatmawati kecil yang sering disapa Tema mendapat pendidikan agama yang baik dari Bapak dan Ibunya yang merupakan aktivis Muhammadiyah di daerahnya. Tema belajar membaca Qur’an. Berkat pendidikan ini ia mempunyai karakter yang kuat dan tegas.

Karakter inilah yang kemudian dibawanya menjadi first lady. Jejak langkah Fatmawati menuju kursi first lady dimulai dari pertemuannya dengan Sukarno muda.

Ketika itu Sukarno dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Bengkulu. Sukarno diterima dengan baik oleh masyarakat termasuk keluarga Hassan Din. Hassan Din secara khusus bertandang ke rumah Bung Karno untuk mengajaknya menjadi guru sekolah rendah Muhammadiyah.

Ajakan ini disambut suka cita oleh Sukarno. Dan di sinilah dimulaila sejarah Sukarno menjadi guru. Sebuah petuah yang sering dikutip oleh masyarakat peduli pendidikan untuk mengajak setiap insan memulai aktifitas dengan menjadi guru. Di sekolah ini Sukarno mengajarkan arti penting cinta tanah air dengan banyak mengutip kisah sejarah perjuangan Nabi Muhammad, s.a.w.

Sejak saat itulah Sukarno dan keluarga Hassan Din mulai rekat. Pertemuan-pertemuan Sukarno-Hassan Din yang dikemudian hari mengajak Fatma menumbuhkan benih cinta di hati Tema dan Bung Karno.

Benih cinta ini kemudian diakui oleh Sukarno. “Fat terpaksa aku mengeluarkan perasaan hatiku padamu. Begini Fat…sebenarnya aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali au bertemu denganmu, waktu kau ke rumahku dahulu pertama kali…”

Cinta Sukarno kepada Fatma tergambar jelas melalui surat tanggal 11 September 1941. “Fat, dari ribuan dara di dunia. Kumuliakan engkau sebagai dewiku. Kupuja dengan nyanyian mulia; kembang dan setanggi dupa hatiku. O, Fatma, yang menyinari cahaya. Terangilah selalu jalan jiwaku, supaya sampai dibahagia raja. Dalam swarganya cinta kasihmu”(hal. 74).

Puncak cinta kasih Sukarno terwujud dengan menikahi Fatmawati pada tanggal 1 Juni 1943. Saat pendudukan Jepang di Nusantara. Pernikahan ini menggunakan Nikah Wali, yaitu opseter Sarjono. Pernikahan model ini ditempu dengan alasan saat itu sulit mendatangkan Fatma dan orangtuanya ke Jawa. Karena urusan yang berbelit-belit. Sementara tak mungkin bagi Sukarno berkunjung ke Bengkulu, kesibukannya di Lembaga Pusat Tenaga Rakyat (Putera) tak menyisakan waktu dirinya (hal. 83).

Dari sinilah kemudian Fatmawati mendampingi Sukarno dalam perjuangan sulit mewujudkan kemerdekaan Indonesia. keteguhan sikap dan konsistensi Fatmawati mampu mendorong Sukarno dalam melakukan perjuangan untuk negeri.

Di sinilah kebenaran peribahasa Amerika. “Behind every great man, there’s great woman (di balik laki-laki besar, selalu ada perempuan besar)”. Keberhasilan Sukarno mewujudkan kemerdekaan bersama founding fathers lain tentu ada kekuatan seorang istri yang mampu mempertahankan biduk rumah tangga.

Walaupun Fatma hanya dikenal sebagai penjahit bendera Merah Putih. Namun, di balik kesuksesan Sukarno ada nama Fatmawati seorang seorang perempuan yang mendampinginya di masa-masa kritis.

Keteguhan Fatma dalam bersikap pun dibuktikan dengan keengganannya untuk dipoligami. Yaitu saat Sukarno jatuh hati dengan perempuan Salatiga bernama Hartini. Ketika Sukarno menikahi Hartini, Fatma dengan sikap pemberani keluar dari istana. Keteguhan sikap inilah yang kemudian menular kepada anak-anaknya. Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Buku ini menghadirkan sebuah kisah perjalanan seorang Fatmawati yang berasal dari keluarga bisa di Bengkulu menjadi first lady. Melalui buku ini kita mampu menangkap pesan bahwa Fat (bunga teratai, bunga yang hidup di rawa dan lumpur) mampu menguatkan Sukarno dalam setiap aktifitasnya. Buku ini pun menegaskan bahwa perempuan bukanlah makhluk lemah. Ia adalah peneguh dan manajer sekaligus penyelamat biduk rumah tangga. Selamat membaca.


*) Benni Setiawan, pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar