Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 01 April 2013

Kearifan Lokal Pulau Timor Harus Terus Dihidupkan

Oleh Benni Setiawan



"Perada", Koran Jakarta, Senin, 01 April 2013

Kehidupan masyarakat kini sedang dilanda arus modernisasi yang sangat kuat yang seakan terus merasuk dalam sumsum. Namun begitu, di tengah laju modernisme ini, masih ada kearifan lokal yang senantisa dipegang teguh masyarakat.

Masyarakat yang kini terpola dalam berbagai corak di desa-desa masih sangat lekat mewarisi kebiasaan masa silam. Walaupun ketinggalan zaman, justru masyarakat menilai masih amat positif memberi sesuatu yang bermakna bagi kehidupan sehari-hari.

Seakan, kekuatan modernismus tidak mampu membantu manusia menghadapi persoalan-persoalan hidup sehari-hari sehingga kompensasi positifnya manusia modern lari pada warisan leluhur untuk mencari ketenangan hidup. Pada waktu yang sama mereka menemukan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan dan persoalan (halaman 4).

Solusi mengurai kesulitan hidup tertuang dalam lanskap orang Rote. Perjumpaan Injil dan budaya Rote telah melewati sejarah panjang, baik berupa tindakan penolakan maupun upaya adopsi dan adaptasi konsep kultural orang Rote. Sebuah upaya berteologi bisa datang dari bawah dan jemaat sebagai basis dan akar.

Teologi semacam itu merupakan sebuah upaya kontekstualisasi yang nonelitis karena berangkat dari pengalaman dan filosofi hidup yang dekat dengan masyarakat. Dalam narasi penciptaan dalam versi bahasa bini, sangat gamblang penggunaan idiom dan metafor kultural orang Rote. Konsep-konsep biblis ditransformasikan dalam alam berpikir yang telah menjadi tradisi.

Kearifan lokal dipakai untuk mengungkapkan konsep Yudea-Kristiani yang juga memiliki muatan kulturalnya. Kearifan lokal menjadi lebih hidup karena sang mahahelo memahaminya dengan baik dan mengekspresikannya dengan benar (hal 211-212). Kearifan lokal merupakan modal utama hidup yang dianggap sebagai sebuah perjalanan, di laut dengan perahu dan di darat dengan rumah.

Maka, kehidupan bersama mesti dijaga dengan baik. Perahu mesti dijaga keseimbangannya, jangan terlalu berat dengan muatan atau terlalu ringan. Rumah mesti menjadi kediaman yang dapat membawa mereka ke tujuan perjalanan dan bukan menjadi akhir dari perjalanan.

Rumah tidak boleh dijadikan tempat penumpukan barang-barang yang membuat perjalanan terhambat. Rumah mesti diisi dengan barang hasil pekerjaan dan usaha yang keras dan kadang sulit. Penumpukan harta tanpa kerja keras dipandang haram. Lebih lanjut, kehidupan sosial perlu dipelihara dari pertikaian, ambisi, menang sendiri, serakah, dan tidak mau tahu.

Sebagai sebuah masyarakat perahu yang berlayar, tiap orang mesti tahu perannya sebagai teman seperjalanan. Kerja sama dan saling membutuhkan mesti dipelihara antara perempuan di buritan dan lakilaki sebagai nakhoda di haluan baik secara gender, seks, maupun spiritual (halaman 260).

Kearifan lokal tersebut seakan menjadikan masyarakat lekat dengan kebudayaannya, tidak lagi terasing akan kebudayaanya sendiri. Masyarakat hidup berdampingan dengan "alam" sebagai basis kultural maupun ideologi. Itulah rancangan besar dalam buku Kebudayaan: Sebuah Agenda, dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya ini.

Buku hasil kajian beberapa pakar dari perspektif yang beragam ini memaparkan sejarah lisan maupun tulis. Berkat kejelian dan penelitian yang tidak sebentar, mereka menemukan rangkaian kearifan lokal masyarakat Timor yang menjadi semacam "panduan" bagi masyarakat agar tidak terlena modernisasi yang hanya akan mengerdilkan peran masyarakat dalam komunitas beradab (bonum commune).

Sebuah buku yang membuka alam bawah sadar bahwa bangsa ini kaya akan ragam budaya dalam wujud kearifan lokal yang akan tetap lestari dan tumbuh jika terus digali, diajarkan, dan dipraktikkan.

Judul : Kebudayaan: Sebuah Agenda dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya
Penyunting : Gregor Neonbasu SVD PhD
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Februari 2013
Tebal : xxiii 336 Halaman
ISBN : 978-979-22-9343-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar