Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 14 Maret 2010

Menuju Perdamaian Dunia

Seputar Indonesia, Minggu, 14 Maret 2010
SIAPA pun pasti mengimpikan dunia ini damai, tenteram, dan sejahtera. Apalagi proses perdamaian tersebut disemai oleh agama yang kita peluk dan yakini kebenarannya.
Bertemu dan berkumpulnya tokoh-tokoh agama dalam satu meja guna membahas perdamaian dunia tidak saja akan mempercepat proses tersebut. Lebih dari itu, dialog ini dapat mengurai konflik dan rasa saling curiga antar sesama pemuluk agama.Proses keterbukaan ini akan menghasilkan teologi welas asih— meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan sebagai cikal bakal terwujudnya perdamaian dunia. Buku Menggugat Tanggung Jawab, Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia ini setidaknya merupakan langkah awal bertemunya tiga tokoh agama di Indonesia dalam mewujudkan cita-cita mulia itu. Dialog tiga tokoh ini memberi inspirasi bagi kita dalam membangun peradaban. Sebuah peradaban yang ditandai dengan hubungan yang harmonis dan saling menghargai antar sesama pemeluk agama, terutama tiga agama Abrahamik (Yahudi,Kristen,dan Islam). Dalam perspektif Franz Magnis- Suseno, SJ, perbaikan hubungan antara tiga agama itu menuntut sejumlah syarat di luar masalah teologis dan historis, yaitu syarat politik.Tanpa pemenuhan syaratsyarat politik maka berbagai upaya untuk saling mendekati, juga dialog-dialog yang coba dibangun untuk mengatasi prasangka dan saling curiga,tidak akan membawa hasil akhir yang efektif. Dua syarat yang sangat mendesak harus dipenuhi untuk memulihkan hubungan antara tiga agama keturunan Abrahamik itu adalah, pertama, pemecahan masalah Palestina secara komprehensif. Konsep pemecahan masalah Palestina ini mencakup realisasi kemerdekaan Palestina dan pengakuan wilayah Negara Palestina yang mencakup wilayahwilayah sebelum Perang Tujuh Hari.Masih dalam nafas yang sama, realisasi sebuah kemerdekaan bagi Negara Palestina juga mencakup pengakuan eksistensi Negara Israel. Kedua, soal kebebasan beragama dan masalah HAM. Harus ada pengakuan dan jaminan terhadap kebebasan beragama dan hak-hak asasi manusia, sesuai dengan deklarasi PBB dan berbagai konvensi tentang HAM yang dibuat kemudian.Pengakuan dan jaminan kebebasan beragama itu harus benar-benar nyata dalam teori dan praktik (halaman 84). Dua hal yang diusulkan oleh Romo Magnis memang ideal.Maka guna mewujudkannya dibutuhkan kesabaran dan ketekunan. Benarlah apa yang dinyatakan M Amin Abdullah, proses berdiskursus dalam demokrasi deliberatif—meminjam istilah F Budi Hardiman– itu memang sangat melelahkan. Namun orang harus sabar,bahkan harus memiliki kesabaran ekstra untuk mengajak semua orang untuk bisa duduk bersama dan saling mendengarkan, bersama- sama mencari apa yang menjadi kesamaan dan perbedaan,bersama- sama menguji apakah perbedaan itu bersifat prinsip, dan sebagainya, dan seterusnya. Dengan kata lain, dalam melakukan proses deliberasi, tidak ada kosa-kata saling memaksakan kehendak. Bangsa Indonesia memiliki filosofi yang sangat kaya dan mendalam menyangkut kearifan dalam tradisi melakukan musyawarah untuk kemaslahatan orang banyak.Bangsa Indonesia juga memiliki soft defense mechanism terhadap pengaruh-pengaruh dari luar yang mengancam identitas dan jati diri mereka. Menurut Said Aqiel Siradj, tantangan yang dihadapi Islam,juga agama-agama besar lainnya di dunia ini,dalam membangun dialog untuk mencapai masyarakat madani yang pluralis dan egalitarian adalah gejala fundamentalisme yang mengarah kepada radikalisme dan tindak kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Fundamentalisme sejatinya memiliki makna dasar yang positif. Seorang muslim fundamentalis selalu menjalankan kewajiban agamanya secara mendasar dan berdisiplin. Sedangkan radikalisme berarti berkarakter keras,eksklusif, berpikiran sempit, kaku/rigid, dan selalu mengklaim monopoli kebenaran. Sebagai khalifah Allah,setiap umat Islam dituntut untuk selalu menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam hidup di antara dua karakter yang ada pada dirinya, yaitu kecenderungan untuk menimbulkan kerusakan di muka bumi dan potensi konflik antar sesama manusia. Sumber kekerasan yang timbul dari fundamentalisme dan radikalisme terletak pada paham skripturalisme dan klaim monopoli kebenaran. Sesungguhnya perdamaian antarumat manusia akan langgeng apabila semua umat manusia, terlepas dari apa agama,suku,dan kebudayaannya, berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan, menumbuhkan perilaku yang baik dan positif, mengembangkan kebenaran, sebagai wujud memperkukuh akidah ketuhanan. Ketakutan terhadap bahaya islamisasi seperti halnya juga bahaya kristenisasi sesungguhnya tidak perlu ada karena Nabi Muhammad sangat yakin terhadap kebenaran dan otensitas Islam, namun juga sangat menghormati keberadaan agama-agama lain di luar Islam. Inilah sesungguhnya sisi mulia Islam sebagai agama yang antikekerasan dan antipaksaan: ”lakum dinukum wa liya din”,(untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku) (QS Al-Kafirun [109]: 6). (halaman 157–159).(*) Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar