Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 24 Maret 2013

Orang Miskin Wajib Sekolah

Oleh Benni Setiawan



"Resensi", Koran Sindo, Minggu, 24 Maret 2013

Pendidikan bukan hanya milik kaum kaya. Pendidikan dalam wujud sekolah kini menjadi milik semua kalangan masyarakat. Orang miskin mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.

Pendidikan bukan hanya milik kaum kaya. Pendidikan dalam wujud sekolah kini menjadi milik semua kalangan masyarakat. Orang miskin mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.

Kesadaran masyarakat itu pun kini tumbuh di pelbagai negara berkembang. Orang tua miskin senantiasa mendorong anakanaknya untuk menikmati pendidikan. Orang tua miskin yang buta aksara tidak ingin anakanak mereka bernasib sama; miskin, terpinggirkan, dan jauh dari sentuhan keberpihakan.

Kebangkitan kaum miskin ini dipotret dengan apik oleh JamesTooley, dalambuku Sekolah untuk Kaum Miskin ini. Berdasarkan penelitian mendalam mengenai realitas kehidupan kaum miskin di beberapa negara, ia secara gamblang menunjukkan betapa gelombang kesadaran dan kebangkitan orang miskin di pelbagai penjuru dunia khususnya negara berkembang dalam melek aksara dan memperoleh pendidikan layak begitu tinggi.

Sekolah Swasta

Adalah Saba Tabasum yang berusia sembilan tahun dan dua saudarinya mendapat sekolah gratis di Sekolah Swasta Master Mind. Ayahnya, yang lulusan SD, sekarang ini hanya bisa berbaring di tempat tidur karena kecelakaan kerja. Ibunya, yang buta aksara, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah tetangga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga.

Ketiga anak dan kedua orang tua tersebut bertahan hidup dari pemasukan sang ibu, yang berjumlah sekitar 200 rupee (4,44 dolar) per bulan. Dengan uang ini, dia berusaha menyekolahkan ketiga putrinya, mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan membayar biaya kesehatan suaminya. Saba termasuk pandai di sekolahnya. Dia menjadi salah satu murid terbaik di sekolahnya dan bercita- cita menjadi guru.

Peace High School memberi Shakera Khan yang berusia lima tahun dan ketiga saudarinya potongan biaya 40%. Ayah mereka, yang buta aksara, bekerja di toko sepatu dengan gaji harian paling besar 100 rupee ( 2 , 2 2 dolar). Meski begitu, jika dia tidak berhasil menjual satu pun sepatu, dia akan pulang ke rumah dengan tangan hampa. Ibu mereka juga buta aksara, tapi berusaha membantu dengan bekerja sebagai buruh harian denganupah25sampai30rupee (56 sampai 66 sen) per hari.

Farath Sultana, bocah berusia sepuluh tahun, juga bersekolah di Peace High School. Ayahnya bekerja sebagai tukang bersih masjid dan mendapatkan upah bulanan sebesar 700 rupee (15,55 dolar), yang dia akui tidak cukup untuk memberi makan keempat anggota keluarganya. Keluarga tersebut tinggal menumpang pada kerabat yang membantu mereka bertahan hidup setiap bulannya dengan menyediakan makanan.

Baik sang ibu maupun sang ayah keduanya buta aksara, tapi mereka ingin anak mereka bersekolah. Peace High School menyediakan biaya sekolah gratis baik kepada Farath maupun adik laki-lakinya yang berusia enam tahun, karena kondisi keuangan keluarga mereka yang kekurangan. Tampaknya sekolah-sekolah swasta ini, sementara bergerak sebagai bisnis, juga menyediakan filantropi untuk masyarakat mereka.

Mereka memang pengusaha, tapi mereka juga ingin dipandang sebagai “pekerja sosial”, dengan cara memberi sesuatu kepada masyarakat. Mereka ingin dihormati sekaligus sukses. Mengapa orang miskin itu memilih sekolah swasta, padahal sekolah negeri memberi biaya, seragam, makan siang, buku gratis? Pasalnya, sekolahsekolah negeri penuh sesak, kotor, bau, gelap, dan tidak terurus.

Salah satunya bahkan bertempat di bekas peternakan ayam. Sekolah negeri benarbenar tidak memenuhi standar. Guru-guru tidak hadir, dan kalau pun hadir, mereka jarang mengajar (halaman 28-29). Sekolah-sekolah swasta untuk kaum miskin tumbuh pesat di negara-negara berkembang. Di banyak wilayah perkotaan, mereka melayani sebagian besar anak sekolah miskin.

Kualitas mereka lebih bagus daripada sekolah negeri yang disediakan untuk kaum miskin. Banyak orang melihat cara memperluas akses pendidikan bagi orang miskin dari sektor pendidikan swasta sebagai sebuah langkah maju. Sekolah swasta menggaet investor untuk berinvestasi. Investor dapat membantu mereka dalam mengejar peran penting dalam memberikan pendidikan berkualitas untuksemua( halaman430).

Education for All

Berbagai bukti dari negaranegara berkembang saat ini mendukung kepercayaan mereka dalam hal semangat kewiraswastaan: wiraswasta pendidikan memang muncul untuk menyediakan peluang pendidikan, termasuk di kalangan anggota masyarakat yang paling miskin. Mereka muncul karena orang tua dan masyarakat miskin peduli terhadap pendidikan; yang merupakan prioritas fundamental.

Ketika mereka memiliki keraguan (yang berdasar) terhadapefisiensidan efektivitas sekolah negeri, mereka akan menciptakan alternatif mereka sendiri—setidaknya ketika mereka tidak dihambat atau dicegah untuk melakukan hal itu oleh kebijakan pajak dan peraturan. Profesor bidang kebijakan pendidikan di Newcastle University, Inggris ini melalui kajiannya mewartakan bahwa orang miskin mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan (education for all). Mereka dapat bangkit dari keterpurukan tanpa harus mengemis belas kasihan negara. Mereka kini berdampingan sekolah sekolah-sekolah swasta yang dengan tulus memberikan pendidikan terbaik untuk masa depan anak-anaknya.

Rabu, 06 Maret 2013

Merenungkan Piwulang Kehidupan



Kedaulatan Rakyat, Minggu, 03 Maret 2013. Pustaka

Judul : Markesot Bertutur
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : November 2012
Tebal : 471 Halaman

Oleh Benni Setiawan*)

Piwulang (pelajaran) tentang kehidupan dapat kita temui dimana dan dari siapa saja. Pelajaran tidak hanya sebatas di bangku sekolah (pawiyatan). Namun, terhampar di samudera luas kehidupan.

Salah satu piwulang yang dapat kita renungkan adalah dari buku karya Emha Ainun Nadjib, Markesot Bertutur ini. Buku ini dikemas dengan gaya bertutur sehingga memberikan keasyikan tersendiri bagi pembaca.

Penggerak Kiai Kanjeng ini melalui Markesot and friends (Markemon, Markembloh, Markasan, dan “Mar”-“Mar” yang lain) yang tergabung dalam KPMb (Konsorsium Para Mbambung), mencoba menciptakan obrolan-obrolan bernas dan cerdas tentang permasalahan kekinian. Melalui metode obrolan, permasalahan yang rumit (seperti soal nilai-nilai agama) atau yang bertensi tinggi (seperti soal demokrasi-politik) dapat diurai sedemikian rupa menjadi persoalan yang dengan mudah dapat dicerna oleh orang-orang awam sekalipun. Hal ini karena, dalam setiap tulisan dibalut oleh canda (guyonan) yang segar serta logika orang-orang mbambung.

Mbambung berarti manusia jalanan atau manusia yang menggelandang tak tentu arah. Dalam konteks buku ini mbambung dapat dimaknai manusia yang terpinggirkan atau dipinggirkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu atau manusia yang tidak masuk hitungan dan tidak digubris oleh lingkungannya.

Dalam catatan “Pohon Pionir” (halaman 317-322) dan “Markesot Diintegorasi” (halaman 410-415) secara gamblang penulis menjelaskan siapa sebenarnya para mbambung itu—baik yang asli maupun yang tidak asli.

Tampaknya penulis menggunakan istilah mbambung ini sekadar untuk menunjukkan bahwa dia perlu ruang gerak yang tidak formal dan cukup bebas untuk—suatu saat—menyalahi konvensi atau hal-hal yang sudah mapan. Dari sosok mbambung inilah, seluruh obrolan yang terkumpul dalam buku ini diikat secara utuh dan menyeluruh.

Hidup ini sangat luas dan dimensi-dimensi persoalannya tak terhingga. Untuk itu, diperlukan bukan sekadar wawasan yang luas dan pengetahuan yang terus dicari, melainkan juga kearifan dan sikap luhur yang konsisten dari hari ke hari.

Kearifan dan sikap luhur inilah yang diajarkan oleh Budayawan kelahiran Jombang 27 Mei 1953 ini. Kearifan dalam memahami sebuah realitas sosial akan mengantarkan kita pada sikap luhur. Sebuah sikap menghayati dan nglakoni sikap membela nilai dan kelompok manusia yang harus dibela. Karena pada dasarnya tak ada “orang besar” dan “orang kecil” dalam takaran pemilikan ekonomi atau perbedaan status sosial budaya. Kecil dan besar hanya terjadi pada kualitas pribadi. Sebuah piwulang kehidupan yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.