Meraih Cita

Meraih Cita

Rabu, 13 April 2011

Meneguhkan Pluralisme Menyelamatkan Bangsa


Jurnas, 13 April 2011
Nasib Jemaat Ahmadiyah kian tidak menentu. Setelah diserang oleh sekelompok orang di berbagai daerah, hingga ada yang meningal dunia sebagaimana di Cikeuting, kini mereka harus berhadapan dengan peraturan kepala daerah.

Hal ini tercermin dalam surat keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Timur dan Jawa Barat. SK tersebut berisi tentang larangan bagi Jemaat Ahmadiyah untuk beraktivitas. Jemaat Ahmadiyah tidak boleh menyebarkan ajarannya baik dalam bentuk lisan maupun tulis, memasang papan nama, dan dilarang menggunakan atribut.

Kondisi demikian akan semakin mempersempit ruang gerak Jemaat Ahmadiyah. Keselamatan jiwa mereka pun akan kian terancam. Pasalnya, masyarakat akan semakin berbondong-bondong mengenyahkan Jemaat Ahmadiyah dari bumi Nusantara. Peristiwa tersebut menandakan betapa kekerasan atas nama agama yang didukung oleh kekuasaan (pemerintah) kian telanjang di Indonesia.



Persoalan tersebut yang kemudian dikritik oleh Moh Shofan. Dalam buku Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama, Shofan menegaskan bahwa peristiwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah menandai bahwa kebebasan beragama belum berlaku penuh di Indonesia hingga kini. Jika kebebasan beragama sebagai hak-hak asasi manusia dan di berbagai negara sudah merupakan hak sipil atau kebebasan sipil (civil liberty), maka aliran kepercayaan seharusnya diakui sebagai agama.

Negara pun tidak menetapkan agama-agama resmi yang diakui. Negara atau otoritas keagamaan apa pun juga tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan suatu aliran keagamaan atau kepercayaan yang baru tersebut sebagai “sesat dan menyesatkan.

Peristiwa desakan pembubaran Ahmadiyah, di samping menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelolah warga negara juga merepresentasikan gambaran Islam sebagai momok yang mengancam kerukunan antar-komunitas masyarakat dengan dilingkupi oleh kaidah-kaidah sosial dan budaya lokal setempat. Islam seolah bukan lagi agama, melainkan tirani ideologis baru yang datang tiba-tiba dan dengan mudahnya menghancurkan tradisi kerukunan umat yang telah melembaga.

Jika hal ini terjadi, Islam menjadi agama yang sangat kaku. Ia menjadi “polisi‘ bagi umat Islam yang lain. Pembenaran atas nama mayoritas ini tentu bukan spirit Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Guna mengakhiri hal demikian. Peneliti pada Yayasan Paramadina ini mendorong gerakan pluralisme di Indonesia. Baginya, pluralisme sebagai desain Tuhan (design of God) harus diamalkan berupa sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi multikulturalisme. Namun tidak sekadar berhenti pada wacana pentingnya pluralisme dan multikulturalisme, akan tetapi lebih diejawantahkan pada tataran praksis melalui jalur pendidikan dan pelatihan-pelatihan bersama dengan melibatkan berbagai komunitas lintas agama dan etnis untuk saling mengenal, memahami dan membangun sikap saling menghargai berdasarkan pengakuan atas persamaan, kesetaraan, dan keadilan.

Buku ini menegaskan kepada kita bahwa agama bukanlah pembenar atas tindakan anarkis. Agama merupakan rahmat (berkah) bagi seluruh alam. Semua agama memiliki kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai yang harus dibangun untuk mewujudkan masyarakat yang toleran, menegakkan keadilan, menjunjung tinggi kesetaraan dan persamaan hak yang merupakan ajaran semua agama.

Pluralisme ingin agar nilai-nilai tersebut bisa diaplikasikan dalam konteks sosial untuk membangun kebersamaan dan kesepahaman. Dengan pluralisme, kemanusiaan terus memanggil kaum beragama untuk semakin terbuka bagi yang lain, dan tidak perlu saling mengancam.

Dengan alur yang menggugah buku ini memberi perspektif menghormati keberagamaan dalam perspektif hak asasi manusia (HAM) yang patut diapresiasi dan didiskusikan lebih lanjut. Selamat membaca.

Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar