Meraih Cita

Meraih Cita

Minggu, 08 April 2012

Kepemimpinan Inspiratif ala Minamoto



Dilansir dari Resensi Seputar Indonesia. Sunday, 08 April 2012

Pembaca dan pecinta novel Jepang kembali dimanjakan dengan karya klasik dan monumental karya Eiji Yoshikawa.

Kali ini buku Eiji Yoshikawa yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah kisah Minamoto noYoritomo. Apa yang dapat diambil pelajaran dari buku ini bagi bangsa Indonesia saat ini? Kepemimpinan sudah selayaknya menjadi teladan bagi rakyatnya. Pemimpin yang baik selalu merasa susah pada saat rakyatnya gelisah,merasa senang ketika rakyat bahagia. SebagaimanaYoshitomo.Mimik Yoshitomo tidak seperti biasanya. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya.

Dia ingin Kiyomori dan anaknya, Shigemori,merasakan kesengsaraan pihak yang kalah perang. Ia mengatakan, “sebagai pemimpin aku tidak memiliki kehormatan lagi untuk hidup.Aku tidak lebih baik daripada roh gentayangan”(halaman.14) Apa yang dikatakan Yoshitomo mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin merasa bersalah ketika tidak mampu menyejahterakan rakyatnya. Ia pun mengutuk dirinya sendiri sebagai bentuk penyesalan. Keadaan tersebut tentu jauh dari realitas Indonesia kekinian.

Pemimpin gagal pun masih berdiri tegap tanpa penyesalan mengimbau untuk melakukan kebajikan.Padahal,dirinya sendiri tidak mampu memimpin anak buahnya. Raut muka penyesalan tidak menyembul dari pribadi pemimpin bangsa Indonesia. Ironisnya, yang muncul adalah kebohongan tersistem dan saling menutupi. Padahal, pemimpin bangsa seharusnya lebih menampilkan sikap yang murah hati dan berwibawa.Kewibawaan tersebut tercermin dari tingkah laku dan cara kerja.Kerja untuk kemakmuran rakyat dan bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin sudah saatnya becermin dari semangat Kiyomori. Ia mengatakan,“Saya melakukan semua ini demi kebaikan seluruh rakyat dan petani. Untuk Itu, apa yang menjadi kendala akan saya babat habis. Jika perlu, saya akan menjadi kejam atau menjadi setan. Jika tidak memiliki wajah seperti itu, tidak mungkin saya bisa memenangkan percaturan politik dan peperangan ini”(halaman.116). Pemimpin pun sudah selayaknya demikian. Ia harus bermuka masam kepada para koruptor dan perusak tatanan berbangsa dan bernegara.

Bukan bermanis-manis di pasar atau pada saat temu warga, namun lemah dan tidak mempunyai semangat ketika mewujudkan kehidupan yang lebih sejahtera. Lebih lanjut, banyak pemimpin kita hanya mampu berucap bijak,tetapi tidak di-sertai dengan kelakuan yang baik (halaman. 286).Ucapan pemimpin merupakan sabda. Maka apa yang keluar dari seorang pemimpin adalah “petunjuk”.Bukan sekadar ucapan tanpa makna yang dijilat kembali.

Buku pertama dari dwilogi, Minamoto no Yoritomo ini dibuka dengan kisah pelarian Minamoto no Yoshitomo, kepala klan Minamoto, bersama para pengikutnya setelah dikalahkan Taira no Kiyomori dalam peristiwa Pemberontakan Heiji.Kisah perjalanan dengan judul “Salju Tebal” tersebut merupakan babak baru dalam kehidupan klan Minamoto.

Benni Setiawan,
Alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar