Meraih Cita

Meraih Cita

Selasa, 30 Maret 2010

Buku Panduan Kerukunan Beragama

Kedaulatan Rakyat, Minggu Kliwon, 28 Maret 2010 Kerukunan beragama merupakan mantra yang harus disemai di tengah semakin masifnya intoleransi dan diskriminasi. Tanpa ada upaya mewujudkan hal tersebut kehancuran bangsa atas nama agama akan semakin nyata. Tentunya hal ini bukan yang kita inginkan. Maka diperlukan upaya nyata mewujudkan kerukunan beragama dalam bingkai atau semangat toleransi, multikulturalisme, sikap saling hormat menghormati dan saling memahami, hak asasi manusia, dan kerelaan, ketulusan dan kejujuran dalam beragama. Buku Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? sebagai terjemahan dari karya asli dalam bahasa Inggris yang berjudul Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook pada tahun 2004 ini merupakan sebuah upaya nyata dalam mewujudkan tatanan kerukunan beragama itu. Buku yang semula merupakan makalah pada Konferensi Oslo tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, yang diadakan pada bulan Agustus 1998 dan disponsori bersama oleh pemerintah Norwegia begitu menawan. Selain ditulis oleh para pakar dan pekerja kerukunan beragama, buku ini diperkaya oleh perspektif sosial-budaya dan pendidikan yang beragam dari para penulisnya. Perspektif ini akan semakin memperkaya pengalaman dan cara kerja mewujudkan kerukunan beragama. Adalah penting untuk menekankan kembali bahwa proses ini memakan waktu, dengan beberapa bab diselesaikan dalam waktu yang sangat berbeda. Adalah penting juga untuk dikemukakan kembali bahwa para penulis yang berbeda datang dari berbagai latar belakang yang amat berbeda dan mengambil posisi yang amat berbeda di mana mereka masing-masing memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri. Ini adalah bagian dari argumen yang beralasan dan dialog dengan sikap saling menghormati yang sungguh amat diperlukan. Ada banyak hal untuk tidak disetujui, dan pada saat bersamaan, banyak untuk dipelajari. Buku antologi ini merupakan bahan rujukan tersendiri bagi mereka yang menaruh kepedulian terhadap upaya fasilitasi meningkatnya pemenuhan hak dan kewajiban mengikuti standar-standar internasional di bidang yang penting ini. Pada akhirnya, mengutip pendapat Azyumardi Azra dalam pengantarnya, buku ini merupakan sebuah bacaan wajib bagi seluruh stake-holders yang terkait dan peduli dengan perwujudan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tak kurang pentingnya, buku ini juga dapat menjadi salah satu referensi pokok bagi para pengajar dan mahasiswa Fakultas Hukum pada Universitas-universitas umum dan Fakultas Syariah dan Hukum pada Universitas Islam Negeri di tanah air kita. Dan tentu saja juga sangat penting bagi mereka yang terlibat dalam kepemimpinan agama, dialog-dialog intra dan antar-agama, dan kajian-kajian agama di lembaga-lembaga akademis maupun kemasyarakatan. (Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga)

Menyingkap Selubung Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Judul : Lahir dari Rahim, Wacana Perempuan Asia tentang Allah di Era Globalisasi Penulis : P. Mutiara Andalas, S.J. Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Terbit : 2009 Tebal : 320 halaman Resensi, Solo Pos, 7 Maret 2010 Wacana tentang perempuan selalu menarik untuk dikaji. Baik dari kajian ilmu sosial-humaniora maupun dalam perspektif teologi (agama). Kajian perempuan dalam perspektif teologi tentunya mempunyai nilai lebih. Artinya, selain mengundang perbedabatan pro dan kontra, kajian dalam perspektif ini akan semakin membuka kotak Pandora keberpihakan agama kepada perempuan sebagai makhluk Tuhan. Di sinilah Tuhan menampakkan wajah aslinya, sebagai yang Maha Adil. Dzat yang tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Semua sama dihadapan Allah. Yang membedakan hanyalah kualitas keimanan dan ketakwaan seseorang. Inilah yang mungkin diancang oleh P. Mutiara Andalas, S.J, dalam buku ini. Buku berjudul Lahir dari Rahim, Wacana Perempuan Asia tentang Allah di Era Globalisasi ini semakin menguatkan keyakinan kita akan kebesaran Allah. Mutiara Andalas dengan bernas merangkai beberapa kajian yang telah dilakukan oleh feminis di Asia menjadi sebuah bacaan yang renyah dan mengikat makna—meminjam istilah Hernowo. Fakta-fakta tentang diskriminasi dan subordinasi perempuan yang dilegitimasi dengan teks (ayat) suci dijelaskan secara gamblang tanpa ditutup-tutupi. Sebagaimana ketidakadilan yang terjadi di India. Dengan menganalisis kajian Aruna Gnanadason dan Baltazar, Mutiara Andalas dengan cermat mampu menyingkap selubung kekerasan terhadap perempuan dan anak di sana terutama korban perkosaan dan industri perdagangan perempuan. Mutiara Andalas sembari mengutip Gnanadason dan Baltazar mengkiritik otoritas gereja. Mereka mempertanyakan sikap Gereja tentang Aborsi. Baltazar merasa gereja kurang melibatkan perempuan dalam mendiskusikan perkara aborsi dan kontrasepsi yang menyangkut kehidupan perempuan. Penekanan dokumen Gereja bagi perempuan untuk mengambil keputusan sendiri berkaitan dengan aborsi dan kontrasepsi justru menyudutkan mereka. Perempuan sering kali terjepit di tengah-tengah kepentingan keluarga, masyarakat, dan Gereja yang seringkali berseberangan satu terhaadap yang lain. Menurut Gnanadason, Gereja terlalu dini menolak aborsi dalam kasus perkosaan, perang dan mengabaikan masa depan perempuan yang dirusak perkosaan dan anak yang dikandung dari perkosaan brutal. Gnanadason mengundang Gereja untuk melihat ulang gagasannya tentang mengampuni dan melupakan dosa. Ia merujuk kisah Yesus di salib yang mengampuni kekerasan terhadap-Nya. Teks ini seringkali diselewengkan untuk mengekalkan kekerasan terhadap perempuan tanpa proses keadilan bagi para pelakunya. Ia mengingatkan Gereja terhadap kemungkinan penyalahgunaan pengampunan dan pelupaan dosa untuk mengubur penindasan terhadap perempuan. Gnanadason menolak pengampunan tanpa keadilan bagi perempuan karena gagal memperbaiki relasi antara pelaku dan korban kekerasan. Belas kasih, pengakuan akan kesalahan, ganti rugi, dan janji untuk menghentikan kekerasan menjadi norma pengampunan kristiani. Pengampunan berlangsung pada tahap akhir setelah perempuan mendaku kembali kemanusiaannya. Gnanadason menggugat dualisme hierarkis dalam Gereja. Kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan pejabat Gereja sulit terkuak. Pejabat Gereja acap kali menyalahgunakan kuasa kepemimpinan-dalam- pelayanan justru untuk melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Mereka kemudian bersembunyi di balik takhta jabatannya untuk melepaskan diri dari tuntutan korban. Dalam iklim Gereja demikian, perempuan senantiasa berselimut kekhawatiran dan ketakutan. Yesus meruntuhkan dualisme hierarkis, dan Gnanadason berharap Gereja mengikuti jejak Yesus. Perempuan menyingkap paras penuh bilur kekerasan dan menyuarakan mazmur pembebasan. Mereka mengundang teolog untuk terlibat dalam pembebasan perempuan dengan membebaskan teologi dari bias ideologi yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. (hal. 142-144). Dengan demikian, buku ini mewartakan sebuah teologi properempuan. Yaitu, perempuan Asia mengeluarkan teologi dari lingkup sempitnya sebagai wacana tentang Allah. Teologi yang berhenti menjadi wacana tentang Allah telah terperosok dalam jurang abstraksi (violence of abstraction). Keterlibatan perempuan dalam teologi mempertautkan kembali teologi dengan kehidupan. Aktivitas berteologi berpaut dengan kehidupan karena senantiasa mengikhtiarkan pembebasan dan kepunahan manusia di sini dan sekarang (hal. 182-83). Walaupun buku ini berdimensi kristiani, namun buku ini sangat baik dibaca oleh siapapun yang merasa dirinya manusia. Dengan membaca buku ini, kita diajak untuk kembali merenung eksistensi manusia yang terdiri dari makhluk bernama “laki-laki” dan “perempuan”. Dua nama ini tidaklah terpisah satu dengan yang lain, atau bahkan mengklaim diri superior dan yang lain inferior. Laki-laki dan perempuan merupakan makhluk mandiri yang tidak saling mensubordinasi dan disubordinasi. Maka tidak aneh, dalam catatannya Jennie S. Bev menyatakan, penulis telah mampu membawa bendera merah-putih Indonesia dalam arena perdebatan teologi profeminis dengan gayanya yang elegan dan berani. Selamat membaca! *)Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kritik terhadap Konsep Tuhan ala Nietzshe

Resensi, Harian Jogja, Kamis Wage, 21 Januari 2010

Menyebut Nietzshe berarti kita akan bersentuhan dengan pokok-pokok pikirannya yang geneuin. Seperti nihilisme, kehendak untuk berkuasa (will to power, der Wille zur Macht, atau machtgelust), adimanusia (Ubermensch, Superman), dan perulangan abadi (eternal recurrence, ewige Wiederkehr des Gleiches).

Hingga kini pemikiran-pemikiran Nietzshe tersebut masih menjadi mantra abadi pengkaji filsafat. Ada yang menerimanya secara kritis, ada pula yang menelannya mentah-mentah. Bahkan, keterkaguman terhadap Nietzshe seringkali melupakan nalar kritis kita untuk mengkritik sebuah produk pemikiran.

Melalui buku Nietzshe Sudah Mati, Akhmad Santosa ingin menghadirkan sebuah diskusi yang tidak hanya taqlid buta terhadap Nietzshe. Bahkan secara terang-terangan Akhmad Santosa menyerang para penggagum Nietzshe. Dalam kaca mata Akhmad Santosa, filsuf Indonesia terlalu menuhankan Nietzshe sehingga ia kehilangan daya kritis untuk mengkritik gagasan tokoh bernama lengkap Friedrich Wilhelm Nietzshe itu.

Akhmad Santosa menyebut, di sini faktor keberanian ikut menentukan dalam berfikir; beranikah kita melompat dari posisi yang selama ini sudah kita akrabi untuk mencoba berpindah ke posisi lain dan mengakrabimsudut pandang yang berbeda? Dan yang lebih penting lagi, setelah kita pindah ke posisi yang baru dan mengakrabinya, beranikah kita memandang ke belakang dan mengakui pandangan-pandangan yang telah kita buat dari posisi yang lama? (hal. 5).

Walaupun demikian, Akhmad Santosa juga tidak lepas dari kritik. Salah satunya dari A. Setyo Wibowo. Dosen STF Driyarkara Jakarta ini secara jelas mengkritik cara berfikir Akhmad Santosa dalam membedah pemikiran Nietzshe. Bahkan, alumnus Universite Paris I-Pantheon Sorbonne ini menyatakan bahwa Akhmad Santosa justru mengikuti St. Sunardi! Tentu ini tidak masuk akal bagi Akhmad Santosa yang berpretensi menelanjangi kekeliruan St. Sunardi. Toh keduanya tidak mampu melihat bahwa bisa saja di situ Nietzshe sekadar memakai metode provokatif. Keduanya tidak tahu bahwa referensi orang sinting ini bisa saja merujuk pada kisah Yunani kuno tentang Diogenes Orang Sinting. Keduanya sepakat mengaitkan kematian Tuhan ini dengan kegilaan Nietzshe. Nietzshe adalah manusia yang terbelah, gila (hal. 236).

Lebih dari itu, A. Setyo Wibowo, gerah membaca tulisan Akhmad Santosa yang emosional dan menganggap pemikiran Nietzshe disetir oleh “kekecewaan dan kemuakan”. Menurut Setyo, alih-alih menyerang Nietzshe (dan juga St Sunardi), Akhmad Santosa justru dengan tepat menjadi contoh manusia ressentimen itu sendiri!

Namun demikian, apa yang telah dilakukan oleh Akhmad Santosa patut kita apresiasi. Khususnya dalam kerangka akademik dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Disaat banyak kelompok dan golongan yang mengadili pemikiran (buku) dengan kekerasan fisik, Akhmad Santosa dengan segala kelebihan dan kekurangannya “mengawali” ketidaksetujuaanya dengan buah karya St. Sunardi dengan menghadirkan sebuah “buku tandingan”. Sebuah tradisi intelektualitas yang patut kita tiru dan budayakan di tengah masyarakat.

*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Suna Kalijaga, Yogyakarta.

Selasa, 23 Maret 2010

Belajar dari Pidato Obama

Perada, Koran Jakarta, Selasa, 23 Maret 2010

Judul : Obama Bicara, Sepuluh Pidato Paling Memukau Penulis : Tri Agus S Siswowiharjo Penerbit : Leutika, Yogyakarta Tahun : I, Maret, 2010 Tebal : 200 Halaman Harga : Rp Sejak menjadi Presiden Amerika Serikat, Barack Husein Obama bak magnet yang menyedot perhatian. Hal itu disebabkan banyak orang terpana mendengar pidatopidatonya. Tri Agus S Siswowiharjo, dalam buku Obama Bicara, 10 Pidato Paling Memukau, menengarai setidaknya ada lima elemen pelajaran yang bisa kita petik dari pidato-pidato Obama. Lima elemen tersebut dalam manajeman komunikasi lazim disebut sebagai lima C: complete, concise, consideration, clarity, dan courtesy. Complete. Dalam beberapa debat yang menegangkan, baik dengan Hillary Clinton maupun McCain, Obama selalu mampu menyuguhkan gagasannya secara lengkap dan koheren, tidak parsial atau sepotong-potong. Elemen ini mengindikasikan bahwa kesempurnaan komunikasi yang Obama bangun bisa dicapai dengan penyampaian yang lengkap dan tidak sepotong-potong. Concise, ringkas dan padat, tidak bertele-tele atau berputar-putar. Sadar bahwa efisiensi waktu sangat penting, pidato-pidato Obama selalu bisa menyampaikan esensi gagasannya dengan ringkas, tetapi padat. Publik yang mendengar menjadi senang karena dengan demikian mereka mudah mencernanya, dan tidak bosan mendengar kalimat yang bertele-tele. Consideration. Artinya, prepare every message with the recipient in mind and try to put yourself in his or her place. Dalam berbagai debat dan pidato, Obama tampil dengan amunisi yang lengkap. Ia sudah mengetahui apa yang ada di benak rakyat Amerika. Apa yang mereka butuhkan, dan apa yang mereka dambakan. Obama selalu berusaha memahami apa kebutuhan orang yang menjadi pendengarnya—dan bukan melulu minta dipahami. Selalu membangun empati pada apa yang dirasakan oleh mitra bicara kita dan mau mendengarkan isi hati orang lain. Clarity. Inilah keistimewaan Obama. Ia mampu mendemonstrasikan elemen ini dengan amat memukau. Ia mampu memilih dan memilah kata, kemudian merajut kalimat dengan penuh presisi. Obama mampu mengartikulasikan gagasannya dengan jelas dan mengalir. Obama bisa mengekspresikan setiap jejak gagasan dan keinginannya dengan penuh kejelasan. Courtesy, santun, persuasif, menumbuhkan respek. Obama memperagakan elemen ini dengan nyaris sempurna. Ia menawarkan gagasannya dengan santun dan elegan. Alunan kalimat yang membasahi bibirnya sungguh persuasif dan menumbuhkan respek. Amerika dan dunia kagum dan menaruh hormat dengan sikap santun dan persuasi yang ditunjukkan Obama. Ia selalu bicara dengan santun (tidak kasar), persuasif (tidak memaksa), dan menumbuhkan respek (bukan merendahkan) (hal. 17-18). Walaupun buku ini hanya kumpulan pidato-pidato Obama di berbagai tempat, penulis buku ini mampu meramunya dengan apik. Pasalnya, setiap pidato disertai dengan analisis komunikasi politik yang menjadi fokus studinya. Tidak berlebihan jika buku ini layak dimiliki sebagai sebuah arsip pidato Presiden Amerika Serikat yang ke-44, yang suatu saat akan kita wartakan kepada anak cucu kita, bahwa bangsa Amerika pernah memiliki presiden kulit hitam pertama dan pernah hidup di Menteng, Jakarta. Peresensi adalah Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sabtu, 20 Maret 2010

Rahasia Sukses Pakar Investasi Dunia

Perada, Koran Jakarta, Jumat, 19 Maret 2010

Judul : The Secrets of Investment Legends Penulis : Barrie Dunstan Penerbit : Daras Books, Jakarta Terbit : Desember, 2009 Tebal : 344 Halaman Harga : Rp55.000 Belajar investasi secara langsung dari pakar investasi legendaris dunia tentu merupakan pengalaman berharga yang sulit dilupakan? Risikonya, pembaca buku ini butuh dana dan waktu yang tidak sedikit guna mewujudkan mimpi tersebut. Namun, kini tanpa harus menghabiskan banyak uang dan waktu, Anda dapat belajar langsung dari mereka, yaitu dengan membaca buku The Secrets of Investment Legends. Buku berjudul The Secrets of Investment Legends yang ditulis oleh seorang jurnalis senior Finansial Review ini mengungkap secara lugas berbagai rahasia sukses dan kebijaksanaan para pakar investasi legendaris dunia. Pembaca seolah belajar langsung dari mereka, menyelami pemikiran mereka, dan mengetahui apa saja yang dibutuhkan agar bisa supersukses di dunia finansial. Apa yang diungkapkan dalam buku ini disarikan dari praktik dan pengalaman para legenda tersebut selama puluhan tahun, dan tak akan Anda dapatkan di sekolah-sekolah bisnis. Tak pelak, para investor yang serius wajib membaca buku ini dan mengambil manfaatnya: bagaimana berinvestasi, bagaimana memilih saham, bagaimana menghasilkan keuntungan yang sinambung dari pasar finansial. Barrie Dunstan, penulis buku ini, berpesan jika ingin menjadi investor ulung di pasar finansial, maka seharusnya mengambil keputusan investasi yang besar dan signifi kan hanya bila Anda bisa menyadari bahwa pasar atau saham itu berada di titik ekstremnya—dan titik ekstrem ini tidak sangat sering terjadi. Konsekuensinya sederhana: jadilah investor jangka panjang, bukan hanya spekulan jangka pendek. Gary Brison mengungkapkan sedikit contoh tentang valuasi ekstrem dalam kehidupan investasinya; Jeremy Grantham berfikir hanya ada sedikit momen besar seperti itu dalam hidupnya. Chalie Munger percaya investor harus mengikuti aturan petaruh sukses di pacuan kuda yang menunggu (dan menunggu… dan menunggu, bila perlu) hingga mereka bisa melihat taruhan yang baik. Mitra investasinya, Waren Buffett, menasihatkan untuk hanya berinvestasi dalam hal yang Anda pahami, dan dalam analogi bisbol, menasihatkan untuk hanya mengayunkan tangan ketika Anda benar-benar mendapat “lemparan sempurna”. Buku ini sarat makna dan memesona. Pengalaman penulis menjadi wartawan profesional di The Australian Review memengaruhi gaya bahasanya dalam mengungkap fakta dan data sehingga mudah dipahami, enak dibaca, dan tidak membosankan. Temuantemuan dalam wawancara dibahasakan secara lugas sehingga memancarkan wawasan yang luar biasa. Penulis buku ini tidak hanya menyuguhkan pengalaman berinvestasi dari pakar investasi legendaris dunia, namun juga menularkan spirit pemerdekaan, sehingga begitu menggugah. Peresensi adalah Benni Setiawan, Pustakawan, tinggal di Sukoharjo.

Minggu, 14 Maret 2010

Menuju Perdamaian Dunia

Seputar Indonesia, Minggu, 14 Maret 2010
SIAPA pun pasti mengimpikan dunia ini damai, tenteram, dan sejahtera. Apalagi proses perdamaian tersebut disemai oleh agama yang kita peluk dan yakini kebenarannya.
Bertemu dan berkumpulnya tokoh-tokoh agama dalam satu meja guna membahas perdamaian dunia tidak saja akan mempercepat proses tersebut. Lebih dari itu, dialog ini dapat mengurai konflik dan rasa saling curiga antar sesama pemuluk agama.Proses keterbukaan ini akan menghasilkan teologi welas asih— meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan sebagai cikal bakal terwujudnya perdamaian dunia. Buku Menggugat Tanggung Jawab, Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia ini setidaknya merupakan langkah awal bertemunya tiga tokoh agama di Indonesia dalam mewujudkan cita-cita mulia itu. Dialog tiga tokoh ini memberi inspirasi bagi kita dalam membangun peradaban. Sebuah peradaban yang ditandai dengan hubungan yang harmonis dan saling menghargai antar sesama pemeluk agama, terutama tiga agama Abrahamik (Yahudi,Kristen,dan Islam). Dalam perspektif Franz Magnis- Suseno, SJ, perbaikan hubungan antara tiga agama itu menuntut sejumlah syarat di luar masalah teologis dan historis, yaitu syarat politik.Tanpa pemenuhan syaratsyarat politik maka berbagai upaya untuk saling mendekati, juga dialog-dialog yang coba dibangun untuk mengatasi prasangka dan saling curiga,tidak akan membawa hasil akhir yang efektif. Dua syarat yang sangat mendesak harus dipenuhi untuk memulihkan hubungan antara tiga agama keturunan Abrahamik itu adalah, pertama, pemecahan masalah Palestina secara komprehensif. Konsep pemecahan masalah Palestina ini mencakup realisasi kemerdekaan Palestina dan pengakuan wilayah Negara Palestina yang mencakup wilayahwilayah sebelum Perang Tujuh Hari.Masih dalam nafas yang sama, realisasi sebuah kemerdekaan bagi Negara Palestina juga mencakup pengakuan eksistensi Negara Israel. Kedua, soal kebebasan beragama dan masalah HAM. Harus ada pengakuan dan jaminan terhadap kebebasan beragama dan hak-hak asasi manusia, sesuai dengan deklarasi PBB dan berbagai konvensi tentang HAM yang dibuat kemudian.Pengakuan dan jaminan kebebasan beragama itu harus benar-benar nyata dalam teori dan praktik (halaman 84). Dua hal yang diusulkan oleh Romo Magnis memang ideal.Maka guna mewujudkannya dibutuhkan kesabaran dan ketekunan. Benarlah apa yang dinyatakan M Amin Abdullah, proses berdiskursus dalam demokrasi deliberatif—meminjam istilah F Budi Hardiman– itu memang sangat melelahkan. Namun orang harus sabar,bahkan harus memiliki kesabaran ekstra untuk mengajak semua orang untuk bisa duduk bersama dan saling mendengarkan, bersama- sama mencari apa yang menjadi kesamaan dan perbedaan,bersama- sama menguji apakah perbedaan itu bersifat prinsip, dan sebagainya, dan seterusnya. Dengan kata lain, dalam melakukan proses deliberasi, tidak ada kosa-kata saling memaksakan kehendak. Bangsa Indonesia memiliki filosofi yang sangat kaya dan mendalam menyangkut kearifan dalam tradisi melakukan musyawarah untuk kemaslahatan orang banyak.Bangsa Indonesia juga memiliki soft defense mechanism terhadap pengaruh-pengaruh dari luar yang mengancam identitas dan jati diri mereka. Menurut Said Aqiel Siradj, tantangan yang dihadapi Islam,juga agama-agama besar lainnya di dunia ini,dalam membangun dialog untuk mencapai masyarakat madani yang pluralis dan egalitarian adalah gejala fundamentalisme yang mengarah kepada radikalisme dan tindak kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Fundamentalisme sejatinya memiliki makna dasar yang positif. Seorang muslim fundamentalis selalu menjalankan kewajiban agamanya secara mendasar dan berdisiplin. Sedangkan radikalisme berarti berkarakter keras,eksklusif, berpikiran sempit, kaku/rigid, dan selalu mengklaim monopoli kebenaran. Sebagai khalifah Allah,setiap umat Islam dituntut untuk selalu menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam hidup di antara dua karakter yang ada pada dirinya, yaitu kecenderungan untuk menimbulkan kerusakan di muka bumi dan potensi konflik antar sesama manusia. Sumber kekerasan yang timbul dari fundamentalisme dan radikalisme terletak pada paham skripturalisme dan klaim monopoli kebenaran. Sesungguhnya perdamaian antarumat manusia akan langgeng apabila semua umat manusia, terlepas dari apa agama,suku,dan kebudayaannya, berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan, menumbuhkan perilaku yang baik dan positif, mengembangkan kebenaran, sebagai wujud memperkukuh akidah ketuhanan. Ketakutan terhadap bahaya islamisasi seperti halnya juga bahaya kristenisasi sesungguhnya tidak perlu ada karena Nabi Muhammad sangat yakin terhadap kebenaran dan otensitas Islam, namun juga sangat menghormati keberadaan agama-agama lain di luar Islam. Inilah sesungguhnya sisi mulia Islam sebagai agama yang antikekerasan dan antipaksaan: ”lakum dinukum wa liya din”,(untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku) (QS Al-Kafirun [109]: 6). (halaman 157–159).(*) Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sabtu, 13 Maret 2010

Menelusuri Sejarah Ide-Ide

Seputar Indonesia,
09 Maret 2010
IDEsangat berkuasa,tetapi ide merupakan sesuatu yang ìhalusî dan abstrak. Pada awal buku Fyodor Dostoevsky,Crime and Punishment, pemuda Raskolnikov ditemukan lagi bermalas-malasan hanya masuk untuk merapikan barangbarang; sebuah flat dari seorang bujang yang dilanda kemiskinan.
Ia bertanya kepada Raskolnikov apa yang tengah dilakukannya.Raskolnikov menjawab bahwa ia lagi bekerja. Menjawab tatapan wajah pelayan yang kurang percaya, ia menjelaskan bahwa ia lagi berpikir. Pelayan tertawa. Namun,kemampuan kita untuk berpikir membedakan kita dari hewan lain. Berpikir adalah satu bentuk pekerjaan, dan ide yang dimiliki manusia sepanjang zaman, telah mengubah cara hidup kita.Ide merupakan alat yang sangat ampuh. Sejarah filsafat, ìcinta kebijaksanaanî, bercerita tentang berpikir jelas. Ini mencakup tiga pertanyaan dasar sejak mula peradaban manusia: terbuat dari apakah alam semesta? Apa makna kehidupan? Bagaimana kita harus hidup? (halaman 6-7). Begitu pentingnya aktivitas berpikir dalam kehidupan umat manusia dirumuskan secara apik oleh filsuf besar Descartes. Descartes berbicara tentang ide yang jelas dan membedakan ide sebagai konsep batin dalam benak yang hanya dapat disimpulkan oleh rasio, tetapi dapat dikonfirmasikan dengan observasi dan pengalaman indra. Yang paling besar daripadanya adalah cogito atau diri yang berpikir. Descartes menyajikan pokok filsafat dalam Meditations on First Principles. Buku Meditations memuat enam meditasi, masingmasing butuh waktu satu hari.Gaya tulisannya tidak biasa, berdasarkan latihan devosi dan spiritual zaman itu. Descartes ingin mendapat pengetahuan yang pasti dan tertentu; informasi yang berasal dari indra dapat mengecoh walau informasi itu secara normal dapat dipercaya. Misalnya, kita dapat berhalusinasi. Descartes mempraktikan satu skeptisisme radikal, dan meragukan segala sesuatu. Satu hal pasti yang ia temukan adalah cogito. Inilah diri yang berpikir, ìakuî dalam benak saya. Ia mengakhiri dengan satu kepastian cogito ergo sum (Aku berpikir maka aku ada). Ia menghubungkan hal ini dengan iman kepada Allah yang baik, yang tidak akan menempatkannya dalam tatanan ciptaan yang akan menipu, prinsip matematika juga merupakan pedoman yang dapat dipercaya, dan observasi indra pada umumnya juga dapat dipercaya. Descartes kembali pada argumen ontologi Anselmus. Baginya, Tuhan harus ada karena ide realitas yang tidak terbatas sudah tertanam dalam benaknya yang terbatas. Itu bukannya sesuatu yang dapat ia konsepkan, jika itu tidak benar-benar riil.Paham ini terkenal dengan nama lingkaranCartesius(darinamaLatin Descartes, yaitu Cartesius), karena merupakan satu argumen yang melingkar (berputar-putar). Dualisme Cartesius adalah paham bahwa jiwa dan badan terpisah secara radikal dan bahwa jiwa adalah substansi yang paling riil dan kekal. Paham ini disanggah ka-rena banyak menimbulkan masa-lah, seperti kerusakan lingkungan bahkan kehilangan selera, melecehkan badan mengutamakan intelek. Namun, Descartes jauh lebih rumit lagi karena ia mengklaim bahwa jiwa dan badan,walau merupakan dua hal yang sama sekali terpisah, digabungkan satu sama lain dalam satu kesatuan yang luhur dalam manusia yang hidup dan bernapas. Manusia adalah satu kesatuan jiwa-badan (halaman 106-107). Rumusan lain ide,kita dapatkan dari Plato.Plato berbicara mengenai gua dalam Republik.Ia membayangkan bahwa manusia dirantai dalam gua, wajah mereka diarahkan ke dinding di mana mereka melihat bayangan yang terpantul oleh sinar mereka. Mereka tidak mengetahui sesuatu yang lain dan berpikir bahwa bayangan itu adalah realitas.Pada suatuhari,salahseoranglolosdanberbalik menghadapi cahaya matahari; ia berlari keluar untuk melihat realitas untuk pertama kalinya. Plato berpendapat bahwa pada umumnya hidup dalam bayangan, tidak tercerahkan. Manusia yang bijaksana menanggapi bahwa ada bentuk ideal di balik penampilan hidup yang berubah-ubah. Cahaya terang adalah cahaya rasio yang dapat kita temukan dalam jiwa kita yang tidak dapat mati. Aktivitas berpikir dengan demikian merupakan pekerjaan mulia dalam lintasan sejarah.Dengan berpikir, manusia menyadari segala potensinya dan dapat terbebas dari belenggu ketidakberdayaan. Berpikir, merenung, menelorkan ide-ide merupakan hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Ide-ide yang dimiliki manusia sepanjang zaman pun telah mengubah cara hidup kita.(*) Benni Setiawan,Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.