Meraih Cita

Meraih Cita

Jumat, 31 Desember 2010

Menguak Jati Diri Manusia



Resensi, Suara Merdeka, 07 Nopember 2010

MENGAPA akhir-akhir ini bangsa Indonesia saling baku hantam dan bunuh? Mengapa bangsa Indonesia yang konon ramah dengan budaya ketimuran melakukan perbuatan biadab seperti itu? Hal ini karena bangsa Indonesia kehilangan -kalau tidak mau disebut tidak mempunyai jati diri.

Buku ini berbicara mengenai jatidiri manusia. Pembahasan mengenai jatidiri ini terutama difokuskan pada jatidiri yang dapat menjadi bahan refleksi setiap orang yang ingin mendalami mengenai dirinya sendiri yang sebenarnya.

Buku ini tidak membicarakan jatidiri manusia dalam pengertian hakikat manusia pada umumnya yang menjadi ciri khas spesies makhluk yang disebut manusia, sebagaimana dimengerti oleh Aristoteles dan aliran-aliran yang berafiliasi dengannya. Pembicaraan mengenai hakikat manusia sebagai spesies tidak menjadi fokus utama buku ini, bukan karena permasalahan mengenai manusia pada umumnya sudah boleh dianggap selesai atau tuntas, tetapi justru sebaliknya.

Permasalahan-permasalahan yang muncul terkait dengan martabat manusia pada umumnya terutama justru disebabkan oleh kaburnya pemahaman mengenai jatidiri masing-masing individu, sehingga pelecehan terhadap manusia lain tidak disadari sebagai pelecehan terhadap martabatnya sendiri.

Bahasan mengenai jatidiri di dalam buku ini berfungsi sebagai tawaran yang diharapkan dapat membantu pembaca untuk memahami orang lain dan terutama diri sendiri, serta menentukan sikap di dalam memaknai hidup masing-masing. Namun, buku ini benar-benar hanya merupakan tawaran bantuan yang tidak dapat menggantikan peran masing-masing pembaca untuk menggali dan mengenali diri sendiri.

Buku ini mencoba memberikan pengertian mengenai jatidiri yang dapat difungsikan secara operasional untuk dijadikan pegangan bagaimana cara memahami diri serta bagaimana membentuknya. Dengan pemahaman ini diharapkan pula pembaca dapat mengidentifikasi letak tanggung jawab terhadap hidupnya, tindakan-tindakannya, serta keputusan-keputusan yang diambilnya dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan untuk memperkembangkan dirinya masing-masing secara optimal.

Bukan Resep
Jadi, buku ini bukanlah resep untuk menemukan jatidiri, tetapi lebih menyajikan titik tolak yang bermartabat untuk refleksi, memahami jatidiri, serta memperkembangkannya secara bertanggung jawab.

Lebih lanjut, P Hardono Hadi menyatakan sungguh ironis, kalau kita menyadari apa yang biasanya terjadi. Kita sudah lama belajar, baik secara formal maupun informal, mengenai berbagai hal macam bidang, tema, topik, dan masalah dengan menginvestasikan sebegitu banyak waktu, uang, dan energi. Tetapi tidak banyak waktu, uang dan energi yang kita tanamkan untuk mempelajari diri kita sendiri, dan sungguh-sungguh berusaha untuk memperlakukan diri sendiri secara adil.

Sekali lagi, hal-hal itu biasanya diandaikan begitu saja di dalam keseharian kita. Kita seharusnya sudah mengenai diri kita sendiri. Tetapi yang seharusnya ini bukannya dijadikan perhatian utama, tetapi malahan dijadikan pengandaian yang tidak pernah diungkap kebenarannya secara tuntas. Karena seharusnya kita sudah mengenal diri sendiri, maka kita andaikan begitu saja dan tidak pernah dibicarakan secara serius dalam pergaulan dan interaksi kita dengan orang lain.

Sungguh ironis bahwa kita mempunyai segudang cerita mengenai hal-hal di luar kita, tetapi, kita menjadi bisu dan bingung kalau diminta untuk mengatakan siapa diri kita yang sesungguhnya. Di sinilah peran filsafat, yaitu untuk membongkar pengandaian-pengandaian yang dianggap tabu dan terlalu angkuh untuk dengan rendah hati mengakui ketidaktahuan kita dan mulai berlajar untuk tahu (halaman 23-24).

Berbalut pendekatan dan teori-teori filsafat buku ini mengajarkan kepada kita betapa pentingnya mengetahui diri kita sendiri. Mengutip Jalaluddin Rumi, penyair sufi kelahiran Afghanistan (1207-1273), jangan melihat ke luar. Lihatlah ke dalam diri sendiri dan carilah itu. Buku ini akan mengantarkan Anda melihat secara jernih siapa diri kita.

Walaupun berujur dengan teori-teori filsafat namun buku ini ringan untuk dibaca dan mudah dipahami. Kemampuan penulis meramu karya-karya filsuf klasik hingga modern menjadikan buku ini pantas dibaca dan direnungkan.

Pada akhirnya, kehadirian buku ini sangat pas di tengah situasi keindonesiaan yang dipenuhi oleh konflik horizontal yang semakin mengganas. Buku ini memberi kesadaran baru arti penting memahami jatidiri sebagai pedoman dan pegangan hidup. Selamat membaca.

(Benni Setiawan-33/CN15)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar