Meraih Cita

Meraih Cita

Kamis, 28 Juli 2011

Menuju Keberhasilan Hidup Dunia Akhirat



Matan, Juli 2011

Judul : Mindset Islami
Penulis : Sugeng Widodo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Terbit : 2010
Tebal : xxxiv+252 Halaman

Bahagia dunia akhirat merupakan impian setiap insan. Kemudian bagaimana mewujudkan kebagian tersebut?

Buku Mindset Islami ini menuturkan jurus jitu meraih kebahagiaan dunia akhirat. Buku ini hadir mengajak pembaca menyadari bahwa kita memiliki potensi raksasa yang sedang tertidur. Sayangnya, kita tidak menggunakannya dengan maksimal.

Buku ini juga menunjukkan cara yang mudah untuk menikmati hidup dalam kondisi apa pun dan di mana pun, dengan mengelola pikiran berdasarkan keimanan kepada Allah. Selain itu buku ini menuntun setiap manusia menjadikan spiritualitas sebagai modal utama setiap orang untuk menikmati hidup.

Tujuan penulisan buku ini adalah membantu pembaca mengelola pikiran secara Islami untuk menikmati kebahagiaan kapan pun pembaca menginginkannya. Perasaan bahagia itu merupakan modal pertama dan utama dalam menjalani hidup ini. Perasaan bahagia yang sejati dapat kita rasakan melalui pendekatan spiritual, yakni dekat dan bersama Allah, Sang Khaliq.

Buku ini dilengkapi dengan ayat, hadis, tips-tips, kata mutiara, dan ringkasan tiap bab. Agar mendapatkan manfaat yang maksimal, pembaca disarankan membaca ulang terutama ringkasan setiap bab untuk mengingatkan kembali hal-hal penting sebagai landasan berpikir dan bertindak.
Lebih dari sekadar membaca dan memahami, agar mendapat manfaat maksimal, Anda disarankan untuk bertindak. Mulailah sekarang juga, mengelola pikiran berdasarkan keimanan kepada Allah. Jika pikiran kita diarahkan dan disandarkan pada Allah, hati kita menjadi enak, yaitu damai, nyaman, tenang, tenteram, senang, dan jauh dari sedih, sulit, maupun susah. Itulah hidup yang penuh kebahagiaan.

Sehebat apa pun ilmu pengetahuan yang Anda miliki, bila tidak dipraktikkan tidak akan bermanfaat dan tidak akan mengubah hidup Anda. Jadi sekarang, gunakan ilmu pengetahuan yang telah Anda miliki lewat buku ini untuk mengubah hidup Anda. Kuncinya, praktikkan, pergunakan ilmu itu dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan keperluan.

Melalui buku ini penulis mengajak pembaca menikmati kebahagiaan kapan dan di mana saja dengan mengelola pikiran secara Islami. Mengapa? Kebahagiaan itu sudah ada di dalam diri kita dan tidak perlu dicari. Kita tinggal menghadirkan saja kapan kita menginginkannya. Caranya mudah dengan mindset islami, yakni menggunakan sistem keyakinan yang dijiwai oleh nilai-nilai keislaman.
Mindset islami mencoba melihat dari perspektif yang lain, khususnya mindset sebagai sistem keyakinan, sistem berpikir, dan sistem tingkah laku yang bersifat keislaman.

Tujuannya adalah agar sejak awal kita dapat menikmati hidup yang penuh kebahagiaan. Kebahagiaan bukanlah tujuan, tapi merupakan modal utama dalam menempuh perjalanan hidup sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi. Kebahagiaan sudah ada di dalam diri setiap orang. Kita tinggal menghadirkan kembali dalam realitas dengan mindset islami.

Mindset islami adalah alat untuk mengelola potensi diri dan sumber daya yang kita miliki untuk menikmati hidup penuh kebahagiaan. Mindset islami juga merupakan modal yang sudah kita miliki dalam potensi diri masing-masing. Kita tinggal memanfaatkannya.

Mindset islami sangat cocok bagi semua orang dan tidak terbatas bagi umat Islam saja. Mengapa? Karena mindset islami yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadis itu hakikatnya sesuai dengan karakter dasar manusia secara universal, yaitu manusia sebagai ciptaan Allah, manusia merencanakan dan Allah menentukan, dan Allah menjadi penolong dan pelindung (hal 13- 27).

Maka, tidak berlebihan jika, Prasetya M. Brata, Ketua Yayasan Dharma Bumiputera menulis, sepintas dari judulnya, buku ini untuk pemeluk agama Islam dan berisi doktrin-doktrin dogmatis. Ternyata tidak. Buku ini memprovokasi Anda melalui seperangkat pikiran dan cara berpikir universal yang dapat ‘menyesatkan’ Anda ke jalan yang membawa Anda kepada keberhasilan hidup yang diridhoi Tuhan. Jangan baca buku ini jika Anda sudah merasa puas dengan hidup Anda saat ini. Jika Anda nekat membacanya, maka tidak dapat membayangkan betapa jernih dan luasnya kacamata yang akan Anda gunakan dalam menempuh perjalanan menuju keberhasilan hidup dunia akhirat.

Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Kamis, 21 Juli 2011

Cara Mudah Mempelajari Habermas


"Perada", Koran Jakarta, Kamis, 21 Juli 2011

Habermas, pemikir terkini yang karya-karyanya menjadi rujukan utama. Ia adalah pembaru Mazhab Frankfrut mampu memadukan dan melampaui tradisi berfikir pendahulunya seperti Herber Markuse, Theodor Adorno dan Max Horkheimer, tanpa harus terjebak dalam dikotomi salah dan benar.

Dalam kata pengantarnya di buku Theorie des kommunikativen Handelns (diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Theory of Communicative Action) Habermas mengatakan bahwa karyanya sebuah pendahuluan saja. Setelah ditinjau kembali dan setelah karya tersebut diterbitkan, ia pun mengakui—secara lumayan akurat, tetapi dengan kerendahan hatinya yang khas itu—bahwa karyanya tersebut "mustahil dipelajari".

Teori sosial yang diubah susunannya masih ditujukan pada permasalahan mendasar yang secara esensinya sama mengenai rasionalisasi negatif permasalahan yang dapat kita rangkum secara kasar dengan rumusan berikut: Rasionalisasi sebagai hilangnya makna Rasionalisasi sebagai hilangnya kebebasan = Reifikasi = penetrasi yang semakin meningkat dan nilai tukar dan kekuasaan di dalam masyarakat, budaya, dan dunia-kehidupan (Lebenswelt). Namun, pengubahan susunan ini sama pentingnya karena menyangkut, di antaranya, dasar dan artikulasi standar normatifnya sendiri.

Dalam proses historis dunia dari rasionalisasi, kita telah dibawa pada situasi di mana kita mengalami dan secara bertahap milihat kontradiksi-kontradiksi mendasar yang sedang berlangsung antara, di satu sisi, rasionalisasi ide dan etika yang benar-benar positif (emansipatoris) yang mengacu dalam satu arah pada masyarakat, dan di sisi lain, penetrasi uang dan kekuasaan yang semakin meningkat, yang justru mengindikasikan 'sangkar besi' dari masyarakat yang diatur secara total.

Proses historis dunia dari rasionalisasi, seperti yang dijelaskan oleh Habermas, 'telah melepaskan potensi nalar' yang dapat digunakan dan dimanfaatkan, dengan sikap reflektif melalui cara yang kritis, untuk membangun masyarakat yang lebih rasional. Atau, jika tidak begitu, kita bisa melanjutkan alur masyarakat yang sekarang sedang berjalan dan menghancurkan diri kita sendiri dalam segala perkara.

Michael Pusey dalam buku Habermas, Dasar dan Konteks Pemikiran ini mampu mengelaborasi pemikiran Habermas dalam sebuah bentuk yang menangkap setiap tantangan dari lingkup karya-karya pemikir kontemporer ini yang menyulut antusiasme pembaca. Dan pada saat yang sama juga Michael Pusey juga membahas konsep pokok dari paradigma Habermasian dengan cara yang membuat konsep tersebut lebih mudah dibaca dan dicerna.

Buku ini sudah pasti tidak hanya wajib bagi pembaca pemula, melainkan amat berguna bagi siapa saja yang hendak mendalami pemikiran Habermas.

Lebih lanjut, melalui karya ini Michael Pusey dengan kecermelangannya membantu kita mempelajari tahapan-tahapan dalam membaca karya Habermas tanpa mengurangi sedikitpun kebesaran idenya. Selamat membaca dan bertualang dalam ide Habermasian.

Peresensi adalah Benni Setiawan, Pembaca buku, mengelola bertualangkata.blogspot.com, tinggal di Sukoharjo

Judul : Habermas, Dasar dan Konteks Pemikiran
Penulis : Michael Pusey
Penerbit: Resist Book, Yogyakarta
Terbit : April 2011
Tebal : 187 halaman

Minggu, 17 Juli 2011

Mendalami pemikiran Habermas



Solo Pos, Edisi: Minggu, 17 Juli 2011, Halaman : IV

Jurgen Habermas. Siapa yang tak mengenalnya? Ia seorang tokoh pembaru dari Mazhab Frankfurt, Jerman, sebuah aliran pemikiran yang digawangi oleh Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse.
Tidak hanya itu, Habermas merupakan “pendobrak kebuntuan” berfikir ala Mazhab Frankfurt.

Kecermelangan filsuf Jerman kontemporer ini semakin tampak ketika ia pindah dari Universitas Frankfurt ke Max Planck Institute di Starnberg dan menulis karya besar berjudul Theorie des kommunikativen Handelns (diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Theory of Communicative Action).

Buku yang dikemas dalam dua jilid ini berisi argumen-argumen yang sulit. Terlebih lagi saat Habermas mengasyikkan diri dengan abstraksi filosofis yang berasal dari tradisinya sendiri, yaitu tradisi esoteris Jerman. Maka, sudah jelaslah bahwa kita akan melalui masa-masa sulit dalam memahami karyanya. Dan untuk menghindari kegetiran yang tidak semestinya dirasakan, ada baiknya bagi orang-orang yang tidak bernyali untuk menyerah sekarang juga.

Namun demikian, melalui karya ini Habermas secara brilian mendialogkan teori kritisnya yang disebut “Teori Tindak Kritis” dengan tradisi besar ilmu-ilmu sosial modern. Dalam pandangan Michael Pusey, penulis buku ini, teori kritis mengharuskan adanya pengubahan susunan secara menyeluruh yang akan menyelamatkan dari ‘jalan buntunya dalam filsafat kesadaran’. Restrukturisasi ini sama artinya dengan keseluruhan perubahan paradigma yang memisahkan permasalahan utamanya—mengenai rasionalisasi negatif versus rasionalisasi positif—dari paradigma Hegelian—kirinya dan menempatkannya ke dalam konteks sosiologis yang lebih klasik.

Teori sosial yang diubah susunannya ini diharapkan mampu memberikan penjelasan mendasar secara menyeluruh tentang bagaimana masyarakat menanggung bentuk dan karakternya yang sekarang. Lebih spesifik lagi, teori Habermas menawarkan rekonstruksi secara bertahap terhadap proses rasionalisasi, jalur perkembangannya yang bertentangan dengan standar normatifnya sendiri dari ‘rasionalitas komunikatif’. Asal-usul, korelasi, dan pengungkapan dari standar ini dieksplorasi dalam penelitian yang terperinci mengenai psikologi perkembangan, evolusi sosial, sejarah ide, susunan politik dari masyarakat modern, serta dieksplorasi juga dalam permasalahan-permasalahan modernitas.

Landasan filosofis

Dalam buku Habermas, Dasar dan Konteks Pemikiran ini, dosen senior bidang Sosiologi di University of New South Wales, Sydney, Australia ini, mencoba mengarahkan para pembaca pada landasan-landasan filosofis dan maksud kritis dari karya Habermas. Namun, masih ada kebutuhan untuk mempertimbangkan unsur-unsur pokok lainnya secara khusus dan terperinci, tidak saja karena Habermas mengaitkan argumen-argumennya dengan erat pada gabungan pemikiran dari penulis-penulis lain, tetapi juga karena proyeknya ini mencakup beberapa bidang yang berbeda secara bersamaan.

Habermas menawarkan ‘cara ketiga’yang mempersatukan sisa-sisa kreatif dari teori masyarakat liberal maupun marxis menjadi sebuah teori sosial yang baru dan kritis. Dalam banyak hal, Habermas memosisikan diri di tengah hal-hal tersebut dan karenanya ia harus melihat posisi mana yang lebih kuat sehingga ia sering menuai kecaman dari orang-orang yang awalnya benar-benar memahami, kemudian menolak, keyakinan-keyakinan terdalam kita. Tidak ada yang mengejutkan dari meluasnya dan menghebatnya kontroversi yang telah ditimbulkan oleh Habermas. Banyak pengritik dalam perspektif ini dan yang berlawanan telah menekan Habermas untuk melakukan perubahan dan perbaikan yang berguna dan terkadang yang penting dilakukan.

Habermas telah memberikan upaya yang sangat besar untuk mengakarkan pandangannya mengenai modernitas pada proses historis dunia dari rasionalisasi. Tujuannya adalah selalu untuk mengajak kita menilai kembali situasi modern kita sebagai suatu perkembangan yang berat sebelah dan untuk membantu kita mengenali jejak-jejak alur perkembangan yang terhalang lainnya yang selama ini telah ditindas dalam “bentuk kasar”nya.

Lebih lanjut, kelebihan buku ini, terletak pada kemampuan penulis mereferensikan tahapan-tahapan dalam membaca Habermas. Mulai tahap pembaca pemula, pembaca yang tertarik pada kajian hermeneutika filosofis, pembaca yang senang dengan kajian sosiologi politik, hingga pembaca yang ingin tahu konteks dari konsep pertama Habermas. Hal ini menunjukkan bahwa penulis melalui pergulatan intelektualnya memang mengerti secara detail karya Habermas.

Pada akhirnya, tulisan-tulisan Habermas dikenal karena sulitnya dicerna. Namun, Profesor Michael Pusey mampu memaparkan pokok-pokok pemikirannya terlihat gamblang tanpa mengurangi kekayaan makna dari konsep tersebut. -

Oleh : Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Jogja

Minggu, 10 Juli 2011

Menggungkap Selubung Hitam NII



Pustaka, Kedaulatan Rakyat, 10 Juli 2011

Judul : Mengapa Saya Memilih Negara Islam
Penulis : Dewi Triana
Penerbit: Mizan, Jakarta
Terbit : Juni 2011
Tebal : 265 Halaman

Negara Islam Indonesia (NII) sempat menjadi perbincangan publik beberapa waktu lalu. Selain menarik karena proses kesejarahan yang panjang dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), NII ini cukup mengagetkan karena proses perekrutan yang kadang irasional. Yaitu dengan mengharamkan anggota keluarga, menguras aset keluarga, mencuri dan merampok. Kesemuanya konon dilakukan atas dasar bahwa NKRI bukan negara Islam, sehingga apa yang dilakukan adalah halal.

Proses indoktrinasi, proses perekrutan, pembaitan, dan gerakan NII dipotret secara gamblang oleh Dewi Triana dalam buku Mengapa Saya Memilih Negara Islam. Ketekunan Dewi mengumpulkan data primer dan sekunder menjadi ia berhasil menggungkap selubung hitam NII dengan bahasa lugas (apa adanya) dengan gaya khas anak muda.

Hal ini dibuktikan dengan keterlibat dirinya dalam lingkungan NII KW 9 yang berlokasi di Jakarta. Riset yang tergolong berat ini berhasil dilakukan oleh alumnus Program Studi Sosiologi Universitas Indonesia ini berkat dukungan orang-orang dalam yang telah sadar dan kembali ke “jalan yang benar”.

Inilah kelebihan utama buku yang merupakan pengembangan dari Skripsi ini. Buku ini lahir berdasarkan fakta dan pengungkapan data berdasarkan wawancara mendalam (indept interview) yang dilakukan sekitar enam bulan.

Buku ini memuat bagaimana seseorang dapat menjadi bagian dari NII, mulai dari bujukan saudara kandung, teman dekat, sugesti teman kuliah, kenalan baru yang simpatik, sandiwara kakak kelas. Lebih lanjut, Dewi juga mengungkapkan beberapa faktor yang turut memengaruhi seseorang dapat terjerumus dalam NII KW 9. Seperti lemahnya pengawasan keluarga, peer group (teman sepermainan) di lingkungan yang baru, pemahaman agama yang kurang, dan belum memiliki prinsip hidup yang jelas. Semuanya didasarkan pada data responden yang berhasil diwawancarai oleh Dewi.

Tidak hanya menjelaskan faktor tersebut, namun Dewi juga memberikan alternatif pemikiran untuk keluar atau terhindar dari NII. Yaitu dengan perhatian keluarga dan proses kesadaran alamiah seseorang yang telah terlanjur masuk dalam jaringan ini. Sentuhan sederhana inilah, dalam pandangan Dewi merupakan hal utama jika seseorang ingin keluar dari gerakan yang merugikan ini.

Pada akhirnya, walaupun topik NII sudah banyak dibahas oleh banyak tokoh, namun, buku ini menghadirkan sebuah pendekatan yang lebih mudah diterima dan dibaca oleh siapapun. Penjelasan yang sederhana dan apa adanya semakin menjadikan buku ini layak untuk dibaca oleh masyarakat agar dapat membentengi diri dan keluarga dari kejahatan NII. Selamat membaca.

Benni Setiawan, pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

Masa Depan Agama-agama



Seputar Indonesia, Minggu, 10 Juli 2011

Sebuah buku yang secara apik dan lugas mengupas perspektif agama-agama Abrahamik tentang Tuhan. Kini, Armstrong hadir dengan buku yang tak kalah menarik yaitu Masa Depan Tuhan.

Melalui karya ini Armstrong berbicara tentang Tuhan dan agama menentang fundamentalisme dan ateisme.Baginya,agama adalah sebuah disiplin praktis yang mengajari kita menemukan kemampuan baru pikiran dan hati.

Tidak ada gunanya menimbang ajaran ajaran agama secara otoritatif untuk menilai kebenaran atau kepalsuannya sebelum menjalani cara hidup religius.Anda akan menemukan kebenaran— atau ketiadaan kebenaran— di dalamnya dengan hanya setelah Anda menerjemahkannya ke dalam ritual atau perbuatan etis.

Tak berbeda dengan setiap keterampilan, agama memerlukan ketekunan, kerja keras, dan disiplin. Sebagian orang lebih cakap dalam hal itu dibandingkan yang lain, sebagian lagi sangat tidak berbakat, dan yang lain sama sekali luput darinya (halaman 15).

Menjadi Teoretis

Namun, ketika para teolog mulai mengadopsi criteria sains, mythoi (mitos) kekristenan ditafsirkan sebagai dapat diverifikasi secara empiris,rasional,dan historis, lalu didesak untuk masuk ke dalam sebuah gaya pemikiran yang asing bagi mereka.

Para filsuf dan ilmuwan tidak lagi dapat melihat tujuan ritual dan pengetahuan agama menjadi teoretis alih-alih praktikal. Kita kehilangan seni menafsirkan dongeng-dongeng lama tentang para dewa yang berjalan di atas bumi, orang mati yang bangkit dari kuburan,atau laut terbelah secara mukjizati.

Kita mulai memahami konsep-konsep seperti iman, wahyu, mitos, misteri,dan dogma dengan cara yang tentunya akan mengejutkan bagi para leluhur kita.Secara khusus, arti kata ”percaya” menjadi berubah sehingga penerimaan secara enteng atas doktrin keimanan menjadi prasyarat untuk beriman, sedemikian sehingga hari ini kita sering menyebut orang beragama sebagai ”orang beriman” seolah-olah menerima dogma ortodoks ”tentang iman”adalah kegiatan yang paling penting.

Fundamentalisme dan Ateisme

Tafsiran yang dirasional atas agama ini telah menimbulkan dua fenomena modern yang sangat khas: fundamentalisme dan ateisme.Keduanya saling terkait. Kesalehan defensif yang secara populer dikenal dengan ”fundamentalisme” meledak di hampir semua agama besar selama abad ke-20.

Dalam keinginan mereka untuk menghasilkan keimanan rasional yang sepenuhnya ilmiah, yang menghapuskan mythos demi menegakkan logos, para fundamentalis Kristen menafsirkan kitab dengan literalisme yang belum pernah tersamakan dalam sejarah agama.

Di Amerika Serikat, fundamentalisme Protestan telah mengembangkan ideologi yang dikenal sebagai ”sains penciptaan”, yang menganggap mythoi dari Alkitab sebagai akurat secara ilmiah. Mereka, karena itu,berkampanye menentang pengajaran evolusi di sekolah-sekolah umum sebab hal itu bertentangan dengan kisah penciptaan dalam bab pertama Kitab Kejadian (halaman 19–20).

Dalam segala bentuknya, fundamentalisme adalah iman yang sangat reduktif. Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering mendistorsi tradisi yang mereka coba bela. Mereka, misalnya, bisa sangat selektif dalam membaca kitab suci.

Fundamentalis Kristen banyak mengutip dari Kitab Wahyu kepada Yohanes dalam Perjanjian Baru dan terinspirasi oleh kekerasan visinya tentang Akhir Zaman,tetapi jarang merujuk pada Khotbah di Atas Bukit, di mana Yesus menyuruh pengikutnya untuk mengasihi musuh-musuh mereka, memberi pipi yang lain, dan tidak menghakimi orang lain.

Fundamentalis Yahudi sangat mengandalkan bagian Kitab Ulangan dari Alkitab dan tampaknya mengabaikan perintah nabi bahwa penafsiran harus mengarah pada kemurahan hati. Fundamentalis muslim mengabaikan pluralisme Alquran dan kaum ekstrem mengutip ayat-ayat Alquran yang lebih agresif untuk membenarkan kekerasan, terang-terangan mengabaikan ayat yang jauh lebih banyak yang menyerukan perdamaian, toleransi, dan sikap memaafkan.

Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan tetapi sebenarnya religiositas jenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan. Menjadikan fenomena sejarah yang murni manusia-wi–seperti, ”Nilai-Nilai Keluarga”, ”Tanah Suci”,atau ”Islam”–sesuatu yang sakral dan bernilai absolut berarti pemberhalaan dan, seperti biasa, berhala itu memaksa mereka untuk berusaha menghancurkan lawanlawannya (halaman 470-471).

Dalam sejarah, ateisme jarang menjadi selubung penolakan terhadap hal-hal yang suci per se,tetapi hampir selalu menolak konsep tertentu tentang yang Ilahi. Pada tahap awal sejarah mereka, orang Kristen dan Islam disebut ”ateis” oleh kaum pagan sezaman mereka, bukan karena mereka menyangkal kenyataan Allah, melainkan karena konsep ketuhanan mereka sangat berbeda sehingga terkesan menghina Tuhan.

Benni Setiawan, alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta