Meraih Cita
Rabu, 02 Maret 2011
Simbol Kerukunan Beragama
"Perada", Koran Jakarta, Rabu, 02 Maret 2011
Judul : Kota Seribu Gereja, Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota
Manado
Penulis : Ilhan Daeng Makkelo
Penerbit : Penerbit Ombak, Yogyakarta
Tahun : I, 2010
Tebal : xxxiii + 222 Halaman
Harga : Rp60.000,-
Kerukunan menjadi sebuah keniscayaan di negeri plural seperti Indonesia. Namun, kini, mantra kerukunan mendapat ujian yang sangat berat. Hal itu terbukti dengan banyaknya kekerasaan atas nama agama sebagaimana terjadi di Cikeuting, Temanggung, dan Pasuruan. Agama senantiasa menjadi tameng pembenar atas semua tindakan. Padahal, agama tidak pernah mengajarkan hal demikian. Agama mengajarkan kerukunan dan keharmonisan. Daerah, baik kota maupun desa, merupakan persemaian dalam mewujudkan kerukunan karena di sanalah berkumpul berbagai agama, golongan, etnis, dan cara pandang yang berbeda.
Persemaian keagamaan yang rukun dapat kita temukan di Kota Manado. Manado sebagai konteks geografi s, dalam buku ini, memiliki kekhasannya sendiri, tidak pernah menjadi pusat kerajaan, tumbuh seiring dengan munculnya permukiman awal orangorang Minahasa di sekitar muara Sungai Tondano, dan berkembang seiring dengan datangnya orang-orang Eropa di tempat ini hingga kekuasaan Hindia Belanda.
Kehadiran orang Eropa di tanah Minahasa berbekas tidak saja dalam cerita kekuasaan politik dan administrasi, tapi terutama pengaruhnya dalam kehidupan sosial orang-orang Minahasa. Penyebaran agama Kristen memberi pengaruh atas hal ini, tapi di sisi lain hubungan agama dan negara juga memiliki dinamika sendiri. Pada perkembangan lebih lanjut, agama atau institusi agama menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat kota, tidak saja dalam aktivitas keseharian masyarakatnya, tetapi termasuk pengaruhnya terhadap perkembangan (ruang) kota.
Rumah-rumah ibadah dan bangunan keagamaan menjadi instrumen penting pemakaian ruang kota. Tidak terbantahkan bahwa kehidupan keagamaan merupakan salah satu aspek penting kehidupan kota. Sangat sulit membayangkan kehidupan kota tanpa adanya organisasi ritual untuk suatu kepentingan kehidupan religius. Rumah ibadah tidak semata-mata menjadi tempat sembahyang, tetapi banyak peran lain yang menyita waktu dan perhatian pemeluknya. Di Kristen misalnya, fungsi gereja sekaligus menjadi pusat seremonial agama ataupun aktivitas sosial lainnya.
Realitas lain adalah perkampungan yang terbuka pada masa pascakolonial. Di Kampung Arab, misalnya, Masjid Masyhur adalah “napas” kampung itu yang dihuni oleh mayoritas Islam, tetapi juga ada Kristen dan China. Jika semua daerah meniru apa yang terjadi di Manado, saya yakin konfl ik antar pemeluk agama, sebagaimana yang terjadi di Cikeuting, Banten, dan Temanggung, Jawa Tengah, tidak akan pernah terjadi. Agama bukanlah sumber perpecahan. Ia adalah sumber kekuatan melawan kolonialisme dan membangun peradaban, sebagaimana dipraktikkan di Kota Manado.
Peresensi adalah Benni Setiawan, pembaca buku, tinggal di Sukoharjo.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar