Meraih Cita
Minggu, 18 Desember 2011
Wajah Pendidikan Nusantara
Pendidikan Nusantara bukan hanya yang berada di Jawa. Pendidikan Nusantara adalah proses belajar mengajar yang tersaji dari Sabang hingga Merauke. Di pelosok daerah itulah kita akan menemukan potret nyata pendidikan di bumi pertiwi.
Ya, potret tersebut disajikan secara apik, menawan, penuh suka cita, kesedihan, dan kegembiraan oleh pengajar muda. Pengajar muda adalah mereka yang telah disaring melalui proses ketat oleh Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar pimpinan Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina, Jakarta).
Dari 1.383 pendaftar hanya diambil 51 orang. Mereka merupakan manusia pilihan, orang yang pantang menyerah, mempunyai jiwa kepemimpinan dan kecintaan yang mendalam terhadap Nusantara. Utamanya dalam masalah pendidikan di tanah air.
Satu Tahun Penuh Makna
Mereka berani meninggalkan kenyamanan di kota dengan berbagai fasilitas yang mendukung. Mereka pun dengan kerelaan hati meninggalkan pekerjaan mapan di kota dengan berbagai fasilitas yang mendukung. Mereka terpanggil untuk mendidik anak bangsa maju dan mendapatkan pendidikan yang memadai.
Selama setahun pengajar muda mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan rakyat di daerah terpencil. Pergulatan mendidik selama setahun inilah yang kemudian mewujud menjadi sebuah buku Indonesia Mengajar.
Selama setahun itu deretan kisah para pengajar muda seakan tak berujung. Setiap hari ada yang baru. Setiap persaudaraan adalah kebaruan penuh nuansa ikhlas. Tiap interaksi akan berhilir pada sebuah kisah. Ada terlalu banyak kisah mereka; kisah yang akan selalu menempel dalam kenangan para pengajar muda.
Di buku ini, sebagian dari kisah, pengalaman, pengamatan pengajar muda dituliskan. Kisah-kisah yang mereka tuliskan melalui blog di situs web Indonesia Mengajar itulah yang dipilah dan dipublikasikan dalam buku ini. Kisah-kisah yang membuat kita semakin yakin, semakin optimistis bahwa masa depan Republik ini memang cerah untuk semua.
Dari kisah-kisah ini terlihat bahwa satu tahun mereka berada di tengah-tengah rakyat di pelosok negeri, di tengah anak-anak bangsa yang kelak akan meneruskan sejarah Republik ini, adalah satu tahun penuh makna. Satu tahun berada bersama anak-anak di dekat keindaha alam, dan di lembah-lembah hijau yang membenyang sepanjang khatulistiwa.
Di desa-desa terpencil itu para pengajar muda menorehkan jejak, menitipkan pahala, bagi para siswa SD di sana, alas kaki bisa jadi tidak ada, baju bisa jadi kumal dan ala kadarnya tetapi mata mereka bisa berbinar karena kehadiran guru muda penuh dedikasi. Pengajar muda hadir memberikan harapan. Pengajar muda hadir mendekatkan jarak mereka dengan pusat kemajuan, hadir membuat anak-anak SD di pelosok negeri memiliki mimpi dan hadir membuat para orangtua di desa-desa terpencil ingin memiliki anak yang terdidik seperti para Pengajar muda.
Ya, bisa jadi ketertinggalan adalah baju rakyat di pelosok sekarang, tetapi hadirnya Pengajar muda merangsang mereka untuk punya cita-cita, punya mimpi. Mimpi adalah energi mereka untuk meraih baju baru di masa depan. kemajuan dan kemandirian adalah baju anak-anak di masa depan. Pengajar muda hadir di sana, di desa mereka, untuk turut membukakan pintu menuju masa depan yang jauh lebih baik.
“Malu”, “Mau”, “Maju”
Seperti cerita yang ditulis oleh Sekar Arrum Nuswantara, pengajar muda di Majene. Ia menuliskan cerita tentang semangat peserta didiknya bernama Satriana. Satriana merupakan peserta didik yang ia pilih untuk menemani bertemu dengan wakil Presiden RI Boediono saat kunjung ke Majene.
Satriana dipilih karena ia berhasil menuliskan sebuah surat yang cukup menyentuh hati. “Pak, saya ucapkan selamat kepada Bapak karena Bapak telah berhasil menjadi wakil presiden. Waktu kecil Bapak pasti bercita-cita menjadi wakil presiden, dan sekarang sudah terwujud. Saya juga bercita-cita jadi dokter, Pak. Doakan agar saya bisa jadi dokter, ya, Pak”. Surat Satriana pun diterima secara langsung oleh wakil Presiden. Dan Satriana pun mendapat doa dari wakil Presiden, “Kamu akan menjadi orang besar, Nak” (hlm. 110).
Kisah inspiratif juga hadir dari Nanda Yunika Wulandari, Pengajar muda di Bengkalis. Ia berhasil membesarkan hati peserta didiknya untuk maju. Saat peserta didiknya merasa bahwa ketika kalah dalam lomba, maka Ibu Guru akan merasa malu.
Dengan kegigihannya, ia berhasil menghilangkan satu huruf “L” dari kata “malu” menjadi “mau”. Setalah “mau” maka ia menambahkan huruf “J” menjadi “maju”. Berkat semangat dan optimism, anak-anak di Bengkalis mampu mengikuti olimpiade dan lomba-lomba lainnya. Mereka pun mendapatkan hasil yang maksimal, yaitu juara.
Buku ini seakan menunjukkan secara gamblang wajah pendidikan di negeri ini. Pendidikan yang masih compang-camping. Pendidikan di pelosok negeri yang tidak terurus. Namun, semangat anak-anak di pelosok negeri yang besar dan membara membuktikan bahwa mereka masih mempunyai semangat untuk maju dan mampu turut serta dalam membangun masa depan bangsa Indonesia.
*)Benni Setiawan, alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Resensi, Jawa Pos, Minggu, 18 Desember 2011.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar