Meraih Cita

Meraih Cita

Selasa, 30 Maret 2010

Menyingkap Selubung Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Judul : Lahir dari Rahim, Wacana Perempuan Asia tentang Allah di Era Globalisasi Penulis : P. Mutiara Andalas, S.J. Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Terbit : 2009 Tebal : 320 halaman Resensi, Solo Pos, 7 Maret 2010 Wacana tentang perempuan selalu menarik untuk dikaji. Baik dari kajian ilmu sosial-humaniora maupun dalam perspektif teologi (agama). Kajian perempuan dalam perspektif teologi tentunya mempunyai nilai lebih. Artinya, selain mengundang perbedabatan pro dan kontra, kajian dalam perspektif ini akan semakin membuka kotak Pandora keberpihakan agama kepada perempuan sebagai makhluk Tuhan. Di sinilah Tuhan menampakkan wajah aslinya, sebagai yang Maha Adil. Dzat yang tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Semua sama dihadapan Allah. Yang membedakan hanyalah kualitas keimanan dan ketakwaan seseorang. Inilah yang mungkin diancang oleh P. Mutiara Andalas, S.J, dalam buku ini. Buku berjudul Lahir dari Rahim, Wacana Perempuan Asia tentang Allah di Era Globalisasi ini semakin menguatkan keyakinan kita akan kebesaran Allah. Mutiara Andalas dengan bernas merangkai beberapa kajian yang telah dilakukan oleh feminis di Asia menjadi sebuah bacaan yang renyah dan mengikat makna—meminjam istilah Hernowo. Fakta-fakta tentang diskriminasi dan subordinasi perempuan yang dilegitimasi dengan teks (ayat) suci dijelaskan secara gamblang tanpa ditutup-tutupi. Sebagaimana ketidakadilan yang terjadi di India. Dengan menganalisis kajian Aruna Gnanadason dan Baltazar, Mutiara Andalas dengan cermat mampu menyingkap selubung kekerasan terhadap perempuan dan anak di sana terutama korban perkosaan dan industri perdagangan perempuan. Mutiara Andalas sembari mengutip Gnanadason dan Baltazar mengkiritik otoritas gereja. Mereka mempertanyakan sikap Gereja tentang Aborsi. Baltazar merasa gereja kurang melibatkan perempuan dalam mendiskusikan perkara aborsi dan kontrasepsi yang menyangkut kehidupan perempuan. Penekanan dokumen Gereja bagi perempuan untuk mengambil keputusan sendiri berkaitan dengan aborsi dan kontrasepsi justru menyudutkan mereka. Perempuan sering kali terjepit di tengah-tengah kepentingan keluarga, masyarakat, dan Gereja yang seringkali berseberangan satu terhaadap yang lain. Menurut Gnanadason, Gereja terlalu dini menolak aborsi dalam kasus perkosaan, perang dan mengabaikan masa depan perempuan yang dirusak perkosaan dan anak yang dikandung dari perkosaan brutal. Gnanadason mengundang Gereja untuk melihat ulang gagasannya tentang mengampuni dan melupakan dosa. Ia merujuk kisah Yesus di salib yang mengampuni kekerasan terhadap-Nya. Teks ini seringkali diselewengkan untuk mengekalkan kekerasan terhadap perempuan tanpa proses keadilan bagi para pelakunya. Ia mengingatkan Gereja terhadap kemungkinan penyalahgunaan pengampunan dan pelupaan dosa untuk mengubur penindasan terhadap perempuan. Gnanadason menolak pengampunan tanpa keadilan bagi perempuan karena gagal memperbaiki relasi antara pelaku dan korban kekerasan. Belas kasih, pengakuan akan kesalahan, ganti rugi, dan janji untuk menghentikan kekerasan menjadi norma pengampunan kristiani. Pengampunan berlangsung pada tahap akhir setelah perempuan mendaku kembali kemanusiaannya. Gnanadason menggugat dualisme hierarkis dalam Gereja. Kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan pejabat Gereja sulit terkuak. Pejabat Gereja acap kali menyalahgunakan kuasa kepemimpinan-dalam- pelayanan justru untuk melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Mereka kemudian bersembunyi di balik takhta jabatannya untuk melepaskan diri dari tuntutan korban. Dalam iklim Gereja demikian, perempuan senantiasa berselimut kekhawatiran dan ketakutan. Yesus meruntuhkan dualisme hierarkis, dan Gnanadason berharap Gereja mengikuti jejak Yesus. Perempuan menyingkap paras penuh bilur kekerasan dan menyuarakan mazmur pembebasan. Mereka mengundang teolog untuk terlibat dalam pembebasan perempuan dengan membebaskan teologi dari bias ideologi yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. (hal. 142-144). Dengan demikian, buku ini mewartakan sebuah teologi properempuan. Yaitu, perempuan Asia mengeluarkan teologi dari lingkup sempitnya sebagai wacana tentang Allah. Teologi yang berhenti menjadi wacana tentang Allah telah terperosok dalam jurang abstraksi (violence of abstraction). Keterlibatan perempuan dalam teologi mempertautkan kembali teologi dengan kehidupan. Aktivitas berteologi berpaut dengan kehidupan karena senantiasa mengikhtiarkan pembebasan dan kepunahan manusia di sini dan sekarang (hal. 182-83). Walaupun buku ini berdimensi kristiani, namun buku ini sangat baik dibaca oleh siapapun yang merasa dirinya manusia. Dengan membaca buku ini, kita diajak untuk kembali merenung eksistensi manusia yang terdiri dari makhluk bernama “laki-laki” dan “perempuan”. Dua nama ini tidaklah terpisah satu dengan yang lain, atau bahkan mengklaim diri superior dan yang lain inferior. Laki-laki dan perempuan merupakan makhluk mandiri yang tidak saling mensubordinasi dan disubordinasi. Maka tidak aneh, dalam catatannya Jennie S. Bev menyatakan, penulis telah mampu membawa bendera merah-putih Indonesia dalam arena perdebatan teologi profeminis dengan gayanya yang elegan dan berani. Selamat membaca! *)Benni Setiawan, mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar