Meraih Cita
Minggu, 11 Maret 2012
Menilik Masalah Pekerja Sosial
Resensi, Seputar Indonesia, Minggu, 11 March 2012
Permasalahan sosial sekarang ini makin luas dan kompleks.Meski demikian, masalah tersebut tidak mudah ditelusuri faktor penyebab dan dampaknya dalam konteks ruang dan waktu.
Termasuk di dalamnya antara lain masalah ketertiban, kedamaian, ketenteraman, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup bersama. Permasalahan tersebut, seperti ketergantungannarkoba, korbanperdagangan manusia,tindakan kekerasan dalam keluarga,prostitusi,pengemisan, peningkatan tindak kejahatan, dan jumlah narapidana, semuanya memerlukantanggapan program dan lembaga pelayanan rehabilitasi sosial, re-sosialisasi, dan terintegrasi.
Kondisi demikian tentu saja memerlukan tenaga pekerjaan sosial profesional. Ironisnya, sistem pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia kurang memadai. Proses pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia ibarat pelatihan pengemudi yang hanya diberi pengetahuan tentang bagaimana mengemudikan mobil, peraturan lalu lintas, dan adab mengemudi di jalan raya.
Namun, tidak pernah diberi peluang untuk memegang kemudi dan praktik mengemudikan mobil di jalan raya sehingga jelas tidak akan mampu menjadi pengemudi, apalagi pengemudi profesional. Para pengajar jurusan sekolah tinggi kesejahteraan sosial/ pekerjaan sosial seperti para pengajar disiplin lainnya berlomba mengejar kompetensi guru besar. Mereka berlomba menempuh pendidikan S-3 dalam bidang lain, bukan guru besar pekerjaan sosial.
Dengan begitu, tidak ada guru besar pekerjaan sosial––kalaupun ada adalah guru besar resmi, tidak memiliki keandalan profesional pekerjaan sosial. Agar para pekerja sosial mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif sebagai pekerja sosial profesional, sistem pendidikan pekerjaan sosial perlu direorganisasi secara mendasar. Reorganisasi bisa mencakup kurikulum, proses pendidikan, tenaga pengajar, pembimbing praktik lapangan, perpustakaan, buku teks, ataupun laboratorium lapangan pekerjaan sosial tempat para mahasiswa melakukan praktik lapangan.
Merumuskan pendidikan spesialisasi pekerjaan sosial berdasarkan metode sama dengan mendidik pemburu untuk menguasai penggunaan satu senjata (senapan) secara piawai dan bisa digunakan untuk memburu berbagai binatang hutan. Sedangkan mendesain spesialisasi pekerjaan sosial berdasarkan sasaran sama dengan mengajarkan pemburu untuk menguasai segala macam senjata (senapan, tombak, panah, dan sebaginya),namun hanya bisa digunakan untuk memburu harimau atau kijang.
Kelebihan yang segera tampak dari pendekatan yang pertama adalah para pemburu akan sangat ahli menggunakan satu senjata secara spesifik.Mereka juga tidak perlu khawatir jika suatu saat harimau atau kijang punahdihutanitu.Merekamasih dapat meng-gunakan senjata yang dikuasainya untuk memburu binatang lain. Kelemahan pada pendekatan kedua adalah selain para pemburu cenderung kurang menguasai senjata secara mahir (karena diajarkan terlalu banyak senjata).
Para pemburu akan menganggur manakala suatu saat harimau atau kijang punah di hutan itu. Mereka juga pasti resah manakala dipindahkan ke hutan lainnya yang binatangnya tidak sesuai dengan target buruannya. Menerapkan pendekatan generalis pada pendidikan pekerjaan sosial tingkat sarjana sangat pas sesuai dengan perspektif ekosistem.
Namun,menerapkan pendekatan generalis pada pendidikan pekerjaan sosial tingkat pascasarjana dan spesialis hanya akan membuat pekerjaan sosial menjadi tidak spesial (halaman 82-83). Kekeliruan paradigmatis ini setidaknya terjadi dan dapat dilihat dengan masih ada pendidikan pekerjaan sosial yang ada di Indonesia, dengan mengembangkan kurikulumkurikulum yang masih berorientasi pada praktik pekerjaan sosial di aras mikro.
Benni Setiawan
Alumnus Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar