Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 23 Mei 2011

‘Peace Journalism’ ala Mochtar Lubis



Analisis News, Senin, 23 Mei 2011

Judul : Catatan Perang Korea
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Terbit : 2010
Tebal : xxvii + 154 Halaman

Mochtar Lubis, sebuah nama yang akan selalu dikenang dalam jagad jurnalisme Indonesia. Ia tidak hanya seorang wartawan (jurnalis) yang meliput untuk kepentingan media tempatnya berkerja. Namun, ia menulis untuk pemanusiaan manusia. Sebuah kerja jurnalisme yang tidak banyak dimiliki oleh seorang wartawan biasa.

Salah satu bukti dari kerja pemanusiaan manusia ini tercermin dalam karya Catatan Perang Korea. Buku yang terbit pertama pada tahun 1951 bercerita tentang pengalaman Mochtar Lubis dalam meliput pertumpahan darah di Korea.

Ia berangkat ke Korea atas undangan Persarikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Undangan ini tentunya bermakna bahwa Mochtar Lubis merupakan wartawan berlisensi yang diakui dunia. Reputasi jurnalistik yang mendunia telah menghantarkan Mochtar Lubis pada peliputan yang berisiko, yaitu perang.



Perang digambarkan oleh wartawan Indonesia Raya sebagai “keruntuhan peri kemanusiaan”. Hal ini karena setiap saat ia melihat rintihan, tangisan, dan mayat terbujur kaku. Kondisi perang menjadikan seseorang hanya memiliki dua pilihan. tetap hidup atau mati. Kondisi ini semakin diperparah oleh penderitaan masyarakat sipil yang merupakan korban utama.

Mochtar Lubis dengan apik merekam semua peristiwa itu dengan gaya catatan harian yang menawarkan gagasan membaca ringan. Pembahasaan yang demikian memudahkan pembaca bertualang ke era tahun 1950-an dan seakan-seakan berada dalam situasi peperangan yang sesungguhnya. Kepiawaian Mochtar Lubis merangkai kata pun menambah keyakinan betapa perang hanya perbuatan sia-sia yang mematikan kemanusiaan manusia.

Mochtar Lubis melalui buku ini ingin mewartakan kepada masyarakat luas bahwa perang Korea pada dasarnya dapat mengilhami Indonesia. Ia menulis, “dari kisah Korea kita di Indonesia dapat belajar jika kita mau, terutama jika kita hendak belajar, bagaimana suatu negeri bisa hancur, jika pemimpin-pemimpin tiada dapat menolak pengaruh-pengaruh luar yang sedang bertentang-tentangan di dunia ini”.

Pengaruh luar negeri bagi Mochtar Lubis akan mengoyak kedaulatan bangsa. Bangsa Indonesia mudah bercerai-berai oleh kepentingan kelompok tertentu. Maka, kepemimpinan yang tegas dan berani mengatakan “tidak” kepada asing akan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran.

Mochtar Lubis seakan telah mengingatkan pemimpin bangsa jauh-jauh hari. Bahwa kemandirian bangsa akan terwujud ketika pemimpin mampu berdikari, meminjam istilah Sukarno.

Lebih lanjut, melalui analisis yang tajam Mochtar Lubis menulis, banyak keburukan dan kepincangan yang terjadi di negeri ini disebabkan pula karena manusia Indonesia tiada menguasai dirinya sendiri. Setelah mendapatkan kemenangan perjuangan dalam bentuk kemerdekaan bangsa, maka manusia Indonesia menghendaki pula supaya dia dengan secepat-cepatnya dapat mengutip buah-buah kemerdekaan, yang selama ini diimpikan. Dalam usaha memetik buah-buah kemerdekaan ini, lupalah orang pada diri, dan terjadilah segala macam perebutan, korupsi, kekerasan, dan macam-macam yang lain (hal 3).

Mochtar Lubis merupakan sosok wartawan yang mampu mencondro masa depan, winarah sakdurunge weruh, dalam bahasa Jawa. Catatan jurnalistik tentang perang menjadi sarana untuk mengingatkan pemimpin bangsa.

Maka dari itu, buku ini tidak hanya bercerita tentang perang Korea yang menjadi tugas Mochtar Lubis. Buku ini bercerita tentang masa depan bangsa jika tidak dikelola dengan baik.

Pada akhirnya, mengutip catatan Ignatius Haryanto dalam pengantar buku ini, dengan intuisinya, Mochtar meliput perang ini tidak sebagai suatu pertarungan elit semata, tetapi terutama sekali, perang telah membuat banyak orang tak berdosa jadi menderita. Korban semacam ini sangatlah banyak. Kalau orang pada masa sekarang mungkin akan melihat karya Mochtar ini sudah memasukkan perspektif peace journalism (jurnalisme damai), di mana konflik yang terjadi dilihat oleh sang peliput dari sisi akar masalahnya, dilihat dari dampak yang dihasilkan dari konflik. Tujuannya untuk apa? Tujuannya agar perang tidak abadi. Perang harus segera berhenti.

*)Benni Setiawan, pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar