Meraih Cita

Meraih Cita

Selasa, 25 Oktober 2011

Menyingkap Selubung Hitam NII



Jurnal Nasional | Minggu, 23 Oktober 2011

Seorang mantan anggota Negara Islam Indonesia mengisahkan memoarnya selama direkrut dalam gaya menulis novel.


PERBINCANGAN tentang Negara Islam Indonesia (NII) tampaknya tidak ada habisnya. Wacana ini seakan terus ada dalam sejarah panjang perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Lihat saja sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia, NII telah hadir sebagai "wacana perlawanan" terhadap keberadaan konsensus bersama founding fathers tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan agama (Islam) atau peraturan lainnya.
Kini, wujud NII sudah berubah. Sebagaimana diberitakan, rekrutmen "NII modern" telah menghalalkan segala cara. Mulai dari pembaitan yang dibarengi dengan penyetoran sejumlah dana, mengafirkan keluarga dan orang lain yang tidak mau mendukung NII, dan melakukan "pemberontakan" terselubung dengan membina jaringan pemerintahan mulai dari tingkat rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), dusun, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga presiden, dan perangkat lainnya.
Dua Ayat
Dalam hal pengafiran, buku yang ditulis oleh Muhammad Idris, Mereka Bilang Aku Kafir, Kisah Seorang Pelarian NII ini menjadi saksi tertulis keberadaan praktik ini. Praktik cuci otak yang didahului dengan kata-kata manis berdalih mengaji Al Quran telah menyeret seseorang untuk mengatakan "kafir" kepada orang lain yang tidak sepaham dengannya.
Guna memperkuat praktik ini, ustaz pendamping menyitir ayat-ayat suci Al Quran. Seperti dalam Surat al-Maidah (5:44), "...Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir." Surat Al-Baqarah (2:208), "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu."
Dua ayat tersebut sering kali dijadikan tameng perekrut anggota NII. Bagi yang tidak mempunyai pemahaman atau pembelajaran agama yang baik maka ia akan mudah terperosok dalam penafsiran yang dangkal.
Dua ayat tersebut pun pernah sampai pada diri Muhammad Idris. Dia mengaku bimbang ketika mendapatkan penafsiran yang jauh dari pemahamannya saat di pesantren dulu. Hal ini karena seseorang dengan mudah menuduh orang lain kafir, sehingga mereka tidak wajib dihormati hingga halal darahnya untuk dibunuh.
Kisah-kisah perekrutan hingga menjalankan amaliah NII dikupas secara apik oleh Muhammad Idris. Ia tidak hanya mengetengahkan cerita tentang kealpaan dirinya ketika terjerembap dalam selubung NII, namun mengurai hal-hal yang kadang masih kita sanksikan, seperti apakah sebenarnya gerakan ini ada, bagaimana jaringan ini menyebar dan berkembang secara pesat, dan mengapa banyak orang gila pascarekrutmen atau ingin kembali ke jalan yang benar.
Ragam Penyajian
Muhammad Idris dengan gaya cerita novel mengisahkan sebuah drama kehidupan. Sebuah drama kehidupan yang mungkin menyenangkan untuk ditonton, tetapi begitu sakit untuk dijalani. Kisah ini tak akan terbayangkan oleh perasaan dan naluri yang paling dalam sekali pun. kisah tragis seorang santri lulusan pesantren yang dibuat shock oleh dunia luar pesantren yang penuh dengan serigala-serigala lapar yang mengintai dan mengancam mangsa dengan mata tajam dan mulut menganga.
Lebih dari itu, kelebihan buku ini terletak pada pengungkapan fakta yang pernah dilalui oleh Muhammad Idris. Sehingga apa yang ditulis menjadi semacam memoar.
Dengan demikian, buku ini terlihat kurang akademis, jika dibandingkan dengan karya serupa yang ditulis oleh Dewi Triana, Mengapa Saya Memilih Negara Islam (Juni, 2011), yang diterbitkan oleh penerbit yang sama. Buku Dewi lebih akademis karena berasal dari skripsinya di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia. Pengungkapan data dan fakta lapangan yang diperoleh dengan menjadi anggota NII KW 9 dibalut dengan pendekatan sosiologis, namun tidak meninggalkan gaya bahasa anak muda yang ringan dan lugas (apa adanya).
Walaupun demikian, apa yang telah ditulis oleh Muhammad Idris ini mampu menutupi lubang-lubang kekurangan karya yang ditulis oleh Dewi Triana.
Pada akhirnya, perbincangan dan karya tentang NII selalu saja menarik untuk dikaji secara mendalam. Beragam cara penyajian menjadikan kajian NII tidak hanya mandek pada karya yang pernah ditulis oleh Al Chaidar tentang Kartosoewirjo sebagai founding fathers NII.
***
Benni Setiawan adalah alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tinggal di Sukoharjo.
***
Data Buku
Judul : Mereka Bilang Aku Kafir, Kisah Seorang Pelarian NII
Penulis : Muhammad Idris
Penerbit : Mizania, Jakarta
Terbit : Juni, 2011
Tebal : 218 Halaman
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar