Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 23 September 2012

Simbah Penyala Obor Kehidupan



Judul : Saga no Gabai Baachan (Nenek Hebat dari Saga)
Penulis : Yoshichi Shimada
Penerbit : Kansha Books, Jakarta
Terbit : 2011
Tebal : 245 Halaman

Oleh Benni Setiawan

Resensi Buku, Jateng Pos, 23 September 2012

Nenek atau Simbah dalam bahasa Jawa tidak hanya seorang perempuan tua. Di tengah kerentaannya ia memiliki segudang pengalaman hidup. Dia pun selalu menuturkan dan menjadi teladan bagi anak dan cucu-cucunya.
Simbah dalam budaya Jawa, misalnya, merupakan sosok individu yang sangat mencintai cucunya. Cinta yang tanpa batas ini menyebabkan cucu dapat begitu dekat, akrab, dan manja kepada Simbah (T. Priyo Widianto; 2001).

Relasi cinta
Relasi cinta tanpa batas inilah yang menjadikan seorang cucu bisa mandiri dan belajar kearifan hidup dari seorang Simbah. Inilah yang kemudian diceritakan secara apik oleh Yoshichi Shimada dalam Saga no Gabai Baachan.
Novel yang lebih akrab disebut Nenek Hebat dari Saga ini bertutur tentang kehidupan seorang anak bersama seorang Simbah bernama Osano. Osano lahir pada tahun ke-33 era Meiji (tahun 1900). Di tahun 17 era Showa (1942), pada masa perang, suaminya meninggal. Kemudian sejak saat it dia hidup dalam masa pascaperang yang berat sebagai tukang bersih-bersih di Universitas Saga dan SD/SMP yang berafiliasai dengannya. Nenek bertahan hidup sambil membesarkan lima anak perempuan dan dua anak laki-laki.
Akihiro Tokunaga, nama asli Yoshichi Shimada, mulai hidup bersama Nenek Osano sejak tahun 33 era Showa (1958), ketik itu Nenek sudah berusia 58 tahun, namun masih saja tetap bekeja sebagai tukang bersih-bersih. Sudah pasti hidupnya jauh dari kemewahan, tapi selalu saja entah bagaimana dia tampak sangat bersemangat dan ceria.
Itulah kelebihan seorang Nenek. Dia akan tetap tersenyum dan memberi semangat kehidupan bagi cucu-cucunya walaupun kondisinya tidak seindah yang ia impikan.
Karena cinta kasih yang tak terbatas inilah, Shimada mampu bertahan hidup dengan baik. Dia mampu menjalani hidup pasca-perang yang menyesakkan dengan senyuman riang seorang nenek.

Kearifan hidup
Dia pun belajar kearifan hidup semasa sekolah dasar yang sekarang baru dia sadari. Kearifan hidup itu bermula dari hal yang sangat sederhana. Yaitu ketika Nenek Osano meneriakkan instruksi dalam menanak nasi. Berkat instruksi yang membangun Akhiro mampu menunaikan tugas sederhana ini dengan segenap jiwa dan penghayatannya.
Demikian pula ketika Nenek Osano selalu mengikatkan sebatang magnet dengan seutas tali di pinggalnya. Magnet ini sangat berguna untuk menarik paku dan logam yang sepanjang jalan. Paku dan logam tersebut selain dapat dijual juga bermanfaat guna membersihkan jalan dari ranjau darat.
Lebih lanjut, kearifan seorang Nenek Osano juga terlihat ketika ia meletakkan sebuah galah di sungai depan rumahnya. Sungai bagi keluarga Osano bagai supermarket tanpa bayar. Ia dapat memperoleh barang yang dibutuhkan dari berkah aliran sungai. Berkat galah tersebut ranting atau batang pohon tersangkut yang kemudian dapat dipergunakan untuk kayu bakar.
Galah tersebut juga mampu menahan buah-buahan dan sayuran yang ikut terbawa arus sungai. Bersamaan dengan itu, Nenek Osano mengajarkan bahwa tidak semua barang busuk tidak berguna sama sekali. Sayur yang bagi sebagian orang dianggap cacat tetaplah sebuah sayuran ketika dimasak. Rasanya pun tetap asin ketika dibumbui garam.
Melalui cara sederhana ini Nenek Osano, mengajarkan kepada cucu-cucunya arti keteraturan hidup. Lebih dari itu, Nenek Osano mengajarkan arti penting menjaga keseimbangan alam. Membersihkan sungai dengan cara sederhana dengan mengambil manfaatnya dapat mencegah terjadinya banjir dan kekeruhan air sungai.
Pekerjaan ini mungkin bagi sebagian orang terkesan rendahan. Namun, inilah karya nyata manusia yang membahagiakan. Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagian itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita. Bukan orang lain.
Apa yang dilakukan oleh Nenek Osano mungkin tidak diketahui oleh di hilir. Inilah yang kemudian disebut sebuah kebaikan. Kebaikan sejati adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan.
Ketulusan seorang nenek mendidik cucu-cucunya di usia muda akan terus terkenang dalam hidup. Hal inilah yang diakui oleh Yoshichi Shimada. Melalui buku ini, ia ingin mewartakan bahwa ketangguhan seorang nenek telah mengantarkannya menuju sebuah kemandirian di kemudian hari.
Seorang nenek dari Saga telah membuktikan hal tersebut melalui penuturan indah oleh sang cucu melalui buku ini. Buku ini tidak hanya bercerita tentang relasi antara seorang nenek dan cucunya. Namun, mengurai cinta kasih tanpa batas seorang nenek yang mampu menyalakan obor kehidupan dalam setiap langkah. Selamat membaca.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar