Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 01 Januari 2012

Melacak Tradisi Islam Toleran



Seputar Indonesia, Resensi, Minggu, 01 January 2012

Kekerasan atas nama agama masih menghiasi perjalanan kebangsaan Indonesia pada 2011. Seperti penutupan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor yang hingga saat ini belum mendapatkan titik temu, pengeboman gereja di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIJ) Kepunton, Solo, pengeboman Mapolestra Cirebon, dan masih banyak yang lainnya.


Tindak kekerasan tersebut seakan masih saja menjadi pekerjaan rumah bagi setiap umat beragama.Termasuk di dalamnya agama terbesar di Indonesia,Islam. Sebagai agama yang paling banyak dianut di Indonesia, sudah selayaknya Islam menampilkan wajah bersahabat dan toleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam sudah selayaknya memosisikan diri sebagai agama damai (rahmatan lil alamin).

Wacana Islam toleran ini secara rapi digarap oleh Irwan Masduqi dalam buku Berislam Secara Toleran,Teologi Kerukunan Umat Beragama.Irwan Masduqi melacak akar sejarah keislaman sebagai basis teori dalam merumuskan kandungan Islam yang mulia itu. Dengan mengetengahkan kesejarahan ini,akan tampak dengan jelas bahwa wacana keberislaman yang toleran sudah ada sejak awal kemunculan Islam.

Toleransi Islam sering dihubungkan dengan ayat, “Tidak ada paksaan dalam agama”( QS.Al-Baqarah (2): 256). Firman Allah ini menurut Ibn ‘Abbas turun sehubungan dengan kasus seorang Anshar bernama Husayn yang memaksa kedua anaknya yang memeluk Kristen agar pindah ke agama Islam.Namun, kedua anaknya menolak paksaan itu.Kemudian, ayat ini turun merespons secara eksplisit bahwa pemaksaan keyakinan adalah tindakan terlarang. Semangat toleransi Islam yang menolak paksaan juga dikukuhkan oleh firman Allah dalam Surah Yunus (10: 99).

Toleransi Islam dibangun di atas alasan-alasan menghormati kebebasan berpendapat dan berkeyakinan (hurriyyah alra’yi wa al-i’tiqad) dan komitmen untuk hidup berdampingan secara damai (ta’ayusy/coexistence) (halaman 24). Buku ini memiliki tesis bahwa Islam adalah agama yang toleran dan menganjurkan moderasi (wasatan),walaupun dalam sejarahnya Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran dan doktrin yang bervariasi dalam spektrum semacam monolitik- plural, fundamental-liberal, ekstrem-moderat, radikal demokratis, dan fanatik-toleran.

Dalam buku ini, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini menganalisis berbagai pandangan para sarjana dan pemikir,baik Muslim maupun non-Muslim.Di satu pihak dia mengemukakan pemikiran Gamal Al-Banna yang menganggap bahwa Alquran adalah kitab suci yang berwawasan plural.

Namun,dia juga mengetengahkan pemikiran Sayyid Qutb yang dianggap sebagai bapak gerakan Islam radikal modern karena dua karyanya yakni Ma’alim fi al-Tariq (yang menganggap demokrasi sebagai sistem yang menuhankan sesama manusia) serta kitab tafsir Fi Zilalil al-Qur’an (yang membangun doktrin Islam sebagai sebuah ideologi politik berdasarkan prinsip kedaulatan Tuhan).

Dengan demikian, Irwan Masduqi menunjukkan dalam kajiannya bahwa Alquran sebagai sumber utama ajaran memang berisi ayat-ayat yang bisa ditafsirkan menjadi doktrin yang mengandung ajaran kasih sayang maupun mengusung kekerasan. Fetahullah Gulen, seorang sufi modern Turki yang terkemuka dan memiliki nama internasional, umpamanya berbicara tentang “Muslim sejati”, yaitu Muslim yang penuh kasih sayang, atau meminjam istilah Alquran sendiri “Ibad al- Rahman”.

Baginya, yang memakai pendekatan irfani, seorang Muslim sejati tidak mungkin menjadi teroris. 

Benni Setiawan Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar