Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 23 Januari 2012

Bahagia ala Jaya Suprana



Buku, Koran Tempo, Minggu, 22 January 2012

Judul: Pedoman Menuju Tidak Bahagia
Penulis: Jaya Suprana
Penerbit: Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan: I, 2011
Tebal: xxii + 173 halaman

Lazimnya bahagia diinginkan, bahkan didambakan, setiap insan manusia. Dapat dikatakan bahwa kebahagiaan merupakan salah satu tujuan utama kehidupan, untuk tidak menggunakan istilah paling utama. Hidup terasa hampa tiada makna, bahkan penuh derita, apabila kebahagiaan tidak tercapai atau lebih tepatnya tidak terasa.

Sejak dilahirkan, manusia ingin merasa bahagia, maka lazimnya semua bayi yang sehat lahir-batin langsung menangis setelah keluar dari rahim ibunya. Secara filosofis bayi dilahirkan langsung menangis bisa saja ditafsirkan sebagai bentuk protes akibat merasa tidak bahagia dipaksa keluar dari rahim ibu yang aman-tenteram penuh kebahagiaan.

Selanjutnya, sang bayi senantiasa berjuang meraih rasa bahagia, dari mengubah rasa lapar menjadi kenyang, dingin menjadi hangat, gelisah menjadi tenteram, sakit menjadi nyaman, tegang menjadi santai, tertekan menjadi lega, bahkan nikmat, sampai proses buang air kecil hingga besar pada hakikatnya kesemuanya merupakan upaya demi meraih rasa bahagia.

Namun bagaimana meraih kebahagiaan itu? Jaya Suprana melalui buku Pedoman Menuju Tidak Bahagia menunjukkan cara meraih kebahagiaan. Walau judul buku ini pedoman menuju tidak bahagia, Jaya Suprana mengetengahkan catatan mengenai hal-hal yang perlu dikerjakan dan ditinggalkan seseorang guna meraih kebahagiaan.

Bagi Jaya, kebahagiaan sejati adalah proses saling memberi dan membahagiakan orang lain. Sembari menyitir sebuah cerita, ia mengungkapkan keutamaan berbagi dan membahagiakan orang lain, yaitu dengan dua pertanyaan.

Pertama, "Apakah Anda merasa bahagia selama hidup di dunia?" Apabila jawabannya adalah ya, sang arwah tidak diperkenankan masuk surga. Apabila jawabannya adalah tidak, sang arwah juga tidak diperkenankan masuk surga. Maka, pada hakikatnya pertanyaan pertama itu sekadar basa-basi, karena apa pun jawabannya, tetap saja sang penjawab tidak boleh masuk surga.

Hal yang menentukan adalah pertanyaan yang kedua, yaitu, "Apakah selama hidup di dunia Anda pernah membuat orang lain merasa bahagia?" Jika jawabannya tidak, pintu gerbang surga tetap tertutup rapat. Apabila jawabannya adalah pernah, apalagi sering, langsung pintu gerbang surga terbuka lebar (halaman 10).

Melalui cerita di atas, Jaya Suprana sepertinya ingin membenarkan petuah ayahnya, Lambang Suprana, yang menyatakan kebahagiaan sejati bukan terletak pada upaya membahagiakan diri sendiri, tetapi pada upaya membahagiakan orang lain (hlm. 27).

Selain itu, pedoman yang penting diperhatikan dalam menempuh perjalanan menuju ketidakbahagiaan adalah kita perlu menghindari beberapa jenis perasaan, termasuk golongan positif, seperti syukur, ikhlas, rela, puas, percaya, aman, tenteram, damai, pergantian, mafhum, dan humor.

Perasaan-perasaan yang tergolong positif itu memiliki kandungan zat-zat berpotensi negatif terhadap upaya memperoleh perasaan tidak bahagia. Manusia yang hatinya (sebenarnya otaknya) penuh dengan kasih sayang atau minimal upaya memberi kasih sayang, baik kepada sesama maupun diri sendiri, adalah manusia yang paling mengantongi risiko merasa bahagia.

Maka mereka yang bercita-cita untuk merasa tidak bahagia perlu waspada untuk tidak membiarkan perasaan dirinya terjebak dalam perangkap rasa kasih sayang yang sangat rawan membawa kebahagiaan ke lubuk sanubari itu. Kasih sayang benar-benar sangat berbahaya memorakporandakan rasa tidak bahagia.

Di samping menghindari atau bahkan membasmi kasih sayang, di sisi lain para pencari rasa tidak bahagia harus mau dan mampu mengembangkan perasaan yang berlawanan dan bertolak belakang dengan kasih sayang, yaitu kebencian.

Yang tergabung dalam barisan laskar kebencian, antara lain dengki, kejam, tamak, sesal, curiga, termasuk juga gangguan perilaku seperti paranoid yang mencurigai segala sesuatu atau para perfeksionis yang meyakini kesempurnaan, harus hadir pada diri manusia.

Buku ini ditulis khusus bagi para pencari kebahagiaan yang gagal menemukan kebahagiaan setelah membaca sekian banyak buku pedoman menuju bahagia. Sekiranya pembaca mematuhi segenap pedoman dalam buku ini, pasti sang pembaca akan gilang-gemilang berhasil menemukan ketidakbahagiaan.

Bacalah buku ini dengan saksama, lalu jangan lakukan apa pun yang dianjurkan dalam buku ini, maka insya Allah Anda akan berhasil menempuh perjalanan untuk akhirnya menemukan kebahagiaan. Pada akhirnya buku ini akan berhasil atau gagal menjadi pedoman menuju tidak bahagia atau bahagia sepenuhnya tergantung bahkan terserah pada kehendak pembacanya.

BENNI SETIAWAN, ALUMNUS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA

1 komentar:

  1. He,JSuprana, is always saying things in the opposite side, like "kelirumologi", it is more stressing, and gaining & reaching the objectives of his readers. Hidup tidak perlu "ngoyo" atau diperbudak oleh kata "kesuksesan", cukup berusaha maksimal, ikhlas, bersyukur, berprasangka baik dan berserah diri atas semua hasil usaha kita kepada Tuhan YMK, tetap berbagi kepada orang lain yang lebih membutuhkan, apapun keadaan kita. Those are all!!, rafacoltd@yahoo.com

    BalasHapus