Meraih Cita

Meraih Cita

Sabtu, 14 Mei 2011

Hartini, Pendamping Sukarno di Masa Kritis



Analisis News, Sabtu, 14 Mei 2011

Judul: Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno
Penulis : Arifin Suryo Nugroho
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Tebit : 2009
Tebal : xix + 271 halaman

Terlahir dengan nama Siti Suhartini. Perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Hartini ini dilahirkan di Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924. Ia merupakan istri keempat Sukarno, setelah Siti Untari, Inggit Garnasih, dan Fatmawati.
Hartini juga merupakan perempuan yang membuat The First Lady (Fatmawati) marah besar. Fat, harus meninggalkan istana karena keteguhan prinsipnya yang tidak mau dipoligami.
Tidak hanya Fat yang marah. Pimpinan Pusat Perwari mengirimkan surat ajakan kepada organisasi perempuan khususnya yang ada di Jakarta mengambil sikap atas masalah perkawinan poligami Sukarno.
Ya, kehadiran Hartini yang disebut Sukarno sebagai Srihani memang disambut dengan penentangan. Namun,Tien, begitu Sukarno menyebutnya, tetap teguh dan mendampingi Sukarno hingga akhir hayat.
Kisah cinta Hartini dimulai ketika perjamuan makan yang diselenggarakan oleh Wali Kota Salatiga. Saat itu Sukarno bertanya siapa yang memasak perjamuan makan ini. Sambil malu-malu Hartini yang saat itu sudah bercerai dengan Suwondo, mengangkat tangannya. Dengan bangga, Sukarno memuji makanan Hartini tersebut.
Sejak saat itu hubungan Sukarno-Hartini semakin erat. Sukarno sering mengirim surat untuk Hartini dengan nama Srihana. Dan Hartini disebut Srihani. Kisah cinta dua sejoli ini pun kemudian berlanjut dalam hubungan pernikahan.
Dari sinilah Hartini menjadi seseorang yang sangat berpengaruh bagi Sukarno. Hartini berada di saat kondisi negeri yang dipimpin Sukarno dalam kondisi kritis. Yaitu era tahun 1950-1965an, saat-saat kejatuhan Sukarno.
Hartini sebagai seorang istri tidak hanya mampu membangkitkan semangat dan gelora perjuangan bagi Sukarno. Sukarno semakin mapan melalui pidato-pidato heroic yang mampu membangkitkan semangat bangsa Indonesia adalah karena sentuhan kasih sayang dari Hartini.
Hartini hadir bukan hanya sebagai seorang istri. Ia adalah seorang perempuan berdarah Jawa Timur yang tahu selera Bung Karno. Ia mampu menjadi teman, penasehat, sekaligus penguat dan peneguh bagi kegalauan Sukarno.
Lebih dari itu, Hartini juga menjadi saksi sebuah revolusi peralihan yang menyudutkan Sukarno. Hartini tahu persis ketika Sukarno “dipaksa” menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Menurut penuturan Hartini, berkali-kali Sukarno mengeryitkan dahi dan berkata keberatan sebelum akhirnya menandatangi surat tersebut.
Pasca-kejatuhan Presiden RI pertama ini, Hartini pun tetap setia mendampingi masa tahanan rumah. Ia tetap setia bersama Sukarno walaupun saat itu Sukarno juga mempunyai Ratna Sari Dewi. Ia pun tetap setia dan tidak menikah lagi dengan orang lain sepeninggal Sukarno. Ia seakan ingin membuktikan ucapannya. Bahwa, Hartini mencintai Sukarno, bukan mencintai seorang presiden.
Buku Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno ini mengulas dengan cukup jeli kepribadian Hartini saat sebelum menjadi istri Sukarno, saat menjadi istri, dan pasca kejatuhan Sukarno. Sebuah kepribadian yang kukuh sehingga mampu menyelami dan menjadi pembimbing bagi kehidupan Sukarno di saat-saat krisis. Berkah kepribadian itu pula Hartini tetap kokoh dan tahan terhadap terpaan kritik.
Maka tidak aneh jika, John D. Legge menyebut Hartini sebagai satu dari tiga istri Sukarno yang paling berpengaruh, setelah Sarinah dan Inggit Garnasih. Pernikahan Srihana-Srihani (Sukarno-Siti Suhartini), telah membuka fase baru yang lebih mantan baik dalam kehidupan pribadi maupun politik Sukarno. Hartini, sebut Legge di masa itu mampu menjadi daya psikologis bagi Sukarno.
Pada akhirnya, buku ini semakin menambah kepustakaan perempuan-perempuan yang berpengaruh dalam karir Sukarno yang digarap secara apik dan rinci. Selamat membaca.

*)Benni Setiawan, pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.

1 komentar: