Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 30 Mei 2011

Kidung Kehidupan Kurnia Effendi



Judul : Anak Arloji
Penulis : Kurnia Effendi
Penerbit : Serambi, Jakarta
Terbit : Maret 2011
Tebal : 237 Halaman

Pustaka, Kedaulatan Rakyat, Minggu, 29 Mei 2011

Karya sastra selalu seksi untuk dibaca, direnungkan, dan disebarluaskan. Ia selalu memiliki wajah lain dalam menyentuh persoalan kehidupan. Ia bagai embun pagi yang senantiasa membasahi pepohonan. Menjadikan pohon rindang dan indah dipandang mata. Ia juga mampu menyemai benih-benih dan tunas-tunas agar senantiasa tetap bersemi walaupun di musim terik.

Sebagaimana karya sastra indah berupa kumpulan cerpen Kurnia Effendi berjudul Anak Arloji. Setidaknya 14 dongeng kehidupan dihadirkan dalam bahasa renyah ala Pak Kef (begitu Kurnia Effendi biasa disapa). Alur pembahasan yang runtut serta mudah dipahami merupakan nilai plus dalam buku ini.

Anak Arloji merupakan salah satu judul cerpen yang berada di dalam buku menawan ini. Dalam “Anak Arloji” kisah mengenai kerawanan jiwa manusia sampai ke tingkat yang hakiki. Cerpen yang mempermainkan unsur kebetulan sebagai daya tarik cerita ini menghadapkan manusia pada pertanyaan tentang misteri takdir. Pemicunya sepela saja; sebuah arloji.

Arloji ini pemberian dari seorang dokter ahli kandungan (Dokter Syarif Budiman) yang biasa menghadiahkan barang yang berkaitan dengan waktu tersebut kepada pasien yang anak dalam kandungannya diyakini akan lahir dengan selamat. Dan ada seseorang yang anaknya memang lahir dengan selamat, tapi beberapa waktu kemudian meninggal, padahal ia juga mendapat hadiah arloji dari dokter yang baik hati itu. Kecemasan dan kegelisahan yang luar biasa menghantui hati manusia yang suka “curiga” terhadap takdir.

Pada akhirnya, sebagaimana yang ditulis oleh Joko Pinurbo (seorang penyair asal Yogyakarta) dalam “Kata Pembaca”, manusia memang memerlukan dongeng untuk menyegarkan kembali hati yang gersang dan pikiran kerontang di tengah sergapan pragmatisme hidup sehari-hari. Dalam hidup yang berputa seperti mesin, kesadaran dan imajinasi tentang nilai-nilai hidup yang hakiki sering lenyap. Kita layak menunggu dan merindukan dongeng-dongeng Kef berikutnya.

*)Benni Setiawan, Pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar