Meraih Cita

Meraih Cita

Selasa, 30 Maret 2010

Kritik terhadap Konsep Tuhan ala Nietzshe

Resensi, Harian Jogja, Kamis Wage, 21 Januari 2010

Menyebut Nietzshe berarti kita akan bersentuhan dengan pokok-pokok pikirannya yang geneuin. Seperti nihilisme, kehendak untuk berkuasa (will to power, der Wille zur Macht, atau machtgelust), adimanusia (Ubermensch, Superman), dan perulangan abadi (eternal recurrence, ewige Wiederkehr des Gleiches).

Hingga kini pemikiran-pemikiran Nietzshe tersebut masih menjadi mantra abadi pengkaji filsafat. Ada yang menerimanya secara kritis, ada pula yang menelannya mentah-mentah. Bahkan, keterkaguman terhadap Nietzshe seringkali melupakan nalar kritis kita untuk mengkritik sebuah produk pemikiran.

Melalui buku Nietzshe Sudah Mati, Akhmad Santosa ingin menghadirkan sebuah diskusi yang tidak hanya taqlid buta terhadap Nietzshe. Bahkan secara terang-terangan Akhmad Santosa menyerang para penggagum Nietzshe. Dalam kaca mata Akhmad Santosa, filsuf Indonesia terlalu menuhankan Nietzshe sehingga ia kehilangan daya kritis untuk mengkritik gagasan tokoh bernama lengkap Friedrich Wilhelm Nietzshe itu.

Akhmad Santosa menyebut, di sini faktor keberanian ikut menentukan dalam berfikir; beranikah kita melompat dari posisi yang selama ini sudah kita akrabi untuk mencoba berpindah ke posisi lain dan mengakrabimsudut pandang yang berbeda? Dan yang lebih penting lagi, setelah kita pindah ke posisi yang baru dan mengakrabinya, beranikah kita memandang ke belakang dan mengakui pandangan-pandangan yang telah kita buat dari posisi yang lama? (hal. 5).

Walaupun demikian, Akhmad Santosa juga tidak lepas dari kritik. Salah satunya dari A. Setyo Wibowo. Dosen STF Driyarkara Jakarta ini secara jelas mengkritik cara berfikir Akhmad Santosa dalam membedah pemikiran Nietzshe. Bahkan, alumnus Universite Paris I-Pantheon Sorbonne ini menyatakan bahwa Akhmad Santosa justru mengikuti St. Sunardi! Tentu ini tidak masuk akal bagi Akhmad Santosa yang berpretensi menelanjangi kekeliruan St. Sunardi. Toh keduanya tidak mampu melihat bahwa bisa saja di situ Nietzshe sekadar memakai metode provokatif. Keduanya tidak tahu bahwa referensi orang sinting ini bisa saja merujuk pada kisah Yunani kuno tentang Diogenes Orang Sinting. Keduanya sepakat mengaitkan kematian Tuhan ini dengan kegilaan Nietzshe. Nietzshe adalah manusia yang terbelah, gila (hal. 236).

Lebih dari itu, A. Setyo Wibowo, gerah membaca tulisan Akhmad Santosa yang emosional dan menganggap pemikiran Nietzshe disetir oleh “kekecewaan dan kemuakan”. Menurut Setyo, alih-alih menyerang Nietzshe (dan juga St Sunardi), Akhmad Santosa justru dengan tepat menjadi contoh manusia ressentimen itu sendiri!

Namun demikian, apa yang telah dilakukan oleh Akhmad Santosa patut kita apresiasi. Khususnya dalam kerangka akademik dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Disaat banyak kelompok dan golongan yang mengadili pemikiran (buku) dengan kekerasan fisik, Akhmad Santosa dengan segala kelebihan dan kekurangannya “mengawali” ketidaksetujuaanya dengan buah karya St. Sunardi dengan menghadirkan sebuah “buku tandingan”. Sebuah tradisi intelektualitas yang patut kita tiru dan budayakan di tengah masyarakat.

*)Benni Setiawan, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Suna Kalijaga, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar