Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 30 Mei 2011

Kepemimpinan Jadi Kunci



Judul : The Swordless Samurai
Penulis : Kitami Masao
Penerbit: Zahir Books, Jakarta
Terbit : 2010
Tebal : xvii + 262 Halaman

“Books”, Bisnis Indonesia, Minggu, 29 Mei 2011

”Aku tidak pernah mahir dalam seni berpedang. Bahkan, ronin kelas tiga sanggup mengalahkanku dalam perkelahian jalanan! Aku sadar, aku harus lebih menggunakan otak daripada tubuh, khususnya jika aku ingin kepalaku tetap menempel di leher”.
Itulah petikan petuah bijak Toyotomi Hideyoshi. Sebuah kerendahan hati seorang pemimpin besar yang patut menjadi teladan. Hideyoshi lahir pada tahun 1536 dari sebuah keluarga miskin di Nagoya. Hideyoshi bertumbuh pendek, tidak atletis, tidak berpendidikan, dan berwajah jelek. Daun telinganya besar, matanya dalam, tubuhnya kecil, dan wajahnya dan keriput (sekeriput apel kering), membuat dia tampak seperti kera, sehingga orang memberinya julukan monyet seumur hidupnya.
Hideyoshi lahir pada puncak masa kekacauan Jepang, zaman perang antar-klan, ketika kemampuan bertarung atau dunia kependetaan menjadi satu-satunya cara bagi rakyat jelata yang ambisius untuk melarikan diri dari kehidupan banting tulang sebagai petani. Perawakan Hideyoshi yang hanya setinggi 150 senti dan berbobot lima puluh kilogram serta bungkuk tampaknya menutup peluang untuk berkarier di bidang militer. Namun ia melesat ke atas seperti meteor, ke puncak kekuasaan, sekalius menyatukan negeri yang sudah tercabik-cabik perang saudara selama lebih dari seratus tahun.
Kemampuan Hideyoshi membalik keadaan ini tidak terlepas dari prinsip-prinsip kepemimpinannya. Ia meletakkan dasar kepemimpinan yang belum terpikirkan oleh pemimpin Jepang sebelumnya.

Tujuh prinsip
Buku The Swordless Samurai ini mengurai prinsip-prinsip kepemimpinan Hideyoshi dengan bahasa sastra yang anggun. Prinsip-prinsip tersebut adalah; pertama, pemimpin harus bekerja lebih keras daripada yang lain.
Kedua, keberuntungan memihak mereka yang berani. Pemimpin mesti mengeksploitasi dalam membuat keputusan. Bertindaklah berani pada saat-saat kritis.
Ketiga, dedikasi kepada orang lain akan membuat orang lain berdedikasi kepadamu. Hanya mereka para pengikut yang berdikasi yang bisa mencapai tampuk kepemimpinan. Jika seseorang berhasrat memiliki pengikut setia, terapkan pengabdian untuk itu. Dedikasikan dirimu pada pemimpinmu.
Beberapa mungkin berpikir bahwa konsep ini hanya berlaku untuk pengikut, bukan pemimpin. Tapi mereka yang punya aspirasi untuk memimpin mula-mula harus belajar melayani. Dan mereka yang ingin menjadi atasan bagi orang lain mula-mula harus menjadikan majikan bagi mereka sendiri. Dengan demikian, prinsip-prinsip kepemimpinan berlaku sama untuk atasan maupun bawahan. Kesampingkan kepentinganmu sendiri demi kepentingan pemimpinmu.
Keempat, memiliki visi. Pemimpin besar bisa saja salah—tapi mereka tidak bisa ragu-ragu. Visi yang kuat dan terfokus pada masa depan—hal yang menginspirasi harapan dan kepercayaan diri di antara para pengikut—adalah ciri kepemimpinan utama. Pemimpin besar percaya apa pun bisa dilakukan. Di sanalah terletak rahasia penyelesaian masalah. Hadapi setiap tugas dengan tekad yang mantap.
Kelima, mempersiapkan segala sesuatu dengan matang dan bertindak berani. Pemimpin dan pengikut harus menyadari kelemahan-kelemahan mereka dan mengubahnya menjadi keunggulan. Keberhasilanmu bisa saja bergantung pada hal itu. Pemimpin yang cerdas akan membalikkan situasi, mengubah kelemahan menjadi keunggulan.
Kebesaran sebagai seorang pemimpin diukur dari seberapa besar kemauanmu menerima tantangan yang merisaukan. Raihlah tujuan-tujuan yang berat dengan melaksanakan komitmen. Pertaruhkan semua untuk memenangkan semua. Pemimpin yang menang akan memahami rahasia kemenangan: bertindaklah lebih awal untuk selesai lebih awal.
Keenam, pemimpin yang dicintai mempraktikkan rasa kekeluargaan. Perlakukanlah pengikutmu sebagai keluarga. Kesetiaan berlaku baik dulu maupun sekarang. Kesetiaan bisa didapat, tetapi tidak akan pernah bisa dibeli.
Pemimpin yang menghukum pengikut mereka gara-gara masalah kecil hanya akan menyakiti diri mereka sendiri. Tapi pemimpin yang mencoba menumbuhkan semangat sebesar ia memberi pengaruh adalah pemimpin yang memberlakukan rahasia kebaikan. Maafkanlah kesalahan-kesalahan sepele.
Ketujuh, bentuk tim kreatif. Pemimpin yang bertanggung jawab harus bisa mengayomi. Jangan lupakan kesederhanaan. Jangan manjakan diri kelewat batas. Waspada akan kesombongan. Berpegang teguhlah pada kesahajaan. Jangan pamer. Pemimpin harus menerapkan keseimbangan. Kekang obsesimu. Pemimpin sejati bertindak sesuai dengan ketegasannya. Bersikap tegas untuk menghindari pertikaian.
Buku ini akan membimbing siapa saja yang ingin sukses dalam kepemimpinan. Khususnya dalam kepemimpinan politik kenegaraan.
Pada akhirnya, kisah-kisah kesuksesan akan memberikan inspirasi tapi kesuksesan biasanya bergantung pada keadaan tertentu. Kegagalan, sebaliknya, selalu mengajarkan kita sesuatu. Pemimpin yang efektif harus bisa menerima kesuksesan maupun kegagalan dan belajar dari keduanya.

Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Kidung Kehidupan Kurnia Effendi



Judul : Anak Arloji
Penulis : Kurnia Effendi
Penerbit : Serambi, Jakarta
Terbit : Maret 2011
Tebal : 237 Halaman

Pustaka, Kedaulatan Rakyat, Minggu, 29 Mei 2011

Karya sastra selalu seksi untuk dibaca, direnungkan, dan disebarluaskan. Ia selalu memiliki wajah lain dalam menyentuh persoalan kehidupan. Ia bagai embun pagi yang senantiasa membasahi pepohonan. Menjadikan pohon rindang dan indah dipandang mata. Ia juga mampu menyemai benih-benih dan tunas-tunas agar senantiasa tetap bersemi walaupun di musim terik.

Sebagaimana karya sastra indah berupa kumpulan cerpen Kurnia Effendi berjudul Anak Arloji. Setidaknya 14 dongeng kehidupan dihadirkan dalam bahasa renyah ala Pak Kef (begitu Kurnia Effendi biasa disapa). Alur pembahasan yang runtut serta mudah dipahami merupakan nilai plus dalam buku ini.

Anak Arloji merupakan salah satu judul cerpen yang berada di dalam buku menawan ini. Dalam “Anak Arloji” kisah mengenai kerawanan jiwa manusia sampai ke tingkat yang hakiki. Cerpen yang mempermainkan unsur kebetulan sebagai daya tarik cerita ini menghadapkan manusia pada pertanyaan tentang misteri takdir. Pemicunya sepela saja; sebuah arloji.

Arloji ini pemberian dari seorang dokter ahli kandungan (Dokter Syarif Budiman) yang biasa menghadiahkan barang yang berkaitan dengan waktu tersebut kepada pasien yang anak dalam kandungannya diyakini akan lahir dengan selamat. Dan ada seseorang yang anaknya memang lahir dengan selamat, tapi beberapa waktu kemudian meninggal, padahal ia juga mendapat hadiah arloji dari dokter yang baik hati itu. Kecemasan dan kegelisahan yang luar biasa menghantui hati manusia yang suka “curiga” terhadap takdir.

Pada akhirnya, sebagaimana yang ditulis oleh Joko Pinurbo (seorang penyair asal Yogyakarta) dalam “Kata Pembaca”, manusia memang memerlukan dongeng untuk menyegarkan kembali hati yang gersang dan pikiran kerontang di tengah sergapan pragmatisme hidup sehari-hari. Dalam hidup yang berputa seperti mesin, kesadaran dan imajinasi tentang nilai-nilai hidup yang hakiki sering lenyap. Kita layak menunggu dan merindukan dongeng-dongeng Kef berikutnya.

*)Benni Setiawan, Pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Senin, 23 Mei 2011

‘Peace Journalism’ ala Mochtar Lubis



Analisis News, Senin, 23 Mei 2011

Judul : Catatan Perang Korea
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Terbit : 2010
Tebal : xxvii + 154 Halaman

Mochtar Lubis, sebuah nama yang akan selalu dikenang dalam jagad jurnalisme Indonesia. Ia tidak hanya seorang wartawan (jurnalis) yang meliput untuk kepentingan media tempatnya berkerja. Namun, ia menulis untuk pemanusiaan manusia. Sebuah kerja jurnalisme yang tidak banyak dimiliki oleh seorang wartawan biasa.

Salah satu bukti dari kerja pemanusiaan manusia ini tercermin dalam karya Catatan Perang Korea. Buku yang terbit pertama pada tahun 1951 bercerita tentang pengalaman Mochtar Lubis dalam meliput pertumpahan darah di Korea.

Ia berangkat ke Korea atas undangan Persarikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Undangan ini tentunya bermakna bahwa Mochtar Lubis merupakan wartawan berlisensi yang diakui dunia. Reputasi jurnalistik yang mendunia telah menghantarkan Mochtar Lubis pada peliputan yang berisiko, yaitu perang.



Perang digambarkan oleh wartawan Indonesia Raya sebagai “keruntuhan peri kemanusiaan”. Hal ini karena setiap saat ia melihat rintihan, tangisan, dan mayat terbujur kaku. Kondisi perang menjadikan seseorang hanya memiliki dua pilihan. tetap hidup atau mati. Kondisi ini semakin diperparah oleh penderitaan masyarakat sipil yang merupakan korban utama.

Mochtar Lubis dengan apik merekam semua peristiwa itu dengan gaya catatan harian yang menawarkan gagasan membaca ringan. Pembahasaan yang demikian memudahkan pembaca bertualang ke era tahun 1950-an dan seakan-seakan berada dalam situasi peperangan yang sesungguhnya. Kepiawaian Mochtar Lubis merangkai kata pun menambah keyakinan betapa perang hanya perbuatan sia-sia yang mematikan kemanusiaan manusia.

Mochtar Lubis melalui buku ini ingin mewartakan kepada masyarakat luas bahwa perang Korea pada dasarnya dapat mengilhami Indonesia. Ia menulis, “dari kisah Korea kita di Indonesia dapat belajar jika kita mau, terutama jika kita hendak belajar, bagaimana suatu negeri bisa hancur, jika pemimpin-pemimpin tiada dapat menolak pengaruh-pengaruh luar yang sedang bertentang-tentangan di dunia ini”.

Pengaruh luar negeri bagi Mochtar Lubis akan mengoyak kedaulatan bangsa. Bangsa Indonesia mudah bercerai-berai oleh kepentingan kelompok tertentu. Maka, kepemimpinan yang tegas dan berani mengatakan “tidak” kepada asing akan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran.

Mochtar Lubis seakan telah mengingatkan pemimpin bangsa jauh-jauh hari. Bahwa kemandirian bangsa akan terwujud ketika pemimpin mampu berdikari, meminjam istilah Sukarno.

Lebih lanjut, melalui analisis yang tajam Mochtar Lubis menulis, banyak keburukan dan kepincangan yang terjadi di negeri ini disebabkan pula karena manusia Indonesia tiada menguasai dirinya sendiri. Setelah mendapatkan kemenangan perjuangan dalam bentuk kemerdekaan bangsa, maka manusia Indonesia menghendaki pula supaya dia dengan secepat-cepatnya dapat mengutip buah-buah kemerdekaan, yang selama ini diimpikan. Dalam usaha memetik buah-buah kemerdekaan ini, lupalah orang pada diri, dan terjadilah segala macam perebutan, korupsi, kekerasan, dan macam-macam yang lain (hal 3).

Mochtar Lubis merupakan sosok wartawan yang mampu mencondro masa depan, winarah sakdurunge weruh, dalam bahasa Jawa. Catatan jurnalistik tentang perang menjadi sarana untuk mengingatkan pemimpin bangsa.

Maka dari itu, buku ini tidak hanya bercerita tentang perang Korea yang menjadi tugas Mochtar Lubis. Buku ini bercerita tentang masa depan bangsa jika tidak dikelola dengan baik.

Pada akhirnya, mengutip catatan Ignatius Haryanto dalam pengantar buku ini, dengan intuisinya, Mochtar meliput perang ini tidak sebagai suatu pertarungan elit semata, tetapi terutama sekali, perang telah membuat banyak orang tak berdosa jadi menderita. Korban semacam ini sangatlah banyak. Kalau orang pada masa sekarang mungkin akan melihat karya Mochtar ini sudah memasukkan perspektif peace journalism (jurnalisme damai), di mana konflik yang terjadi dilihat oleh sang peliput dari sisi akar masalahnya, dilihat dari dampak yang dihasilkan dari konflik. Tujuannya untuk apa? Tujuannya agar perang tidak abadi. Perang harus segera berhenti.

*)Benni Setiawan, pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Belajar dari Bajak Laut



Jawa Pos, Minggu, 22 Mei 2011

Judul : Tinggalkan Sekolah sebelum Terlambat, Belajar Cerdas Mandiri dan Meraih Sukses dengan Metode Bajak Laut
Penulis : James Marcus Bach
Penerbit : Kaifa, Bandung
Tebit : April, 2011
Tebal : 280 halaman


“Jadikan setiap tempat sekolah, dan jadikan setiap orang guru”. Itulah petuah bijak Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional yang namanya senantiasa dikutip setiap bulan Mei.

Ironisnya, penyebutan ini hanya sampai pada kerongkongan. Tidak sampai sebuah penghayatan kehidupan. Karena itu, tidak aneh jika pendidikan Indonesia tidak punya visi. Pendidikan bagaikan mengelola perusahaan dengan mencari untung sebesar-besarnya dengan mengekang seluruh pelaku pendidikan. Mereka tidak mempunyai imajinasi yang dapat mengubah dunia. Semuanya dikerdilkan demi memuaskan nafsu pendidikan ala pemerintah.

Menilik kondisi yang demikian, jangan harap pendidikan Indonesia mampu memanusiakan manusia sebagaimana harapan Romo Driyarkara. Alih-alih memanusiakan manusia, pendidikan Indonesia belum mampu memanusiakan diri sendiri sebagai potensi mandiri anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

Kondisi demikian sudah saatnya disadari oleh stakeholder pendidikan Indonesia. Pendidikan harus dikembalikan ke ranah yang benar. Yaitu mendorong peserta didik berpikir bebas dan lepas dari sekat-sekat primordial.



Metafora Bajak Laut

Nah, buku Tinggalkan Sekolah Sebelum Terlambat ini mengajarkan bagaimana manusia dapat bebas dari keterkungkungan insani. Yaitu dengan metafora menjadi bajak laut.

“Menjadi bajak laut”adalah sebuah metafora besar tentang cara belajar yang diterapkan oleh sejumlah orang. Itu memberi rasa nyaman dan dukungan pada sebagian orang yang pikirannya cenderung pada sebagian orang yang pikiran-pikirannya yang mau-tidak mau berkelana. Beberapa orang menyebutnya”gangguan pemusatan perhatian” (attention deficit disorder). Sebenarnya bukan itu, dia lebih mirip rasa ingin tahu yang tidak dapat dihambat.

Bajak laut memicu pembentukan diri yang tiada henti. Para bajak laut yang sesungguhnya berlayar dengan kapal-kapal di laut. Orang-orang yang belajar seperti bajak laut menggunakan pikiran sebagai kendaraan mereka, dan berlayar di samudera ide.

Para bajak laut mengawali pelayaran mereka untuk mencari harta karun. Orang-orang yang belajar seperti bajak laut merancang kurikulumnya sendiri. Mereka mengawali sebuah pelayaran untuk mencari pengetahuan.

Para bajak laut menggunakan ancaman dan kekerasan untuk mencapai tujuan akhir mereka. Orang-orang yang belajar seperti bajak laut tidak menyukai kekerasan fisik: mereka adalah orang-orang yang berani dengan hasrat intelektual yang bergelora. Untuk harta karun yang mereka cari, mereka menggunakan metode pencarian yang unik, bukan kekuatan senjata.

Para bajak laut mencari kekayaan material, seperti emas batangan, permata, dan mata uang perak kuno yang dinamai pieces of eight. Kekayaan yang dicari oleh orang-orang yang belajar seperti bajak laut adalah kekayaan yang tidak dapat disentuh, tetapi bukan berarti kurang berharga: berbagai jenis pengetahuan, keahlian, rahasia-rahasia besar, keterkaitan dengan pikiran-pikiran lain, dan pribadi yang terus-menerus tumbuh menjadi lebih kuat (hal 38-39).



Dekonstruksi Kemapanan

Penulis buku ini, James Marcus Bach, pernah drop-out dari SMA. Ia lalu belajar otodidak dan menjadi manajer di Apple Computer, pembicara, dan pengajar di bidang pengujian perangkat lunak di sejumlah laboratorium dan universitas top di berbagai negara. Bach ingin menunjukkan bahwa upaya untuk meraih kecerdasanlah yang membuat Anda cerdas, bukan hanya IQ yang dibawa sejak lahir, atau sederet ijasah formal.

Anda tak harus menjadi pelaut untuk bisa mengarungi samudra kehidupan nan luas. Bajak laut juga sanggup melakukan itu—kadang bahkan lebih hebat daripada pelaut “sekolahan”. Buku ini bercerita tentang kegembiraan kita karena bertanggung jawab atas pemikiran-pemikiran kita sendiri.

Tulisannya sangat blak-blakan, liar, dan nakal, namun sangat inspiratif. Sementara itu, metode-metodenya—belajar ala bajak laut—sangat unik dan ingin mentrasfer cara belajar mandiri kepada setiap pembaca. Buku ini adalah karya cerdas tentang cara menjadi orang cerdas yang berbeda.

Buku ini ingin mendekontruksi kemapanan sistem pendidikan yang berlangsung di berbagai belahan dunia. Pendidikan bukan hanya duduk manis di bangku sekolah guna mendapatkan gelar berderet. Pendidikan adalah cara membebaskan imajinasi dan merangkainya menjadi spirit guna menghadapi persoalan kehidupan.

Sebagaimana diakui penulisnya, buku ini tidak berbicara tentang sekolah. Namun, Bach berbagi pengalamannya tentang sekolah untuk menekankan beberapa perbedaaan antara mendidik diri –sendiri dan pendidikan formal.

Apa yang dikemukakan Bach di atas telah diretas oleh founding fathers bangsa ini. Bapak-bapak Pendidikan Indonesia seperti Ki Hajar Dewantara, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’arie, Driyarkara, dan YB Mangunwijaya telah meletakkan dasar pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada kerja dan ijasah. Pendidikan merupakan pengagungan akan fitrah kemanusiaan sebagai makhluk berpikir.



Benni Setiawan, Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional.

Sabtu, 14 Mei 2011

Hartini, Pendamping Sukarno di Masa Kritis



Analisis News, Sabtu, 14 Mei 2011

Judul: Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno
Penulis : Arifin Suryo Nugroho
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Tebit : 2009
Tebal : xix + 271 halaman

Terlahir dengan nama Siti Suhartini. Perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Hartini ini dilahirkan di Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924. Ia merupakan istri keempat Sukarno, setelah Siti Untari, Inggit Garnasih, dan Fatmawati.
Hartini juga merupakan perempuan yang membuat The First Lady (Fatmawati) marah besar. Fat, harus meninggalkan istana karena keteguhan prinsipnya yang tidak mau dipoligami.
Tidak hanya Fat yang marah. Pimpinan Pusat Perwari mengirimkan surat ajakan kepada organisasi perempuan khususnya yang ada di Jakarta mengambil sikap atas masalah perkawinan poligami Sukarno.
Ya, kehadiran Hartini yang disebut Sukarno sebagai Srihani memang disambut dengan penentangan. Namun,Tien, begitu Sukarno menyebutnya, tetap teguh dan mendampingi Sukarno hingga akhir hayat.
Kisah cinta Hartini dimulai ketika perjamuan makan yang diselenggarakan oleh Wali Kota Salatiga. Saat itu Sukarno bertanya siapa yang memasak perjamuan makan ini. Sambil malu-malu Hartini yang saat itu sudah bercerai dengan Suwondo, mengangkat tangannya. Dengan bangga, Sukarno memuji makanan Hartini tersebut.
Sejak saat itu hubungan Sukarno-Hartini semakin erat. Sukarno sering mengirim surat untuk Hartini dengan nama Srihana. Dan Hartini disebut Srihani. Kisah cinta dua sejoli ini pun kemudian berlanjut dalam hubungan pernikahan.
Dari sinilah Hartini menjadi seseorang yang sangat berpengaruh bagi Sukarno. Hartini berada di saat kondisi negeri yang dipimpin Sukarno dalam kondisi kritis. Yaitu era tahun 1950-1965an, saat-saat kejatuhan Sukarno.
Hartini sebagai seorang istri tidak hanya mampu membangkitkan semangat dan gelora perjuangan bagi Sukarno. Sukarno semakin mapan melalui pidato-pidato heroic yang mampu membangkitkan semangat bangsa Indonesia adalah karena sentuhan kasih sayang dari Hartini.
Hartini hadir bukan hanya sebagai seorang istri. Ia adalah seorang perempuan berdarah Jawa Timur yang tahu selera Bung Karno. Ia mampu menjadi teman, penasehat, sekaligus penguat dan peneguh bagi kegalauan Sukarno.
Lebih dari itu, Hartini juga menjadi saksi sebuah revolusi peralihan yang menyudutkan Sukarno. Hartini tahu persis ketika Sukarno “dipaksa” menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Menurut penuturan Hartini, berkali-kali Sukarno mengeryitkan dahi dan berkata keberatan sebelum akhirnya menandatangi surat tersebut.
Pasca-kejatuhan Presiden RI pertama ini, Hartini pun tetap setia mendampingi masa tahanan rumah. Ia tetap setia bersama Sukarno walaupun saat itu Sukarno juga mempunyai Ratna Sari Dewi. Ia pun tetap setia dan tidak menikah lagi dengan orang lain sepeninggal Sukarno. Ia seakan ingin membuktikan ucapannya. Bahwa, Hartini mencintai Sukarno, bukan mencintai seorang presiden.
Buku Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno ini mengulas dengan cukup jeli kepribadian Hartini saat sebelum menjadi istri Sukarno, saat menjadi istri, dan pasca kejatuhan Sukarno. Sebuah kepribadian yang kukuh sehingga mampu menyelami dan menjadi pembimbing bagi kehidupan Sukarno di saat-saat krisis. Berkah kepribadian itu pula Hartini tetap kokoh dan tahan terhadap terpaan kritik.
Maka tidak aneh jika, John D. Legge menyebut Hartini sebagai satu dari tiga istri Sukarno yang paling berpengaruh, setelah Sarinah dan Inggit Garnasih. Pernikahan Srihana-Srihani (Sukarno-Siti Suhartini), telah membuka fase baru yang lebih mantan baik dalam kehidupan pribadi maupun politik Sukarno. Hartini, sebut Legge di masa itu mampu menjadi daya psikologis bagi Sukarno.
Pada akhirnya, buku ini semakin menambah kepustakaan perempuan-perempuan yang berpengaruh dalam karir Sukarno yang digarap secara apik dan rinci. Selamat membaca.

*)Benni Setiawan, pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Minggu, 08 Mei 2011

Inggit, Perempuan Super di balik Kesuksesan Sukarno



Analisis News, Minggu, 08 Mei 2011

Judul : Perempuan dalam Hidup Sukarno, Biografi Inggit Garnasih
Penulis : Reni Nuryanti
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Terbit : 2007
Tebal : xx + 386 Halaman


Bercerita tentang Inggit Garnasih (17 Februari 1888-13 April 1984), adalah mengurai kisah humanisme yang jauh dari embel-embel politik. Kisah cinta dua insan yang berbeda pikir, laku, dan ilmu. Namun, sanggup menggoreskan tinta sejarah di atas kertas kehidupan yang penuh makna.

Inggit adalah potret ibu, kekasih, dan kawan bagi Sukarno. Inggit setia mendampingi dan mengiringi perjalanan hidup Sukarno yang tidak pernah sepi dengan kesulitan dan perjuangan.

Sukarno bagi Inggit adalah potret suami, guru, mitra perjuangan sekaligus kekasih yang sanggup memberi warna dan cinta. Meski akhirnya perpisahan datang menyapa, cinta tetap melekat di hati Inggit. Dalam doa yang tulus dia berucap, “Sesungguhnya dengan menempuh perjalanan panjang, yang bukan jalan bertabur bunga, aku telah mengantarkan kekasih ke gerbang harapan”.

Ya, inilah bukti ketulusan Inggit mendampingi Sukarno saat kemiskinan dan kekurangan. Inggit tidak seberuntung istri-istri Sukarno lain, seperti Fatmawati, Hartini, Ratna Sari Dewi, Haryati, Kartini Manopo, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar yang mendampingi Proklamator RI ini di tengah kejayaan (kekayaan dan puncak kekuasaan).

Inggit mendampingi Sukarno di masa-masa sulit. Namun, ialah yang telah membentuk pribadi Sukarno menjadi pejuang, orator ulung, Presiden yang selalu dikenang oleh bangsa Indonesia.

Mengapa demikian? Ingit adalah perempuan matang dan kaya pengalaman. Inggit diusia yang relatif muda sudah bersinggungan secara langsung dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia masa awal.

Pada usia (18 tahun), Inggit telah terlibat sebagai panitia Kongres Pertama Sarekat Islam, yang secara tidak langsung memberinya ruang untuk membaca situasi sosial politik saat itu. Di samping itu, ia bertemu dengan banyak aktivis pergerakan, termasuk pentolannya, seperti H.O.S Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim.

Maka ketika Sukarno hendak mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), Inggitlah perempuan hebat di balik kesuksesan itu. Inggit mampu memformulasikan pidato-pidato Sukarno yang sulit dipahami oleh orang awam menjadi untaian kata yang renyah dan menggugah semangat juang. Berkat polesan Inggit, PNI menyebar dan dalam waktu singkat mempunyai cabang di berbagai kota.

Inggit dengan penuh kesetiaan mendampingi Sukarno ke mana pun ia pergi. Bahkan saat Sukarno di asingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pulau Ende menjadi saksi bisu kesetiaan perempuan bernama Inggit. Sosok perempuan yang tidak pernah mengeluh. Selalu mensyukuri apa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Menilik hal demikian, Inggit bukanlah hanya merupakan sosok perempuan pertama yang dinakahi Sukarno. Inggit merupakan pendamping Sukarno yang mampu membentuk karakter dan kepribadian suaminya.

Maka tidak aneh jika pujian selalu mengiringi kisah hidup perempuan berdarah Sunda ini. salah satunya dari S.I. Poeradisastra. Ia menulis, “Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua janda Sukarno dengan segala jasa dan segala segi positifnya masing-masing, tetapi saya harus mengatakan, bahwa hanya Inggit Garnasihlah yang merupakan tiga dalam satu diri. Ibu, kekasih, dan kawan yang memberi tanpa menerima. Kekurangan Inggit yang tak mampu melahirkan anak bagi Sukarno merupakan suatu yang ditemukan kemudian pada saat yang tepat ketika sesuatu alasan perlu dicari”

Buku Perempuan dalam Hidup Sukarno, Biografi Inggit Garnasih ini mengulas sejarah hidup perempuan bersahaja yang mampu mengantarkan Sukarno menuju puncak kesuksesan. Penulis buku ini secara intim mampu melukiskan sosok dan pribadi Inggit secara detail. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah mengingat Reni Nuryanti adalah penulis kelahiran tahun 1980-an yang jauh dari sejarah hidup Inggit. Walaupun karena terlalu asyik dan kagum terhadap Inggit, Reni lupa bahwa dirinya adalah sejarawan yang harus menjaga jarak dan memberikan kritik.

Namun, kemampuannya menggali data, melalui penelusuran dokumen dan wawancara dengan beberapa tokoh termasuk Ratna Juami (anak angkat Sukarno-Inggit), menjadikan buku ini layak dibaca sebagai sebuah literatur sejarah sekaligus buku untuk mengenal secara lebih dekat sosok Inggit Garnasih.

Pada akhirnya, jika Anda hendak mengenal sosok Sukarno muda dan siapa orang yang turut serta “membesarkan” Presiden RI pertama ini, Anda selayaknya mengenal Inggit Garnasih. Buku ini menyediakan jawaban atas pertanyaan tersebut. Selamat membaca.


*)Benni Setiawan, pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Kamis, 05 Mei 2011

Meneguhkan Islam sebagai Agama Damai

"Resensi", Jurnal Nasional, Rabu, 04 Mei 2011



Terorisme telah mencoreng nama Islam. Kata-kata tersebut pernah diteriakkan oleh Keith Ward dalam Is Religions Dangerous? (2006). Namun, sejak dikumandangkan lima tahun lalu, ternyata aksi biadab terorisme masih saja terus terjadi di bumi Indonesia. Rangkaian bom bunuh diri, aksi teror terhadap tempat ibadat, dan teror di tengah perayaan umat beragama masih saja menjadi senjata andalan teroris. Teroris seakan terus membayangi kehidupan masyarakat. Ia telah menjelma menjadi hantu yang menakutkan.
Padahal menurut Mohammad Abu-Nimer dalam buku Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam, Teori dan Praktik, tindakan atau pernyataan muslim harus dinilai dari kontribusi potensialnya terhadap pencapaian tujuan tersebut. Dalam Islam, bertindak karena Tuhan sama dengan mengupayakan adl, keadilan.
Islam menyerukan hal tersebut kepada yang kuat maupun yang lemah. Adalah kewajiban muslim untuk mengupayakan keadilan dan melawan penindasan di tingkat interpersonal maupun struktural.
Beberapa ayat al-Quran mengungkapkan dengan tegas pandangan ini. "Allah memerintahkan keadilan, kebajikan, dan kedermaan pada kerabat dan keluarga, dan Dia melarang perbuatan keji, kecurangan, dan kedurhakaan. Dia memerintakanmu, agar kamu mendapatkan peringatan." (an-Nahl, 16: 90).
"Wahai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan dengan teguh, sebagai saksi karena Allah, meskipun terhadap dirimu sendiri, atau orangtuamu, atau kaum kerabatmu, miskin atau kaya: karena Allah Maha Melindungi keduanya. Maka janganlah mengikuti hawa nafsu, agar kalian tidak menyimpan dari berbuat adil, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang kamu perbuat" (an-Nisa, 4: 135).
"Hai orang-orang yang beriman, tegakkanlah karena Allah, sebagai saksi yang adil, dan janganlah kebencianmu terhadap seseorang menyimpangkanmu dari kebenaran dan menjauhkanmu dari keadilan. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat pada takwa, dan bertakwalah kepada Allah, karena Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan" (al-Maidah, 5:8).
Guru besar tamu pada Internasional Peace and Conflict Resolution Program, American University,Washington DC ini juga menyatakan, kedamaian dalam Islam dipahami sebagai suatu keadaan harmonis secara fisik, mental, spiritual, dan sosial-berdamai dengan Tuhan lewat ketaatan dan berdamai dengan sesama manusia dengan menghindari pelanggaran. Islam mewajibkan para pengikutnya untuk mencari kedamaian di segala bidang kehidupan. Tujuan utama Al-Quran bagi kaum muslim adalah untuk menciptakan tatanan sosial yang adil dan damai. Sembari mengutip sebuah Hadis yang berbunyi, "Jihad terbaik adalah perkataan yang benar (haq) kepada penguasa yang menindas."
Abu-Nimer mewartakan sebuah tatanan bina-damai dalam Islam yang tidak hanya kuat secara teoritis namun juga telah dipraktekan dalam lokakarya dan seminar serta diimplementasikan secara langsung di berbagai negara. Seperti, Amerika Serikat, Israel, Palestina, Yordania, Mesir, Turki, Irlandia, Sri Lanka, dan Filiphina.
Buku ini cukup otoritatif dalam menjawab keresahan masyarakat mengapa agama senantiasa dibajak oleh teroris. Buku ini mengupas secara mendalam apa itu jihad dan mengapa kredo ini seringkali disalahgunakan oleh sebagian umat manusia.

Benni Setiawan,alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Rabu, 04 Mei 2011

Bunga Teratai yang Menguatkan Sukarno



Analisis News, Selasa, 3 Mei 2011

Judul : Fatmawati Sukarno, The First Lady
Penulis : Arifin Suryo Nugroho
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Terbit : 2010
Tebal : xx + 275 Halaman

Fatmawati Sukarno. Siapa yang tidak mengenalnya? Ketika di bangku sekolah dasar, kita akan mendapat pelajaran, bahwa penjahit Sang Merah Putih adalah beliau. Namun, sebenarnya siapa dia? Mengapa kemudian ia menjadi first lady?

Fatmawati lahir 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadijah. Fatmawati dilahirkan di Bengkulu, yang saat itu menjadi Ibu Kota Karasidenan Bengkulu. Kelahiran Fatmawati didahului oleh fisafat melalui mimpi Siti Chadijah malam hari sebelum melahirkan bayi mungil ini. Sang ibu bermimpi bahwa ia kejatuhan cinde (sebuah selendang yang disulam dengan benang emas) di atas kepalanya. Inilah tanda-tanda alam bahwa kelak ia akan menjadi seorang “pejuang” yang selalu dikenang sepanjang zaman.

Sebelum resmi menyandang nama Fatmawati, sang ayah dihadapkan pada pilihan sulit. Pilihan menentukan nama. Yaitu Fatmawati atau Siti Jubaidah. Fatmawati berarti bunga teratai. Sedangkan Siti Jubaidah merupakan nama salah satu istri Nabi Muhammad., s.a.w. di tengah kebimbangan itu, Hassan Din dan Siti Chadijah menuliskan dua nama di kertas putih kemudian diundi. Hasil undian itu memunculkan nama Fatmawati.

Fatmawati kecil yang sering disapa Tema mendapat pendidikan agama yang baik dari Bapak dan Ibunya yang merupakan aktivis Muhammadiyah di daerahnya. Tema belajar membaca Qur’an. Berkat pendidikan ini ia mempunyai karakter yang kuat dan tegas.

Karakter inilah yang kemudian dibawanya menjadi first lady. Jejak langkah Fatmawati menuju kursi first lady dimulai dari pertemuannya dengan Sukarno muda.

Ketika itu Sukarno dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Bengkulu. Sukarno diterima dengan baik oleh masyarakat termasuk keluarga Hassan Din. Hassan Din secara khusus bertandang ke rumah Bung Karno untuk mengajaknya menjadi guru sekolah rendah Muhammadiyah.

Ajakan ini disambut suka cita oleh Sukarno. Dan di sinilah dimulaila sejarah Sukarno menjadi guru. Sebuah petuah yang sering dikutip oleh masyarakat peduli pendidikan untuk mengajak setiap insan memulai aktifitas dengan menjadi guru. Di sekolah ini Sukarno mengajarkan arti penting cinta tanah air dengan banyak mengutip kisah sejarah perjuangan Nabi Muhammad, s.a.w.

Sejak saat itulah Sukarno dan keluarga Hassan Din mulai rekat. Pertemuan-pertemuan Sukarno-Hassan Din yang dikemudian hari mengajak Fatma menumbuhkan benih cinta di hati Tema dan Bung Karno.

Benih cinta ini kemudian diakui oleh Sukarno. “Fat terpaksa aku mengeluarkan perasaan hatiku padamu. Begini Fat…sebenarnya aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali au bertemu denganmu, waktu kau ke rumahku dahulu pertama kali…”

Cinta Sukarno kepada Fatma tergambar jelas melalui surat tanggal 11 September 1941. “Fat, dari ribuan dara di dunia. Kumuliakan engkau sebagai dewiku. Kupuja dengan nyanyian mulia; kembang dan setanggi dupa hatiku. O, Fatma, yang menyinari cahaya. Terangilah selalu jalan jiwaku, supaya sampai dibahagia raja. Dalam swarganya cinta kasihmu”(hal. 74).

Puncak cinta kasih Sukarno terwujud dengan menikahi Fatmawati pada tanggal 1 Juni 1943. Saat pendudukan Jepang di Nusantara. Pernikahan ini menggunakan Nikah Wali, yaitu opseter Sarjono. Pernikahan model ini ditempu dengan alasan saat itu sulit mendatangkan Fatma dan orangtuanya ke Jawa. Karena urusan yang berbelit-belit. Sementara tak mungkin bagi Sukarno berkunjung ke Bengkulu, kesibukannya di Lembaga Pusat Tenaga Rakyat (Putera) tak menyisakan waktu dirinya (hal. 83).

Dari sinilah kemudian Fatmawati mendampingi Sukarno dalam perjuangan sulit mewujudkan kemerdekaan Indonesia. keteguhan sikap dan konsistensi Fatmawati mampu mendorong Sukarno dalam melakukan perjuangan untuk negeri.

Di sinilah kebenaran peribahasa Amerika. “Behind every great man, there’s great woman (di balik laki-laki besar, selalu ada perempuan besar)”. Keberhasilan Sukarno mewujudkan kemerdekaan bersama founding fathers lain tentu ada kekuatan seorang istri yang mampu mempertahankan biduk rumah tangga.

Walaupun Fatma hanya dikenal sebagai penjahit bendera Merah Putih. Namun, di balik kesuksesan Sukarno ada nama Fatmawati seorang seorang perempuan yang mendampinginya di masa-masa kritis.

Keteguhan Fatma dalam bersikap pun dibuktikan dengan keengganannya untuk dipoligami. Yaitu saat Sukarno jatuh hati dengan perempuan Salatiga bernama Hartini. Ketika Sukarno menikahi Hartini, Fatma dengan sikap pemberani keluar dari istana. Keteguhan sikap inilah yang kemudian menular kepada anak-anaknya. Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Buku ini menghadirkan sebuah kisah perjalanan seorang Fatmawati yang berasal dari keluarga bisa di Bengkulu menjadi first lady. Melalui buku ini kita mampu menangkap pesan bahwa Fat (bunga teratai, bunga yang hidup di rawa dan lumpur) mampu menguatkan Sukarno dalam setiap aktifitasnya. Buku ini pun menegaskan bahwa perempuan bukanlah makhluk lemah. Ia adalah peneguh dan manajer sekaligus penyelamat biduk rumah tangga. Selamat membaca.


*) Benni Setiawan, pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Senin, 02 Mei 2011

Konsisten Perjuangkan Hak



"Resensi", Seputar Indonesia, 1 Mei 2011

Karya sastra selalu menarik untuk ditelaah. Pasalnya, ia mengandung banyak petuah bijak. Petuah-petuah bijak yang terurai dalam karya sastra seakan menyapa dengan hangat dan masuk dalam relung jiwa.

Ia bagai secercah harapan menapaki hidup yang semakin tidak berpihak. Menilik hal demikian, benarlah apa yang disuarakan oleh Immanuel Kant. Kant menyebutkan tentang pemanusiaan manusia melalui karya-karya sastra.

Dalam diri manusia terus- menerus timbul kerentanan, yang justru karena relasi manusia yang tiada henti dengan ruang-waktu. Logika yang berkuasa atas ruang-waktu kerap menyudutkan manusia untuk terbentur serangkaian kesulitan. Logika yang mendikte ruangwaktu sedemikian rupa mengaduk- aduk perasaan manusia. Logika yang bekerja dalam ruang-waktu menyeret eksistensi manusia ke dalam pusaran keterpecahan dan keberpentingan perasaan. Sastralah yang pada akhirnya mengutuhkan kembali perasaan manusia yang telanjur tersuruk dalam keterpecahan dan keberkepingan itu. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa manusia menemukan keutuhan dirinya seusai menyimak karya-karya sastra.

Melalui karya sastra,manusia berpeluang menemukan partikularitas yang hilang terporakporandakan oleh logika ruangwaktu (Anwari WMK: 2011). Cerita indah yang terangkai dalam kata yang “menghibur” jiwa salah satunya dapat kita baca dari buku Shin Suikoden, Petualangan Baru Kisah Klasik Batas Air karya Eiji Yoshikawa (11 Agustus 1892-7 September 1962). Bagi pembaca novel Jepang, nama Eiji bukanlah nama baru.Karya-karyanya telah banyak menginspirasi pembacanya. Salah satu karya Eiji yang sampai sekarang masih sering “dikutip” adalah Novel Musashi. Sebuah novel klasik yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa berkisah kepahlawanan Samurai di abad pertengahan.

Suikoden atau biasa dikenal dengan kisah Batas Air dan 108 Pendekar Liang Shan merupakan kisah klasik China yang berasal dari Dinasti Ming (1368–1644). Buku ini berkisah tentang perlawanan kaum bandit yang dipimpin oleh Song Jiang melawan kediktatoran pemerintah Dinasti Song. Dari sisi pemerintah, kaum bandit ini adalah pemberontak yang harus dienyahkan. Namun, bagi kaum papa, ia adalah pahlawan yang dipuja. Hal ini karena, para bandit menjerah kekayaan orang-orang kaya untuk dibagikan kepada kaum miskin. Sementara itu, orang kaya yang bersekutu dengan pemerintah korup selalu gelisah dan menghalalkan segala cara untuk menumpas kawanan ini. Inilah perspektif yang senantiasa menghiasi lembaran sejarah bangsa.

Seseorang yang tidak seide dengan pemerintah adalah kelompok yang pantas ditulis dengan tinta merah. Sebaliknya, kelompok propemerintah adalah pejuang yang pantas mendapat penghargaan dan menorehkan tinta emas untuknya. Beberapa tokoh utama dalam novel jilid satu ini adalah, Shi Shin,pemuda dengan rajah sembilan naga di tubuhnya, ahli tongkat yang meski mudah emosi, namun sangat menghargai pertalian antarlelaki sejati. Ro Chi Shin si Pendeta Bunga, mantan polisi militer dengan tubuh dan sikap bagaikan raksasa kasar, namun berhati lembut laksana bunga musim semi yang dirajah indah menakjubkan di punggungnya.

Cendekiawan Go, guru kuil di desa yang tersohor ketajaman akal dan kepiawaiannya dalam membuat strategi. Tokoh-tokoh ini berjuang guna mewujudkan keadilan dan tatanan masyarakat kala itu. Mereka secara konsisten mewujudkan cita-cita mulia tersebut dengan kekuatan dan potensi diri yang dimiliki. Keadaan masyarakat dalam potret novel ini tak ubahnya seperti keadaan Indonesia dan dunia pada umumnya. Kaum miskin semakin terpinggirkan oleh sistem yang tidak memihak. Sedangkan pemerintah dan kaum kaya selalu bersuka cita. Seperti keinginan anggota dewan membangun gedung baru secara mewah yang menghabiskan dana 1,1 triliun rupiah.

Saat bersamaan masih banyak rakyat Indonesia yang hidup tanpa rumah (papan) yang layak. Padahal, dana sebanyak itu bisa untuk membangun 21.000 unit rumah baru. Lebih lanjut, novel ini seakan mengajak kita untuk merenungkan, apa yang bisa kita lakukan untuk kaum papa? Bagaimana kita melakukannya? Dan mengapa kita perlu meluangkan waktu mendidik kaum papa bangkit dari keterpurukan hidup? Walaupun di novel edisi pertama ini garis perjuangan yang ditempuh belum tampak,karena menurut versi aslinya karya ini bersambung sampai lima jilid, namun buku ini menyadarkan kita arti penting perjuangan melawan ketidakadilan.

Ketidakadilan harus diperjuangkan oleh orang-orang yang konsisten dan pantang menyerah. Pasalnya, cita-cita mulia ini tidak mudah diwujudkan dalam waktu singkat. (*)

●Benni Setiawan,
Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta