Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 01 Januari 2012

Pluralisme bukan hal baru




Tidak ada manusia paripurna, kecuali manusia yang pikirannya melampaui sekat-sekat geografis

Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan
K.H. Husein Muhammad
Mizan, Bandung
Cetakan I/2011
xiv + 217 Halaman

"Books" Bisnis Indonesia, Minggu, 1 Januari 2011

Wacana pluralisme senantiasa menarik untuk dikaji. Pasalnya, masih terdapat beda pendapat mengenai gagasan ini. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional, 29 Juli 2005, menjatuhkan vonis keagamaan bahwa pluralisme, liberalism, dan sekulerisme adalah paham sesat dan menyesatkan, dan oleh karena itu harus dilarang.

Tiga terminologi ini kemudian disebut dengan ungkapan peyoratif dan sarkastis, SEPILIS, kependekatan dari sekulisme, pluralisme, dan liberalisme.

Benarkah Islam melarang pluralisme? Buku Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahani karya K.H. Husein Muhammad ini menjawabnya dengan santun.

K.H. Husein Muhammad menyatakan bahwa pluralisme bukanlah hal baru dalam Islam. Ia telah ada sejak dulu. Hal ini dibuktikan dengan pandangan-pandangan sarjana dan ulama klasik yang telah mendedah isu ini dengan penjabaran yang rasional, geniuin, dan mencerahkan.

Esoteris
Bagi pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat ini fenomena antipluralisme, antiliberalisme, dan antisekulerisme tidak hanya terjadi hari ini dan di bumi Indonesia, tetapi sudah berlangsung berabad-abad dan dibanyak tempat di dunia Muslim. Ia tampaknya telah menjadi konstruksi yang begitu kukuh dalam masyarakat Muslim selama berabad-abad.

Nalar religius mayoritas kaum beragama hari ini masih mewarisi kebudayaan Arabia produk abad pertengahan, ketika akal intelektual dikalahkan oleh teks-teks keagamaan yang dimaknai secara tunggal dan literal, ketika paradigma teologis “kekuasaan” mengalahkan paradigma teologis “keadilan”, dan ketika pemaknaan esoteris atas teks-teks keagamaan dihegemoni oleh pemaknaan eksoteris.

Konstruksi ini kemudian direproduksi dan didoktrinkan secara terus-menerus dari generasi ke generasi melalui media sosial dan pendidikan, tanpa ada perubahan ke arah kemajuan yang berarti bagi kemanusiaan. Alih-alih, ruang-ruang dialog untuk mengkritik paradigma doktrinal tersebut mampat, stagnan, malahan justru melahirkan stigma-stigma yang melukai wilayah psikologi dan fisik, atau bahkan membunuh karakter-karakter manusia.

Pada masa silam, penjara dan petaka telah menimpa para cendekiawan dan inteletual yang mengusung gagasan pluralisme, sesudah dikeluarkan fatwa keagamaan yang mengharamkannya. Sejarah kaum Muslimin abad pertengahan mencatat sejumlah nama besar para pelopor pluralisme yang mengalami penindasan tersebut. Mereka pada umumnya adalah penganut ajaran agama esoteris (kaum sufi) dan kaum rasional.

Cinta
Seperti, Abu Manshur al-Hallaj, Abu Hamid al-Ghazali, Muhyiddin ibn Arabi, Jalal an-Din al-Rumi, al-Junaid, Abd al-Qadir al-Jailani, Ibn Atha’ilaah al-Sakandari, Ibn Rusyd al-Hafid, Imam Fakhr al-Din al-Razi, yang semuanya adalah para penganut keberagamaan esoteris yang melihat agama dengan pandangan substantive. Mereka membaca teks-teks suci keagamaan dan memberinya makna yang terdalam. Mereka melihat bahwa teks-teks al-Qur’an memiliki sejuta makna. Kehendak Tuhan pastilah tak terbatas.

Bagi mereka, semua agama, meskipun namanya berbeda-beda, adalah jalan menuju Tuhan Yang Esa. Semua agama membimbing manusia menuju Cinta Tuhan Yang Satu itu, meskipun ritual-ritual dan cara-cara mengekspresikan cinta itu berbeda-beda.

Menurut para cendekiawan raksasa tersebut. Tidak ada persaudaraan sejati kecuali persaudaraan yang di dalamnya menghimpun semua prinsip kemanusiaan universal. Tidak ada manusia paripurna, kecuali manusia yang pikirannya melampaui sekat-sekat geografis; manusia yang menyatu dalam kemanusiaannya dalam seluruh zaman; lampau, kini, dan nanti.

Tidak ada kode moral yang lain kecuali Cinta. Meski mungkin terdapat sejumlah kode moral yang dianut manusia, namun kode moral paling fundamental adalah Cinta. Ia adalah sumber dari seluruh kode moral. Ini karena Tuhan juga ingin dicinta sebagaimana diungkapkan sebuah Hadis Quqsi, “Kuntu Kanza Makhfiyyan. Fa Ahbabtu an U’raf. Fakhalaqtu al-Khalq fa Biy’Arafuni” (Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin sekali dikenal. Maka, Aku ciptakan alam semesta. Berkat Aku, mereka mengenal-Ku”. (hal 65-66).

Buku ini memperlihatkan kepada pembaca, bagaimana para sarjana Muslim terkemuka memahami atau mendekati agama, dari sudut disiplin berbeda, dengan suatu cara yang boleh jadi dianggap melampaui diskursus keagamaan arus utama. Mereka menggali substansi dan kedalaman teks serta keragaman tafsir atasnya. Sudut disiplin yang dimaksud adalah kalam (teologi), fiqih (hukum), dan tasawuf (mistisisme). Teks-teks keagamaan itu dibaca oleh merek melalui mekanisme penggabungan aktivitas rasional, filosofis, dan permenungan kontemplatif.

Pada akhirnya, buku karya komisioner Komisi Nasional Perempuan ini dapat menjadi pengetahuan masyarakat tentang isu Islam dan pluralisme yang diambil dari khasanah intelektual Islam klasik yang cukup representif (mu’tabar).

Benni Setiawan, Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar