Meraih Cita

Meraih Cita

Senin, 28 Mei 2012

Membaca Ragam Kekhasan Jokowi


Jurnal Nasional | Minggu, 27 May 2012
Keberhasilan Jokowi tentu tidak lepas dari pengaruh media massa. Salah satu pilar demokrasi ini mempunyai mekanisme sendiri dalam pembentukan sebuah tokoh.

Buku Jokowi, dari Jualan Kursi hingga Dua Kali Mendapatkan Kursi menututurkan tentang seorang pemimpin daerah penuh inspirasi. Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi lahir pada 21 Juni 1961. Ia dilantik pertama kali menjadi Walikota Solo pada 28 Juli 2005.

Nama Jokowi saat ini sedang mendunia. Ia tidak hanya menjadi seorang Wali kota di sebuah daerah kecil. Namun, kepak sayapnya telah banyak membuka mata masyarakat akan sebuah kepemimpinan yang diidamkan. Keberhasilan Jokowi tentu tidak lepas dari pengaruh media massa. Salah satu pilar demokrasi ini mempunyai mekanisme sendiri dalam pembentukan sebuah tokoh. Sang tokoh bisa besar dan kecil dalam realitas media, realitas statitik, realitas politik, dan realitas sesungguhnya. Kebiasaan bicara, berserikat, dan pers menyebabkan media memiliki peranan besar membentuk ketokohan.

Kemunculan sang tokoh secara intensif dan masif di media biasa membuat postur seorang tokoh tiba-tiba menggembung atau mengempis. Jokowi saat ini adalah "darling", "cem-ceman", atau "kekasih" media. Kepandaian Jokowi memainkan rumus relasi publik (public relations) dengan tampil tepat waktu merebut momentum, membuat kiprahnya tersiar luas tanpa perlu bersusah payah beriklan.

Itulah "realitas media" seorang Jokowi. Liputan tinggi terhadap Jokowi menaikkan angka popularitasnya, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa survei terakhir menjalang pilkada DKI Jakarta 2012. Berkat dukungan media, Jokowi bersama Hadi Rudyatmo memenangi pilkada Solo 2010 dengan capaian gemilang, 91 persen.

Lebih lanjut, postur tokoh sebetulnya tergambar lewat proses pembuktian kerja dan kinerja. Sebelum seseorang mengerjakan sesuatu dan terbukti memiliki kinerja yang penuh kelayakan sosoknya terbangun secara mitologis. Setelah kerja dan pembuktian kinerja sosoknya bertransformasi menjadi sosok historis-sosok yang terukur, bukan sekadar mitos. Inilah yang kemudian disebut realitas sesungguhnya oleh Eep Saefulloh Fatah dalam epilognya.

Jokowi adalah sosok historis yang langka. Ia sudah melayari ujian kerja dan kinerja dan membuktikan sosok-historisnya. Dan justru inilah modal paling dahsyat yang dimilikinya. Di antara semua modal politik yang dimilikinya, modal paling besar yang dimiliki Jokowi adalah otentisitasnya.

Seorang pemimpin disebut otentik manakala ia leluasa membuat langkah dan kebijakan karena ia tak memasukkan kepentingan personal dan kelompok yang sempit di dalam langkah dan kebijakan itu. Seorang pemimpin yang otentik akan menjadi pengendali yang powerful-berkekuatan besar-manakala punya visi tegas, arah jelas, kerangka berpikir di luar kelaziman umum (out of the box), dan keberanian mengamil risiko. Jokowi mempunyai itu.


Harapan Buku karya jurnalis senior Rakyat Merdeka ini tidak hanya menyuguhkan keberhasilan Jokowi. Namun, adanya harapan baru dari sosok pengusaha mebel itu. Jokowi, tulisnya adalah sebuah harapan. Kehadirannya menggarisbawahi fakta bahwa--di tengah buruk rupa wajah otonomi daerah--selalu saja tersedia harapan. Di tengah lorong gelap yang terasa panjang, Jokowi (dan tokoh-tokoh seperti dia) menunjukkan kepada kita bahwa nun di sana ada seberkas sinar yang akan menyudahi gulita dan menggantinya dengan benderan. Ia (atau mereka) seperti lilin yang bersinar di tengah gelap menikam. Yang dilakuan Jokowi sebetulnya sederhana belaka. Ia menegaskan bahwa menjadi kepala daerah yang luar biasa sejatinya adalah berpikir dan bertindak berbeda dari kepala daerah kebanyakan. Sesederhana itu.

Jokowi menggarisbawahi bahwa untuk menjadi kepala daerah yang berhasil, seseorang cukup menjadi "Pemimpin" (dengan "P" besar), dan bukan sekadar berpuas diri menjadi gubernur, bupati, atau walikota, atau bahkan presiden. Menjadi pemimpin adalah mengikhlaskan diri dalam kerja layanan masyarakat. Sementara menjadi gubernur, bupati, wali kota, atau presiden cukup dengan mempertontonkan kekuasaan sambil menjaga jarak dari publik---menjadi sesuatu yang "tak tersentuh".

Fenomena Jokowi mengonfirmasikan bahwa pemimpin dibentuk dari orang biasa, bukan dari bangsa malaikat seperti dalam kitab suci atau pahlawan super seperti dalam cerita-cerita komik (hlm. 120). Lebih lanjut, buku yang ditulis Yon Thayrun, Jokowi, Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker seakan melengkapi buku karya wartawan Rakyat Merdeka tersebut. Yon Thayrun menulis buku ini dengan melakukan wawancara mendalam dengan Jokowi. Sebuah pekerjaan yang tidak dilakukan oleh Zaenuddin HM.

Berdasarkan wawancara tersebut, Yon Thayrun mengambil kesimpulan bahwa Jokowi merupakan pemimpin yang unik lagi nyentrik. Dia adalah pencinta musik rock. Dia rela menghabiskan waktunya untuk menonton latihan grup Trencem yang populer di Solo kala itu. Sebagai rocker, Jokowi mengilhaminya dalam kehidupan sehari-hari. Rock baginya adalah semangat hidup yang terus menyala. Dengan musik cadas ia mampu berpikir jernih dan mengambil keputusan berani untuk kepentingan masyarakat yang lebih baik.

Penggemar Led Zeppelin dan Lamb of God itu pun dalam berbagai kesempatan menyatakan ingin mengundang Lamb of God tampil dalam Rock di kota yang kini masih dipimpinnya (Solo).

*)Benni Setiawan, blogger buku, bertualangkata.blogspot.com
*** Judul : Jokowi, dari Jualan Kursi hingga Dua Kali Mendapatkan Kursi
Penulis : Zaenuddin HM
Penerbit: Ufuk Press, Jakarta
Cetakan : Maret 2012
Tebal : xiv + 137 Halaman

*** Judul : Jokowi, Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker
Penulis : Yon Thayrun
Penerbit : Hikmah Memor, Jakarta
Cetakan : 2012
Tebal : 224 Halaman

1 komentar:

  1. Jokowi pemimpin yang mendengar. gaya kepemimpinannya mengedepankan Komunikasi. Terimakasih mas sdh meresensinya.

    BalasHapus